Tanggapan Terhadap Muhammad Al-Fayyadl
DALAM tulisannya yang berjudul Bergerak dari Titik Perbatasan,[1] Muhammad Al-Fayyadl memproblematisir penafsiran Martin Suryajaya atas Jacques Derrida dalam bukunya, Materialisme Dialektis. Setelah itu, Al-Fayyadl masuk ke dalam persoalan emansipasi. Menurutnya, emansipasi mensyarakatan adanya kemustahilan. Dan realisme―karena tulisannya adalah tanggapan atas buku Martin, maka saya anggap yang dimaksud realisme oleh Al-Fayyadl adalah realisme Marxis―tidaklah memadai bagi emansipasi. Dalam tulisan ini, saya tidak akan memproblematisir interpretasi Al-Fayyadl atas Derrida, karena saya tidak menguasai pemikiran Derrida. Yang hendak saya problematisir di sini adalah pendapat Al-Fayyadl soal emansipasi yang mensyaratkan kemustahilan dan tidak memadainya realisme.
Realisme dan Emansipasi
Sekarang, mari kita lihat argumen Al-Fayyadl. Ada setidaknya dua argumen yang digunakan oleh Al-Fayyadl untuk membuktikan kenapa emansipasi mensyaratkan kemustahilan. Yang pertama adalah karena ada ‘kemungkinan bahwa perjuangan itu gagal’ dan yang kedua terkait dengan ‘realitas objektif yang riil.’ Kita akan mulai dari yang pertama. Pernyataan Al-Fayyadl adalah demikian, ‘agar perjuangan itu bermakna…maka di lapangan ia harus menghadapi…kemungkinan bahwa perjuangan itu gagal, karena ketidakmungkinan menghadapi musuh yang dihadapi.’ Ada ’akrobat logika’ di sini. Kalau premisnya adalah menghadapi musuh itu merupakan kemustahilan, maka bagaimana mungkin kegagalan perjuangan itu masih berupa kemungkinan?
Konsekuensi logis dari kemustahilan menghadapi musuh bukanlah kemungkinan kegagalan perjuangan, tapi keniscayaan kegagalan perjuangan. Dan karena niscaya gagal, lantas perjuangan tidak ada maknanya, kecuali bagi orang yang menggandrungi kegagalan. Sekarang, bagaiman kalau yang kita jadikan premis adalah ’kemungkinan kegagalan perjuangan?’ Sederhana saja, kalau kegagalan perjuangan masih berupa kemungkinan, itu berarti ada juga kemungkinan untuk tidak gagal atau berhasil. Artinya, musuh bukan mustahil untuk dihadapi, tetapi mungkin untuk dihadapi. Dan karena musuh mungkin untuk dihadapi dan dikalahkan, maka perjuangan jadi bermakna. Yang diperlukan untuk meminimalisir resiko kekalahan dan memperbesar peluang keberhasilan adalah sains yang realis, bukan gagasan obskurantis tentang kemustahilan.
Sekarang, mari kita beralih ke argumen Al-Fayyadl yang mengaitkan kemustahilan dengan realitas objektif. Di argumen ini, tercakup pula kritiknya atas realisme yang dianggapnya tidak memadai. Dalam salah satu paragraf, ia mengritik realisme sebagai tidak emansipatif, karena ‘hanya mencukupkan diri pada apa yang obyektif di depan mata,’ sementara emansipasi mensyaratkan ‘sesuatu yang mustahil, yang tidak mungkin, dan paling tidak masuk akal, dilihat dari realitas objektif yang riil.’ Dalam paragraf lain, ia mengritik realisme lebih jauh. Menurutnya, realisme berkonsekuensi logis pada reformisme. ‘Bila orang berhenti pada kondisi riil yang objektif saja, orang akan menjadi realis,’ tetapi ‘Realisme ini hanya akan menjadi suatu kepuasan atas penyelesaian-penyelesaian jangka pendek, konsesi-konsesi yang justru oleh kekuatan yang dominan diberikan untuk melumpuhkan perlawanan.’
Dari pernyataannya, kita bisa lihat bahwa Al-Fayyadl menganggap realitas objektif tidak mengandung unsur emansipatif di dalam dirinya. Oleh sebab itu, emansipasi mensyaratkan sesuatu di luar realitas objektif, yang kalau dilihat dari realitas objektif itu, merupakan suatu kemustahilan. Dengan kata lain, kemustahilan diperlukan karena tidak ada unsur emansipatif dalam realitas objektif. Artinya, kalau unsur emansipatif itu ada dalam realitas objektif, maka kemustahilan menjadi tidak diperlukan. Dan persis seperti itulah gagasan emansipasi Marxis. Dalam realisme dialektis Marxis, realitas sosial objektif selalu mengandung afirmasi sekaligus negasi atas dirinya.[2] Unsur emansipasi, dengan demikian, ada dalam realitas objektif, tepatnya pada aspek-aspek dari realitas objektif yang menegasi realitas objektif itu sendiri. Karenanya, yang diperlukan bukanlah kemustahilan, tetapi dialektika antara sains yang realis dengan praxis untuk mengidentifikasi sekaligus ‘meradikalisasi’ aspek-aspek emansipatif itu.
Proyek Emansipasi Marxis: Sosialisme
Agar bisa dibayangkan secara lebih kongkrit, mari kita bahas secara singkat bagaimana realisme Marxis merumuskan proyek emansipasi dari kapitalisme. Sebelum kapitalisme muncul, ‘industri’ yang ada hanya berupa bengkel-bengkel berskala kecil, seperti pandai besi desa, yang pekerjanya hanya si pandai besi dengan beberapa orang asistennya. Di antara bengkel-bengkel ini, ada yang saling berjaringan dengan seorang pedagang sebagai koordinator atau perantara sekaligus penyedia bahan baku.[3] Lalu, muncul kapitalisme yang mengonsentrasikan alat-alat produksi yang tersebar ini di bawah kepemilikan pribadi segelintir orang yang menjadi kelas kapitalis. Konsekuensinya, sebagian besar anggota masyarakat menjadi tidak memiliki alat-alat produksi, sehingga untuk bertahan hidup, mereka harus menjual tenaga kerja mereka kepada kelas kapitalis. Mereka inilah kelas proletariat modern.
Jadi, kapitalisme telah mengonsentrasikan alat-alat produksi dan tenaga kerja di bawah kelas borjuasi. Produksi tidak lagi dilakukan di bengkel-bengkel kecil, tetapi di pabrik-pabrik dengan jumlah pekerja yang banyak dan pembagian kerja yang rinci. Lalu, muncul alat-alat produksi berwatak sosial, seperti mesin-mesin yang hanya bisa dioperasikan oleh sejumlah orang―tidak bisa hanya oleh satu-dua orang. Apa yang tercipta di sini adalah produksi yang tersosialisasi. Sebuah produk tidak lagi bisa dikatakan sebagai hasil kerja individual, karena merupakan hasil kerja bersama.[4] Implikasi dari produksi yang tersosialisasi dan termekanisasi ini adalah meningkatnya produktivitas dan dimungkinkannya produksi berskala massal. Namun, karena yang memiliki alat-alat produksi adalah si kelas borjuasi, kerja bersama ini ditujukan untuk kepentingan si kelas borjuasi. Di sini, kita dapatkan kontradiksi pokok dari kapitalisme, yaitu kontradiksi antara produksi yang tersosialisasi dengan modus apropriasi yang bersifat pribadi.
Sekarang, apa kepentingan kelas borjuasi? Jawabannya adalah mengejar laba. Tetapi, dari mana asal laba itu? Menurut Marx, laba berasal dari proses produksi. Di atas tadi sudah disebutkan bahwa si proletariat, untuk bertahan hidup, harus menjual tenaga kerjanya kepada si borjuasi. Di sini, tenaga kerja menjadi komoditi yang diperjualbelikan. Si borjuasi lalu membayar upah yang sebenarnya adalah harga dari tenaga kerja si proletariat. Karena harga komoditi mencerminkan nilai yang terkandung dalam komoditi tersebut, maka upah mencerminkan nilai yang terkandung dalam tenaga kerja si proletariat. Namun, berbeda dengan komoditi pada umumnya, tenaga kerja adalah komoditi unik yang menciptakan nilai, yang terkandung dalam produk jadi. Si borjuasi memang membayar nilai yang terkandung dalam tenaga kerja, tetapi mengapropriasi nilai yang diciptakan oleh tenaga kerja dan terkandung dalam produk jadi. Inilah asal-usul laba, yakni penghisapan nilai surplus.
Kendati diapropriasi dalam proses produksi, nilai surplus hanya bisa direalisasikan menjadi laba dengan penjualan komoditi di pasar. Di sini, kita temukan kontradiksi lain dari kapitalisme. Kalau di tingkat unit produksi atau perusahaan, terdapat produksi yang terorganisir dan terencana, maka di tingkat masyarakat, berbagai unit produksi yang ada diikat oleh pasar yang penuh dengan persaingan. Jadi, terdapat kontradiksi antara organisasi produksi dalam unit-unit produksi individual dengan persaingan antar unit produksi di tingkat masyarakat secara keseluruhan. Karena tekanan persaingan, tiap individu borjuasi harus selalu berupaya menjual komoditinya dengan harga lebih murah dari para pesaingnya. Oleh sebab itu, mereka harus selalu berupaya menekan ongkos produksi untuk tetap mendapatkan laba. Cara yang mereka tempuh adalah dengan meningkatkan pembagian kerja dan mekanisasi agar mereka bisa memproduksi lebih banyak komoditi dengan ongkos produksi lebih murah per satu unit komoditi.[5]
Cara ini punya dampak tersendiri terhadap kelas proletariat. Pertama-tama, peningkatan pembagian kerja dan mekanisasi berimplikasi pada semakin mudahnya pekerjaan, sehingga semakin banyak orang yang bisa melakukannya. Akibatnya, persaingan antar pekerja pun meningkat. Lalu, ada pula pekerjaan yang tidak lagi membutuhkan manusia, karena bisa dilakukan sepenuhnya oleh mesin. Ini berarti meningkatnya pengangguran dan juga persaingan antar pekerja―karena semakin banyak penganggur yang memperebutkan semakin sedikit pekerjaan. Semakin tingginya persaingan ini kemudian mendorong upah menjadi semakin murah. Semakin mudahnya pekerjaan juga mendorong ongkos reproduksi tenaga kerja menjadi semakin murah. Namun, dengan semakin murahnya upah, laba borjuasi semakin meningkat.[6] Di sini, kita dapatkan lagi satu kontradiksi dari kapitalisme, yaitu kontradiksi antara kelas proletariat dengan borjuasi.
Di atas, kita bisa lihat bagaimana kelas borjuasi menggunakan produksi yang tersosialisasi, termekanisasi dan terorganisir untuk memajukan kepentingan mereka serta bersaing di pasar dengan sesama mereka. Dampaknya adalah melimpahnya komoditi dan menyusutnya pasar. Penurunan upah juga semakin menyusutkan pasar, karena kelas proletariat adalah bagian terbesar dari pasar si kelas borjuasi. Terjadilah krisis over-produksi atau konsumsi-kurang. Kelas borjuasi berusaha mengendalikan situasi dengan membentuk kartel, mengeluarkan kredit konsumsi, dan sebagainya. Tetapi, serangan juga terjadi di jantung produksi kapitalis. Peningkatan mekanisasi yang tidak sebanding dengan tenaga kerja juga berarti peningkatan investasi yang tidak sebanding dengan nilai surplus. Terjadi gap yang semakin besar antara investasi dengan nilai surplus, yang memuncak dalam krisis jatuhnya tingkat laba. Jika ini yang terjadi, kelas borjuasi harus menghancurkan alat-alat produksi yang sudah membawanya sejauh ini.
Sekarang mari kita tarik paparan di atas ke persoalan emansipasi. Kontradiksi antara produksi yang tersosialisasi, terorganisir dan termekanisasi dengan kepentingan pengejaran laba dan pasar sejatinya adalah kontradiksi antara aspek-aspek emansipatif dengan aspek-aspek afirmatif dari kapitalisme. Rumusan emansipasi Marxis dari kapitalisme berangkat dari realitas objektif yang seperti ini dan bukan dari sebuah abstraksi tentang kemustahilan. Yang harus dilakukan adalah menghancurkan aspek-aspek afirmatif dari kapitalisme seraya menegaskan aspek-aspek emansipatifnya. Ini berarti meletakkan produksi yang tersosialisasi dan termekanisasi itu di bawah modus apropriasi yang bersifat publik dan terorganisir. Dengan kata lain, produksi yang diorganisir oleh publik (bukan pasar) dan untuk kepentingan publik (bukan borjuasi). Produksi yang seperti ini mensyaratkan kepemilikan publik atas alat-alat produksi. Proyek emansipasi ini biasa disebut dengan: sosialisme.
Jadi, kapitalisme sudah berisikan kemungkinan transformatif di dalam dirinya. Kemungkinan ini tampil ke permukaan dalam bentuk krisis. Tetapi, kemungkinan bukan keniscayaan, dan kapitalisme tidak akan secara otomatis mentransformasikan dirinya menjadi sosialisme. Kapitalisme juga memiliki mekanisme kontra-krisis yang mewujud dalam tindakan kelas borjuasi, seperti penghancuran alat-alat produksi melalui perang untuk mengatasi krisis jatuhnya tingkat keuntungan. Dengan demikian, proyek sosialisme memerlukan agensinya―yang juga merupakan aspek emansipatif dari kapitalisme. Dan satu-satunya lapisan sosial yang sanggup mengemban tugas ini adalah kelas proletariat, karena hanya kelas inilah yang berkontradiksi sekaligus memiliki relasi saling mensyaratkan dengan kapital. Kapital tidak bisa hidup tanpa penghisapan proletariat dan proletariat akan berhenti menjadi proletariat ketika kapital tidak ada.
Penutup
Paparan di atas hanya sketsa umum tentang realitas objektif kapitalisme dan kemungkinan emansipasi yang dikondisikan olehnya. Untuk menurunkan proyek sosialisme ke dalam program politik, tentu diperlukan analisa terhadap realitas kapitalisme yang spesifik di negara yang bersangkutan. Kapitalisme tidak berkembang secara sama dan merata di semua tempat. Ada perbedaan-perbedaan yang disebabkan oleh situasi sosial-historis yang spesifik di berbagai negeri yang berbeda.
Tetapi, ada satu kesimpulan umum yang bisa ditarik dari pembahasan di atas. Bahwa emansipasi tidak mensyaratkan abstraksi tentang kemustahilan. Sebaliknya, rumusan emansipasi Marxis berangkat dari realitas sosial objektif yang selalu mengandung afirmasi sekaligus negasi atas dirinya. Dan realitas objektif ini bisa diakses dengan dialektika antara sains yang realis dengan praxis.***
Mohamad Zaki Hussein, Anggota Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP). Penulis beredar di Twitterland dengan id @mzakih
[1] Muhammad Al-Fayyadl, “Bergerak dari Titik Perbatasan: Perihal Dekonstruksi dan Yang Nyata, IndoProgress, 5 September 2012, https://indoprogress.com/2012/09/05/bergerak-dari-titik-perbatasan-perihal-dekonstruksi-dan-yang-nyata.
[2] Dalam postface untuk edisi kedua Capital Jilid I, Marx menyatakan bahwa dialektika “dalam pemahaman positifnya atas apa yang ada, tercakup pula pengakuan atas negasi dari apa yang ada itu, kehancurannya yang tak terelakkan.” (“…includes in its positive understanding of what exists a simultaneous recognition of its negation, its inevitable destruction”). Lihat Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, Volume I, diterjemahkan oleh Ben Fowkes (Middlesex: Penguin Books, 1976), hlm. 103.
[3] Lihat Fernand Braudel, Civilization and Capitalism 15th-18th Century: The Wheels of Commerce, Jilid II, diterjemahkan oleh Siân Reynolds (London: Book Club Associates dan William Collins & Co, 1983), hlm. 298-300.
[4] Lihat Frederick Engels, “Socialism: Utopian and Scientific,” dalam Karl Marx dan Frederick Engels, Collected Works, Jilid 24 (New York: International Publishers, 1989), hlm. 308.
[5] Lihat Karl Marx, “Wage-Labour and Capital,” dalam Karl Marx, Wage-Labour and Capital & Value, Price and Profit (New York: International Publishers, 1976), hlm. 40-41.
[6] Lihat ibid., hlm. 44-47.