SEORANG SANTRI yang dibesarkan di pesantren, lalu beranjak hidup dalam realitas urban yang penuh dengan kontradiksi ekonomi dan sosial, dan berkenalan dengan Marxisme sebagai wacana yang mempesona, akan menemukan bahwa ia tengah berada dalam pilihan yang tak selalu mudah.
Setidaknya, ia memiliki salah satu dari dua kemungkinan berikut: ia akan memeluk Marxisme dengan sepenuh hati, dan dengan demikian, menerima konsekuensi-konsekuensi prinsipil dari Marxisme sebagai suatu ideologi perlawanan yang paling tegas dan keras terhadap tatanan sosial di mana ia hidup; tatanan yang ditandai oleh stratifikasi sosial yang melanggengkan ‘ketidaksetaraan’ dalam berbagai aspeknya. Ini berarti, si santri harus siap mengeluarkan dirinya, secara pelan tapi pasti, dari pesantren tempat ia dibesarkan, karena baginya, pesantren merupakan sebuah lembaga yang masih melanggengkan ‘ketidaksetaraan’ itu, dengan adanya, misalnya, privilese bagi kiai sebagai kelompok sosial yang mendapat perlakuan-perlakuan istimewa dalam masyarakat. Dengan begitu, sang santri ini akan mendapati dirinya lepas sepenuhnya dari ikatan-ikatan kultural di mana dia hidup dan mendapatkan makna eksistensialnya, dan menjadi pihak tersendiri yang merasa mampu menggerakkan perubahan sosial dengan jalan yang dipilihnya.
Atau, kemungkinan kedua: ia beradaptasi dengan Marxisme, namun juga mengadaptasikannya dengan nilai-nilainya sendiri yang dipelajarinya di pesantren. Ia akan menerima Marxisme dengan lebih lapang sebagai suatu ‘metode analisis sosial’ atau suatu ‘filsafat sosial’ yang muncul karena perubahan masyarakat yang semakin kompleks. Tentu, ia tidak akan menemukan persoalan-persoalan ‘eksploitasi ekonomi,’ ‘kapitalisme,’ ‘kontradiksi sosial,’ ‘struktur,’ dan lain seterusnya dalam dunia kitab kuning yang menjadi kawan akrabnya. Di kosmologi pesantrennya yang khidmat dan penuh ketenteraman, ia memang belajar bahwa ketidakadilan dalam berbagai jenisnya harus ditentang, tetapi dia memahaminya lebih dalam bingkai amar ma’ruf-nahi munkar, dan bukan ‘antagonisme kelas’ seperti diajarkan oleh Marxisme. Di sini, Marxisme memberi dia wawasan dan pengetahuan baru yang membuka matanya pada berbagai bentuk ketidakadilan yang berlangsung di masyarakat.
Kedua kemungkinan ini membawa dilema-dilema tersendiri yang cukup penting untuk dicermati. Kemungkinan pertama memberikan potret tentang kepemelukan Marxisme secara harfiah, yang melahirkan suatu penolakan atas segala dimensi kultural di mana dia hidup; pendek kata, ia meng-‘alienasi’-kan-diri (istilah yang begitu kontroversial dalam Marxisme) dari pesantren, karena alasan bahwa bagaimanapun, pesantren tetap terlibat dalam kelangsungan sistem sosial yang menjustifikasi ‘ketidaksetaraan.’
Pertama, secara kasatmata, kiai adalah kelompok sosial yang diuntungkan dalam relasinya dengan rakyat bawah. Karena pengetahuan keagamaannya, kiai mendapatkan perlakuan yang berbeda, dan pengetahuan ini menjadi ‘modal simbolik’ yang memungkinkan kiai memiliki apa yang tak dimiliki rakyat bawah: pengaruh dan otoritas moral. Dengan pengaruhnya, kiai menjadi aktor penggerak perubahan, tapi sekaligus meredam agar perubahan itu tidak berlangsung radikal-tak terkendali. Dengan otoritas moralnya, kiai mendapat wewenang yang setara dengan wewenang penguasa, sehingga kiai dapat saja dengan mudahnya bekerja sama dan berdiri sejajar dengan pemerintah yang sering kali menyengsarakan rakyat. Si santri ini tak dapat memahami, mengapa kiai dapat menjadi kalangan yang tetap ‘anteng’ dan seakan ‘tanpa masalah,’ ketika terdapat beribu problem ekonomi dan sosial yang melilit rakyat miskin di sekitarnya. Ia baru mengerti ketika ia sampai pada aspek kedua, ideologi moderatisme.
Benar, bahwa pesantren adalah penjaga moderatisme paling berkarakter di bumi Nusantara: moderatisme keagamaan. Namun, persis moderatisme inilah yang, bagi si santri, menjadi penyebab mengapa pesantren dapat begitu lunak terhadap penguasa yang berlaku tidak adil terhadap masyarakatnya, atau minimal tetap berkoeksistensi dengannya. Dengan moderatismenya, kiai berusaha menjadi ‘jembatan’ dari berbagai kelompok yang bertikai dan berkonflik, ketika bagi si santri-Marxis ini, ‘jembatan’ itu harus diputus untuk menciptakan garis perlawanan yang hitam-putih terhadap ‘musuh.’ Moderatisme dunia pesantren, baginya, adalah antitesis dari antagonisme yang merupakan jantung Marxisme—sesuatu yang membuatnya harus memilih either/or antara ‘kesantrian’ dan ‘kemarxisan.’
Namun, santri yang berangkat dari kemungkinan kedua, santri yang mempelajari Marxisme tapi mengadaptasikannya dengan kesantriannya, akan melihat bahwa santri dari kemungkinan pertama itu terlalu menggebu-gebu, untuk tidak mengatakan, ‘sentimentil.’ Santri pertama itu tidak benar-benar memahami betapa rumit, berat, dan berlikunya jalan kekiaian, karena menjadi seorang kiai merupakan suatu tanggung jawab yang muncul dari panggilan hati yang terdalam. Dia tidak memahami bahwa kiai tidak pernah memilih untuk menjadi kiai, sehingga berpikir bahwa kiai mengharapkan privilese tertentu dari masyarakat, merupakan suatu penilaian yang ‘tidak etis,’ ‘melanggar tatakrama,’ dan menyinggung nilai terdalam dunia pesantren itu sendiri.
Di sini, santri kedua ini memberi klarifikasi, bahwa pesantren bukan lembaga eksklusif yang mengambil jarak dengan masyarakatnya. Pesantren memang lahir dari masyarakat, dari rakyat bawah, dan karena itu, ia menjadi lembaga yang sangat populis. Ketika pendidikan di luar berlangsung begitu mahal hingga nyaris tak terakses, pesantren menjadi lembaga alternatif yang mampu menyediakan pendidikan yang murah. Bagi santri kedua, jika ada sosialisme yang sejati, barangkali pesantren adalah prototipe dari sejenis ‘sosialisme’ tanpa label sosialis. Di sini, semua orang berhak mendapat tempat. Semua berhak belajar, tanpa memandang kaya atau miskin.
Bagi santri kedua ini, memang, ia akui, kiai sering kali berkolaborasi dengan kekuasaan, sehingga menggerogoti kemandirian pesantren. Kiai telah menjadi ‘borjuis kecil.’ Tapi, jangan lupa bahwa banyak kiai yang benar-benar tidak memiliki modal apa pun selain ikatan batinnya dengan pesantren tempat dulu ia belajar—kiai-kiai ‘kecil’ yang tetap miskin, mandiri, dan merakyat. Karena itu, sarannya, jangan lihat pesantren hanya sebagai lembaga per lembaga, tapi lihatlah ia sebagai jaringan kultural yang memiliki potensi menjadi penggerak perubahan, bahkan perlawanan, sosial.
Memang, dia melihat ada perbedaan pendekatan, strategi, dan model perjuangan antara pesantren dan Marxisme. Marxisme merupakan produk modernisme yang berorientasi progresivitas dan kemajuan, sedangkan pesantren tampil sebagai jangkar tradisionalisme. Marxisme mendorong ‘keterputusan’ (dari kapitalisme), ketika pesantren mengajarkan ‘ketersambungan,’ kontinuitas. Marxisme cenderung tidak menyukai pendekatan moral, ketika pesantren selalu menggunakannya dalam memberi solusi bagi berbagai problem kemasyarakatan. Marxisme menghendaki revolusi, ketika pesantren melakukan transformasi. Itu sekilas membuat kesantrian dan Marxisme tak terdamaikan.
Namun, baginya yang terpenting rupanya bukan perbedaan strategi, tapi concern yang mempertemukan keduanya. Dia melihat, keduanya membawa misi perubahan yang sama: mengubah masyarakat menjadi lebih baik dalam berbagai aspeknya. Dengan kata lain: kemenyeluruhan perubahan sosial, yang diukur dari keterbebasan masyarakat dari patologi-patologi sosial yang diakibatkan oleh perubahan zaman: marjinalisasi, kemiskinan, ketimpangan, dan seterusnya. Di sini pesantren tampak lebih utuh dan menyeluruh daripada Marxisme: perubahan itu bukan semata ekonomis dan politis, tapi juga menyangkut kepribadian, mentalitas, dan spiritualitas.
Ia lalu menemukan sedikit ‘apologi’ bagi ‘ketidaksetaraan’ hubungan kiai-santri yang menggusarkan rekan pertamanya tadi. Baginya, ‘ketidaksetaraan’ itu sekadar penampakan lahiriah yang sulit dipahami oleh orang luar pesantren yang belum menyelami spiritualitas kesantrian. Pada dasarnya, di balik penampakkan yang mengecoh itu, kiai-santri ‘setara’ secara batin, karena setiap kiai adalah mereka yang pernah menjadi santri dan setiap santri adalah mereka yang kelak akan menjadi kiai. Hubungan ini terbangun dari loyalitas dan afeksi yang mendalam satu sama lain. Loyalitas, yang tak akan mudah dipahami oleh dialektika Tuan-Budak Hegel yang menjadi dasar filosofis Marxisme, karena ia tak dibangun dari hasrat saling menguasai.
Seorang santri yang besar di pesantren, lalu terlempar dalam realitas urban yang sarat kontradiksi, dan mempelajari Marxisme, barangkali akan menemukan Marxisme-nya sendiri yang lahir dari persilangan hibrid yang tak akan sederhana antara kitab kuning dan filsafat.***
Muhammad Al-Fayyadl, alumni UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di http://fayyadl.wordpress.com. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.