Tambahan untuk Iqra Anugrah
Pendahuluan
PERHATIAN terhadap Islam sebagai kekuatan penting dalam politik global akhir-akhir ini semakin meningkat. Masalahnya, perhatian tersebut seringkali dikacaukan dengan ketakutan terhadap terorisme dan ekstrimisme, terutama pasca tragedi 11 September 2011. Oleh karena itu, bagi sebagian kalangan, khususnya di Barat, Islam dianggap sebagai ancaman. Tentu saja bisa dikatakan bahwa ketakutan tersebut adalah buah dari prasangka politik dan intelektual terhadap Islam yang memang telah hidup lama sejak zaman para orientalis klasik hingga para jurnalis kontemporer. Keberagaman wajah Islam direduksi hanya ke dalam sosok Usamah Bin Ladin. Selain itu, prasangka tersebut juga muncul sebagai akibat dari ketidakmampuan dalam memahami politik global itu sendiri. Dunia berubah begitu cepat. Globalisasi merambah ke dalam hampir semua aspek kehidupan, sehingga batas-batas tradisional antara Barat dan Timur, misalnya, ditantang sedemikian rupa. Di sisi lain, arus migrasi telah mengantarkan jutaan orang, termasuk Muslim, untuk melintasi garis teritorial negara nasional, membentuk komunitas transnasional dan diaspora, sehingga afiliasi identitas pada unit geografi tertentu secara permanen tidak bisa dipertahankan lagi (Eickelman dan Piscatori, 1998; Esposito, 2010).
Dalam konteks politik global tersebut, Islam dan kaum Muslim bukan entitas yang sama sekali terisolasi dari konteks di luarnya. Mereka adalah bagian dari warga negara tertentu pada satu sisi dan bagian dari komunitas internasional pada sisi yang lain. Dengan pencapaian teknologi informasi yang menakjubkan, berbagai individu dan komunitas secara virtual terkoneksi satu sama lain dalam intensi yang hampir menyerupai jenis komunikasi tradisional sebelumnya. Dalam situasi ini, cara paling baik untuk memahami Islam dan kaum Muslim adalah menempatkannya dalam pembicaraan tentang modernitas. Akan tetapi, persis berpijak pada titik ini pula kita akan segera melihat bahwa modernitas sejatinya selalu berbentuk jamak, sehingga kata ‘modernitas’ sebenarnya berarti ‘modernitas-modernitas’ (‘modernities’) (Zubaida, 2011). Dengan kata lain, tidak ada jalan tunggal menuju modernitas. Sampai tingkat tertentu, masing-masing entitas mempunyai pengalaman sejarah yang khas, sehingga referensi dan cara mereka menanggapi modernitas pun sudah pasti berbeda satu dengan yang lain.
Islam adalah entitas yang di dalam dirinya sendiri sangat plural (Esposito dan Mogahed, 2008). Perbedaan pendapat telah muncul sejak awal kelahirannya. Oleh karena itu, tanggapan Muslim terhadap modernitas yang berakar pada filsafat Barat sudah pasti tidak sama antara satu Muslim dengan Muslim lainnya. Sebagian menolak, sebagian menerima, sebagian yang lain menolak dan menerima. Pada masa kontemporer, dapat dipastikan tidak ada satu Muslim pun yang bisa menghindar dari jangkauan dan pengaruh modernitas, paling tidak dalam bentuk budaya materinya. Bahkan kalangan yang disebut paling terpencil sekalipun, yang menyuarakan perang terhadap Barat secara terbuka, dalam kenyataannya tetap saja pernah berhubungan dengan teknologi yang berasal dari dunia industri negara-negara Barat. Dalam literatur kajian Islam, tanggapan Muslim terhadap situasi kemoderenan disebut pembaharuan Islam. Ini menarik karena meskipun mencakup berbagai aspek yang luas, termasuk yang paling esoterik seperti sufisme, gerakan pembaharuan Islam pada awalnya lahir sebagai bentuk tanggapan terhadap modernitas Barat.
Pertanyaannya, di hadapan arus globalisasi kontemporer dan kompleksitas internal dunia Muslim, lalu masihkan relevan berbicara tentang pembaharuan Islam? Pertanyaan ini sungguh klise, tetapi selalu tidak mudah dijawab. Meskipun akar-akar perbedaan pendapat dalam Islam bisa dilacak sampai periode klasik, pembaharuan Islam yang akan didiskusikan dalam tulisan ini mempunyai karakter yang lahir dari konteks perjumpaan Islam dan perabatan Barat modern. Akan tetapi, dalam konteks kontemporer, pertanyaannya bukan lagi apakah Islam cocok dengan modernitas yang dianggap inheren dalam tradisi Barat, melainkan bagaimana baik Islam maupun Barat menanggapi modernitas. Tulisan ini mencoba untuk mendiskusikan tema klasik tersebut dengan penekanan pada situasi politik global pasca peristiwa 11 September 2001. Penekanan ini penting karena politik global pasca 11 Septembar 2001 mengalami perubahan konstelasi yang signifikan terhadap Islam dan Muslim (Tibi, 2008). Wacana keamanan (security discourse) mendominasi cara pandang terhadap Islam dan Muslim, termasuk di dunia akademis (Mamdani, 2002). Dari sinilah lahir berbagai kategori, seperti fundamentalisme, radikalisme, hingga Islamisme. Namun sebelum sampai ke topik itu, akan dipaparkan terlebih dahulu secara singkat akar-akar pembaharuan Islam pada periode klasik dan modern.
Pembaharuan Islam pada Periode Modern
Sejak awal kelahirannya, perbedaaan pendapat adalah sesuatu yang inheren dalam Islam. Akan tetapi, ketika Nabi Muhammad masih hidup, perbedaan pendapat tersebut bisa diselesaikan dengan cepat. Permasalahan serius muncul segera setelah Sang Nabi wafat. Perbedaan pendapat berubah menjadi perpecahan politik. Tiga dari empat sahabat Nabi paling utama (Khulafah al-Rasyidin) meninggal secara tragis karena dibunuh oleh orang Islam sendiri (Fauda, 2007). Sejak meninggalnya Ali Bin Abi Thalib, perpecahan politik di kalangan Muslim dianggap bukan lagi sebagai perpecahan yang memalukan, melainkan sebuah kenyataan sosiologis. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau dalam Islam periode klasik ini (abad ke-7 sampai abad ke-13 M) lahir berbagai madzhab pemikiran, baik di bidang hukum, teologi, maupun filsafat dan tasawwuf (Nasution, 1991). Dalam bidang hukum, pada periode tersebut lahir tokoh-tokoh besar seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali. Keempatnya menjadi pendiri madzhab fiqih—Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali—yang eksis sampai sekarang. Di bidang teologi atau ilmu kalam, lahir berbagai aliran seperti Ahli Sunnah wal Jama’ah, Mu’tazilah, Syiah, dan sebagainya. Aliran-aliran ini dalam beberapa momen tertentu saling serang secara tajam, bahkan hingga pertumpahan darah. Sementara itu, di bidang filsafat dan tasawwuf, muncul para pemikir seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali, dan lainnya.
Akan tetapi, pencapaian intelektual pada periode klasik itu tidak disebut sebagai pembaharuan Islam. Ketika itu, kaum Muslim masih melihat dirinya sebagai pusat, atau setidaknya salah satunya, dari peradaban dunia. Eropa masih terlelap dalam Zaman Kegelapan. Barulah pada akhir abad ke-18, yaitu ketika Napoleon menduduki Mesir pada 1789, dunia Islam tersadar sepenuhnya bahwa mereka sudah berada dalam kemunduran dan bahkan kejatuhan baik secara politik maupun intelektual (Nasution, 1991). Sejak itulah muncul gagasan tentang perlunya pembaharuan Islam. Pertanyaan awalnya adalah bagaimana dunia Muslim bangkit dari ketertinggalannya dari Eropa. Pertanyaan ini bergema nyaring dan melahirkan tanggapan yang beragam.
Terdapat paling tidak dua tanggapan penting terhadap gagasan pembaruan Islam pada periode modern ini (Fealy dan Bubalo, 2007). Pertama datang dari daerah yang sekarang disebut Arab Saudi, tempat di mana Muhammad Ibn Abd Al-Wahab (1703-1787) mengembangkan pemikirannnya yang kelak dikenal sebagai Wahabisme. Sebagian besar pemikirannya merujuk pada seorang ahli fiqh madzhab Hambali abad ke-12, yaitu Ibn Taimiyah, tetapi dengan reinterpretasi lebih literal dan dogmatis daripada Ibn Taimiyah sendiri. Wahabisme berpendapat bahwa kemunduran Islam terjadi dikarenakan meluasnya tradisi dan paham lokal yang menodai kemurnian Islam. Wahabisme mengajak umat Islam kembali pada praktik keagamaan kaum as-salaf as-shalih (para pendahulu yang saleh), yaitu tiga generasi pertama sahabat nabi: sahabat, tabi’in, tabi’ at-tabi’in. Atas dasar ini, wahabisme dikenal juga dengan sebutan salafisme, para pengikutnya disebut kaum salafi. Tanggapan kedua datang dari Mesir. Sejak periode klasik, Mesir telah dikenal sebagai pusat politik dan intelektual Islam. Pada akhir abad ke-19 dan terutama awal abad ke-20, Mesir adalah tempat berkumpulnya para intelektual Islam terkemuka, seperti Jamaluddin Al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Muhammad Abduh. Ketiga pemikir ini, terutama al-Afghani, menyuarakan pentingnya solidaritas kaum Muslim seluruh dunia yang ketika itu sebagian besar sedang berada di bawah kuasa kolonialisme Eropa. Selain itu, ada juga pemikir seperti Hasan Al-Bana yang mendirikan Ikhwanul Muslimin pada 1928. Gerakan ini lebih bercorak salafiyah. Gerakan Islam radikal pada masa kontemporer umumnya mengambil inspirasi dan bahkan metode kerja dari Ikhwanul Muslimin ini.
Apa yang disebut pembaharuan Islam pada periode modern sebagian besar bermuara pada pertanyaan tentang hubungan antara agama dan politik atau Islam dan negara. Pertanyaan sentral ini sesungguhnya ironis karena pada saat yang sama negeri-negeri Muslim justru sedang berada di bawah cengkraman bangsa-bangsa asing. Kredo bahwa Islam adalah agama dan negara semakin kuat pada periode ini. Kredo ini dibahasakan secara lebih populer dalam jargon ‘Islam kaffah’. Intinya Islam diharapkan mewarnai semua bidang kehidupan, tidak hanya spiritualitas, tetapi juga sosial, ekonomi, dan politik. Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh al-Bana, kemudian dideologisasikan lebih lanjut oleh Sayyid Quthb, tak pelak lagi adalah gerakan yang sangat berpengaruh terhadap penyebarluasan ide ini (Fealy dan Bubalo, 2007)
Islam Kontemporer
Tulisan ini memandang bahwa periode Islam kontemporer dimulai sejak paruh kedua abad ke-20, yaitu sejak berakhirnya Perang Dunia II sampai sekarang. Periode Islam kontemporer ini ditandai oleh dua peristiwa utama. Pertama, dekolonisasi negara-negara Muslim dari cengkraman kolonialisme Eropa. Kedua, gelombang migrasi Muslim ke negara-negara Barat. Dua peristiwa itu telah mengubah lanskap geografi dunia Muslim. Apa yang disebut dunia Muslim tidak lagi identik dengan dunia Arab, tetapi meliputi berbagai negara nasional yang tersebar di hampir seluruh penjuru dunia, merentang dari mulai Afrika Utara hingga Asia Tenggara. Selain itu, sejak itu pula kaum Muslim telah menjadi bagian dari demografi negara-negara Barat.
Akan tetapi, pada dekade-dekade awal pasca Perang Dunia II, Islam belum menjadi subjek penting dalam politik global. Isu utama pada masa itu adalah Perang Dingin antara Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dengan jargon liberalismenya dan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet dengan jargon komunismenya. Pertarungan ideologi antara kedua blok tersebut menjadi latar belakang hampir semua peristiwa politik ekonomi internasional. Dalam hal ini, posisi negara-negara Non-Blok, di mana Indonesia dan beberapa negara Muslim lain termasuk di dalamnya, cukup terjepit dan dalam kenyataannya hanya menjadi objek rebutan pengaruh negara-negara adidaya.
Dekolonisasi negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim dari cengkraman kolonialisme Eropa telah menghadapkan Islam dan kaum Muslim pada suatu realitas baru, yaitu negara-bangsa modern. Persis pada titik ini, klaim-klaim keagamaan Islam yang universal mau tak mau harus bekerja pada ranah partikular. Negara-bangsa modern secara normatif selalu mengandaikan adanya ikatan kewarganegaraan yang terbatas. Hubungan antara warga negara atau individu dan negara diikat oleh suatu komitmen yang sampai tingkat tertentu bersifat sekuler. Negara-bangsa modern mentransendensikan warganya dari tempurung identitas-identitas etnik, agama, dan jenis-jenis komunalisme lainnya ke dalam wadah besar bernama bangsa. Proses transendensi tersebut tidak pernah mudah, bahkan di banyak tempat terjadi kekerasan yang berdarah-darah. Salah satu penyebabnya adalah watak dari negara-bangsa modern itu sendiri yang—dalam perspektif Weber—diberi legitimasi untuk menggunakan kekerasan demi keutuhan teritorialnya.
Dalam konteks negara-bangsa modern, Islam adalah satu dari sekian banyak ideologi politik yang bertarung memperebutkan tempat dan pengaruh dalam formasi negara dan struktur pemerintahan. Dengan kata lain, Islam dalam politik berubah dari identitas sakral menjadi identitas profan. Oleh karena itu, keberadaan partai Islam tidak otomatis mendapatkan dukungan penuh dari kaum Muslim. Kepedulian utama dalam politik negara-bangsa modern adalah pengelolaan ruang publik yang sekuler, bukan kepasrahan terhadap Tuhan. Kaum Muslim terlibat dalam berbagai partai politik dan gerakan sosial dengan ideologi beragam: liberal, sosialis, hingga komunis. Partai-partai Islam di negara-negara Muslim justru tidak mendapat suara signifikan. Di Indonesia, pada Pemilihan Umum 1955, partai-partai Islam seperti Masyumi dan Nahdlatul Ulama harus berbagi tempat dengan partai nasionalis dan komunis. Di Turki, yang terjadi adalah sebaliknya. Setelah puluhan tahun dikuasai oleh rezim pemerintahan sekuler dengan latar belakang ideologi Kemalis yang kuat, Adalet ve Kalkmma Partisi (AKP) yang bercorak Islamis sejak 2002 memenangkan pemilihan umum dan memimpin pemerintahan (Hadiz, 2011)
Sementara sebagian Muslim bergiat dalam berbagai aktivitas di tanah airnya masing-masing, sebagian yang lain justru berimigrasi ke negara-negara Barat untuk mencari kehidupan yang lebih baik (Anna Triandafllidou, Tariq Modood, dan Ricard Zapata-Barrero, 2006). Latar belakangnya, baik apa yang disebut faktor pendorong maupun penarik dalam teori migrasi klasik, umumnya adalah ekonomi. Pada masa itu, negara-negara Eropa Barat seperti Jerman dan Belanda baru saja bangkit dari puing-puing kehancuran dalam Perang Dunia II. Namun dalam waktu singkat negara-negara tersebut bangkit kembali dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang mengagumkan. Pabrik-pabrik baru dibangun, pabrik-pabrik lama direnovasi. Untuk mengisi lowongan pekerjaan pada pabrik-pabrik itu, didatangkanlah ribuan kaum pekerja. Sebagian besar mereka berasal dari negara-negara Muslim, seperti Turki dan Maroko. Di Inggris dan Perancis, sebagian besar kaum migran juga berasal dari negara-negara Muslim bekas koloni mereka; orang-orang Aljazair di Perancis, orang-orang India dan Pakistan di Inggris. Dalam perkembangannya, para pekerja migran yang umumnya laki-laki tersebut membawa serta keluarga mereka. Populasi kaum Muslim di di negara-negara Barat tersebut meningkat jumlahnya hingga sekarang.
Selanjutnya, setelah Uni Soviet runtuh pada 1989, yang diikuti oleh ‘gelombang demokratisasi ketiga’ di negara-negara satelitnya, percaturan global mengalami perubahan sangat signifikan, termasuk dalam isu Islam. Sebelumnya, tepatnya pada 1979, sebuah revolusi yang dipimpin para Khomaini berhasil menumbangkan rezim Syah yang sekuler di Iran. Peristiwa yang dikenal dengan Revolusi Islam Iran tersebut membawa implikasi penting baik terhadap dunia Islam secara internal maupun terhadap konsetelasi politik internasional. Secara internal, revolusi tersebut mengeraskan rivalitas klasik antara Sunni-Syiah. Arab Saudi, dengan karakter Wahabisme yang keras, semakin tampil sebagai penjaga ortodoksi Sunni penjaga kota suci Haramain (Makkah dan Madinah). Persaingan antara Arab Saudi dan Iran dalam memperebutkan pengaruh di dunia Islam tak terhindarkan. Pada saat yang sama, Amerika Serikat masuk ke dalam peta persaingan baru tersebut dengan membawa kepentingan ideologi dan politik ekonominya sendiri. Di tempat lain, yaitu di Afghanistan, berakhirnya Perang Dingin mengakibatkan apa yang oleh beberapa pengamat Barat disebut ‘globalisasi Jihad’. Para eksponen mujahidin yang sebelumnya bertempur melawan invasi Uni Soviet akhirnya membubarkan diri. Sebagian mereka berasal dari negara-negara Muslim di Asia Tenggara, seperti Indonesia dan Malaysia. Setelah Perang selesai, mereka pulang kampung, tetapi dari sini lahirkan satu jaringan Islamisme berskala global. Keberadaan mereka tentu saja menambah kompleksitas
Tragedi 11 Septermber 2001 adalah peristiwa yang secara dramatik membuka babak baru hubungan Islam dan Barat. Bagi kalangan neo-konservatif yang berdiri di belakang pemerintahan Bush Jr. di Amerika Serikat, peristiwa itu seolah menjustifikasi pandangan mereka bahwa Islam memang tidak kompatibel dengan nilai-nilai Barat. Sejak peristiwa itulah Islam menjadi subjek penting dalam politik global. Sementara itu, di negara-negara Muslim, demokratisasi semakin menjadi kata kunci dalam politik, sehingga bahkan pemerintahan paling otoriter sekalipun mengaku sebagai negara demokratik. Pada akhir 1990-an, rezim Orde Baru di bawah pimpinan Jenderal Soeharto di Indonesia jatuh dari kekuasaanyan, mengantarkan Indonesia tampil sebagai negara demokratik Muslim terbesar di dunia. Yang paling mencengangkan dan masih berlangsung sampai sekarang, dengan korban jiwa sudah mencapai ribuan orang, adalah gelombang reformasi di negara-negara Arab. Setelah tumbangnya Husni Mubarak dari kursi kepresidenan di Mesir, tuntutan perubahan politik menerjang hampir semua rezim pemerintahan di Timur Tengah. Bahkan, negara paling konservatif seperti Arab Saudi pun mencoba membuka diri terhadap tuntutan serupa. Singkatnya, dunia Islam kontemporer adalah bagian dari dunia yang sedang berubah dengan sangat cepat, melibatkan tidak hanya aspek meterial tetapi juga ideologi.
Pembaharuan Islam dalam Bayang-Bayang Diskursus Keamanan
Setelah meletusnya peristiwa 11 September 2001 yang menghancurleburkan gedung WTC di New York, hubungan Islam dan Barat harus diakui mengalami ketegangan. Disusul oleh pemboman di London dan Madrid pada 2005, ketegangan itu semakin meluas hingga ke Eropa. Seperti disinggung awal, sejak itulah sebagian orang di Barat menganggap Muslim adalah teroris dan ekstrimis. Situasi yang sedikit banyak dikaburkan oleh laporan-laporan media yang seringkali kurang akurat itu tentu saja berdampak serius terhadap Muslim, khususnya bagi mereka yang tinggal di negara-negara Barat. Loyalitas terhadap negara di mana mereka tinggal sekarang dipertanyakan, meski banyak dari mereka yang sudah berstatus warga negara. Arus migrasi diperketat. Pada saat yang sama, kekuatan-kekuatan politik Kanan ultra-nasionalis memang sedang naik daun di beberapa negara Eropa, seperti di Belanda, Perancis, dan Jerman. Ditambah dengan adanya krisis ekonomi keuangan, sentimen Islam-phobia dan xeno-phobia (anti-orang asing) semakin meningkat di negara-negara Barat.
Di dunia akademis, minat terhadap Islam juga meningkat pesat. Akan tetapi, peningkatan minat terbesar justru datang dari kalangan pengkaji isu-isu keamanan (lihat, misalnya, Gunaratna, 2002). Sejatinya tidak ada yang salah dengan fenomena itu, tetapi menempatkan Islam sebatas faktor dalam isu keamanan tentu saja bermasalah. Kajian dengan perspektif ini tidak jarang jatuh pada esensialisme, yaitu menganggap suatu entitas sebagai kesatuan identitas yang utuh pada dirinya sendiri. Jika ada seorang Muslim yang terlibat dengan aksi terorisme, alasan keikutsertaannya lebih banyak dicari pada identitas keagamaannya. Di bawah bayang-bayang perspektif wacana keamanan, kompleksitas Islam dan Muslim direduksi ke dalam dikotomi: Islamis dan moderat. Islamis adalah Muslim radikal yang cenderung setuju, dan sebagian bahkan terlibat, dengan aksi-aksi terorisme dan ekstrimisme, dan oleh karena itu sudah pasti anti-Barat. Di sisi lain, moderat adalah Muslim yang toleran terhadap nilai-nilai asing, khususnya yang datang dari Barat. Sepintas rasanya tidak ada yang keliru dengan dikotomi ini, tetapi Mamdani (2002) mengingatkan bawa dikotomi seperti ini bermasalah karena secara etis seolah-olah membagi Muslim ke dalam dua kubu: pada satu sisi terdapat “Muslim yang buruk” (“Bad Muslim”), yaitu kaum Islamis, sementara pada sisi yang lain terdapat “Muslim yang baik” (“Good Muslim”), yaitu kaum moderat. Dengan kata lain, garis pemisah di antara Muslim betul-betul didasarkan pada sikap mereka pada Barat.
Dalam kenyataannya, seperti telah disinggung di atas, Muslim telah menjadi bagian dari komunitas yang eksis di negara-negara Barat. Oleh karena itu, pemikir seperti Tariq Ramadan (2004) berulang kali menyuarakan pandangannya tentang ‘Muslim Eropa’. Cucu Hasan al-Bana yang sekarang menetap di Perancis itu menyatakan bahwa dikotomi Islam-Barat sudah selayaknya ditinjau ulang. Dia menunjukkan bahwa baik secara konseptual maupun empiris antara Islam dan Barat bisa berdamai membentuk komunitas bersama dalam suatu negara-bangsa yang sekuler. Secara internal dia mengajak ulama-ulama Islam kontemporer untuk memikirkan model pembaharuan Islam baru dengan basis ummat Islam di Barat. Menurutnya, hampir semua produk pemikiran Islam, dari mulai fiqih hingga teologi, didasarkan pada pengalaman Muslim di negara-negara Muslim. Dia mencontohkan istilah Dar al-Harb (daerah musuh) dan Dar al-Islam (daerah Islam) yang sudah tidak relevan lagi sebab dilahirkan dalam konteks sebelum adanya arus migrasi dan globalisasi yang mendeteritorialisasi wilayah Islam seperti sekarang. Akan tetapi, pada saat yang sama, Ramadan juga meminta pemerintah dan masyarakat Barat untuk menerima fakta sosiologis bahwa Muslim sekarang telah menjadi bagian dari mereka. Tentu saja karena akar-akar kulturalnya berbeda, Ramadan dan juga banyak pemikir dan aktivis lainnya mengajukan kepada pemerintah untuk mengakui perbedaan praktik kultural tersebut dan bahkan jika memungkinkan mengakomodasinya secara politik menjadi bagian dari ruang publik Eropa. Proposal yang secara teoritis dikenal sebagai multikulturalisme itu dipandang akan membantu menjembatani perbedaan kultural antara kaum migran Muslim, yang sebagian besar sudah menjadi warga negara itu, dan masyarakat pribumi setempat.
Penutup
Dari paparan di atas terlihat bagaimana Islam dan modernitas terlibat dalam momen-momen perjumpaan tertentu, dari mulai kolonialisme hingga situasi politik global pasca peristiwa 11 September 2001. Hasil dari perjumpaan tersebut bervariasi, tergantung pada kompleksitas Muslim sendiri yang memang telah terdeteritorialisasi sedemikian rupa. Apa yang disebut dunia Muslim secara konseptual tidak bisa lagi hanya menunjuk pada Timur Tengah atau Arab dari mana Islam untuk pertama kalinya lahir, tetapi pada dunia itu sendiri. Keberadaan Muslim merentang di negara-negara nasional dari mulai Afrika Utara hingga Asia Tenggara. Selain itu, tidak sedikit kaum Muslim yang sekarang tinggal di Eropa, menjadi bagian integral dari masyarakat Barat itu sediri. Situasi seperti ini tentu saja merupakan tantangan baik bagi para pemikir Muslim maupun para pengamat yang berminat dengan isu-isu keislaman untuk memikirkan model pembaharuan Islam yang baru. Pada masa sebelumnya, asumsi yang mendasari wacana pembaharuan Islam adalah dikotomi antara Islam dan Barat dengan latar belakang kolonialisme dan trauma pascakolonial pada masa dekolonisasi awal yang sangat kuat. Sekarang asumsi lama itu sebagiannya kurang relevan lagi. Model pembaharuan Islam kontemporer sudah seharusnya mempertimbangkan adanya fakta mengenai interkoneksi global yang semakin luas jangkauannya pada satu sisi, tetapi juga meningkatnya sentimen anti-Islam dan anti-orang asing di negara-negara Barat sendiri pada sisi yang lain. Secara akademis, tantangan bagi wacana pembaharuan Islam adalah dominasi perspektif studi keamanan dalam institusi-institusi riset dan pendidikan yang seringkali membatasi wajah Islam hanya pada aspek-aspek yang berkaitan dengan isu terorisme dan ekstrimisme.***
Amin Mudzakkir, Peneliti PSDR-LIPI, Jakarta dan mahasiswa pascasarjana STF Driyarkara, Jakarta. Penulis bisa dihubungi melalui alamat email: amin.mudzakkir@gmail.com
Daftar Pustaka:
Esposito, John L., dan John O. Voll, Demokrasi di Negera-Negara Muslim, Bandung: Mizan, 1999
Esposito, John L., dan Dalia Mogahed, Saatnya Muslim Bicara!, Bandung: Mizan, 2008.
Esposito, John L., The Future of Islam, New York: Oxford University Press, 2010
Eickelman, Dale F. dan James Piscatori, Ekspresi Politik Muslim, Bandung: Mizan, 1998.
Fauda, Farag, Kebenaran Yang Hilang: Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim, terj. Novriantoni, Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta Bekerjasama dan Yayasan Wakaf Paramadina, 2007.
Fealy, Greg dan Anthony Bubalo, Jejak Kafilah: Pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia, Bandung: Mizan, 2007.
Gunaratna, Rohan, Inside Al-Qaidah: Global Network of Terror, New York: Columbia University Press, 2002.
Hadiz, Vedi R., “No Turkish Delight: The Impasse of Islamic Party Politics in Indonesia”, Indonesia 92 (Oktober 2011)
Mamdani, Mahmood, “Good Muslim, Bad Muslim: A Political Perspective on Culture and Terrorism”, American Anthropologist, Vol. 104, No. 3 (Sept., 2002)
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1991, cetakan kedelapan.
Ramadan, Tariq, Western Muslims and the Future of Islam, Oxford/New York: Oxford University Press, 2004.
Tibi, Bassam, The Challenge of Fundamentalism: Political Islam and the New World Disorder, Barkeley/Los Angeles, London: University of California Press, 1998.
Triandafllidou, Anna, Tariq Modood, dan Ricard Zapata-Barrero“European challenges to multicultural citizenship: Muslims, secularism and beyond” dalam Anna Triandafllidou, Tariq Modood, dan Ricard Zapata-Barrero, Multiculturalism, Muslims, and Citizenship: A European Approach, London/New York: Routledge, 2006.
Zubaida, Sami, Beyond Islam: A New Understanding of the Middle East, London/New York: I.B.Tauris, 2011.