Kontemporalitas Idealisme Martin, atau Bagaimana Menjadi Materialisme-Dialektis tanpa Perlu Dialektis [Bagian I]

Print Friendly, PDF & Email

Resensi Buku:

Judul Buku : Materialisme Dialektis: Kajian Tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer
Penulis : Martin Suryajaya
Penerbit : Resist Book, Yogyakarta
Tahun : 2012
Halaman : xvi + 377

ADALAH menyedihkan, setidaknya bagi saya, bahwa suatu karya intelektual yang menakjubkan hanya berakhir pada pujian-pujian retoris dan salutasi kolegial (atau kamerad-ial) yang dangkal. Persis seperti buku Materialisme Dialektis yang ditulis Martin Suryajaya ini. Dimana-mana, entah di dunia nyata atau dunia virtual, saya jumpai salutasi-salutasi demikian. ‘Buku ini penting bagi perjuangan,’ ‘buku ini adalah capaian penting filsafat Indonesia,’ bla..bla.. Seakan-akan, karena merasa Marxis (atau Kiri), dan semenjak Martin terang-terangan mengedepankan Marx, maka apa yang disebutkan buku Martin adalah benar adanya tanpa yang bersangkutan perlu benar-benar mengerti maksud buku itu. Tidak ada salahnya dengan ini, bahkan setelah membaca buku ini pun saya bersepakat dengan komentar-komentar tersebut. Hanya saja menjadi amat disayangkan karena hal ini akan memperkecil kemungkinan engagement di jantung substansi pemikiran dalam buku tersebut. Apresiasi tertinggi terhadap suatu karya intelektual saya kira cuma satu: konfrontasi.

Mungkin ini sebabnya Martin, saat mengirimkan buku ini kepada saya melalui seorang kawan (Muhammad Ridha), ia berpesan, ‘mohon kritik sekasar-kasarnya!’ Artikel ini dengan demikian adalah upaya untuk memenuhi tantangan berat ini. (Disclaimer: ketimbang suatu ulasan komprehensif, saya lebih akan menekankan pada engagement terhadap poin-poin mendasar dari argumentasi Martin. Para pembaca, dengan demikian, diharapkan sudah membaca buku tersebut terlebih dahulu, atau berkonsultasi pada ulasan Muhammad Ridha, ‘Apa yang Harus (Tidak) Dilakukan? Sebuah Pembacaan Imbisil’[1])

Secara umum, saya akan bergulat dengan buku ini di tiga front: di ranah filosofis, di ranah teoritis, dan di ranah simptomatis—suatu ranah yang mungkin menjadi bahan tertawaan Martin. Dengan kata lain, saya akan mengelaborasi beberapa keberatan saya atas, sekaligus keterbatasan problematik dari, argumentasi/posisi filosofis Martin. Lalu saya akan tunjukkan bagaimana keberatan tersebut berimplikasi di refleksi teoritis Martin, terutama tentang, saya batasi dua saja, negara dan kerja imaterial. Namun demikian, tidak berhenti pada kubangan kritik ini, saya akan coba tunjukkan mengapa keterbatasan problematik tersebut mungkin untuk muncul, dan apa artinya itu bagi proyek dialektika-materialis (diamat) secara umum, dan diamat dalam medan problematik Martin secara khusus.

I. Idealisme Perancis?

Posisi pertama, bahkan yang utama dan menjadi fondasi argumentasi, Martin dalam memulai kritik bengisnya terhadap hampir seluruh pemikiran ‘kontemporer’—suatu kata yang dalam kosakata Martin mendapat konotasi negatif, adalah kritik atas apa yang ia sebut sebagai ‘idealisme Perancis’—pasca-strukturalisme, dst. Oleh karena sifat fondasional ini, saya akan berhenti cukup lama pada pembahasan ini. Dengan idealisme, Martin memaksudkan tentang pemikiran yang mengasumsikan secara ontologis akan ketidak-hadiran suatu realitas eksternal obyektif untuk menjadi suplemen bagi klaim filosofinya. Realitas, akhirnya, hanya merupakan proyeksi dari suatu ketidak-lengkapan (negativitas internal, lack) di sisi subyek—yang dipercayai sebagai yang-hadir. Yang ada (being) dengan demikian hanyalah jejak-jejak (trace) yang sang pemiliknya selalu tertunda (deferred). Ketidak-hadiran realitas obyektif tadi, sebagaimana ditunjukkan Martin, singkat cerita, menjadi semacam ‘anak haram’ yang malu-malu diakui oleh para idealis ini. Mengapa demikian? Karena satu-satunya kondisi yang memungkinkan seluruh filsafat idealis ini adalah asumsi akan absennya realitas obyektif. Kemalu-maluan untuk mengakui realitas obyektif ini pada akhirnya menjadi memalukan semenjak, sebagaimana Martin mempermalukan mereka, ‘[i]nilah kontradiksi internal idealisme Prancis alias pasca-strukturalisme. Ia menendang tangga tempat dirinya masih berpijak. […] mereka berupaya menghalau konsekuensi realis dari penyelesaian’ (10) Dua maskot filosofi seperti ini ada dua: Derrida dan Lacan.[2]

Dari posisi Lacanian yang (masih) saya kampanyekan, dan mungkin Martin sendiri akan heran, karena alih-alih menolak, malah saya sepakat dan mendukung kritik tersebut. Bahkan, saat ia memberi perhatian ‘khusus’ pada psikoanalisis Lacan di bukunya terdahulu, Alain Badiou dan Masa Depan Marxisme (begitu pentingnya sehingga ia mendedikasikan satu lampiran khusus untuk Lacan), alih-alih merasa terserang, saya malah menyambutnya dengan riang gembira. Dari posisi Lacanian saya, Martin membantu saya, dalam artian Stalinis, menyiangi Lacanian-Lacanian yang juga ingin saya perangi. Sehingga dalam hal anti-Lacanianisme ini, sebenarnya saya sepakat dengan Martin.

Namun demikian, saat Martin ingin, untuk menggunakan bahasanya sendiri, mengeksorsis Lacan secara keseluruhan, saya akan berkata: ‘eits, tunggu dulu bro!’ Penolakan total Martin akan Derrida dan Lacan di bab ‘Pendahuluan’ akan menjadi sah apabila yang dikritiknya adalah memang Derrida dan Lacan yang, menggunakan bahasanya lagi, ‘obyektif.’ Bagi saya, yang dikritik Martin sama sekali bukan Derrida dan Lacan! (Setidaknya, bukan yang menurut saya ‘obyektif’). Dan untuk klaim ini, berikut apa artinya ini bagi keseluruhan proyek intelektual-politik Martin, keseluruhan tulisan ini terstruktur. Ada dua alasan.

Pertama, problematisasi Martin terhadap idealisme saya kira cukup bermasalah. Problem idealisme bukan pada pengandaian malu-malu nan munafik atas realitas obyektif di luar sana yang independen terhadap relasi-internal (bdk. 8-9). Karena apabila dilakukan problematisasi seperti ini, maka kritik tersebut sebenarnya diam-diam malah mengandaikan secara munafik pula yang sebaliknya, yaitu keberadaan relasi-internal yang independen dari realitas obyektif tersebut. Klaim bahwa ‘[a]kan tetapi tidak sebaliknya, realisme tidak pernah mensyaratkan idealisme’ (9), (bisa jadi) berlaku di tataran ontologis, tapi belum tentu di tataran epistemologis (setidaknya dari penjelasan Martin, saya belum teryakinkan bahwa ia bisa; Martin hanya menandaskan bahwa ia harus). Sehingga dari standar klaim demikian, maka Martin tidak kalah idealisnya dari yang ingin ia kritik. Kritik Martin hanya menempati sisi seberang dari koin yang ingin ia buang.

Bahkan, saya rasa tidak sulit bagi para pembaca Derrida untuk segera menyadari bahwa kontur dan tekstur kritik Martin terhadap Derrideanisme dan Lacanianisme di bab ‘Pendahuluan’ adalah sangat Derridean, ketimbang dialektis-materialis (diamat)! Martin mulai dengan menunjukkan kontradiksi internal, lalu menunjukkan suplementaritas, dan dipungkasi dengan penjungkir-balikkan: Derridean par excellence! Hanya saja, apabila Derrida mendekonstruksi untuk menunjukkan kemustahilan, ketimbang menawarkan suatu konstruksi, maka Martin mendekonstruksi justru untuk mengkonstruksi. Pembacaan Martin terhadap Derrida yang terkesan sangat Derridean dan tidak diamat ini berimplikasi pada perlakukan differance Derridean secara ‘korelasionis’[3]! Martin tidak mampu (atau tidak mau?) melihat materialitas spesifik dari differance tersebut. Differance hanya dilihat dalam relasinya dengan realisme yang menghantuinya—dan senantiasa ingin ditolaknya. Differance dalam Martin, hanyalah apa yang bukan-differance. Dekonstruksi Derridean atas Derrida seperti ini, sayangnya, bukanlah hal yang baru. Seingat saya, Christopher Norris, yang seorang Derridean, pernah melakukan ini.

Saya pribadi sebenarnya juga berpikiran bahwa dekonstruksionisme ini wajib hukumnya untuk dilampaui, terutama apabila dipandang dari kacamata praxis perlawanan. Namun, mengkonstruksi ulang sesuatu secara mentah-mentah, bukanlah preseden baik bagi, setidaknya, perkembangan filsafat—suatu kata yang punya nilai positif bagi Martin. Bukannya melampaui Derrida setelah mendekonstruksinya, Martin malah mundur ke situasi seakan-akan Derrida tidak pernah ada, seakan-akan kritik kemustahilan konstruksi tidak pernah ada.

Menyingkirkan kemungkinan kebenaran dan ‘mengutukinya sebagai naturalisme, metafisika kehadiran, obyektivisme, dogmatisme […] dan menyerahkan diri bulat-bulat pada doxa dan ignorantia’ memang merupakan tindakan yang “paling tidak bisa dimaafkan’ (19). Tapi, mengimaninya begitu saja tanpa tedeng aling-aling, bukan hanya merupakan tindakan yang tidak kalah ‘paling tidak bisa dimaafkan,’ melainkan ia justru merepetisi doxa dan ignorantia yang ingin dilawannya. (Bahkan secara politis, bukankah ini semua cukup untuk menjadi preseden munculnya fasisme?). Tapi bukan ini problem utama saya; terhadap iman seperti ini silakan ketik di Google: ‘siapa yang peduli?’, dan anda tidak akan temukan nama saya di daftar hasil pencarian.

Problem utama saya adalah bahwa Martin, yang mengibarkan bendera obyektivitas, justru menjadi sangat tidak obyektif dalam memperlakukan Derrideanisme (dan Lacanianisme). Bagaimana bisa? Ini terjadi karena Martin tidak mengritik Derrida dari medan problematik yang dikemukakan Derrida sendiri! Saya kira medan problematik Derrida adalah pertanyaan sederhana: ‘bagaimana suatu logos mungkin?’ (sederhana bagi generasi pasca-Derrida seperti kita, tapi hampir mustahil terpikirkan pada masa atau sebelum Derrida). Tapi apa yang dilakukan Martin? Martin malah menyunat Derrida dan menjejalkannya masuk dalam medan problematiknya sendiri—yaitu tentang ‘bagaimana memahami realitas obyektif tanpa terjebak solipsisme?’ Sekali lagi, tidak ada yang salah dengan medan problematik Martin, yang bahkan saya pribadi juga memikirkan hal serupa. Namun, adalah tidak fair dan tidak obyektif mengritik seseorang akan sesuatu yang memang bukan menjadi concern-nya. Membaca Derridean secara diamat setidaknya harus mengafirmasi logika internal dari Derridean itu sendiri: menilai keseluruhan bangunan filosofis-metodologis-teoritisnya dari masalah yang ia kemukanan sendiri! Seperti yang saya tekankan tadi: Martin memaksakan masuk Derrideanisme ke dalam proyek pribadinya sendiri, menghakiminya berdasarkan problem yang dikemukakannya sendiri.

Jika saya tidak meleset dalam pembacaan ini, maka bukankah adalah hal yang sah apabila kritik Tran Duc Thao terhadap fenomenologi sebagai pencapaian filosofis borjuasi—saat ia menghisap segala sesuatuya dalam horizonnya sendiri (baca: kepemilikan privat) (hal. 205-10)—berlaku bagi Martin sendiri?

Mungkin benar (dan saya memang mengira demikian), bahwa cara Derrida menjawab problematiknya sendiri adalah bermasalah dan berbuntut konsekuensi (filosofis dan politis) yang juga tidak kalah bermasalahnya. Namun mengritik Derrida hanya pada cara ia menjawab problematiknya (yaitu, melalui filsafatnya), apalagi dengan mengenakan kerangka problematik lain, hanya akan meninggalkan problematik Derrida sendiri menjadi tidak tersentuh (apalagi terselesaikan). Padahal, menurut saya, problematik tersebut juga memiliki relevansi praxisnya tersendiri. Alhasil, saat membaca kritik Martin terhadap Derrida ini, saya menjadi teringat akan acara TV dulu: Family Feud, atau yang diadopsi di tanah air menjadi Famili 100. Dua keluarga (Diamat vs. Dekonstruksionsime) sedang bercekcok ria  dan tidak mau saling mengalah.[4]

Fantasi Fundamental Realisme

Kembali ke problem idealisme. Lalu apa solusi untuk memecahkan kebuntuan ini? Saya akan mengusulkan, lagi-lagi dalam stand-point Lacanian yang saya kampanyekan, bahwa problem utama idealisme ada pada pandangannya yang meyakini bahwa terdapat potongan antara suatu hal (dengan relasi internalnya) dengan realitas obyektif. Potongan (cut) inilah yang tidak disentuh dan diterima begitu saja oleh Martin. Inilah the Real Lacanian; dan bukan semata-mata suatu zona antah-berantah bernama ketidak-sadaran yang dibayangkan oleh Martin. Potongan ini memainkan peran konstitutif bagi suatu hal tersebut, semenjak ia menjadi, istilah Lacan, ‘fantasi fundamental’ yang menjadi syarat minimum bagi keberadaan (being)-nya. Tanpa ada potongan ini, maka tidak hanya realisme atau idealisme menjadi rancu, melainkan ia juga menjadikan diskusi mengenai keduanya menjadi sama sekali tidak relevan.

Unik bin ajaibnya, fantasi fundamental inilah yang ditunjukkan Martin saat mengritik Derrida dan Lacan. Kritik yang metodenya demikian adalah apa yang disebut pembacaan simptomatik. Kritik ini, sederhananya, mulai dengan mendekonstruksi suatu wacana, lalu mengoreksi (bahasa Lacan, rectification) relasi wacana tersebut vis a vis fantasi fundamentalnya. Kritik inilah yang dilakukan Martin di halaman 8-9,

‘[T]eks’ itu sendiri niscaya menunjuk dan mengarah pada sesuatu yang keberadaanya tidak mensyaratkan relasi dengan yang-lain. Sesuatu itu adalah focus imaginarius yang terus menerus dihampiri oleh ‘teks’. […]  Apabila ‘teks’ adalah nama lain dari keniscayaan intermediasi, maka intermediasi itu sendiri meniscayakan adanya sesuatu yang menjadi alasan mengapa perlu intermediasi—sesuatu yang keberadaannya tidak meniscayakan intermediasi.’ (9)

Martin mengoreksi relasi teks Derridean dengan realitas obyektif dengan menunjukkan bahwa ketertundaan (atau bahkan ketiadaan) realitas yang diasumsikannya tersebutlah yang memungkinkan tegaknya Derrideanisme. Pengasumsian tentang keterpisahan wacana Derrideanisme dengan realitas yang diasumsikannya itulah yang merupakan ‘fantasi fundamental’ Derrideanisme. Fantasi ini dimungkinkan muncul semenjak terdapat kontradiksi internal (lack) di tubuh wacana itu sendiri, yang ketagihannya terhadap ilusi realitas obyektif, membuatnya bisa tegak bertahan. Dalam kosakata Lacan yang sudah saya bahas, maka adalah potongan antara wacana dengan realitas itu sendiri yang menjadi fantasi fundamental. Dan seruan akan ketertundaan segala sesuatu merupakan simptom (gejala) dari lack wacana tersebut. Tepat inilah yang dilakukan Martin! Maka apabila dari segi kontur dan tekstur, Martin adalah Derriden par excellence, maka dari segi substansi kritik, Martin adalah Lacanian par excellence! Bedanya, apabila Lacan melakukan ini supaya sang subyek tersebut melampaui fantasinya (traversing the fantasy) dan melakukan tindakan (the act) radikal vis a vis cengkeraman simboliknya, maka Martin justru hendak merehabilitasi potongan ilusif tersebut. Sekali lagi, tidak ada yang salah dengan, dan saya juga tidak peduli dengan salah benar dari klaim ini (tanya Google saja lagi jika tidak percaya). Hanya saja, saya sebenarnya mengharapkan suatu kritik yang diamat banget.

Lalu kemudian, bagaimana mungkin Martin mengritik Lacan? Sederhana saja, masih dalam alam Lacanian yang obyektif, Martin telah salah mengira (meconnaissance) terhadap psikonalisis Lacanian. (Bahkan, kesalah-mengiraan ini merupakan simptom yang menarik untuk dibahas; sesuatu yang dengan senang hati saya bahas nanti). Bagi Martin, Lacanianisme adalah semacam, bahasa Deleuze, ‘cult of lack.’ Ranah ‘yang Riil’ dengan demikian menjadi semacam tuhan baru yang melumpuhkan segala daya dan akal, yang berujung pada penyembahan fatalis akannya. Jika ini Lacanianisme, maka saya akan bilang bahwa inilah Lacanianisme yang sering dijumpai di sekitar kita (Indonesia). Pemahaman ini sangat reduktif dan miss the whole point! (Sekali lagi, reduksionisme ini juga merupakan suatu simptom tersendiri!)[5] Itulah mengapa di bagian sebelumnya, saya mengatakan bahwa saya menyambut kritik Martin terhadap Lacanianisme dengan riang gembira. Tapi apabila kritik tersebut diklaim diarahkan pada Lacan sendiri, maka ia bisa dipastikan meleset.

Lalu seperti apa Lacanianisme sebenarnya? Dari pembacaan saya, ontologi Lacanian bukan sekedar lack; ia merupakan konsekuensi dari karakter ontologis dari lack itu sendiri, yaitu tidak lain adalah a-being, ketiadaan. Yang-Riil Lacanian, dengan demikian, bukan sekedar lack yang akan selalu membuat segala bentuk stabilitas, universalitas dan absolusitas menjadi (bahasa Zizek) kegelian (ticklish) dan roboh berguling-guling. Yang-Riil harus dipahami dalam logika internalnya sendiri. Yang-Riil lacks (bentuk kata kerja aktif present tense)! Artinya, yang-Riil adalah sebentuk agensi. Ia bukan obyek fetis pasif—dengan berbagai nama ‘yang-tak-terperikan,’ ‘yang etis,’ bahkan ‘tuhan’—yang ada untuk disembah-sembah (sebagaimana Lacanian standar yang membuat saya gemas dan jengkel, yang untungnya telah disiangi habis-habisan oleh Martin). Agensi yang pertama-tama dilakukan yang-Riil adalah menjadi fondasi segala sesuatunya, untuk kemudian, yang kedua, menggelitiknya (atau, bahasa Lacan sendiri, ‘the Real punches a hole’), dan begitu seterusnya.

Jika being adalah ontologi itu sendiri, maka sah sekiranya bila ontologi Lacanian disebut sebagai ontikologi. Lalu, pertanyaan reaksioner akan muncul, apabila ketiadaan (ontic) adalah ontologis, maka bagaimana menjelaskan realitas eksternal yang empirik dan material di sekeliling kita ini? Pertanyaan ini, lagi-lagi, hanya bisa dijawab apabila kita memahami ketiadaan secara Lacanian. Lalu seperti apa itu ketiadaan Lacanian? Ketiadaan Lacanian adalah ketiadaan yang selalu ‘less than nothing.’ Ketiadaan selalu mensyaratkan sesuatu! Dan sesuatu tersebut adalah segala sesuatu (being). Segala sesuatu, dalam segala materialitasnya, dengan demikian, adalah penanda (marker) bagi ketiadaan. Ia mengisi ketiadaan. Segala sesuatu, dengan demikian, adalah simptom bagi ketiadaan. Kawan saya, saat baru keluar dari vonis penjara satu tahun karena melakukan tabrak-mati, saya tanya: ‘trus ngapain aja kamu di penjara?’ Katanya, ‘ya nggak ngapa-ngapain.’ Bahkan, untuk sekedar ‘nggak ngapa-ngapain’ (nothing), kawan saya harus membayar satu tahun (something)! Bayangkan para napi yang menghabiskan 10 atau 20 tahun, bahkan seumur hidup di penjara!

<Apendiks: Ketiadaan Lacanian>

(Silakan dilompati jika anda tidak merasa perlu untuk mengetahui argumentasi Lacan tentang ketiadaan)

Untuk menjelaskan ketiadaan pra-ontologis Lacanian, penting untuk berpaling pada lubang hitam superpadat (supermassive black hole). Tidak ada yang pernah melihat lubang hitam. Lubang hitam hanya ada secara hipotetis. Lalu bagaimana lubang hitam tersebut dijelaskan? Tidak lain secara simptomatik. Saat lubang hitam muncul, maka ia akan menyerap segala sesuatu: bintang, partikel, bahkan cahaya! Dan saat proses penyerapan tersebut terjadi, maka segeralah ia hilang dan menyisakan benda-benda angkasa yang tidak ikut tersedot. Lantas apakah lubang hitam hilang? Tentu tidak, ia akan muncul lagi entah kapan, entah dimana. Satu hal yang jelas, lubang hitam adalah ketiadaan yang menyerap segala sesuatunya. Ia dipercaya (para ahli) telah selalu ada di setiap galaksi. (Sehingga, dari pandangan ini, praktis, seluruh kehidupan sebenarnya hanyalah menunggu munculnya lubang hitam ini mendeklarasikan kiamat—bagi kita.)

Ketiadaan, dengan demikian, memang tertunda, namun tidak terus tertunda! Ia akan sampai pada tujuannya, hanya saja, di masa depan. (Ini sekaligus menjemput Lacanianisme dari pesta pora orgy pasca-modernisme). Ketidak-sadaran, yang sebenarnya ada di-‘belakang,’ sejauh ia bersifat pra-ontologis, hanya dapat ditemui di masa depan; ‘back to the future’ adalah istilah yang tepat untuk ini. Namun demikian, kata ‘ditemui’ di sini tidak dalam artian ia menjadi kasat mata. Ia tetap tidak nampak. Ia hanya dapat dilihat dari simptom yang mengindikasikannya. Lalu, apa tanda bahwa ketidak-sadaran tersebut telah sampai pada tujuannya di masa depan? Tidak lain adalah suatu kebaruan, atau yang disebut-sebut sebagai event. Kebaruan tidak seharusnya dilihat hanya sebagai suatu bentuk yang lain yang belum pernah ada. Kebaruan, pertama-tama harus dilihat sebagai suatu kebaruan yang retroaktif. Maksudnya, kebaruan ini akan membuat seluruh masa lalu yang ada di belakangnya menjadi tampak baru.

Sebuah cerita nyata mungkin akan sedikit membantu menjelaskan. Kawan saya, saat berlibur ke daerah Pattaya Thailand, melihat seorang perempuan cantik, yang belakangan, setelah menerima sejumlah uang, mau untuk diajak check-in dan bercinta. Saat kawan-kawan saya lainnya, yang terpaksa harus menunggu kawan saya tadi melampiaskan birahi, bertanya-tanya kepada orang sekitar. Tidak lama kawan-kawan saya tersebut mendapati bahwa perempuan yang dikencani kawan saya tadi adalah seorang waria. Mereka memutuskan tidak memberi tahu kawan saya tadi sampai setelah sampai di hotel. Sepanjang perjalanan kawan saya tersebut menceritakan bagaimana ‘seru’-nya ‘permainan’ yang dilakukannya bersama sang perempuan (baca: waria) tersebut. Kecantikan, keseksian, kemulusan dan ke-menggoda-an perempuan tersebut selalu diulang-ulangnya dibarengi mimik wajah yang mendukung. Sesampai di hotel, kawan-kawan saya lainnya memutuskan untuk memberi tahu kawan saya tersebut. Apa yang terjadi? Kawan saya tersebut muntah, bermuka pucat pasi sembari memaki-maki dengan bahasa Surabaya-nya: ‘jancuk!’ Bahkan, saat saya mendengar cerita ini langsung dari kawan saya tersebut, ia bercerita bahwa kejadian itu membuatnya alergi berhubungan seks selama tidak kurang dari 3 bulan. Waktu yang cukup lama untuk ukuran orang yang aktif secara seksual seperti kawan saya tersebut.

Bagaimana cerita ini dapat membantu penjelasan saya tadi? Momen dimana kawan saya mendengar cerita kebenaran bahwa perempuan yang dibanggakan, dipamerkan, dinikmati, diceritakan dengan berapi-api, bahkan, diciuminya, digerayanginya, di…[sensor]…nya, adalah waria, maka saat itulah ia berjumpa dengan event. Event tersebut membawa, bahkan memaksakan kebaruan akan seluruh masa lalu kawan saya tersebut, yaitu masa-masa saat ia (kira) ‘bersenang-senang’ dengan waria tersebut. Kawan saya tersebut melihat secara baru saat-saat bergeloranya yang notabene ada di belakangnya. Artinya, ia sadar bahwa saat itu ia tidak sadar. Inilah yang saya maksudkan bahwa ketidak-sadaran selalu hadir di depan. Ia memang tertunda, namun jangan khawatir, ia akan sampai dengan selamat. Namun sayangnya, ia tergesa-gesa, sedemikian rupa sehingga kita tidak akan sempat melihatnya. Ia segera menghilang lagi dan ditutupi dengan kesadaran baru. Semenjak event memiliki struktur traumatik, maka subyek pasca-event adalah subyek pasca-traumatik (post-traumatic subject).

<akhir apendiks>

Psikoanalisis kontra materialisme dan realisme?

Konsekuensi kesalah-mengiraan ini sangat dalam. Bukan hanya bagi Martin, melainkan bagi proyek rekonstruksi realisme itu sendiri. Realisme sebagai epistemologi, dipandang dari kacamata klinis Lacanian, adalah sebentuk kesalah-mengiraan, ketidak-sadaran. Klaim bahwa ada potongan pemisah antara subyek dan obyek, natur dan kultur, kesadaran dan realitas, dst., adalah sebentuk ketidak-sadaran tersendiri, dengan ‘potongan’ tersebut berfungsi sebagai fantasi fundamentalnya (bdk. 18 tentang penetapan batas). Idealisme, dengan demikian, adalah selalu idealisasi terhadap potongan tersebut. Sebaliknya, realisme adalah gestur pertama untuk mengoreksi idealisme ini, bukan untuk sekedar menunjukkan bahwa ia sebenarnya adalah suatu ketiadaan (yang malah sebenarnya jatuh pada ‘idealisme’ yang dimaksudkan-untuk-kemudian-dikritik Martin), melainkan bergerak maju dengan menunjukkan konsekuensi darinya di tataran material.[6] Realitas obyektif dari segala sesuatu di tataran material ini, tidak lain adalah agensi ketiadaan itu sendiri!

Realisme, sejatinya berujung pada nihil-isme. Konsekuensi dari nihilisme sebenarnya bukanlah perayaan orgy menggelikan atas pluralitas narasi dan anything goes seperti yang diusulkan para pascamodernis, yang untungnya, telah dikritik habis-habisan oleh Martin. Limit dari nihilisme adalah, saya tergoda untuk menyebutnya, segala-sesuatuisme (everythingism). Dengan istilah ganjil ini, saat segala sesuatu ada, maka ia sebenarnya sedang menjadi penanda (simptom) dari, sekaligus menjadi deklarator bagi, ketiadaannya sendiri. Inilah realisme, dan semenjak hanya psikoanalisis yang mampu sampai pada penyimpulan ini, maka psikoanalisis adalah realisme par excellence!

Martin mungkin akan menuduh bahwa saya mengulang solipsisme dan oto-afeksi. Saya tegaskan: tidak! Mengatakan ketiadaan sebagai sesuatu yang, Derrida-style, telah selalu ada dan bekerja dalam segala sesuatu, atau Lacan-style, ada di dalam segala sesuatu lebih dari dirinya sendiri, tidaklah cukup, bahkan tidak akan pernah berguna! (Inilah anti-filsafat yang dimaksudkan Martin saat mengutip Badiou). Namun, mengatakan segala sesuatu sebagai efek cerminan dari struktur historis (baik ideal maupun material) yang ‘mengkondisikan sekaligus membatasi kemungkinan[-nya]’ (14), juga sama tidak memadainya. Psikoanalisis, bahkan sedari Freud(!), berkeras untuk tidak hanya berhenti pada dua hal ini ini. (Marx pun, sebenarnya juga tidak ingin berhenti pada sekedar mengatakan bahwa segala sesuatu adalah efek dari struktur kelas berkuasa). Psikoanalisis akan kembali pada materialitas segala sesuatu (yang statusnya dilihat sebagai simptom) dengan menjelaskan ‘mengapa ketiadaan tersebut mensyaratkan penanda, yaitu segala sesuatu, yang konfigurasi tatanannya seperti itu dan bukan yang lainnya?’ Di sini, mau tidak mau, psikoanalisis telah secara otomatis menjadi sebentuk materialisme tersendiri. (Terus terang, saya baru menyadari ini belakangan, setelah kurang lebih empat tahun bekerja menggunakan psikoanalisis Lacanian ini. Ketersadaran ini, yang strukturnya sama seperti event (dalam artian strict di atas), saya jumpai saat dihadapkan pada komentar Lacan bahwa ‘[Democritus] was no more materialist than anyone who has some sense, for instance me or Marx.’). Psikoanalisis Lacanian adalah materialisme par excellence!

Gerak dari ketiadaan ke materialitas segala sesuatu inilah yang dikenal dengan gerak dialektis, bahkan dalam artian yang dimaksud Martin di akhir bab pendahuluan dan di bab 1 tentang Lenin. Tapi apakah ini cukup? Lagi-lagi tidak. Untuk mendapat dimensi obyektif materialitas segala sesuatu, maka ia harus diverifikasi berdasarkan struktur lain yaitu yang bersifat spasio-temporal, selain ketiadaan yang sifatnya absolut dan timeless. Pertanyaan kemudian bukan hanya ‘apa struktur historis spasial yang memungkinkan segala sesuatu dalam materialitasnya yang obyektif ini?’—yang notabene belum materialistis—melainkan juga yang terpenting, ‘mengapa struktur historis spasio-temporal tersebut mensyaratkan pencerminan pada konfigurasi tatanan segala sesuatu yang seperti itu dan bukan yang lainnya?’ Di sinilah penting, dalam bahasa metodologis, untuk menempatkan bahwa riset deskriptif menjadi fundamental bagi riset eksplanatif, dan begitu juga sebaliknya. (Klaim ini ditujukan terutama pada mereka, setidaknya yang seringkali saya jumpai dalam keseharian saya sebagai akademisi, yang menganggap riset deskriptif sebagai kelas dua dan tidak sepenting dan sesulit riset eksplanatif).

Jadi, semisal dihadapkan pada fenomena, misalnya, contoh acak, menjamurnya 7-Eleven di Jakarta. Maka gerak pertama adalah menunjukkan bahwa ia adalah, katakanlah, sebentuk refleksi dari logika produksi yang historis sifatnya, sekaligus keberpihakan pemerintah pada klientel toserba tertentu, sementara mengesampingkan kios-kios lain yang lebih ‘tradisional’ seperti kios cak Imin atau warung mbok Darmin. Tapi ini saja belum cukup. Analisis harus bergerak menunjukkan mengapa ‘logika produksi yang historis’ bukan hanya merefleksikan, namun harus merefleksikan diri pada bentuk ‘7-Eleven’ tersebut, dan mengapa ‘keberpihakan pemerintah’ (dengan berbagai alasan retorisnya) bukan hanya terarah, namun harus terarah kepada ‘klientel toserba 7-Eleven’ tersebut? Apabila sudah didapat, misalkan jawabannya adalah ‘X’, maka berikutnya adalah menjelaskan kondisi historis apa yang mau tidak mau meniscayakan kemungkinan dan/atau kemunculan ‘X’ ini? Dst. Dsb. Inilah analisis dialektis yang bergerak dari materialitas ‘7-Eleven’ menuju ke struktur yang mengkondisikannya, lalu bergerak kembali ke materialitas ‘7-Eleven’ lalu bergerak ke struktur historisnya. Apa yang dijunjung-tinggi dalam dialektika materialis ini? Tidak lain adalah apa yang disebut, sekaligus yang tidak tersentuh Martin, sebagai ‘spesifisitas’. Mengimplan konsep spesifisitas ini, maka materialisme dalam horizon psikoanalisis Lacanian, akan selalu memburu spesifisitas dari segala sesuatu (materi, konsep, dst.): ‘mengapa ia seperti itu dan bukan yang lainnya?’ Pemahaman tentang ini saya dapat dari, tentu saja dari Lacan, namun dengan menambahkan sedikit suplemen dari … Quentin Meillassoux.

Dengan kesadaran psikoanalisis materialis inilah saat berhadapan dengan pembahasan Martin mengenai teks Meillassoux, After Finitude, saya mengernyitkan dahi dalam-dalam. Bagi Martin, Meillassoux berguna karena ‘seruan argumentatifnya untuk kembali pada realisme’ (155) yang sedemikan keras sehingga “membangunkan filsafat kontemporer dari tidur ‘korelasionis’-nya” (154). Lagi-lagi Martin memasukkan Meillassoux ke medan problematiknya sendiri. Terkait ini, saya kira, dan jika saya tidak meleset, medan problematik Martin semenjak bukunya Imanensi dan Transendensi masih mengemuka: ‘bagaimana memikirkan ketak-terhinggaan dalam keterhinggaan’ atau ‘bagaimana menggapai transendensi dalam imanensi’ atau ‘bagaimana menjelaskan realitas obyektif yang independen dari kesadaran subyektif.’ Itulah mengapa Martin amat terpesona dengan Matematika yang ditawarkan oleh Meillassoux (dan Badiou), sekalipun ia juga kritis tentangnya (bdk., misalnya, 160-2). Matematika (yang merupakan rasio murni, dengan demikian imanen) dianggap mampu menghantarkan kita pada suatu realitas obyektif, kebenaran absolut (transendensi) dengan tidak berlari kepada hal-hal gaib relijius yang menggelikan. (Saya akan kembali ke matematika nanti saat saya mengkonfrontasi kritik Martin terhadap kaum otonomis).

Sementara, bagi saya yang tertarik dengan problem tatanan (order), kontribusi Meillassoux ada pada problematisasinya, mengembangkan alegori bola biliar Hume, tentang segala sesuatu sebagai hyper-chaos dan kemungkinan stabilisasinya dalam bentuk tatanan, sekebetulan (chance) apapun itu. Dengan demikian, sahihlah sub-judul bukunya: necessity of contingency. Lalu apa artinya perbedaan kedua pembacaan ini? Tidak lain bahwa pembacaan Martin di sini bukanlah suatu pembacaan yang dialektika-materialis! Pembacaan Martin hanya mencoba mencari landasan pembenar bagi problemnya sendiri, yang dalam buku ini, diperbaharui dengan ambisi realismenya. Apa akibatnya? Martin meluputkan potensi dialektika yang dimungkinkan melalui pembacaan akan Meillassoux, suatu pembacaan yang justru saya dapatkan (sekalipun saya tidak membawa-bawa kartu dialektika-materialis). Alhasil, pembacaan Martin menjadi sesuatu yang mengherankan bagi saya: ‘bagaimana seorang materialis bisa mendapat pembacaan seperti itu?’

Potensi pemikiran dialektis adalah dimungkinkan dari Meillassoux, misalnya, saat ia menjelaskan tentang keniscayaan hukum fisika yang kontingen (bdk. 139). Penjelasan keniscayaan tersebut bukanlah sesuatu yang diniscayakan absolut, melainkan harus sebuah keniscayaan absolut (necessary contingency) (bdk. 123). Lalu bagaimana caranya mencapai keniscayaan tanpa meniscayakan? Caranya adalah dengan memikirkan suatu absolusitas yang independen dari kesadaran/pikiran. Di sini, Meillassoux membuka medan problematik yang benar-benar baru, yang apabila melalui pembacaan dialektis, akan memungkinkan munculnya problem-problem yang baru pula. Misalnya, saya akan bertanya, mungkinkah kita melihat kesadaran/pikiran kita sebagai suatu keniscayaan absolut? Pertanyaan ini hanyalah foreplay untuk pertanyaan berikutnya: jika kesadaran/pikiran kita, yang dengannya kita akan berpikir mengenai keniscayaan absolut, pada dirinya memiliki potensi keniscayaan absolut itu sendiri, bukankah terdapat kemungkinan pula bahwa ia independen dari kita? Jangan-jangan, kesadaran/pikiran kita adalah semacam ‘organ tanpa tubuh’ yang kebetulan menempel/parasit pada kita. Atau bahkan, apa itu ‘kita’? (Tepat di sini keterbatasan Meillasouxianisme dan Martinianisme: ‘manusia’ diasumsikan selesai, fixed, integral. Alih-alih diproblematisasi dengan mengemukakan teori tentang manusia, langsung saja ia ditolak secara whole-sale.)

Problem ini khas psikoanalisis! ‘Aku,’ ‘kita,’ dst., adalah suatu keniscayaan yang dimungkinkan oleh suatu kontingensi radikal (dalam bahasa Lacan, drive—suatu dorongan akan segala sesuatu yang mustahil yang dirinya sendiri tidak didorong apapun).[7] Apa artinya? Keniscayaan tersebut juga harus dilihat dari kerangka kontingensi. Di sini nampak dialectical loop dari problem yang dikemukakan Meillassoux, yaitu yang secara serampangan saya sebut: kontingensi keniscayaan (contingency of necessity). Contoh dagelan, kali ini dari Stephen Jay Gould, seorang sosiobiolog Marxis, mengenai fosil (hal ini sekedar untuk menggelitik Martin yang juga membahas arche-fossil-nya Meillassoux).[8] Singkatnya, Tuhan itu mengecoh seluruh saintis yang mengklaim bahwa fosil-fosil sudah berumur jutaan tahun. Padahal sebenarnya dunia ini tidak lebih dari beberapa ribu tahun saja (terhitung dari bukti historis, dan bukan arkeologis). Bagaimana bisa? Jadi, saat hari penciptaan, Tuhan menciptakan dunia tidak hanya makhluk hidupnya saja, namun juga lengkap dengan fosil-fosilnya—ada yang berumur ribuan tahun, ada yang ratusan ribu, ada yang jutaan, dst. Sedemikian rupa supaya saat manusia mengira bisa memprediksikan fosil sebagai telah berumur jutaan tahun, Tuhan mendapat bahan untuk tertawa terpingkal-pingkal seraya berkata: ‘kena deh!’ Tentu saja bagian ‘Tuhan’ tidak usah dianggap terlalu serius, ia tidak ada,[9] titik. Yang penting untuk ditekankan di sini adalah bagaimana suatu ‘teori arkeologi tentang fosil’ yang sifatnya niscaya, telah terlebih dahulu terstruktur oleh suatu kontingensi yang eksternal darinya, yaitu ‘keusilan Tuhan.’ Sehingga menjelaskan logika internal teori arkeologi tersebut tidaklah cukup, ia perlu berdialog, dalam artian dialektis, dengan struktur lain yang memungkinkan spesifisitas logika internal tersebut.

Sampai di sini, saya kira, saya telah menunjukkan bagaimana Martin, di satu sisi ia mampu dengan baik mengelaborasi betapa pentingnya realisme, materialisme dan dialektika, tapi di sisi lain, ia tidak mengamalkannya. Proyek Materialisme Dialektis: Kajian tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer dengan demikian merupakan suatu fenomena tentang bagaimana menjadi materialis-dialektis, tanpa perlu dialektis. Bagian berikut akan membahas implikasi pembacaan yang tidak dialektis ini pada, bukan hanya perdebatan teorisasi Martin, melainkan sampai horizon imajinasi praksis yang mampu dibayangkannya. Melihat karya Martin sebagai sebentuk realitas material obyektif, maka ia harus diletakkan pula sebagai simptom. Simptom yang akan menjadi pintu masuk saya adalah pandangan Martin yang sangat miopik tentang negara dan bangunan filosofi-teori-praksis dari Autonomia (terutama Antonio Negri), berikut implikasi-implikasinya. Lalu, saya akan melontarkan pertanyaan berikutnya, yang apabila ditranslasikan ke dalam pertanyaan Lacanian, maka menjadi: ‘problem historis-spesifik apakah yang menimbulkan suatu gesekan yang sebagai respon terhadapnya, seorang dialektis-materialis yang pembacaannya sama sekali tidak dialektis menjadi mungkin?’—jawaban dari pertanyaan yang sedikit njelimet ini adalah taruhan terbesar saya dalam artikel ini.

 

…bersambung ke Bagian II

Hizkia Yosie Polimpung, Peneliti di Pacivis UI; Mahasiswa Doktoral Dept. Filsafat UI


[2]Buku ini hanya mendetilkan kritik terhadap Derrida saja karena, kata Martin, pembahasan tentang Lacan terpaksa harus dipangkas karena keterbatasan halaman yang diberikan oleh penerbit.

[3]Pandangan yang melihat sesuatu sebagai semata-mata korelat dari kesadaran. Lihat pembahasan tentang korelasionisme di bab 2, tentang Quentin Meillassoux.

[4] Famili 100 filosofis lainnya, lihat hal. 68 tentang cek-cok antraa dialektika Hegelian dan dialektika Marxian. Di situ Martin memberi privilese pada dialektika Marxian yang menempatkan ontologi, praxis dan yang-material secara hirarkis lebih tinggi dari epistemologi dan kesadaran subyektif. Lagi-lagi, aturan main sudah ditentukan terlebih dahulu, baru putusan dijatuhkan. Saya tidak punya kata lain untuk memperhalus ‘solipsisme’ untuk gestur ini.

[5]Sebagai contoh, saya mencoba menunjukkan reduksionisme psikoanalisis kepada sekedar “seksologi” sebagai sebuah simptom yang spesifik di “’Go Fuck Yourself!’,atau Apa yang Sebenarnya Anda Lakukan Saat Anda Berhubungan Seks?” dapat diakses di http://klinamenal.blogspot.com/2012/06/go-fuck-yourself-atau-apa-yang.html

[6]Terkait kontroversi Higgs Boson belakangan ini, saya kira relevan untuk menghubungkan dengan psikoanalisis Lacanian yang saya bahas ini. Adalah Higgs Boson ini yang memungkinkan materi untuk ada.

[7] Bagi yang menghendaki pertanggungan-jawab serius atas klaim ini, saya menunaikannya di Hizkia Yosie Polimpung, “Menyudahi Analogi Antropomorfisme (melalui Psikogenealogi Antropologi Kedaulatan Negara),” Jurnal Antropologi Indonesia (akan terbit, 2012).

[8]Contoh ini saya dapat dari Alenka Zupancic dalam perkuliahannya tentang Psikoanalisis dan Sains di Berlin Maret 2011.

[9]Tetap dalam artian ketiadaan Lacanian! Atau, mengenang Baudelaire, “God is a unique being who, in order to reign, doesn’t even need to exist.”

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.