SERANGAN berdarah dan mematikan terhadap petani dan nelayan atas nama ekspansi kapital kembali terjadi. Lebih sebulan lalu, senin (22/8), protes nelayan karena operasi pengeboran minyak lepas pantai Tiaka di Kecamatan Momosalato, Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah, berakhir tragis. Dua pendemo tewas ditembak aparat keamanan dan lainnya luka-luka. Setelah insiden penembakan, aparat keamanan segera mengamankan lapangan minyak itu. Dua kapal perang, KRI Hiu dan KRI Teluk Ende, dikirim untuk melindungi ladang minyak Tiaka.[1] Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah juga mengerahkan 1 SSK (satuan setingkat kompi) Brimob dengan tujuan yang sama.[2]
Seperti biasa, cara paling mudah yang dilakukan aparat keamanan adalah mengambing-hitamkan para pendemo, dengan aneka alasan. Tanpa menghiraukan asal-muasal duduk masalah dengan jernih, para pendemo, misalnya, dituding bertindak anarkis sehingga aparat leluasa mengkriminalisasi warga dan melindungi kepentingan perusahaan. Informasi terakhir dari seorang pengacara pendamping korban, sudah 45 warga Desa Kolobawa yang ditetapkan sebagai tersangka.[3]
Seperti diketahui, lapangan minyak ini merupakan kerja sama antara Pertamina, perusahaan minyak nasional milik negara, dan Medco Energi, perusahaan minyak swasta transnasional milik Arifin Panigoro, pengusaha-cum-politisi yang berkibar sejak reformasi 1998. Kerja sama ini berbendera Joint Operating Body (JOB) Pertamina – Medco E&P Tomori Sulawesi dan akan berlangsung hingga tahun 2027. Komposisi kepemilikan perusahaan adalah: 50 persen saham dikuasai PT Pertamina Hulu Energi Tomori Sulawesi, anak usaha dari PT Pertamina Persero; PT Medco E&P Tomori Sulawesi memegang 30 persen saham; Mitsubishi Corporation menguasai 20 persen saham setelah mengakusisi 100 persen saham Tomori E&P Limited (TEL), anak perusahaan PT Medco Energy International Tbk, dengan nilai USD 260 juta. Blok Senoro-Toili, yang mencakup wilayah Senoro (onshore) seluas 188 kilometer persegi dan wilayah Toili (offshore) seluas 263 kilometer persegi ini, pada tahun 2010, menghasilkan minyak sebesar 335 MBOE (Million Barrels of Oil Equivalent).[4]
Duduk masalah Tiaka sudah diduga jauh-jauh hari. Sekitar 10 tahun lalu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Tengah dan Yayasan Sahabat Morowali (YSM), sudah mengingatkan potensi penghancuran ekonomi warga setempat menyusul rencana eksploitasi minyak lepas pantai itu. Kedua LSM menganggap eksploitasi akan menggusur atau menghilangkan akses Orang Bajau ke terumbu karang, yang secara tradisional merupakan sandaran utama kegiatan ekonomi suku laut itu. Mereka adalah mayoritas penduduk yang menghuni Desa Kolobawa Kecamatan Momosalato, yang menjadi korban kekerasan aparat keamanan. Kedua LSM juga memperkirakan kehancuran ekologi di sana karena terumbu karang seluas 44 hektar itu disulap menjadi pulau buatan dengan menimbun sebanyak tiga juta ton pasir dan kerikil yang didatangkan dari desa-desa di sekitar lokasi itu. Padahal, sebelum dilakukan penimbunan, 80 persen karang di Tiaka dalam kondisi baik. Karang Tiaka juga merupakan ekosistem bagi ikan Napoleon Wrasse (Cheilinus undulatus) dan kerang kima raksasa (Tridacna Spp) yang terancam punah.
Protes warga terhadap eksploitasi minyak di Tiaka, bukan yang pertama kali terjadi. Dalam catatan penulis, pernah puluhan nelayan, menggunakan perahu kecil, mendatangi Lapangan Tiaka dan melakukan unjuk rasa di sana pada 12 Januari 2006, ketika berlangsung seremoni pengapalan perdana minyak mentah. Mereka mengeluh mata pencahariannya sebagai nelayan menyempit dan pendapatan menurun. Mereka juga menuntut janji perusahaan yang akan memberikan sarana bagi para nelayan dan usaha perikanan.[5]
Sekitar empat tahun lalu, aktivis perdamaian asal Morowali, Lian Gogali[6] sudah menduga potensi kekerasan menyusul melimpah-ruahnya ekspansi kapital di wilayah itu, termasuk JOB Pertamina-Medco.[7] Terutama setelah terjadi militerisasi besar-besaran di kabupaten Poso dan Kabupaten Morowali, karena kekerasan di kedua wilayah. Di Morowali, kabupaten yang dimekarkan dari Poso semenjak pecahnya kerusuhan, militerisasi ditandai penempatan Kompi Pelopor 5 Brimob Sulawesi Tengah dan Kompi Senapan B Batalyon 714/Sintuwu Maroso. Tahun 2002, Komandan Komando Resort Militer (Korem) 132/Tadulako Kolonel Suwahyuhadji, sudah mengantisipasi penempatan satuan tempur dengan tujuan melindungi kepentingan investasi. Menurutnya, ini demi menjaga kekayaan sumber daya alam penting, selain karena konflik horisontal di sana.[8] Ringkasnya, militerisasi atas wilayah yang pernah dilanda kekerasan berdalih agama itu, pada dasarnya merupakan salah satu cara untuk melindungi ekspansi kapital, karena potensi resistensi dari para petani dan nelayan yang bakal kehilangan tanah dan akses terhadap sumber daya alam. Sekarang, penembakan Tiaka, secara telanjang mata, membenarkan tesis itu.
Makanya aneh, ketika Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola, sehabis kekerasan berdarah di Tiaka, bukannya mengevaluasi konflik-konflik karena ekspansi industri ekstraktif di wilayahnya, tetapi ‘mengemis’ kepada TNI untuk memperbanyak komando-komando teritorial dari level Komando Distrik Militer (KODIM) ke Komando Rayon Militer (KORAMIL), dengan dalih wilayahnya terlalu luas. Longki mengajukan permintaannya ketika menerima Tim kunjungan Sekolah Komando TNI yang dipimpin Brigadir Jenderal TNI Dede K Atmajaya di Palu. Tentu saja, permintaan itu disambut positif oleh sang jenderal, yang berjanji akan menyampaikannya ke pusat.[9] Dede sendiri tercatat sebagai Komandan Kodim 1307 Poso, ketika memanasnya kerusuhan Poso pada tahun 2001. Ia kemudian menjadi salah satu dari dua perwira eks komandan Kodim 1307 Poso yang menikmati promosi sebagai Kepala Staf Korem 132/Tadulako di Sulawesi Tengah, ketika wilayah teritorial mereka dilanda konflik keras.[10]
***
Pandangan dominan mengenai serangan aparat kekerasan negara terhadap petani dan nelayan karena ekspansi kapital seringkali reduksionis. Kekerasan kerap dilihat sebagai fenomena yang berdiri sendiri, terisolasi dari fondasinya, yakni kapitalisme. Turunannya, kritik terhadap kekerasan selalu terbatas pada aspek-aspek tertentu saja, katakanlah, penyalah-gunaan wewenang aparat kekerasan bersenjata. Solusinya, penyelesaian masalah dilokalisir pada level yang sama. Akar problem, yaitu, ekspansi kapital tidak disentuh.
Padahal, kita dengan mudah bisa melihat landasan teoritiknya. Sebagai sistem dengan karakter ekspansi geografi yang progresif, kapitalisme tanpa henti memerlukan ruang baru untuk mengeruk profit lebih besar. Reproduksi kapital, yakni, reinvestasi profit (nilai lebih) terus-menerus untuk memperoleh super profit, merupakan sifat dasar sistem ini. Perusahaan-perusahaan kapitalis, dengan satu dan lain cara, berkompetisi satu sama lain dengan reinvestasi profit termasuk memanfaatkan revolusi kemajuan teknologi untuk melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah baru secepat mungkin, demi perolehan bahan baku, eksploitasi tenaga kerja murah, dan perluasan pasar. Dengan demikian, perusahaan-perusahaan dapat bernafas panjang dan tidak tersingkir. Salah satu faktor penghambat ekspansi yang mesti dilewati adalah merebut ruang di mana masyarakat non-kapitalis masih eksis. Caranya adalah penghancuran masyarakat non-kapitalis melalui perampasan alat-alat produksi. Ini adalah sifat yang tertanam dalam ekspansi geografi dari kapitalisme.
Penjelasan lebih baik mengenai serangan terhadap petani dan nelayan mesti merujuk ke keniscayaan ekspansi kapital. Teori yang sesuai adalah apa yang disebut Marx sebagai akumulasi primitif (primitive accumulation).[11] Inti akumulasi primitif adalah (1) memisahkan para produsen independen, utamanya para petani, dari alat produksi mereka (tanah) melalui perampasan dan mengingkari hak-hak petani (termasuk hak-hak adat) atas tanah, sehingga dengan demikian menghasilkan monopoli alat produksi di segelintir tangan; (2) membentuk kelas pekerja yang berasal dari para petani yang kehilangan alat produkai. Dikatakan primitif, karena merupakan fase paling awal yang mendahului dan diperlukan sebelum proses akumulasi kapital (capital accumulation) berlangsung.[12] Yang membedakan akumulasi primitif dari akumulasi kapital adalah bahwa yang pertama bukan berlangsung di dalam hubungan-hubungan produksi kapitalis, tetapi menjadi pra-kondisi bagi akumulasi kapital. Yang kedua (akumulasi kapital) berlangsung di dalam hubungan-hubungan produksi kapitalis. Marx bilang ‘[primitive accumulation] forms the pre-history of capital, and the mode of production corresponding to capital.’[13] Akumulasi primitif, dengan demikian bukan merupakan efek akumulasi dari corak produksi kapitalis (capitalist mode of production), tetapi merupakan titik tolak (point of departure) dari akumulasi.[14] Akumulasi primitif, oleh karena itu, merupakan sebuah fase sejarah yang mendahului kelahiran kapitalisme. Marx menggambarkan fase ini sebagai transisi dari feudalisme ke kapitalisme.
Bertentangan dengan para ahli ekonomi politik klasik lain, yang menganggap perkembangan ekonomi kapitalis berlangsung melalui tindakan-tindakan para pihak yang terlibat secara sukarela, Marx justru menandaskan sebaliknya, dengan bukti historis lengkap, yakni kekerasan berdarah kerap menandai perkembangan itu. Menjelaskannya dalam konteks akumulasi primitif, dia menyatakan, kapital ‘mengalir dari kepala ke kaki, melalui pori-pori, dengan darah dan kotoran,’[15] ketika menyingkirikan semua bentuk hubungan-hubungan sosial pra-kapitalis. Kekuasaan dan kekerasan menjadi sentral dalam akumulasi primitif, seperti perampasan alat produksi. Juga melalui kolonialisme untuk mengontrol suplai bahan baku dan tenaga kerja murah yang melimpah-ruah. Marx memberi ilustrasi sejarah akumulasi primitif itu:
Penemuan emas dan perak di Amerika, penghancuran total, perbudakan, dan penguburan di pertambangan-pertambangan di wilayah penduduk-penduduk asli di benua itu, penaklukan dan perampasan India, menjadikan Afrika sebagai area perburuan komersial orang-orang kulit hitam, menandai permulaan era dari produksi kapitalis. Inilah keseluruhan gambaran sempurna mengenai momen-momen penting akumulasi primitif.[16]
Dewasa ini, sebagian teoritisi Marxis melihat akumulasi primitif sebagai proses yang sedang berjalan seiring dengan akumulasi kapital, tidak sekedar prakondisi sejarah. Di antaranya, ekonom Michael Perelman yang menganggap ‘akumulasi primitif memainkan sebuah peran yang terus berlanjut sebagai bagian dari perkembangan kapitalis’ pada zaman ini, bukan saja periode transisi dari pra-kapitalis di masa lalu.[17] Dengan menaruh perhatian khusus pada pandangan Marx tentang pemisahan antara produsen dan alat produksi, Massimo De Angelis melihat tidak ada perbedaan penting antara akumulasi primitif dan akumulasi kapital. Katanya, ‘pemisahan produsen dan alat produksi merupakan suatu ciri umum baik dalam akumulasi [kapital] maupun akumulasi primitif.’[18] Dengan begitu, akumulasi primitif, di mata Angelis, tidak semata merujuk ke momen sejarah kelahiran kapitalisme atau transisi dari feudalisme, tetapi pemisahan produsen dan alat produksi terjadi pada setiap waktu, termasuk di dalam corak produksi kapitalis paling maju sekalipun. Klaim ini merujuk ke pandangan Marx bahwa akumulasi proper (kapital) tiada lain dari akumulasi primitif.[19] David Harvey merumuskan ulang akumulasi primitif untuk mengerti kompleksitas kapitalisme dewasa ini dengan memperkenalkan apa yang dia sebut ‘accumulation by dispossession’ sebagai landasan bagi akumulasi kapital, khususnya ketika sistem kapitalisme dihadapkan kepada krisis yang terus berulang. Mengakui kesinambungan bentuk-bentuk klasik akumulasi primitif, seperti ditunjukkan Marx, dalam zaman kapitalisme modern, Harvey membuat daftar panjang mekanisme yang disebutnya ‘accumulation by dispossesion’ itu, di antaranya praktik spekulatif dan predator oleh hedge funds, penetapan hak paten dan lisensi melalui saluran WTO, komodifikasi sumber daya alam, komodifikasi semua bentuk ekspresi budaya, sejarah, dan kreativitas intelektual, korporatisasi dan privatisasi aset-aset publik, menanggalkan kebijakan-kebijakan yang pro kepentingan kelas pekerja dan lingkungan hidup, dan membebankan kembali kepada individu-individu di dalam masyarakat untuk mengurusi sendiri kepentingannya seperti jaminan hari tua dan pelayanan kesehatan.[20]
***
Kita dapat melihat akumulasi primitif dalam konteks ekspansi kapital dalam momen sejarah kontemporer. Krisis, sesuatu yang tertanam dalam sistem kapitalisme, adalah contoh. Di dalam sistem ini, dalam sejarahnya, setiap momen krisis selalu diikuti dengan usaha keluar dari krisis, dengan membuka ruang agar kapital dapat berekspansi lebih progresif. Krisis kapitalisme 1997/98 menjadi contoh terang, bagaimana kelas yang memerintah (the ruling class) secara global mendikte liberalisasi ekonomi Indonesia sebagai jawaban untuk memutar sirkulasi kapital kembali ke jalannya. Hasilnya, seperti terlihat belasan tahun terakhir, ekspansi kapital, khususnya industri berbasis sumber daya alam ke wilayah-wilayah non-kapitalis berlangsung agresif, memicu peningkatan konflik-konflik tanah dan sumber daya alam. Ringkasnya, pelajaran kontemporer mengenai akumulasi primitif di Indonesia dengan mudah ditelusuri dari krisis kapitalisme 1997/98 dan strategi berbasis pasar yang ekstrim sebagai jawabannya.
Ada beberapa ciri akumulasi primitif yang bisa dilihat dalam momen sejarah lebih konkrit, seperti peristiwa Tiaka. Pertama, akumulasi primitif melalui penghancuran masyarakat yang belum terinkorporasi ke dalam hubungan-hubungan produksi kapitalis (non-kapitalis), yakni, dengan merampas alat produksi mereka secara langsung. Dengan demikian, memberi jalan agar akumulasi kapital menjadi mungkin atau berlangsung leluasa. Di Tiaka, penghancuran terjadi melalui pemutusan akses tradisional nelayan ke area penangkapan ikan.
Kedua, sentral dari akumulasi primitif adalah peran Negara (direct state-mediated primitive accumulation). Caranya macam-macam, di antaranya melalui legislasi, terutama berkenaan dengan sistem kepemilikan (property). Sistem atau hubungan-hubungan kepemilikan non-kapitalis yang hidup di tengah masyarakat diingkari dan memaksakan pemberlakuan sistem properti privat yang eksklusif. Marx menyebut proses ini sebagai ‘enclosure.’[21] Dengan demikian, aktivitas masyarakat berbasis kepemilikan non-kapitalis menjadi rentan dan dapat dianggap ilegal. Dalam peristiwa Tiaka, kegiatan para nelayan yang bertumpu di atas klaim hubungan-hubungan kepemilikan non-kapitalis dianggap ilegal. Peristiwa Tiaka menjadi contoh bagaimana aparat kekerasan Negara digunakan secara efektif untuk melindungi sistem kepemilikan kapitalis.
Kendati secara nasional, ada beberapa undang-undang, sebagai penjabaran konstitusi 1945, yang mengakui hak-hak petani dan nelayan, tetapi di bawah rejim kapitalisme, hak-hak di bawah sistem kepemilikan non-kapitalis sejatinya tidak diperhitungkan dan cepat atau lambat akan dimusnahkan. Di wilayah-wilayah di mana kapital belum menunjukkan batang hidungnya, para petani dan nelayan dapat mempertahankan hubungan-hubungan properti mereka dengan leluasa. Tetapi, seperti tsunami datang, kapital dapat menghancurkan sistem properti non-kapitalis seketika. Konsititusi dan undang-undang jadinya, kurang dan lebih, hanya merupakan pengakuan formal saja. Sementara kelas yang memerintah dengan mudah memajukan kepentingan kelasnya melampaui formalisme konstitusi.
Ketiga, dengan akumulasi primitif, yakni dengan merampas alat produksi para petani, nelayan atau produsen berskala kecil, maka tenaga kerja mereka menjadi terbuka untuk dijual kepada kelas kapitalis dalam proses akumulasi kapital. Mereka kemungkinan segera terintegrasi ke dalam proses akumulasi kapital sebagai tenaga kerja murah, setelah kehilangan alat produksinya. Akumulasi primitif, dengan demikian adalah sebuah proses historis pembentukan kelas pekerja.
Di Tiaka, proses pembentukan kelas pekerja tidak terjadi seketika atau belum berlangsung. Nelayan yang kehilangan alat produksi atau sumber penghidupan, tidak serta-merta terintegrasi ke dalam korporasi, yakni, ke dalam sistem hubungan produksi kapitalis. Penetrasi kapitalisme melalui ekspansi geografis ke wilayah-wilayah di mana hubungan produksi non-kapitalis masih eksis, seperti di dalam kasus Tiaka, hanya membentuk apa yang disebut Marx, ‘relative surplus population.’ Yakni, kelebihan penduduk secara relatif di masyarakat bukan karena hasil pertumbuhan penduduk secara alamiah, tetapi kelebihan penduduk dalam pengertian tersedianya jumlah manusia yang siap dieksploitasi dengan harga murah di dalam hubungan produksi kapitalis, setelah alat produksi mereka dirampas.
Menyadari kontradiksi akibat ekspansi kapital, yakni, penghancuran hubungan-hubungan kepemilikan non-kapitalis, maka para penganjur kapitalisme menggagas program-program berbasis tanggung jawab moral, menggantikan isu-isu kepemilikan. Terkenal dalam program ini adalah tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility, CSR), yang tampaknya tidak lebih dari usaha pencitraan wajah manusiawi kapitalisme. Fakta bahwa CSR mengundang protes warga Desa Kolobawa yang berakhir dengan penembakan, menunjukkan bahwa konsep ‘tanggung jawab sosial perusahaan’ memang bermasalah. CSR, karenanya, cukup dibaca sekadar sebagai strategi bisnis kelas kapitalis dalam mengiklankan citra perusahaan yang baik, yang membedakannya dari sesama kompetitor-kompetitornya.
***
Kekerasan berdarah di Tiaka perlu dicarikan jalan keluarnya melalui beberapa tingkatan. Pertama, terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Pihak kepolisian RI, misalnya, telah memeriksa dan menetapkan 12 anggota Brimob dan 7 anggota Sabhara yang bertugas di lapangan sebagai tersangka.[22] Karena kesalahan dalam kasus-kasus sejenis kerap ditimpakan kepada petugas aparat keamanan pada level yang rendah, maka diperlukan institusi lain, katakanlah Komnas HAM, untuk menangani pelanggaran HAM, dengan mengusut di tingkat komando berkenaan dengan kebijakan dan pengerahan pasukan ke Tiaka. Dengan begitu, penegakan hukum berlaku adil ke dalam institusi aparat keamanan, yakni, tidak mengorbankan atau mengambing-hitamkan serdadu berpangkat rendah. Benar, salah seorang komisioner Komnas HAM, M. Ridha Saleh pernah menyatakan akan memanggil Kapolda Sulawesi Tengah karena kasus ini,[23] tetapi sampai sejauh ini tidak jelas status rencana pemanggilan itu.
Kedua, kegiatan JOB Pertamina-Medco mesti ditinjau ulang, karena telah memicu kekerasan. Termasuk menimbang tuntutan untuk menghentikan operasi perusahaan di wilayah itu, seperti disampaikan ratusan warga yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Peduli Rakyat Morowali, ketika berunjuk rasa di Kantor Bupati Morowali (8/9/2011).[24] Sejauh ini, dari insiden-insiden sejenis, sebagai buah dari konflik karena ekspansi kapital, pihak korporasi selalu lolos dari penilaian ulang, termasuk jeratan hukum.
Ketiga, peristiwa Tiaka hanya salah satu contoh dari kekerasan-kekerasan dalam industri ekstraktif yang sudah berulang di tanah air.[25] Karena, asal-muasal problem adalah ekspansi kapital, maka kritik terhadap industri ekstraktif tidak memadai lagi menggunakan kacamata lama, yang berkutat pada soal-soal mikro penggusuran dan perampasan alat produksi. Sebuah kritik menyeluruh dapat dimulai dari menyoal aspek-aspek mikro secara konsisten, tetapi dalam waktu yang sama bergerak untuk mengerti logika kontradiksi dalam sistem kapitalisme yang melandasinya. Yakni, karakter progresif sistem ini untuk ekspansi dengan mengeliminasi ruang produksi non-kapitalis.
Turunannya, resistensi terhadap industri ekstraktif tidak cukup memakai pendekatan konvensional, yang menyoal aspek-aspek fragmentaris tertentu saja, katakanlah, soal pelanggaran HAM, lingkungan hidup, atau hak masyarakat adat secara terisolasi. Resistensi mesti lebih radikal, dengan mengombinasikan soal-soal itu dalam kerangka anti-kapitalisme sebagai fondasinya, dengan titik masuk penolakan akumulasi primitif. Tanpa kejelasan anti-kapitalisme, maka resistensi akan mudah jatuh ke dalam, atau tidak lebih dari proyek reformis, bagian dari proyek liberalisme politik dan ekonomi di bawah hegemoni kapitalisme.***
Anto Sangaji, kandidat doktor di York University, Kanada
[1] Antara News (2011). TNI AL kerahkan dua KRI amankan Tiaka. [online]. Dapat diakses melalui: http://www.antaranews.com/berita/272944/tni-al-kerahkan-dua-kri-amankan-tiaka. Akses 20 September 2011.
[2] Antara News (2011). Satu SSK Brimob dikerahkan amankan kerusuhan Tiaka. [online] Dapat diakses melalui: http://www.antaranews.com/berita/272878/satu-ssk-brimob-dikerahkan-amankan-kerusuhan-tiaka. Akses 20 September 2011
[3]Komunikasi pribadi dengan Saras Munigar, 24 September 2011.
[4] Medco Energi (2010). Laporan Tahunan 2010. [online]. Dapat diakses melalui: http://www.medcoenergi.com/userfiles/file/ar2010.pdf. Akses 20 September 2011.
[5] Metro TV, Headline News, 13 Januari 2006, pkl : 22.16; komunikasi pribadi dengan seorang staf Dinas Pertambangan Propinsi Sulawesi Tengah, 13 Januari 2006.
[6] Lian Gogali (2007). ‘Marmer, Migas, dan Militer di Ketiak Sulawesi: Antara kedaulatan rakyat dan kedaultan investor.’ Kertas Posisi 06. Yayasan Tanah Merdeka: Palu. Lihat juga Danel Lasimpo (2011). ‘Donggi-Senoro untuk Siapa? (Studi kasus rencana pembangunan kilang migas DS-LNG di Kabupaten Banggai – Sulawesi Tengah.’ Kertas Posisi 10. Yayasan Tanah Merdeka: Palu.
[7] Khusus di Morowali, selain JOB Pertamina-Medco, juga akan ada rencana penambangan nikel oleh dua perusahaan tambang transnasional terkemuka, Vale Inco dan Rio Tinto. Selain itu, terdapat lebih dari 100 izin Kuasa Pertambangan nikel, di antaranya PT Bintang Delapan Mineral (BDM), yang dikabarkan kepemilikannya adalah delapan eks jenderal. Tetapi, kepada penulis, sebuah sumber dalam perusahaan menyatakan bahwa BDM hanya perusahaan “Ali Baba,” di mana pemilik ril adalah pengusaha asal Cina, negeri di mana gumpalan-gumpalan tanah yang dikeruk dari Morowali langsung dikapalkan ke negeri itu tanpa pengolahan sebelumnya. Dalam perkebunan kelapa sawit, selain PT Tamaco Graha Krida, eks perusahaan dari Salim Group yang kini dikuasai Gutrie Malaysia, dalam beberapa tahun terakhir ekspansi perkebunan ke Morowali dilakukan oleh Astra melalui anak perusahaannya PT Agro Nusa Abadi, dan Sinar Mas melalui anak perusahaannya PT Kirana Sinar Gemilang.
[8] Arianto Sangaji (2007). ‘The Security Forces and Regional Violence in Poso,’ in Nordholt, H.S. and Klinken, G.V.,eds. Renegotiating Boundaries: Local politics and post-Suharto Indonesia. Leiden: KITLV Press. p. 273.
[9] Kompas (2011). Sulteng Minta Tambah Kodim, Kompas, 13 September. hlm, 23.
[10] Arianto Sangaji (2007). The Security Forces and Regional Violence in Poso.p. 275.
[11] Karl Marx (1976). Capital Volume I. London and New York: Penguin Books.
[12] Istilah primitif merupakan terjemahan Inggris dari teks asli berbahasa German, yakni, ‘ursprünglich.’ Sebutan ini, menurut Bonefeld, jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, dapat juga berarti ‘original,’ ‘initial,’ ‘unspoiled,’ dan juga ‘beginning,’ ‘first manifestation,” dan “springing to life.’ Lihat Werner Bonefeld (2011). Primitive Accumulation and Capitalist Accumulation: Notes on Social Constitution and Expropriation. Science & Society, 75(3): 585-6.
[13] Karl Marx, p.931
[14] Karl Marx, p.873
[15] Karl Marx, p. 712.
[16] Karl Marx, p. 915.
[17] Michael Perelman (2000). The Invention of Capitalism: Classical political economy and the secret history of primitive accumulation. Durham & London: Duke University Press. p.369
[18] Massimo De Angelis (1999). Marx’s theory of primitive accumulation: a suggested reinterpretation. Manuscript, University of East London (available at http://home- pages.uel.ac.uk/M.DeAngelis/PRIMMACCA.htm).
[19] Karl Marx (1991). Capital Volume III.
[20] David Harvey(2003). The New Imperialism. Oxford: Oxford University Press.
[21] Karl Marx (1976). Capital Volume I.
[22] Jaring News (2011). 19 Orang Tersangka Dalam Kasus Tiaka. Jaring News, 2 September [Online]. Dapat diakses melalu: http://jaringnews.com/politik-peristiwa/umum/1055/-orang-tersangka-dalam-kasus-tiaka. Akses pada 17 September.
[22] Media Alkhairaat (2011). Buntut Tragedi Berdarah: Ratusan massa demo tuntut PT Job PMPS ditutup. Media Alchairaat, 9 September. Hlmn. 10.
[23] Republika (2011). Terkait Bentrok di Tiaka, Komnas HAM Segera Minta Keterangan Kapolda Jateng. 12 September. [online]. Dapat diakses melalui: http://www.republika.co.id/berita/regional/nusantara/11/09/12/lrece7-terkait-bentrok-di-tiaka-komnas-ham-segera-minta-keterangan-kapolda-jateng. Akses pada: 24 September 2011.
[24] Media Alkhairaat (2011). Buntut Tragedi Berdarah: Ratusan massa demo tuntut PT Job PMPS ditutup. Media Alkhairaat, 9 September. Hlmn. 10.
[25] Peristiwa terbaru adalah serangan bersenjata yang dilakukan oleh Brimob ke dalam mesjid Jami Sekongkang di Sumbawa Besar, (9/9/2011), ketika para jemaah sedang membaca doa usai melakukan sholat ashar. Akibatnya, imam mesjid besar Kecamatan Sekongkang Kabupaten Sumbawa Besar (KSB) H. Najamuddin mengalami luka di pelipis kanan dengan 12 jahitan karena diterjang peluru karet. Empat warga lain juga menjadi korban serangan ini menyusul protes warga atas PT NNT (Newmont Nusa Tenggara). Lihat SumbawaNews (2011). Amin; Kami Ditembak Usai Shalat Ashar. SumbawaNews, 10 September. [online]. Dapat diakses melalui: http://www.sumbawanews.com/berita/utama/amin-kami-ditembak-usai-shalat-ashar.html. Akses tanggal 20 September 2011.