BAJUNG lahir kira-kira 50 tahun lalu. Perawakannya kekar. Kulitnya legam. Ia tampak lebih muda dari usianya. Pada saya ia berkata bahwa angka 50 itu adalah pemberian kepala desa Mola saat ia mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP). Mayoritas to sama—atau peneliti asing menyebut mereka, sea gypsy—tak tahu umur mereka sendiri seperti Bajung. Nenek moyang mereka tak mengenal budaya tulis-baca. Mereka hidup nomaden di laut dan hanya pandai melagukan iko-iko.
Pendahulu Bajung menyebut Wakatobi sebagai kepulauan Toekang Besi. Ada empat pulau yang masuk wilayah Wakatobi, yaitu Wangiwangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko Tiap satu suku kata dalam nama tiap pulau itu menyumbang satu suku kata untuk nama Wakatobi. Dulu gugus pulau ini dinamai Toekang Besi untuk mewakili sejarahnya yang dimulai di pulau terujung, Pulau Binongko.
Pada abad ke-14, warga Binongko menunjukkan pengabdian mereka dengan cara menempa bijih besi jadi senjata tajam untuk diserahkan pada kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan.
***
Seperti orang Bajo umumnya, Bajung menetap di Wakatobi karena alasan sederhana: laut telah menyediakan segalanya. Ia cukup menarik layar dan menjatuhkan pancing bila menginginkan ikan. Loncat ke laut bila hendak mandi, atau tatap semburat merah matahari untuk menghilangkan kepenatan. Desa Bajung dikenal dengan nama desa bahari Mola Utara, berbatasan dengan Mola Selatan di pesisir Wangiwangi. Dua kampung ini tumbuh perlahan tanpa kepastian tata ruang sejak tahun 1950-an. Wilayah seluas 5 kilometer persegi ini tak mungkin lagi tumbuh di darat dalam arti harafiah. Pertumbuhan desa ini justru memanjang ke arah laut, mendekati zona-zona pelayaran dan pemanfaatan umum.
Pernikahan dini di usia 13 sampai 17 tahun membuat jumlah jiwa orang Bajo naik cepat, dan ini diikuti dengan pertumbuhan rumah-rumah panggung baru semimodern, ruang tamu berpondasi batu karang, sedang dapur dan kakus tetap berada di atas riak-riak air laut.
Pernikahan dilakukan untuk menyelesaikan kemiskinan. Tapi bisa dihitung dengan jari pasangan yang berhasil memperbaiki nasibnya dengan cara ini.
Pernikahan dini juga menjauhkan anak-anak muda Bajo dari sekolah. Tapi penyebab utamanya bukan itu. Ekonomi yang amburadul telah mendepak mereka dari bangku sekolah. Selain itu, orang Bajo tidak melihat perbedaan penting antara sekolah dan tidak sekolah.
‘Sekolah tinggi, tapi hanya orang darat yang diterima kerja,’ kata Haseng.
Usia lelaki ini 42 tahun, berasal dari Mola Selatan. Ia punya lima anak. Empat di antaranya perempuan dan menikah di usia antara 15 sampai 17 tahun.
‘Itu ada anak tetangga kuliah, tapi tidak kerja juga,’ celetuk Ani, perempuan usia 20 tahun. Ia memiliki tiga anak dengan suami yang saban hari melaut.
***
SAYA mengunjungi Mola pada Oktober 2009. Ada sekitar 5.500 orang Bajo yang menghuni desa ini. Mereka hidup komunal, tanpa membaurkan diri dengan warga darat di kepulauan Wangiwangi.
Suara mereka hiruk-pikuk di tengah lagu dangdut, pop cengeng, jeritan kanak-kanak, suara mesin perahu tempel, dan teriakan nelayan dari parkiran perahu. Namun, kegaduhan siang hari ini akan lenyap ditelan malam gelap. Dari kejauhan, kampung ini seperti melayang damai di atas air, berkelap-kelip. Tak ada yang terbebani dengan mimpi jangka panjang konservasi, meski mereka hidup dalam taman nasional Wakatobi.
Pada 1996 Wakatobi ditetapkan sebagai kawasan lindung dengan tujuan mulia. Luasnya 1, 39 juta hektar di sudut Sulawesi Tenggara. Kekayaan lautnya menempatkan Indonesia dalam posisi segitiga karang dunia (coral triangle). Selain Wakatobi, kawasan lindung lainnya adalah Raja Ampat di Papua Barat, Teluk Cendrawasih juga di Papua, Nusa Penida di Bali, Pulau Komodo di Nusa Tenggara Timur, Taman Bunaken di Sulawesi Utara, dan Kepulauan Derawan di Kalimantan Timur. Semua kawasan itu dilindungi untuk memenuhi gagasan besar menyelamatkan dunia.
Wilayah yang disebut no take zone ditetapkan pada 2007. Zona yang dilindungi ini berada jauh dari permukiman penduduk. Sedang zona pemanfaatan umum, wisata dan pelayaran didekatkan ke permukiman.
Pemerintah mencoba melibatkan warga Wakatobi dalam dua program besarnya, yaitu perikanan berkelanjutan dan ekoturisme. Pemerintah bermimpi bahwa pelibatan warga di sektor perikanan berkelanjutan dan ekoturisme akan membantu mengurangi angka pengrusakan ekosistem di taman nasional. Mimpi ini tak mudah terwujud. Metode taman nasional memerlukan kesatuan gerak dan itu sayangnya, tak terjadi di kabupaten yang usianya baru tujuh tahun ini.
***
Saya mewawancarai bupati Wakatobi, Hugua. Ia tipe yang meledak-ledak. Latar belakangnya sebagai aktivis lembaga swadaya masyarakat membuatnya bisa bekerja lebih dari 18 jam sehari. Sudah enam tahun Hugua memimpin Wakatobi, tapi gagasannya untuk mendukung taman nasional tak mampu dijabarkan secara sederhana oleh orang-orang di pemerintahannya.
Saya bertanya pada sejumlah warga, apa yang mereka ketahui tentang turisme di Wakatobi. Jawaban mereka bermacam-macam.
‘Turis berenang dan menyelam.’
‘Peneliti datang.’
‘Nadine Chandrawinata datang ke kampung Bajo.’ Nadine salah seorang Putri Indonesia, yang pernah berkunjung ke Wakatobi.
‘Banyak restoran baru.’
‘Banyak hotel baru milik orang darat.’
‘Pejabat punya resort.’
Celakanya, separuh program yang ditujukan untuk mendekatkan warga pada pelestarian lingkungan justru berorientasi fisik dan infrastruktur semata. Bahkan, tidak ada kaitan langsung dengan program ini. Jembatan, kakus, sekolah dibangun di mana-mana. Tapi mana program yang bisa mendorong warga untuk mewujudkan mimpi taman nasional Wakatobi?
Kepala-kepala dinas di pemerintahan Wakatobi dipilih lantaran kompromi politik dan di kepala mereka tentu saja tak ada strategi apa pun untuk taman nasional itu. Kekacauan politik lokal berdampak pada kehidupan kelompok minoritas Bajo.
***
Wakatobi dihuni sekitar 110 ribu jiwa, yang menyebar di empat pulaunya. Jumlah suku Bajo hanya10 persen dari jumlah keseluruhan warga. Meskipun begitu, orang Bajo menempati urutan pertama untuk jumlah kasus pelanggaran di kawasan taman nasional.
Mereka telah melakukan sejumlah hal yang dinilai mengancam taman nasional, seperti menggunakan bom dan racun ikan, membentang pukat, mencungkil batu karang, mengambil pasir, menangkap penyu, atau membuang sampah sembarangan.
Pada 2009 saja terdapat 172 penambang batu karang asal perkampungan Mola. Jumlah ini turun jadi 72 penambang di tahun 2010. Kampanye stop batu karang yang disertai ancaman hukum telah mendorong angka penambang batu karang menyusut dalam satu tahun.
‘Lalu mereka beralih ke pekerjaan apa?’ tanya saya pada Sadar, orang Bajo yang bekerja di sebuah lembaga swadaya international Wakatobi.
‘Yang beruntung dan punya modal bisa ke perikanan tangkap laut dalam atau karang. Mereka yang kurang beruntung justru beralih menjadi penambang pasir dalam kawasan taman nasional,’ jawabnya.
Untuk mengurangi tindak kriminal orang Bajo, Dinas Perikanan dan Kelautan Wakatobi menyumbang kapal penangkap ikan yang sayangnya kini teronggok di pesisir pantai.
‘Kapal itu dibuat di luar Wakatobi. Pembuatnya tak paham laut kami dan desain yang pas bagi orang Bajo. Jadi kapal itu keok di sini,’ kata Mustamin, kepala desa Mola Selatan.
***
Beralih pekerjaan bukan hal mudah bagi orang Bajo. Saya menemui Effendi. Sama seperti Bajung, usianya 50 tahun. Ia warga Mola Selatan.
Effendi sudah lama jadi penambang batu karang. Semula ia mengambil karang untuk menimbun laut di depan rumahnya. Lama-kelamaan, ia mulai menerima pesanan dari tetangganya, lalu dari orang darat. Untuk yang terakhir ini pada umumnya adalah kontraktor yang hendak membangun kantor pemerintahan Wakatobi.
‘Suatu ketika saya ditangkap aparat, dan saya bilang, silakan tangkap. Tapi mohon ingat, semua jembatan yang digunakan oleh orang Wakatobi hari ini berasal dari batu karang. Lagipula masak main larang-larang dan tidak memberi kami solusi?’ tuturnya.
‘Pemerintah selalu bilang, bikin vila, bikin resort, tapi mereka hanya bilang ini-itu, namun tak mendukung kami,’ kata Hapsah, perempuan pengrajin anyaman di Mola Selatan.
Barang anyaman Hapsah sering diikutsertakan dalam pameran-pameran yang diselenggarakan pemerintah.
‘Pemerintah mengambil barang kami, dan membayarnya lamaaaaa sekali. Apa mereka tak pikir betapa pentingnya uang Rp 50 ribu bagi keluarga kami?’ Ia bingung mengapa orang-orang di pemerintahan selalu berutang untuk ‘uang-uang kecil,’ istilahnya untuk jumlah rupiah yang tak seberapa bagi kantong pejabat itu.
Tiap kali kunjungan pemerintah di perkampungan Mola selalu diakhiri dengan janji ‘akan ada bantuan’. Kalimat ini menyihir warga Bajo, membuat mereka berprasangka satu sama lain. Mereka diliputi oleh sikap saling curiga.
‘Ada saja yang berpikir bantuan sudah turun, tapi diterima si anu, si ini, Si A atau Si B. Betul-betul menjengkelkan. Jadi pergilah pemerintah, kami tak butuh kalian,’ lanjut Hapsah, jengkel.
Menurut Hapsah, bantuan yang paling masuk akal untuk perkampungan Mola adalah mesin jahit yang secara bergilir digunakan puluhan ibu-ibu pengrajin. Di saat pesanan tas dari bahan olahan sampah melimpah, mesin jahit menjadi benda yang diperebutkan dan sumber pertengkaran.
***
Hapsah termasuk perempuan Bajo beruntung. Ia bisa bekerja menafkahi dirinya. Anak gadisnya, Zukni, juga menjadi sosok aktif dan terkenal di perkampungan Mola. Zukni bisa menyelam. Ia pernah jadi asisten juru kamera untuk sebuah film. Ia atlet dayung dengan sejumlah medali. Sayangnya, Zukni tak bisa mengumpulkan uang untuk melanjutkan kuliahnya.
Sejumlah lembaga swadaya masyarakat ikut mendorong kelompok-kelompok Bajo ambil bagian di bidang ekoturisme. Lagi-lagi, ini upaya lembaga-lembaga itu untuk menjauhkan orang Bajo dari pekerjaan yang mereka anggap merusak lingkungan Mereka mengajari orang-orang Bajo membuat dodol rumput laut dan dendeng ikan.
‘Katanya, kalau kami bisa buat dodol dan menjualnya, kami tentu berhenti menambang pasir. Tapi di mana pasar barang ini?’ kata Rostiana.
***
Saya kembali berkunjung ke Wakatobi di bulan Oktober 2011 dan terhenyak menyaksikan program pendukung infrastuktur telah mengubah wajah perkampungan Bajo.
Jalan lebar yang dibangun pemerintah telah menutupi selokan tempat sampan-sampan orang Bajo Mola berlalu-lalang. Kanak-kanak Bajo kehilangan tempat berenang. Sampah menumpuk di selokan bercampur kotoran manusia.
Sebuah bangunan kakus umum berwarna perak dibangun di depan masjid Mola Utara. Tujuan pembangunan kakus itu mulia, agar orang Bajo tak mencemari laut dengan cara buang hajat mereka yang dianggap tak bertata krama pada laut. Tapi tim pembangunan kakus ini tidak peka. Bagi orang Bajo yang memeluk Islam, keberadaan kakus besar depan masjid itu adalah tindakan pelanggaran.
Untuk mengentaskan kemiskinan, program pinjaman lunak yang dibayar harian, mingguan, bulanan beredar di rumah-rumah warga Bajo ini. Kini bisa dihitung dengan jari jumlah warga Bajo yang tak memiliki utang. Utang dikeluarkan oleh lembaga swadaya masyarakat, bank, dan renternir. Bunga pinjaman bervariasi antara 10 persen sampai 50 persen. Pinjaman dilakukan dengan berbagai tujuan: memasang sambungan listrik, perbaikan rumah, bayar uang sekolah, biaya pengurusan paspor untuk ke Malaysia, biaya nikah, modal membuat kue. Suku yang tak pernah mengenal kata ‘utang’ ini mengalami transformasi sebagai suku pengutang terbesar di perkampungan kecil ini. Begitu mereka terperosok dalam jerat renternir, maka hanya keajaiban yang membuat mereka bisa bebas dari belitan utang.
Jauhnya mata rantai pasar Wakatobi dari nelayan lokal telah membuat nelayan Bajo jadi sasaran empuk renternir, yang bisa semena-mena menurunkan harga ikan.
Marsudin memiliki utang Rp 30 juta, dari utang awal Rp 9 juta, setelah tak pernah mampu memberikan hasil tangkapan ikan kerapu pada bos pemberi utang—salah satu renternir berkedok orang baik hati di kampung Bajo. Kini Marsudin tak bisa tidur nyenyak.
Bajung berurusan dengan polisi karena lalai membayar utangnya sebesar Rp 1,6 juta (versi Bajung) di tahun 2000 an dan Rp 2 juta (versi pemberi utang). Semua transaksi utang dibuat tanpa catatan. Kalaupun ada catatan, kertas itu kusut-masai, tak terbaca.
‘Padahal tiap setengah bulan saya datang dari lokasi pemancingan untuk menyetor kerapu-kerapu. Tapi utang tak lunas-lunas,’ ujar Bajung.
Bajung kemudian mencoba peruntungan lain. Ia berurusan dengan Bank Rakyat Indonesia. Ia menggadaikan sertifikat rumahnya untuk modal pinjaman Rp 5 juta. Ia mengganti KTP dua kali atas suruhan kepala desa dan membuatnya kehilangan Rp 300 ribu untuk seluruh proses pembuatan dokumen kependudukan itu. Rumahnya di foto. Ikan-ikan yang hendak dijual ke pasar diangkut ke sampannya, lalu ia diminta berpose. Klik, klik, klik…. Foto terbaru dicetak sebagai bukti ia memiliki alat usaha.
Berutang membuat hidup Bajung benar-benar tidak tenang, Ia melunasi utangnya tujuh bulan lebih cepat.
Inilah perubahan dan kerumitan dalam hidup orang Bajo berkaitan dengan kawasan surga bawah laut Wakatobi.***
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di Majalah Loka. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.
Indarwati Aminuddin, sedang menyelesaikan program magisternya di jurusan Leisure, Tourism and Enviroment di Wageningen University, Belanda.