(Catatan redaksi: artikel ini adalah penyesuaian dari kata pengantar untuk edisi perdana Jurnal IndoPROGRESS, yang akan terbit minggu ini).
BAGAIMANA sebaiknya kita membaca kasus kekerasan sektarian, khususnya yang mengatasnamakan Islam, yang sangat menonjol saat ini? Meminjam kategorisasi dari filsuf Slavoj Zizek,[1] jenis kekerasan yang terjadi mulai dari kekerasan langsung/fisik (aksi bom bunuh diri, penyerangan, pengusiran, pembunuhan, perampokan dan perampasan harta milik kelompok yang berbeda penafsiran dari penafsiran umum dalam aspek-aspek tertentu ajaran Islam dan terhadap mereka yang bukan Islam), hingga kekerasan ideologis (rasisme, penghinaan, dan diskriminasi seksual) terhadap nilai-nilai yang dipandang tidak Islami.
Yang menarik, dari seluruh parade kekerasan sektarian ini, negara bertindak tegas hanya dalam kasus teror bom.[2] Selain itu, negara melakukan pembiaran terhadap terjadinya tindak kekerasan yang merenggut korban jiwa tersebut.
Pertanyaannya kemudian (1) mengapa aksi-aksi kekerasan sektarian ini berlangsung sedemikian marak? (2) Apa penyebab dan tujuan dari aksi kekerasan tersebut? (3) Mengapa negara membiarkan tindak kekerasan itu terus berlangsung?; dan (4) Bagaimana kita menempatkan gerakan Islam demikian ini dalam konteks perjuangan mengatasi kapitalisme?
Jawaban populer dan dominan, yang selama ini dikemukakan oleh kalangan Islam Liberal dan Islam Moderat, menyebutkan kekerasan sektarian itu muncul sebagai hasil dari pemahaman keagamaan yang tekstualis atas kitab suci Al-Quran dan hadis Nabi dari para aktor tersebut. Akibat pemahaman seperti ini, tidak saja teks-teks keagamaan itu dicomot tanpa memperhatikan konteks ruang dan waktu, tapi sekaligus menjadikan teks-teks itu membeku (jumud). Jajang Jahroni dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, mengatakan ‘Model pemahaman keagamaan yang tekstualis bisa mendorong orang untuk melakukan kekerasan agama.[3] Berbagai aliran keagamaan dalam Islam yang dianggap merepresentasikan pemahaman tekstualis tersebut, misalnya, neo-Wahabisme, neo-Khawarij, Bin-Ladinisme,[4] dst. Akibat pemahaman yang demikian, maka tindak kekerasan sektarian ini terjadi karena semata-mata melihat yang lain itu berbeda dari pemahaman mereka atas Islam. Dalam istilah yang populer, para pelaku kekerasan ini merasa Islam-nyalah yang paling benar, sementara orang Islam yang lain adalah salah dan sesat.
Jawaban ini mungkin memadai untuk melihat relasi internal di kalangan umat Islam. Lalu bagaimana menjelaskan tindak kekerasan yang dilakukan terhadap penganut agama lain, terhadap mereka yang berpaham sekuler, dan juga pembiaran oleh negara? Di sini kita menemukan penjelasan yang merupakan perluasan dari penafsiran keagamaan tekstualis tersebut. Karena pemahaman yang sempit dan jumud itu, maka sesungguhnya para pelaku kekerasan itu punya agenda lebih jauh lagi, yakni menjadikan Indonesia sebagai negara Islam atau bahkan menjadi bagian dari kekhalifan (imperium) Islam. Argumen ideologisnya, karena Islam tidak hanya merupakan agama yang paling benar, tapi juga agama yang tidak mengenal pemisahan antara kesalehan individual dan kesalehan publik sehingga konsekuensinya Islam tidak mengenal konsep pemisahan agama dari negara.[5] Argumen politiknya berdasarkan pada klaim bahwa karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, maka wajar jika nilai-nilai Islam menjadi dasar, pedoman, dan petunjuk pelaksana kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, para pelaku (aktor dan institusi) kekerasan ini, bukan sekadar anti penafsiran keagamaan semata, tapi juga anti terhadap nilai-nilai yang dipandang tidak bersumberkan pada ajaran Islam. Di sini lantas muncul situasi yang sebenarnya paradoks: secara ke dalam, Islam yang diklaim paling benar adalah Islam versi neo-Khawarij dan neo-Wahabbi yang sebenarnya secara kuantitas jumlahnya minoritas; sementara secara ke luar Islam menjadi dasar pembenar agenda dan tindakan politiknya karena klaimnya yang mayoritas.
Klaim Islam mayoritas ini kemudian bertemu dengan kepentingan politik sempit dari para individu pejabat negara, politisi maupun partai politik untuk melanggengkan kekuasaannya. Di satu sisi terjadi persekongkolan jahat antara elite negara dan partai politik dengan para pelaku tindak kekerasan ini, tapi di sisi lain, yang dianggap lebih utama, para petinggi negara itu sesungguhnya takut dengan, apa yang disebut ilmuwan politik Saiful Muzani sebagai ‘kuasa umat.’[6] Menurut Muzani, elite negara itu takut terhadap umat kalau harus mengatakan pendapatnya yang bertentangan keyakinan dengan kalangan Islam politik. ‘Mereka takut dinilai merusak Islam, dan takut dimusuhi umat Islam.’ Dan itu berarti senjakala bagi karir politiknya.
Dengan analisa seperti ini, maka solusi yang dikedepankan adalah mendorong terus-menerus upaya-upaya dialog umat (baca: elite) beragama baik secara internal maupun eksternal, serta melakukan perlawanan terhadap aksi-aksi kekerasan tersebut. Realisasi dari perlawanan ini mengambil bentuk pertarungan wacana guna mengeliminir penafsiran sempit dan jumud, terus mempropagandakan keutuhan dan kefinalan bentuk negara kesatuan republik Indonesia dan Pancasila sebagai dasar bernegara, sekaligus melakukan mobilisasi massa untuk menentang secara fisik, dan terakhir mendorong negara untuk secara tegas dan konsisten menegakkan hukum, termasuk mengadopsi undang-undang anti teror. Karena ‘elite negara’ takut terhadap ‘kuasa umat,’ maka strategi lain yang diambil adalah dengan masuk ke dalam lingkaran elite negara, dengan tujuan memberikan informasi yang berimbang serta mempengaruhi para elite tersebut agar mengeluarkan kebijakan yang berpihak pada penguatan demokrasi, pluralisme, dan rule of law.
Jika analisa ini kita cermati, maka ada dua soal serius yang menganggu: pertama, dengan menyebut para pelaku kekerasan itu sebagai orang atau kelompok tekstualis maka diasumsikan ada hubungan trans-historis di antara teks dan pengalaman Islam perdana dengan mereka, paling tidak secara intelektual. Studi sarjana Deepa Kumar dari Rutgers University, AS, menunjukkan bahwa tidak ada hubungan langsung, intelektual maupun politik, antara tradisi Islam perdana dengan kebangkitnya Islam politik saat ini.[7] Analisa ini juga secara sengaja mengabaikan aspek-aspek historis dan ekonomi-politik dari pelaku kekerasan ini, misalnya, mengabaikan pasang-surut perjuangan Islam Politik di Indonesia, mengabaikan pasang-surut hubungan Islam Politik dan negara di Indonesia, serta respon Islam Politik terhadap dinamika politik internasional; kedua, analisa ini mengasumsikan bahwa negara ada dalam posisi netral, tapi netralitas itu menjadi goyah dan boyak ketika informasi yang diterima serta dukungan yang diharapkan para elitenya tidak berimbang; ketiga analisa ini sama sekali tidak memperhitungkan aspek ekonomi-politik dimana aksi kekerasan itu muncul, dalam hal ini berlangsungnya sistem kapitalisme-neoliberal pasca runtuhnya rejim orde baru.
Untuk mengatasi kelemahan dari analisis di atas, perlu dimajukan analisis lain yang saya sebut sebagai ‘pendekatan ekonomi politik dalam studi Islam Politik di Indonesia.” Melalui pendekatan ini, kita melihat Islam Politik sebagai sebuah fenomena politik yang melekat pada periode sejarah yang konkret, yang lahir dari sebuah proses perjuangan kelas dan perjuangan politik. Untuk itu, sebuah tinjauan historis, serta respon terhadap perkembangan ekonomi-politik nasional dan internasional perlu diperhatikan secara serius.
Hubungan Islam politik dan negara di Indonesia
Sebelum lanjut, perlu dikemukakan apa yang dimaksud Islam Politik dalam artikel ini, yakni sebuah gerakan Islam yang meyakini dan memperjuangkan bahwa Islam tidak mengenal konsep sekularisasi (pemisahan agama dari negara), menolak nilai-nilai asing yang bertentangan dengan nilai Islam, dan tidak segan-segan menggunakan jalan kekerasan dalam perjuangan untuk mencapai tujuannya. Di sini, Islam Politik bisa mengambil bentuk organisasi partai politik atau non-partai; mengikuti jalur perjuangan parlementer maupun non-parlementer.
Keberadaan Islam Politik di Indonesia, sebenarnya bukanlah sebuah fenomena yang baru, apalagi fenomena pasca runtuhnya orde baru. Ia bukanlah produk dari terbukanya keran kebebasan politik akibat runtuhnya rejim orde baru. Juga Islam Politik tidak selalu mengusung isu tunggal, negara Islam, misalnya, apalagi bentuk kekhilafan, serta pandangan yang diskriminatif terhadap keyakinan lain yang berbeda. Tetapi, Islam Politik juga tidak memiliki akar yang kuat dalam sejarah pergerakan Islam di Indonesia. Seperti ditunjukkan Vedi Hadiz, dalam artikelnya ‘Menuju Suatu Pemahaman Sosiologis Terhadap Radikalisme Islam di Indonesia,’ pada masa pergerakan Indonesia menuju kemerdekaan, menjadi seorang Islam-cum Nasionalis atau bahkan menjadi seorang Islam-cum Komunis, bukanlah hal yang janggal apalagi terkutuk. Dan menurut Vedi, fenomena ini bukan merupakan ciri ‘Indonesia’ semata, tapi juga terjadi di ‘negara-negara’ Timur Tengah kala itu.
Tidak berarti para aktivis Islam ini tidak memiliki kekhawatiran terhadap ide-ide sosialis atau komunis atau nasionalis, tetapi mereka memperlakukan ide-ide tersebut sebagai hal yang memperkaya pemikiran dan praktek politiknya. Hal itu, misalnya, tampak pada figur HOS Tjokroaminoto, pemimpin utama Sarekat Islam, yang melihat kesesuaian Islam dan Sosialisme, atau pada sosok Soekarno, yang melihat pentingnya Islam, Marxisme, dan Nasionalisme bergandeng tangan. ‘Bahkan, Haji Agus Salim, yang memusuhi komunisme, menganjurkan perlawanan terhadap ‘setan’ kapitalisme.’[8]
Keberadaan Islam Politik dalam sejarah politik Indonesia modern, baru muncul pasca kemerdekaan. Lebih khusus lagi, menurut Hadiz, jejaknya mulai menguat pada era Perang Dingin dan terutama masa penindasan yang panjang oleh rejim orde baru. Di masa Perang Dingin, Amerika Serikat melalui strategi pengepungan global (containment strategies) untuk menghancurkan komunisme, telah menjadikan Islam Politik dan tentara, khususnya Angkatan Darat, sebagai musuh utama Soekarno dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Aliansi strategis dalam strategi pengepungan global ini, juga bukan khas Indonesia, tapi disesuaikan dengan konteks geografis dan konfigurasi politiknya. Misalnya, di negara-negara Amerika Latin, AS membangun aliansi strategis dengan militer dan gereja Katolik, untuk menghancurkan serikat buruh radikal, pemerintahan populis atau nasionalis radikal, serta gerakan sosialis-komunis. Di Timur Tengah, AS membangun aliansi dengan kekuatan Islam dan militer seperti di Mesir, atau dengan monarki absolut seperti di Arab Saudi dan Iran. Di Pakistan, AS mendukung rejim kediktatoran militer Zia Ul-hag serta kelompok-kelompok Islam Politik garis keras untuk menghancurkan gerakan kiri dan selanjutnya memfasilitasi dan melatih sukarelawan perang dari seluruh dunia Islam untuk melawan pendudukan Sovyet di Afghanistan. Demikian juga yang terjadi di Korea Selatan, Taiwan, Singapura, Malaysia dan Thailand.
Aliansi strategis antara Islam Politik dan militer ini berpuncak pada pembantaian besar-besaran anggota PKI dan kekuatan-kekuatan nasionalis-kerakyatan pada 1965 dan sesudahnya. Tetapi, masih menurut Hadiz, bulan madu antara Islam Politik dan rejim orde baru ini tak berlangsung lama, karena orde baru menganggap Islam Politik sebagai musuh potensialnya setelah kehancuran gerakan kiri. Jika Islam Politik yang memiliki basis massa serta kemampuan memobilisasi basisnya ini tetap diakomodasi, maka hal itu ‘jelas menentang logika dasar orde baru – yang memulai pembangunan kapitalis di atas basis stabilitas sosial yang muncul melalui politik demobilisasi masyarakat secara luas.’[9] Menurut Coen Husain Pontoh, penghancuran gerakan kiri dan dieliminasinya Islam Politik pada masa awal orde baru ini, merupakan konsekuensi dari diterapkannya model pembangunan ‘ketergantungan neokolonialisme/dependent neocolonialism.’[10]
Dalam model pembangunan ini, negara orde baru memilih beraliansi dengan rejim dan korporasi imperial dalam mengeruk kelebihan tenaga kerja secara intensif. Dalam model aliansi kelas ‘dependent neocolonialism’ ini, apa yang pertama kali dilakukan rejim berkuasa adalah menghancurkan seluruh kekuatan rakyat, baik yang beraliran kiri maupun nasionalis-kerakyatan, dengan cara-cara kekerasan langsung oleh lembaga militer maupun polisi. Dan setelahnya menyusul kekuatan Islam politik yang dibatasi aktivitasnya. Kekerasan langsung (pembunuhan, penculikan, pemenjaraan, pengasingan, dan penganiayaan fisik dan mental), menjadi ciri utama dari rejim yang disebut sosiolog James Petras, sebagai rejim Neo-fasis.[11] Tetapi – ini yang paling esensial – aksi kekerasan pada tahap awal ini, tidak semata bertujuan menundukkan gerakan kerakyatan dan memaksakan kepatuhan pada kekuasaannya. Tindak kekerasan itu adalah prasyarat atau pondasi bagi proses ekspansi dan akumulasi kapital sebagai hasil langsung dari aliansi kelas ‘dependent neocolonialism’ itu.
Dalam konteks kekerasan sebagai pondasi proses ekspansi dan akumulasi kapital, maka menurut Anto Sangaji, sejarah kekerasan negara ini sesungguhnya berakar jauh sejak masa kolonial.[12] Melalui telaah historis itu, Sangaji menyimpulkan bahwa ‘kemunculan negara orde baru yang penuh dengan teror kurang lebih meneruskan, memperdalam, dan mencanggihkan tindak-tanduk negara kolonial.’[13] Memperkuat pendapat Pontoh, Sangaji menambahkan, ratusan ribu orang yang dibantai dan dipenjara setelah peristiwa G30S 1965, merupakan kondisi yang diperlukan untuk melebarkan sayap kapitalisme. Institusi-institusi dasar sistem ini, yang memang sudah berakar sejak zaman kolonial, dimajukan lagi secara revolusioner.
Akibat dari model pembangunan ‘ketergantungan-neokolonialisme’ ini, muncul dua keadaan: kesenjangan ekonomi yang luar biasa antara elite dan massa serta absennya kekuatan kiri dan nasionalis progresif yang menentang ekspansi dan akumulasi kapital tersebut. Satu-satunya kekuatan politik yang berpotensi melawan aliansi ini adalah kekuatan Islam Politik. Dan seperti ditunjukkan oleh studi Hadiz, Islam Politik mampu menjadi kanalisasi dari keresahan sosial yang muncul sebagai hasil dari pembangunan kapitalistik. Dan ketika cara-cara kekerasan langsung oleh negara untuk membungkam lawan politik dianggap bukan lagi satu-satunya metode yang efektif, negara kemudian mengintrodusir aspek ideologis (kekerasan ideologis) untuk membenarkan seluruh kebijakannya. Setelah kasus Malari 1974, rejim orde baru mulai secara serius menggarap sisi kekerasan ideologis ini.
Pertanyaannya kemudian, ideologi seperti apa yang bisa dibangun di atas praktek kekerasan politik dan akumulasi kapital yang berdarah-darah itu? Dari hasil studi komparatifnya atas Brazil di bawah rejim kediktatoran militer, Iran di bawah rejim Shah, dan Afrika Selatan di bawah rejim Apartheid, Petras menyimpulkan bahwa rejim neo-fasis ini tidak memiliki satu rumusan ideologi yang komprehensif. Apa yang dilakukannya adalah memainkan beragam aspek ideologi tertentu, seperti doktrin keamanan nasional, anti-komunisme, revivalisme tradisional, dan modernisasi ekonomi.[14]
Dari sinilah kemudian persilangan antara Islam Politik dan rejim orde baru memasuki fase barunya. Eklektisisme beragam aspek ideologi di atas, di satu sisi memberi jalan bagi negara untuk menindas dan mengkooptasi Islam Politik yang berpotensi menganggu kelancaran ekspansi dan akumulasi kapital, dan disaat bersamaan membiarkan bahkan memfasilitasi perkembangan nilai-nilai Islam puritan/skripturalis yang sebenarnya tidak memiliki akar sejarah yang kuat dalam perkembangan Islam di Indonesia. Sehingga pada masa orde baru, kita melihat dua wajah Islam Politik: pertama, Islam Politik radikal yang ditindas orde baru, yang kemudian bergerak di bawah tanah atau mengungsi ke negara lain; dan kedua, Islam Politik moderat, baik yang bekerja sama dengan orde baru dimana beberapa elemennya, seperti dari alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan kemudian Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) mengisi posisi-posisi penting di birokrasi dan juga bisnis, maupun mereka yang bergerak di luar negara dengan menggunakan jaringan mesjid sebagai pusat aktivitas dakwah, pelayanan kesehatan, dan ekonomi skala kecil. Dalam waktu singkat, Islam Politik moderat ini menjadi alternatif sekaligus tempat pelarian psikologis masyarakat lapis bawah dari ketertindasannya. Pada kelompok kedua ini, orde baru menanamkan doktrin anti-komunisme dan anti Barat (walau tidak sepenuhnya berhasil), tetapi tidak anti orde baru.
Islam politik di masa demokrasi-neoliberal
Untuk mengatakan bahwa gerakan Islam Politik sepenuhnya terkooptasi oleh politik imperial dalam konteks Perang Dingin, terlalu menyederhanakan. Pada satu sisi, memang terjadi aliansi antara kekuatan imperial dan partner lokal dengan kekuatan Islam Politik, seperti yang terjadi di Indonesia, Pakistan, dan Arab Saudi untuk menghancurkan kekuatan kiri dan nasionalis-kerakyatan. Tetapi, terdapat juga kasus dimana kekuatan imperial secara sengaja menggunakan militer untuk menghancurkan kekuatan kiri dan nasionalis tanpa harus beraliansi dengan Islam politik, seperti yang terjadi di Iran masa perdana menteri Mohammad Mosaddegh yang beraliran nasionalis. Seperti ditulis Aijaz Ahmad, pada 1953, tahun ketika CIA mengorkestrasi penggulingan Mosaddegh, hampir tak ada seorangpun yang meramal dan memprediksi bahwa dalam seperempat dekade kemudian akan terjadi Revolusi Islam di Iran.[15]
Jika melihat fakta historis, maka kebangkitan Islam politik, dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berinteraksi: pertama, munculnya kekuatan radikal sekuler (nasionalis, populis dan sosialis/komunis) yang kemudian mendominasi politik nasional di negara-negara baru merdeka. Kekuatan radikal-sekuler ini, disamping perbedaan dan konflik internalnya, membagi misi yang sama yakni anti dominasi neo-kolonialisme dan neo-imperialisme, dan ingin membangun sistem perekonomian yang mandiri dan independen; kedua, begitu merdeka, negara-ngara baru menghadapi situasi politik internasional yang ditandai oleh Perang Dingin, sehingga kekuatan sekuler-radikal ini menjadi target imperialisme untuk ditaklukkan guna membendung pengaruh Uni Sovyet. Dalam proses penghancuran itu, kaum imperialis membangun aliansi terbuka maupun tertutup dengan militer serta Islam Politik; ketiga, dengan hancurnya kekuatan sekuler-radikal, maka negara-negara baru merdeka ini umumnya dipimpin oleh rejim kediktatoran militer yang beraliansi dengan negara-negara imperialis demi kepentingan ekspansi dan akumulasi kapital. Dalam konteks ini, ketika kekuatan radikal-sekuler absen dalam peta politik, maka kekosongan itu diisi oleh Islam Politik dengan jargon-jargon yang sarat muatan revivalis; keempat, ketika Perang Dingin usai maka aliansi ini pun goyah dan mengambil bentuknya yang baru. Politik imperial kemudian bergeser dari strategi pengepungan komunisme Sovyet, menjadi strategi ‘Promosi Demokrasi,’ yang dalam bahasa populernya disebut ‘Transisi Demokrasi.’
Dimulai dari negara-negara bekas Uni Sovyet, proyek transisi demokrasi ini menggilas negara-negara yang dipimpin oleh kediktatoran militer, di Amerika Latin, dan sebagian Asia. Dalam strategi promosi demokrasi ini, kepada negara-negara ‘baru’ tersebut segera diperkenalkan sistem demokrasi prosedural yang ditandai oleh pemilu yang berlangsung reguler; kebebasan mendirikan partai politik, kebebasan bersuara, dan penegakkan hukum; sementara pada saat bersamaan, sistem ekonomi kapitalisme-neoliberal tengah mendominasi kebijakan ekonomi negara-negara imperialis sebagai akibat gagalnya model Keynesianisme dan Sosial-Demokrasi pada akhir dekade 1960an. Karena itu secara ekonomi, negara-negara baru ini dipaksa untuk mengadopsi kebijakan kapitalisme-neoliberal melalui kebijakan yang disebut penyesuaian struktural (structural adjustment). Kita sebut rejim baru ini sebagai ‘rejim demokrasi neoliberal.’
Di Indonesia, setelah runtuhnya orde baru proses transisi demokrasi juga didesain melalui jalur ini, dimana proses demokratisasi politik dijalankan beriringan dengan neoliberalisasi penuh di sektor ekonomi. Rakyat yang selama 30 tahun hidup dalam sistem politik yang tersentralisasi serta aktivitas ekonomi yang kaku dan dikontrol negara, dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan sistem baru yang mengejutkan ini. Di sektor politik, dalam waktu singkat bermunculan ratusan partai politik, ribuan organisasi massa dan LSM. Mereka yang sebelumnya tiarap, baik yang di kiri maupun yang di kanan, yang mengusung ide nasionalis, sosial demokrat, maupun Islamis, muncul ke permukaan dan mencoba bersaing dengan aktor-aktor lama yang sukses bertahan dari gelombang pasang anti orde baru.
Di sektor ekonomi, proses restrukturisasi berlangsung lebih kompleks tapi juga lebih lancar. Kompleks karena proses restrukturisasi ini melibatkan rejim dan korporasi imperial, sementara lebih lancar karena restrukturisasi itu mendapatkan rasionalisasinya pada momen krisis ekonomi yang parah serta tidak adanya kekuatan politik yang menentangnya. Sebagaimana dicatat Pontoh, di mata rejim dan korporasi imperial, rejim neo-fasis orde baru yang otoriter dan kaku (rigid) dianggap tidak lagi kompatibel dan efektif sebagai sekutu kapital yang sangat fleksibel dan bergerak sedemikian cepat dari satu tempat ke tempat lainnya. Misalnya, jika pada masa rejim neo-fasis BUMN dianggap sebagai institusi yang mumpuni untuk proses ekspansi dan akumulasi kapital, maka pada era kapitalisme-neoliberal, BUMN dianggap sebagai penghalang utama bekerjanya mekanisme pasar, sehingga itu harus diprivatisasi.
Restrukturisasi ekonomi politik ini, tidak saja menyebabkan munculnya aliansi baru di kalangan elite, tapi juga menyebabkan negara terbatas dalam menggunakan strategi kekerasan langsung dan kekerasan ideologis untuk meraih kepatuhan sukerala dari rakyat. Sentimen anti-militer yang kuat, telah menyebabkan aparatus negara ini bertindak selektif dalam operasinya. Sementara itu, secara ideologis terma-terma semacam ‘kemanan nasional,’ ‘stabilitas nasional,’ ‘anti Pancasila,’ ‘subversif,’ sudah tidak mempan untuk menundukkan lawan politik. Satu-satunya legitimasi kekuasan saat ini harus dicapai melalui pemilihan umum.
‘Apa yang tersisa dari doktrin rejim neo-fasis adalah sentimen anti komunisme yang tetap bercokol dan terus dipompakan di kepala massa oleh kelompok sektarian semacam FPI. Dengan terus mereproduksi isu bahaya komunisme, rejim elektoral ini melakukan pembiaran terhadap aksi-aksi kekerasan oleh FPI dan Front Umat Islam (FUI). Dengan pembiaran itu, rejim ini telah sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui: melalui pembiaran itu mereka tidak perlu mengotori tangannya dengan aksi kekerasan, sekaligus menempatkan mereka di atas konflik horisontal. Dengan membiarkan FPI dan FUI mengusung isu bahaya komunisme, seperti rejim neo-fasis, mereka berusaha memblok munculnya analisa dan definisi kelas dari struktur sosial-ekonomi yang eksploitatif saat ini. Dengan mengganyang kelompok yang mengusung isu-isu pluralis, kesetaraan gender, perilaku seksual yang berbeda, serta kelompok keagamaan lain yang dianggap sesat, rejim ini mematikan inisiatif-inisiatif dari bawah yang menawarkan perspektif alternatif di luar tema-tema purifikasi dan simbolisasi keagamaan. Terlebih lagi, kelompok seperti FPI dan FUI ini sama sekali tidak pernah mengusung tuntutan pelanggaran hak asasi manusia oleh negara, atau berdiri di garis depan isu anti korupsi, atau memprotes pencaplokkan tanah oleh korporasi yang didukung oleh militer dan polisi, serta isu-isu struktural-vertikal lainnya.’
Pada titik ini, negara bukan kalah di hadapan kelompok-kelompok simbolis-moralis-relijius ini, sebaliknya negara malah menggunakan tangan-tangan mereka untuk menggebuk kelompok-kelompok yang mengganggu proses konsolidasi rejim kapitalisme-neoliberal saat ini.”[16]
Otoritarian anti imperialisme
Kita telah melihat bagaimana proses bangkit dan menguatnya Islam Politik ini di Indonesia. Dan seperti yang telah kita saksikan, hubungan antara Islam Politik dan negara dalam panggung kekerasan ini, berlangsung sangat dinamik. Dalam arti, negara tidak serta-merta bisa mendikte Islam Politik atau sebaliknya Islam Politik tidak memiliki aspirasi yang berbeda dengan aspirasi negara. Yang terjadi, pada satu momen keduanya beraliansi secara saling menguntungkan, dan pada momen lainnya bisa saling pengaruh atau bahkan saling menegasikan.
Dengan pemahaman seperti ini, maka kita memberi peluang untuk melihat bahwa ide-ide revivalis tersebut merupakan gagasan independen Islam Politik, yang merupakan akumulasi dari sejarah panjang perjuangan mereka berhadapan kekuasaan imperial dan kekuatan politik nasional lainnya. Karena itu, penting untuk melihat ide-ide revivalisme Islam Politik (negara Islam, kekhalifahan, maupun penerapan syariat Islam) dihadapkan dengan sistem kapitalisme-neoliberal yang diadopsi rejim saat ini. Apakah gagasan revivalis itu bertujuan pembebasan atau sebaliknya?
Di sini, menarik mengikuti argumen dari sosiolog asal Iran Asef Bayat,[17] yang mengatakan bahwa politik anti imperialis dari kalangan revivalis atau Islam politik ini, bukanlah politik yang membebaskan. Menurut Bayat, kalangan Islam politik menyadari bahwa ketertinggalan ekonomi, kekalahan politik, dan hancurnya ikatan-ikatan sosial, serta bangkrutnya nilai-nilai kultural umat Islam, disebabkan oleh dominasi dan hegemoni kekuatan ‘Barat.’ Tetapi yang yang paling esensial dan menyakitkan bagi kalangan Islam politik ini adalah kekalahan kulturalnya, yang disebabkan oleh ‘imperialisme lunak’ kekuatan Barat melalui ilmu pengetahuan, teknologi, film, buku-buku, ide-ide dan nilai-nilai asing yang tak ada rujukannya dalam Islam (seperti pluralisme, isu HAM, kebebasan perempuan dan pengakuan atas keragaman seksual), yang telah mensubversi keyakinan generasi muslim di dunia Islam.
Mereka tidak melihat bahwa kekalahan itu disebabkan oleh soal-soal konkret dan historis dari proses ekspansi dan akumulasi kapital. Mereka juga menutup mata terhadap pembagian kerja seksual yang tidak adil, siapa yang diuntungkan dan dirugikan dari proses ekspansi dan akumulasi kapital tersebut, bagaimana formasi kelas yang terbentuk, dan bagaimana proses aliansi politik yang terbangun, serta menutup mata terhadap konflik yang nyata antara rakyat yang dimiskinkan oleh sistem kapitalisme-neoliberal dan elite yang diuntungkan dari sistem itu. Karena itu, kita tidak melihat perlawanan Islam Politik ini terhadap ideologi, struktur dan cara kerja rejim kapitalisme-neoliberal. Bahkan pada kelompok semacam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), ketika mereka mengumandangkan slogan anti imperialisme, yang dimaksud adalah imperialisme Amerika.
Singkatnya, perlawanan Islam politik terhadap imperialisme adalah perlawanan di wilayah hegemoni.[18]Sehingga tidak heran jika realisasi dari perlawanan itu adalah purifikasi Islam: pakaian Islam, lagu-lagu Islam, novel Islam, film Islam, sekolah Islam, pembatasan perempuan dari aktivitas publik, anti pluralisme, anti HAM, anti demokrasi, dan anti kebebasan berpikir. Jargonnya kemudian adalah ‘Anti Barat,’ ‘Anti Yahudi-Kristen,’ atau ‘Anti Amerika Serikat’ dalam makna yang abstrak. Mereka menolak ‘budaya Barat,’ tapi tidak menolak hubungan sosial produksi kapitalisme. Politik mereka, menurut Bayat, adalah politik ‘Otoritarian anti Imperialisme.’ Pada titik ini, politik yang diusung oleh Islam Politik adalah politik yang tidak membebaskan.***
Coen Husain Pontoh, Mahasiswa Ilmu Politik di City University of New York (CUNY)
[1] Slavoj Zizek, ‘Violence,’ Picador, 2008, p. 10.
[2] Akibatnya, tindakan tegas ini dipandang secara sinis dan konspiratif, sebagai hasil pesanan Amerika Serikat dalam kerangka perang global melawan terorisme.
[3] Jajang Jahroni, ‘Tekstualisme, Islamisme, dan Kekerasan Agama,’ http://islamlib.com/id/artikel/tekstualisme-islamisme-dan-kekerasan-agama, 06/08/2006. Sebagai lawan dari pemahaman tekstualis ini, menurut Jahroni adalah pemahaman non-tekstualis yang tidak akan mendorong pemeluknya untuk melakukan aksi kekerasan.
[4] Istilah Bin-Ladinisme ini dikemukakan oleh aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL), Novrianto Kahar, dalam kolomnya di Koran Tempo, 10 Mei 2011. Menurut Kahar, ciri dari Bin-Ladinisme ini adalah agresi, intimidasi, dan bahkan persekusi terhadap mereka yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam.
[5] Analisis ini untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Bernard Lewis, dalam artikelnya ‘The Roots of Muslim Rage,’ yang terbit pertama kalinya di majalah The Atlantic,’ pada 1990. Dalam artikel ini, Lewis berargumen bahwa Islam tidak mengenal apa yang disebut sekularisme (pemisahan agama dari negara), sehingga itu Islam bukan hanya bertentangan dengan agama Yahudi-Kristen tapi juga peradaban Barat keseluruhan. Kemudian dalam bukunya What Went Wrong, Lewis menyimpulkan bahwa Islam sama sekali tidak mengenal apalagi mengijinkan apa yang disebut masyarakat non-agama. Konsep Lewis ini kemudian dipopularisasi oleh Samuel Huntington dalam bukunya yang menggemparkan The Clash of Civilization and the Remaking of World Order, 1998. Penjelasan soal ini, lihat lebih jauh, Deepa Kumar, ‘Political Islam: a Marxists analysis,’ International Socialist Review, Mar-Apr, 2011.
[6] Lihat Saiful Muzani, ‘Dalam Bayang-bayang Kuasa Umat,’ Koran Tempo, 9 Februari 2011.
[7] Lihar Kumar, ‘Ibid., p. 32.
[8] Lihat artikel Vedi R. Hadiz, ‘Menuju Suatu Pemahaman Sosiologis Terhadap Radikalisme Islam di Indonesia,’ https://indoprogress.com/2008/05/04/menuju-suatu-pemahaman-sosiologis-terhadap-radikalisme-islam-di-indonesia-bagian-1/
[9] Ibid.
[10] Lihat artikel Coen Husain Pontoh, ‘Kekerasan Negara, Dari Orde baru Hingga Kini,’ https://indoprogress.com/2010/07/26/kekerasan-negara-dari-orde-baru-hingga-kini/
[11] Ibid.
[12] Lihat artikel Anto Sangaji, ‘Teror oleh Negara,’ https://indoprogress.com/2010/03/29/teror-oleh-negara/
[13] Ibid.
[14] Lihat Coen, op.cit.
[15] Aijaz Ahmad, ‘Islam, Islamisms and the West,’ in Leo Panitch and Colin Leys (ed.), ‘Global Flashpoints Reactions to imperialism and neoliberalism,’ Socialist Register, 2008, Monthly Review Press, p. 33. Untuk diskusi lanjut soal ini, lihat Asef Bayat, ‘Islamism and Empire: The Incongruous Naures of Islamist Anti-Imperialism,’ ini Panitch and Leys, ibid., p. 38-54; juga studi Kumar, op.cit.
[16] Coen Husain Pontoh, op.cit.
[17] Op.cit., p. 43.
[18] Ibid., p. 44.