LEBIH dari satu dekade pasca rezim orde baru, kita menyaksikan maraknya kasus-kasus kekerasan komunal-sektarian. Aksi-aksi kekerasan ini, selain terus berlangsung juga cenderung diberi ruang oleh negara. Bahkan, pejabat negara setingkat menteri, seperti menteri agama Surya Dharma Ali, berulangkali mengeluarkan pernyataan yang turut memperkeruh atau memperkuat tindak kekerasan komunal-sektarian itu.
Kasus terkini, dan mungkin bukan yang terakhir, adalah penyerangan terhadap penganut syiah di Omben, Sampang, Madura. Dan lagi-lagi, negara absen dalam aksi kekerasan yang merengut nyawa dua orang tersebut. Bagaimana kita memahami tindak kekerasan komunal-sektarian ini? Berikut perbincangan Coen Husain Pontoh dari IndoPROGRESS dengan Mohamad Guntur Romli, aktivis-cum penulis yang aktif mengadvokasi kasus-kasus kekerasan komunal-sektarian tersebut.
IndoPROGRESS (IP): Apa refleksi Anda sebagai orang yang aktif terlibat mengadvokasi kasus kekerasan komunal-sektarian selama ini?
Mohamad Guntur Romli (MGR): Saya sedih sekaligus marah. Sedih karena menyadari bahwa kadar toleransi di akar rumput makin menipis. Intoleransi seperti wabah yang cepat menular, kalau kita gagal mencegah penularan dan menanggulangi wabah sebelumnya, maka akan menjangkiti kawasan-kawasan lain. Pola ini yang saya lihat di masyarakat saat ini.
Lihat saja kasus Sampang. Syiah di sana sudah tiga generasi, tapi mengapa baru sekarang ada ribut-ribut? Saya menangkap ada energi negatif yang dikirim ke sana. Kalau kita baca, beberapa tahun terakhir ada beberapa kasus penyerangan terhadap pesantren syiah, YAPI di Bangil, Pasuruan, dan tidak pernah diselesaikan kasusnya, baik hukumnya atau dialog dengan masyarakat. Bangil, Pasuruan dan Omben, Sampang, sama-sama di Jawa Timur. Aktor yang paling getol menyesatkan Syiah, dia-dia juga yang mengeluarkan fatwa Syiah sesat di MUI (Majelis Ulama Indonesia) Jawa Timur.
Saya marah karena pemerintah membiarkan kasus-kasus intoleransi dan kekerasan ini terus berlangsung. Jadi, seperti menghadapi wabah penyakit, pemerintah membiarkan hingga akhirnya menyebar dan meluas. Kalau kita baca laporan pelanggaran HAM dr lembaga-lembaga independen, seperti Kontras, Setara, Wahid Institute, dan Komnas HAM sendiri, atau lembaga internasional seperti Freedom House, telah terjadi peningkatan kasus-kasus kekerasan berbasis agama di Indonesia. Pemerintah seperti tdk mau mengakui, mereka tidak belajar dari kesalahan aparatnya, misalnya, polisi yang tidak melindungi, atau pengadilan yang malah mengkriminalisasi korban dengan tuduhan penodaan agama. Jadi, pemerintah bertanggung jawab dengan menyebarnya wabah intoleransi dan kekerasan ini, melalui aksi pembiarannya. Pemerintah seperti tersandera dalam perjudian koalisi politik. Kita sadar bahwa kelompok-kelompok yang kerap menggunakan kekerasan memiliki patron dalam koalisi pemerintahan, terutama pada parpol-parpol yang memakai simbol-simbol agama.
IP: Dari serangkaian aksi kekerasan komunal-sektarian ini tampak semacam pola baku: pengkafiran-mobilisasi massa-penyerangan-absennya negara. Apa pendapat anda soal ini?
MGR: Tepat sekali. Saya setuju. Pemerintah tidak mengantisipasi konflik dari sejak dini. Dalam kasus-kasus kekerasan, pemerintah seperti pemadam kebakaran yang datang terlambat, api sudah besar, bantuan yang datang kurang, karena salah perhitungan, akhirnya hanya menonton. Lihat saja kasus Sampang dan Cikuesik, polisi yang hanya menonton aksi-aksi kekerasan itu. Semestinya kalau ada bibit konflik yang pemerintah sudah menciumnya, maka pemerintah harus terlibat sebagai penengah. Misalnya, ada bibit konflik antara dua pihak, ini kan pasti beda tafsir terhadap agama. Nah pemerintah harus jadi penengah untuk mendialogkan dua pihak ini.
Negara memiliki banyak perangkat, ini harus bergerak semua. Ini kebijakan persuasif. Nah kalau ada pihak-pihak yang mengancam atau bahkan melakukan kekerasan, maka negara harus melindungi pihak yang diserang atas nama konstitusi. Ironisnya, negara malah sering bertindak represif terhadap rakyat yang menentang kepentingan pemodal, misalnya, dalam kasus Freeport, pertambangan, dan perkebunan. Tapi mereka berpangku tangan dalam menghadapi pelanggaran hak sipil dan politik warga negara.
IP: Sebelum kasus Sampang, Madura, pelaku kekerasan ini diidentikkan sebagai organisasi transnasional beraliran Wahabi. Tapi kekerasan Sampang menunjukkan fakta lain bahwa sebagian komunitas NU yang dianggap berpaham ahlu sunnah wal jamaah (Aswaja). Bagaimana menjelaskan hal ini?
MGR: Bibit intoleransi ada di semua ormas, termasuk di NU, yang sering dibanggakan sebagai ormas muslim mayoritas dan moderat di Indonesia. Meskipun yang di Sampang tidak merepresentasikan warga NU seluruhnya. Kyai Said Aqil Siradj, ketua PBNU sekarang, pernah dikafirkan dan dituduh orang syiah oleh orang NU sendiri tahun 90-an. Ada kyai NU yang punya fatwa presiden perempuan hukumnya haram. Dalam kasus syiah kita menemukan tokoh-tokoh NU yang sama seperti di atas kini terlibat. Celakanya, mereka menjabat di struktur cabang PCNU Sampang dan wilayah PWNU Jawa Timur. Kita melihat NU Sampang dan Jawa Timur seperti gerbong yang terlepas dari rel, berjalan sendiri. PBNU sendiri tidak pernah mengeluarkan fatwa syiah sesat, tapi hanya beda. Maka, hal ini harus dilokalisir pada tokoh-tokoh NU Jawa Timur dan Sampang, yang bernafsu sekali memusuhi syiah. Kasus ini tidak bisa digeneralisir pada tokoh-tokoh NU keseluruhan.
Saya menangkap hal ini masuk dalam persaingan dan rebutan pengaruh terhadap umat. Ustadz syiah vs kyai lokal yang kebetulan kyai-kyai NU, karena lokasinya di Sampang dan Jawa Timur. Ketua Umum PBNU sudah mengeluarkan seruan bahwa kekerasan terhadap syiah di sampang bertentangan dengan semangat aswaja NU, dan menegaskan NU tidak terlibat, meskipun di lapangan kita akan melihat NU yang diseret-seret untuk raih simpati dan dukungan. Ini bahaya sebab akan memperluas konflik. Kalau kita menerima NU terlibat dalam konflik Sampang, maka para penyerang itu akan bertepuk tangan. Ini kenginan mereka. Syiah Sampang vs NU. Atau Sunni vs Syiah.
IP: Mengenai absennya negara, ada dua pendapat yang berkembang: (a) pendapat bahwa negara takut pada umat; (b) negara memang sengaja membiarkan aksi kekerasan komunal ini berlangsung. Apa pendapat Anda?
MGR: Keduanya terjadi. Negara takut menindak tegas kelompok-kelompok yang melakukan kekerasan dengan mengatasnamakan Islam, karena nanti dituding anti-Islam. Atau kelompok-kelompok itu punya patron di koalisi sekarang. Akhirnya aparat hukum mandul dan tumpul. Dalam beberapa kondisi, pemerintah memang terkesan memanfaatkan keributan ini untuk mengalihkan opini di media. Karena kasus ini akan diliput besar-besaran oleh media, maka sorotan media terhadap beberapa kegagalan dan kecurangan (korupsi) yang dilakukan oleh mereka yang duduk di pemerintahan sekarang, bisa tersingkir oleh kasus-kasus kekerasan ini.
Tapi, selain kesan takut dan membiarkan, ada kesan lain yang lebih tepat: pemerintah lebih buruk dari keledai. Kalau keledai satu-dua kali terjerumus ke lubang yang sama, ini terjerumus berkali-kali. Modus kekerasan yang berbasis agama ini sama persis dengan kasus-kasus yang lain, misalnya syiah Sampang dengan Ahmadiyah di Cikuesik. Ini yang paling dekat. Atau anda lihat kasus-kasus represi berbasis pertambangan dan perkebunan. Sama saja.
IP: Masih efektifkah kita berharap bahwa negara bisa mengatasi tindak kekerasan komunal sektarian ini? Kalau iya, melalui cara apa harapan itu disematkan?
MGR: Kalau kita hanya berharap negara, kita seperti ‘menunggu godot’ dari karya Samuel Beckett, menunggu dalam kesia-siaan. Kita bisa optimis bisa mengembalikan kesadaran toleransi di tengah masyarakat kalau tidak berpikir tentang negara. Kalau melibatkan negara malah gagal dan bikin pesimis. Contohnya, dalam kasus Sampang ini, bantuan yang spontan terhadap komunitas syiah sangat massif dan aktif. Ini spontan dari masyarakat tanpa negara. Sekarang pemerintah kabupaten Sampang malah menghalangi-halangi relawan independen untuk bertemu pengungsi syiah di GOR Sampang. Nah, kalau energi ini bisa ditransfer pada usaha dialog di tengah masyarakat, saya optimis bisa dilakukan.
IP: Sudah terbentuk opini di dalam masyarakat bahwa kasus Sampang kemarin itu terjadi karena bermula dari konflik keluarga yang lalu dikait-kaitkan dengan agama agar mendapatkan dukungan luas. Bagaimana pendapat anda?
MGR: Saya tidak setuju. Ada saham konflik keluarga dalam kasus ini bisa diterima, tapi kalau asal-muasalnya konflik keluarga, tidak benar sama sekali. Provokasi dan kebencian pada syiah di Sampang meningkat sejak tahun 2006. Konflik Tajul Muluk vs Rais Hukama, adiknya, baru tahun 2009. Jadi, banyak motif dalam kasus kekerasan ini.
IP: Praktek kyai yang berorientasi harta dan pemberian (entah uang entah barang) dari warga di Sampang sudah sedemikian lekat, sehingga kyai lalu sudah jadi semacam profesi dengan aliran duit atau pemberian yang pasti. Ini menyebabkan munculnya persaingan antar kyai. Kepentingan ekonomi lalu jadi lebih mengemuka berbarengan dengan pelayanan keagamaan. Bagaimana pendapat anda tentang ini? Dan apakah praktek semacam ini sebenarnya sudah jamak ada sejak dulu dan tidak seharusnya jadi awal pemicu konflik?
MGR: Kita bisa pakai ‘hermeneutika kecurigaan’ dari Paul Ricœur dalam memandang konflik ini. Dari Karl Marx kita mencurigai motif-motif ekonomi, dari Nietzche kita diajak mencurigai motif-motif kekuasaan. Motif ekonomi dan persaingan pengaruh sangat jelas menjadi motif kebencian terhadap komunitas syiah. Ada persaingan tokoh-tokoh agama lokal, dan persaingan lembaga/ormas keagamaan lokal yang tidak sehat dalam berebut pengaruh masyarakat. Saya tidak ingin mengatakan ujung dari konflik ini adalah kepentingan ekonomi dan kekuasaan, tapi motif ekonomi dan kuasa sangat berkelindan dengan konflik ini. Perebutan akses ekonomi, pendapatan, pengaruh, sangat nyata. Tokoh politik lokal dan pemerintah daerah juga memanfaatkan konflik ini. Ada yang berusaha mencari simpati dan dukungan dengan membesarkan dan mendukung penyerang. Bisa juga terkait Pilkada di Sampang yang akan digelar. Dalam konteks ini agama sudah masuk dalam ranah politik dan ekonomi.
Kita harus mencurigai bahwa tokoh-tokoh dan pihak-pihak yang bernafsu membenci dan ingin mengusir syiah, tidak murni bermotif teologis dan perbedaan madzhab. Ada motif politik dan ekonomi, perebutan kekuasaan, pengaruh dan kendali atas umat, serta sumber pemasukan ekonomi.***