Tendensi Jatuhnya Tingkat Keuntungan dalam Krisis Kapitalisme Kontemporer

Print Friendly, PDF & Email

Judul Buku: The Failure of Capitalist Production: Underlying Causes of the Great Recession
Penulis: Andrew Kliman
Penerbit: Pluto Press
Tahun: 2011
Halaman: viii-240

NARASI konvensional, khususnya di kalangan teoritisi Kiri mengenai krisis kapitalisme yang terjadi sekarang, melihat krisis kapitalisme sebagai peristiwa khas dalam bentuknya yang ‘neoliberal.’ ‘Neoliberal’ dalam arti keunikan serta kekhususan bentuk relasi ekonomi politiknya yang belum pernah ada  presedennya dalam pengalaman kapitalisme sebelumnya. Dalam narasi konvensional ini, krisis disebabkan oleh finansialisasi ekonomi yang menyebabkan terjadinya kegagalan dalam pengembalian tingkat akumulasi. Finansialisasi mendorong perusahaan untuk menginvestasikan banyak porsi dari keuntungannya dalam instrumen finansial, dan hanya porsi yang lebih kecil yang digunakan untuk modal aset produktif (mesin-mesin, pabrik, dll) yang merupakan kontributor utama dari pertumbuhan ekonomi yang ‘nyata.’ Hasilnya, pertumbuhan ekonomi lebih lemah jika dibandingkan dengan pertumbuhan pada dekade-dekade awal pasca Perang Dunia II, dan faktor ini, bersamaan dengan terjadinya penambahan pinjaman, yang mendorong rakyat pekerja untuk mempertahankan standar hidup keseharian walau pendapatan mereka mengalami penurunan. Masalah hutang ini, dan fenomena-fenomena lain yang dimunculkan dari finansialisasi, disimpulkan sebagai penyebab yang mendasari krisis ekonomi sekarang.[1]

Dice Man by Nobodycorp.

Walau terdapat kebenaran dalam narasi ini, bukan berarti narasi ini benar secara keseluruhan. Pertanyaan yang muncul dari narasi konvensional ini adalah, ‘apakah krisis kapitalisme yang terjadi sekarang adalah benar-benar baru?’ Pertanyaan inilah yang coba dijawab Kliman dalam bukunya ini. Posisi utama Kliman dalam bukunya ini adalah mencoba menganalisa krisis dari pendekatan utama Marx dalam Capital, yakni ‘tendensi jatuhnya tingkat keuntungan.’ Dalam perspektif ini, krisis kapitalisme adalah selalu mengenai kegagalan di aras produksi, dimana dorongan untuk melakukan mekanisasi melalui perubahan teknik untuk memacu peningkatan produktivitas kerja buruh, atau dalam istilah Marx sebagai peningkatan rasio antara kapital konstan (mesin, bahan baku, energi, dll) terhadap kapital variabel (upah, kompensasi, dll), menyebabkan terjadinya penurunan atas tingkat keuntungan. Menurut Kliman, banyak penjelasan dari kalangan Kiri Konvensional tentang krisis kapitalisme tidak kongruen dengan data empirik yang ada secara faktual (hal. 7). Perspektif tendensi jatuhnya tingkat keuntungan justru memiliki fondasi penjelasan yang paling ilmiah dibandingkan dengan yang lain, karena kemampuannya untuk menganalisa data-data yang ada. Tidak heran jika buku Kliman ini lebih bersifat empirik ketimbang sebagai karya teoritis.[2]

Tesis utama Kliman, krisis kapitalisme yang terjadi sekarang ini harus dilihat secara, ‘jangka panjang, (dengan) kondisi mendasar yang memungkinkan krisis finansial memicu resesi yang panjang dan dalam..’ (hal. 7). Oleh karena itu, krisis kapitalisme yang terjadi sekarang, menurut Kliman, harus dilihat pada ‘tidak pernah pulihnya ekonomi dari resesi pertengahan 1970an dan awal 1980an, (dimana) terus-menerus terjadi pelemahan kondisi produksi kapitalis…’ (hal. 2). Tidak heran jika posisi Kliman mengenai krisis kapitalisme sekarang adalah mengenai kegagalan aras produksi untuk mengembalikan tingkat keuntungan di masa lampau, yang secara historis biasa dilakukan oleh para kapitalis melalui penghancuran kapital (destruction of capital) baik secara literal melalui penghancuran aset produktif perusahaan sampai dengan penggunaan perang sebagai penghancuran kapital secara besar-besaran. Penghancuran kapital, menurut Kliman, sangat penting bagi pengembalian tingkat keuntungan karena proses ini akan menghilangkan nilai (dalam termin Marxian yang ketat)[3] yang dalam kapitalisme memberikan momen lain bagi terjadinya pertumbuhan ekonomi yang baru dan lebih tinggi. Kegagalan bagi terjadinya penghancuran kapital di tahun 1970an, membuat kapitalisme harus menemukan cara lain untuk meningkatkan akumulasinya yang secara nyata dimunculkan melalui proses finansialisasi. Imbas dari akumulasi kapitalisme melalui finansialisasi adalah tingkat keuntungan yang terjadi relatif tidak lebih tinggi jika dibandingkan pada masa sebelum 1970an. Hal inilah yang membuat krisis kapitalisme yang terjadi sekarang ini menjadi lebih akut sekaligus lebih dalam.

Tendensi Jatuhnya Tingkat Keuntungan: Sebuah Kajian Empirik

Inti argumen dari tendensi jatuhnya tingkat keuntungan dalam melihat krisis adalah determinasi profitabilitas terhadap dinamika kapitalisme. Dalam kapitalisme, profitabilitas adalah hasil dari perkembangan produksi kapitalis itu sendiri, dimana dalam rangka meningkatkan produktivitas, para kapitalis cenderung akan berupaya untuk menggantikan kuantitas pekerja dengan mesin-mesin. Dalam hal ini Marx menulis, ‘tendensi progresif bagi tingkat keuntungan untuk jatuh secara sederhana adalah ekspresi khusus dari modus produksi kapitalis, atas perkembangan progresif produktivitas sosial kerja.’[4]

Selaras dengan Marx, bagi Kliman, tendensi jatuhnya tingkat keuntungan dapat ditemukan dari analisa empirik atas data-data resmi yang tersedia.[5] Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, kegagalan kapitalis untuk melakukan penghancuran kapital pada tahun 1970an, adalah penyebab utama bagi permasalahan akumulasi yang muncul pada tahun-tahun setelahnya. Kegagalan untuk penghancuran kapital membuat kapitalisme harus menemukan modus akumulasi yang lain untuk memastikan bahwa keuntungan masih akan terus naik. Dalam hal inilah finansialisasi terjadi dalam epos kapitalisme kontemporer. Namun, proses ini, menurut Kliman, hanya menciptakan stagnasi relatif bagi kapitalisme karena pertumbuhan keuntungan yang ada tidak cukup signifikan bagi keseluruhan tingkat keuntungan kapitalisme itu sendiri. Dalam konteks inilah finansialisasi yang terjadi dalam epos kapitalisme sekarang memiliki imperatif yang tidak terelakkan, dimana proses akumulasinya memerlukan penggelembungan atas nilai aset ekonomi (bubbling economics).

Penghancuran kapital dalam pandangan Kliman dapat dilihat dalam dua fungsi. Fungsi yang pertama adalah sebagai respon dari krisis kapitalisme itu sendiri. Ketika krisis pecah, maka hal yang umum untuk terjadi adalah terjadinya penurunan harga aset produktif perusahaan. Ini bisa terjadi karena di masa krisis para kapitalis mengalami gagal bayar hutang yang membuat semua aset mereka harus diagunkan untuk membayar hutang tersebut. Penghancuran kapital dalam bentuk ini adalah untuk mengatasi masalah penurunan harga yang disebabkan oleh beban hutang yang menumpuk. Sedang fungsi yang kedua, penghancuran kapital adalah faktor yang krusial bagi pulihnya kapitalisme karena mengembalikan profitabilitas. Kliman juga mencatat bahwa penghancuran kapital menjadi prakondisi yang penting untuk terjadinya booming kapitalisme baru dan lebih tinggi dari fase sebelumnya (hal. 25).

Terkait dengan krisis yang terjadi sekarang, dalam pandangan Kliman, ‘ekonomi gelembung’ adalah indikator dari adanya masalah kunci dalam memahaminya. Pada periode 1982 dan sampai dengan krisis sekarang, tingkat keuntungan tidak mengalami kenaikan. Tingkat keuntungan pendapatan aset (income-property) terus menerus turun; satu-satunya pengecualian signifikan terhadap tren umum ini adalah adanya peningkatan tajam namun sementara yang disebabkan oleh gelembung harga aset yang menyebabkan krisis. Keuntungan sebelum pajak juga lebih rendah sepanjang 2001 dibanding 1982. Antara 1982 dan 2001, tingkat keuntungan pendapatan-aset jatuh sampai dengan 26.9 persen, dan tingkat keuntungan sebelum pajak jatuh sampai 26.3 persen (hal. 77).

Grafik 1

 

Masalah akumulasi juga dapat ditemukan pada tingkat keuntungan investasi asing AS. Kliman menemukan bahwa dari tahun 1982 sampai dengan 2007, tingkat keuntungan investasi luar negeri cenderung mengalami persentase penurunan sebesar  0.13 persen tiap tahunnya. Kliman juga mencatat antara 1982-2007, 86 persen dari seluruh perusahaan asing milik AS yang berinvestasi di 20 negara, tingkat keuntungan perusahaannya mengalami penurunan di 18 negara. Semenjak banyak dari negara-negara tersebut adalah negara berkembang, hal ini tidak terkait sama sekali dengan kenaikan upah sebagai penyebab utama dari tren turunnya tingkat keuntungan investasi.

Yang menarik untuk diperhatikan dari temuan Kliman, adalah apa yang membuat data-data Kliman bisa berbeda dengan data-data yang dikemukakan oleh kalangan kiri konvensional yang berbicara mengenai krisis? Di sini, menurut saya, Kliman mengajukan posisi metodologis yang lain jika dibandingkan dengan teoritisi-teoritisi krisis lainnya. Kunci dari pembedaan metodologis terletak pada bagaimana mengukur keuntungan itu sendiri. Banyak teoritisi yang mencoba untuk menganalisa keuntungan menggunakan current-cost (biaya-sekarang) dalam melakukan penilaian atas tingkat keuntungan. Current-cost dalam arti nilai pembukuan yang diukur saat ini. Namun, menurut Kliman, penggunaan current-cost dianggap tidak sesuai dengan tingkat keuntungan itu sendiri, karena current-cost bukanlah sesuatu yang dicari oleh kapitalis untuk dimaksimalisasi. Para kapitalis mendasarkan keputusan investasi mereka pada perhitungan  keuntungan seperti nilai bersih sekarang (net present value) dan tingkat pengembalian internal (internal rates of return). Current-cost dapat digunakan untuk menghitung harga sekarang untuk menilai pengeluaran investasi, tapi tidak dapat digunakan untuk menghitung harga di masa depan untuk menilai pendapatan masa depan. Konsekuensinya, current-cost bukanlah indikator perhitungan yang akurat terhadap tingkat keuntungan yang diharapkan para kapitalis untuk dimaksimalisasi di masa depan. Current-cost juga tidak dapat digunakan untuk menghitung tingkat pengembalian aktual atau keuntungan para kapitalis sebagai sebuah persentasi atas besaran modal orisinil (harga awal dari modal itu sendiri, red)  yang diinvestasikan.

Bagi Kliman, cara perhitungan yang tepat untuk melihat tingkat keuntungan adalah dengan menggunakan historical-cost sebagai unit perhitungan. Historical-cost adalah besaran uang yang secara aktual diinvestasikan di masa lampau dalam rangka membeli aset modal (hal. 109). dalam perhitungan historical-cost, perubahan dalam saham netto (yaitu modal yang diinvestasikan) dari akhir tahun pertama sampai dengan selanjutnya sama dengan investasi dikurangi depresiasi (penyusutan). Hubungan ini tidak dapat digunakan pada perhitungan current-cost, karena indeks harga akhir tahun digunakan untuk perkiraan menilai ulang saham netto pada harga tiap tahun (hal. 112).

Perbedaan posisi metodologis ini membuat Kliman memiliki kesimpulan sendiri mengenai alasan jatuhnya tingkat keuntungan yang merupakan fondasi bagi krisis kapitalisme sekarang. Menurut Kliman, revolusi teknologi informasi telah mendorong terjadinya depresiasi  yang berimplikasi pada keuntungan dan tingkat keuntungan. Hal ini mendorong pada terjadinya penghancuran signifikan atas kapital selama beberapa dekade belakangan. Marx menyebut fenomena ini sebagai ‘depresiasi moral atas nilai,’ dimana aset-aset produksi yang ada kehilangan ‘nilai tukar’ baik karena mesin diproduksi semakin murah atau karena mesin yang lebih baik berkompetisi dengan mesin yang sudah ada. Merujuk pada makalah Tevlin dan Whelan tahun 2003, Kliman menunjukkan bahwa peningkatan penggunaan komputer dalam rangka peningkatan komputerisasi dan mekanisasi, merupakan sumber utama dari peningkatan tingkat depresiasi aset tetap selama tahun 1990. Jika penggunaan komputer dikeluarkan, tingkat depresiasi yang diperkirakan berkisar pada gerak yang lambat dan sedang sepanjang waktu. Dengan kata lain, kemajuan teknologi menyebabkan terjadinya penurunan keuntungan yang kemudian mengondisikan terjadinya krisis itu sendiri. Kemajuan teknologi menyebabkan terjadinya depresiasi atas nilai alat-alat produksi itu sendiri.

Grafik  Tingkat Depresiasi Perusahaan Amerika Serikat 1947-2007

Grafik 2

Kesimpulan Kliman dengan demikian menyangkal posisi teoritik  konsumsi-kurang (underconsumption) yang banyak diterima oleh para ekonom Marxis. Menurut Kliman, kalangan konsumsi-kurang melihat sebab krisis pada masalah disparitas upah antar kelas-kelas sosial yang berimplikasi pada kurangnya permintaan konsumsi (demand side). Kurangnya permintaan ini dapat dilihat pada stagnasi, bahkan turunnya upah pekerja dalam beberapa dekade belakangan. Rendahnya daya beli pekerja membuat pekerja harus tergantung pada hutang yang biasa disediakan oleh lembaga keuangan yang ada. Di sinilah kemudian akar dari finansialisasi yang kemudian berujung pada krisis. Akan tetapi, menurut Kliman, analisa seperti ini cenderung mengabaikan banyak fakta lainnya. Misalnya,  tingkat upah pekerja, dalam pandangan Kliman, tidak cukup hanya dihitung berdasarkan pada besaran upah yang dibawa ke rumah tiap bulan (take home pay), tapi juga harus memperhatikan kompensasi pekerja lainnya yang juga merupakan bagian dari reproduksi pekerja itu sendiri. Tidak heran jika bagi Kliman, upah riil (upah beserta seluruh kompensasi pekerja) mengalami kenaikan yang relatif tinggi selama beberapa dekade belakangan (hal. 154).

Grafik 3

Apa yang secara eksplisit hendak dilawan oleh Kliman melalui analisanya ini, bahwa perlawanan atas kapitalisme adalah selalu merupakan perlawanan terhadap relasi produksi itu sendiri. Kalangan konsumsi-kurang cenderung memoderasi jawaban atas krisis dengan pengajuan suatu kebijakan negara yang redistributif beserta dengan kebijakan-kebijakan lain yang menyertainya (hal. 154). Menurut Kliman, hal ini justru tidak akan menyelesaikan permasalahan utamanya bahwa krisis kapitalisme merupakan konsekuensi dari pengorganisiran relasi kerja tertentu yang membutuhkan intervensi politik negara yang lebih luas dibandingkan hanya sebatas redistribusi dari hasil surplus produksi itu sendiri.

Kapitalisme Neoliberal: Akumulasi Melalui Perampasan atau Akumulasi Kapital?

Analisa Kliman dalam buku ini merupakan kontribusi yang sangat penting dalam memahami krisis kapitalisme sekarang. Analisa ini, menurut saya, menyasar langsung ke masalah struktural dari kapitalisme, dimana relasi produksi adalah kunci utama dalam memahami dinamika kapitalisme dan krisis yang menyertainya. Suatu hal yang seringkali diabaikan oleh beberapa ekonom Marxian itu sendiri dengan alibi ‘terlalu deterministik.’

Walau begitu, ada satu posisi penting dari temuan Kliman yang krusial untuk dielaborasi serta didiskusikan lebih lanjut, yakni mengenai peranan penting dari penghancuran kapital sebagai bagian dari siklus hidup kapitalisme itu sendiri. Tesis Kliman mengenai penghancuran kapital dalam kaitannya dengan krisis kapitalisme sekarang adalah jelas, bahwa dalam dekade 1970an kapitalisme gagal untuk menghancurkan secara masif kekuatan produksinya sendiri. Hal ini membuat dinamika kapitalisme pasca 1970an (atau lebih tepatnya kapitalisme neoliberal) merupakan kapitalisme yang ‘lama dan sama,’ dengan penekanan kapitalisme harus melakukan penghancuran alat produksi tertentu dalam rangka merestorasi lebih tinggi tingkat keuntungan  yang sudah ada.

Argumentasi ini, menurut saya, memberi kita alternatif selain dari perspektif yang sekarang menjadi tren di kalangan kajian ekonomi-politik Marxis  mengenai ‘akumulasi melalui perampasan’ (accumulation by dispossesion), yang dipopulerkan oleh geografer Marxis David Harvey. Proposisi utama dari akumulasi melalui perampasan adalah kapitalisme dengan tendensi internal akumulasi-berlebih (over-accumulation), yang merupakan penyebab dari krisis, memerlukan mekanisme akumulasi sumber daya yang berada di luar relasi kapitalisme. David Harvey, proponen utama dari termin ini, melihat bahwa akumulasi melalui perampasan adalah mekanisme akumulasi yang bersifat kontingen dan sementara. Tidak heran jika fitur utama dari akumulasi melalui perampasan adalah penggunaan faktor-faktor non ekonomi dalam proses akumulasinya. Harvey menulis, ‘Akses ke input yang lebih murah, karena itu, sama pentingnya dengan memperluas akses ke pasar dalam menjaga peluang yang menguntungkan terbuka. Implikasinya adalah bahwa wilayah non-kapitalis harus dipaksa terbuka tidak hanya untuk perdagangan (yang bisa membantu) tetapi juga untuk mendorong modal berinvestasi dalam usaha yang menguntungkan dengan menggunakan tenaga kerja murah, bahan baku, biaya tanah yang rendah, dan sejenisnya.’[6]

Walau begitu, saya mencatat terdapat beberapa kelemahan konseptual dari proses akumulasi melalui perampasan sebagai potret utama dari kapitaslime neoliberal sekarang ini. Menurut Ben Fine dalam artikelnya, Debating the ‘New Imperialism’,[7] termin ini tidak memiliki batasan teoritis yang jelas. Itu, misalnya, dapat dilihat pada terlalu luas dan ekspansifnya termin ini karena setiap proses akumulasi selalu dilihat sebagai akumulasi melalui perampasan. Dari proses ‘akuisisi dan merger’ perusahaan, penurunan upah pekerja, bahkan sampai dengan pengambilalihan tanah secara massif oleh korporasi multinasional, dilihat sebagai manifestasi dari akumulasi melalui perampasan karena proses-proses tersebut memerlukan aktivitas ekstra-ekonomi dalam realisasinya. Padahal proses akuisisi dan merger perusahaan dan juga penurunan upah pekerja adalah bagian yang biasa dilakukan dalam logika ekonomi kapitalis dalam rangka perluasan dan sentralisasi nilai-lebih.  Selain itu, akumulasi melalui perampasan juga problematik ketika membagi spasialitas teritorial kapitalisme menjadi internal dan eksternal, yang konsekuensinya adalah termin ini mengasumsikan terdapat teritori non-kapitalis di tengah universalisasi kapitalisme sekarang. Suatu kesimpulan, yang menurut saya, absurd semenjak universalisasi kapitalisme sekarang ini serupa dengan udara yang kita hirup saat ini.

Untuk mengatasi problem tersebut, menurut saya, konsep penghancuran kapital memberikan posisi teoritis yang lebih baik sekaligus lebih jelas dalam memahami kapitalisme neoliberal sekarang. Konsep penghancuran kapital berarti menyimpulkan bahwa proses akumulasi kapital yang terjadi sekarang memang mensyaratkan terjadinya penghancuran akan kekuatan produksi yang sudah ada sebelumnya, yang mana seringkali prosesnya mensyaratkan adanya penggunaan koersi sebelum akumulasi dimungkinkan. Hal ini penting karena tingkat keuntungan tidak benar-benar pulih di masa lampau karena proses penghancuran kapital tidak terjadi secara masif. Hal ini kemudian, dalam pandangan saya, membuat proses akumulasi kapital dalam epos kapitalisme neoliberal memerlukan secara bersamaan proses penghancuran kapital atas kapital yang sudah ada sebelumnya. Semua dilakukan dalam rangka mendorong tingkat keuntungan yang lebih tinggi sekaligus untuk menciptakan booming baru. Namun sebagaimana yang telah dikemukakan Kliman, proses ini tidak benar-benar mampu untuk menyelesaikan masalah utama dari kapitalisme itu sendiri karena tingkat keuntungan tidak benar-benar pulih pasca 1970an. Tidak heran jika krisis kapitalisme sekarang sifatnya lebih dalam dan akut karena krisis sekarang juga ‘mengemban beban’ kegagalan pemulihan profitabilitas pada krisis era 1970an.

Penutup

Buku Andrew Kliman ini adalah buku yang sangat penting untuk dibaca bagi mereka yang membutuhkan penjelasan mengenai bagaimana relasi produksi sangat memegang peranan penting dalam dinamika kapitalisme sekarang, serta krisis yang menyertainya. Kekayaan analisa empirik buku Kliman juga memberikan kontribusi penting bagi siapapun yang tertarik dengan pendekatan riset Marxian, dalam hal bagaimana melakukan operasionalisasi konseptual atas kategori-kategori Marxian. Kliman juga mampu menciptakan argumen yang jernih sekaligus provokatif mengenai krisis kapitalisme sekarang.

Walau begitu, buku ini masih sangat terbatas di beberapa aspek. Misalnya, pada aspek penggunaan data yang hanya berasal dari AS. Padahal salah satu karakteristik krisis sekarang adalah kuatnya dimensi global dalam problem krisis kapitalisme kontemporer. Selain itu, Kliman juga tidak memberi petunjuk apapun mengenai dinamika kapitalisme AS, selain kapitalisme AS yang masih berada dalam era ekonomi yang relatif stagnan. Suatu hal yang tidak dapat ditimpakan kesalahannya pada Kliman semata tentunya.

 

 

Bacaan Tambahan:

John Bellamy Foster and Fred Magdoff, The Great Financial Crisis: Causes and Consequences, New York: Monthly Review Press. 2009.

David Harvey, The New Imperialism. Oxford: Oxford University Press. 2005.

……………..,. Enigma of Capital and the Crises of Capitalism, Oxford; Oxford University Press. 2010.

Andrew Kliman, Reclaiming Marx’s “Capital”: A Refutation to the Myth of Inconsistency, Lanham: Lexingtong Books. 2007.

Karl Marx,  Capital: Critique of Political Economy, Vol. III, London: Penguin. 1991.

David McNally, Global Slump: The Economics and Politics of Crisis and Resistance, Oakland: PM Press. 2011.

 

Jurnal:

Ben Fine, Debating the ‘The New Imperialism’, dalam Historical Materialism vol 14 (2004), hal. 241-278

 


[1].  Untuk analisa-analisa krisis seperti ini bisa dilihat dalam David Harvey, Enigma of Capital and the Crises of Capitalism (Oxford; Oxford University Press, 2010); John Bellamy Foster and Fred Magdoff, The Great Financial Crisis: Causes and Consequences (New York: Monthly Review Press, 2009); dan David McNally, Global Slump: The Economics and Politics of Crisis and Resistance (Oakland: PM Press, 2011).

[2]. Mengenai karya yang lebih teoritis dari Kliman dapat dilihat dari buku sebelumnya Reclaiming Marx’s “Capital” dimana Kliman mencoba menjawab kritik beberapa posisi teori ekonomi (dari kritik Ludwig Bortkiewicz yang diamini oleh ekonom Marxian seperti Paul Sweezy, kritik Neo-Ricardian seperti Piero Sraffa dan Ian Steedman, sampai dengan kritik Marxian Nobuo Okishio dengan teorema Okishio-nya) bahwa teori nilai kerja Marx mengandung inkonsistensi karena tidak mampu memecahkan masalah transformasi dari nilai ke harga. Menurut Kliman argumentasi ini tidak tepat karena mereka mengasumsikan bahwa sistem produksi input sampai dengan output dilihat secara atemporal dan dalam dua sistem yang berbeda. Padahal, menurut Kliman, Marx berargumentasi bahwa transmisi input-output harus dilihat sebagai satu-sistem (single-system) secara temporal dimana nilai input tidak harus sama dengan nilai output. Di sini transformasi dari nilai ke harga pada output tergantung kepada agregat dari nilai tingkat keuntungan (atau rasio nilai-surplus terhadap kapital yang diinvestasikan). Dalam hal ini Kliman mengajukan satu posisi interpretasi atas Capital Marx yang disebut sebagai Temporal Single-System Interpretation (TSSI, Interpretasi Satu-Sistem yang Temporal). Lihat Andrew Kliman, Reclaiming Marx’s “Capital”: A Refutation to the Myth of Inconsistency (Lanham: Lexingtong Books, 2007)

[3] Nilai dalam pendekatan Marxian adalah apa yang terkandung dalam setiap komoditas. Nilai ini sendiri sifatnya kuantitatif karena diukur berdasar jumlah kerja atau jumlah rata-rata waktu kerja yang diperlukan secara sosial untuk memproduksi komoditas tersebut.

[4]. Karl Marx, Capital: Critique of Political Economy, Vol. III (London: Penguin, 1991) hal. 319.

[5]. Dalam hal ini adalah data-data yang berasal dari Biro Analisa Ekonomi (Bureaus of Economic Analysist, BEA) Amerika Serikat. Alasan utama Kliman mengapa AS yang dipiliha sebagai fokus kajian adalah karena krisis sekarang episentrumnya berada di AS. Dengan kata lain, analisa serius atas krisis ekonomi AS akan sangat membantu dalam memahami karakteristik krisis kapitalisme sekarang.

[6]   David Harvey, The New Imperialism (Oxford: Oxford University Press, 2005) Hal. 139

[7] Ben Fine, Debating the ‘The New Imperialism,’ dalam Historical Materialism vol 14 (2004), hal. 241-278

 

Muhammad Ridha, pemimpin redaksi Left Book Review (LBR) dan aktivis Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP). Penulis beredar di Twitterland dengan id @muh-ridha.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.