Tanggapan Untuk Martin Suryajaya
Pengantar: Dalam indoprogress.com yang lalu dimuat tulisan Martin Suryajaya, ‘Kritik dan Emansipasi: Kontribusi bagi Pendasaran Epistemologi Politik Kiri: Sebuah Kritik Umum atas Goenawan Mohamad.’. Di sini saya bermaksud menanggapinya.
Kritik Martin terhadap pemikiran saya bertolak dari beberapa asumsi yang sayang sekali tak punya dasar, berkenaan dengan latarbelakang pemikiran itu – dan menunjukkan ia tak melihat kesejarahan secara tepat dari sebuah ide.
1. Premis Martin: saya pasti memusuhi Marxisme. Dasarnya: ‘Goenawan Mohamad sebagai bagian dari seniman yang diorganisir oleh PSI yang sedang kalah angin dari PKI di tahun 60-an.’ Atau: ‘Kita tahu dia menulis dari awal tahun 60-an dari perspektif PSI yang begitu ketakutan terhadap PKI. ‘
‘Kita tahu…’. Tapi rupanya Martin tidak tahu.
Ketika saya masuk ke gelanggang penulisan di tahun 1960-an, PSI (Partai Sosialis Indonesia) sudah tak ada. PSI sudah jadi ‘partai terlarang’ sejak saya masih di SMA. Saya tak pernah membaca karya Syahrir termasuk ‘Perjuangan Kita’ – apalagi itu termasuk buku yang dilarang — sebelum tahun 1970-an. Syahrir sendiri sudah dipenjarakan. Saya mengenal Syahrir lebih intensif kemudian, terutama dari biografi yang ditulis Rudolf Marazek (1994). Saya berteman dengan beberapa kader PSI, atau yang saya duga demikian, tapi PSI sendiri sebagai partai — juga sebuah partai kecil — sudah lumpuh. Orang ketakutan kalau dianggap ‘PSI.’ Mereka pariah politik waktu itu. Kampanye mengganyang mereka sangat intensif hingga PSI jadi sebuah stigma. Sampai sekarang.
Entah mengapa, stigma itu juga dilekatkan kepada intelegensia yang tak jelas partainya – dan dalam generasi saya itu cukup banyak: Arief Budiman, Marsillam Simanjuntak, Nono Makarim, dan lain-lain. Mereka sering dianggap ‘PSI’ tapi sama sekali bukan orang PSI. Dari kelompok generasi itu, yang dekat dengan PSI (sebagai anggota Gerakan Mahasiswa Sosialis) adalah mendiang Soe Hok Gie.
Bahkan generasi sebelumnya demikian juga: Mochtar Lubis, yang sering dianggap PSI, juga bukan orang PSI – malah pernah menulis editorial di Indonesia Raja yang mencemooh orang-orang mantan PSI yang suka mengklaim seseorang itu sebagai ‘orang kita.’
Satu hal perlu ditambahkan, ada yang tak jelas pada Martin. PSI punya dasar Marxisme, sebagai partai sosial-demokrat; maka seandainya saya seperti diduganya, ‘diorganisir PSI,’ tentunya saya tak akan punya anathema terhadap Marxisme. Kecuali jika Martin menganggap PSI bukan Marxis…
Kekurangan serius Martin adalah bahwa ia – yang lahir setelah masa itu — tak menelaah sejarah pemikiran Indonesia dari masa tahun 1960-an, apalagi secara teliti.
2. Martin bertolak dari asumsi bahwa saya penganut ‘humanisme universal.’ Tapi rupanya Martin tak mengerti bahwa sejarah pengertian ini dalam pemikiran (sastra) Indonesia tidak linear.
Penganjur utama ‘humanisme universal’ adalah H.B. Jassin, tapi seperti dalam suratnya di tahun 1950 (dimuat dalam buku Kritik dan Esei, jilid I), Jassin sendiri menyerang ‘humanisme universal’ yang hendak disuarakan majalah Gema Suasana yang dikelola Asrul Sani dan Chairil di tahun 1946: sebuah pandangan yang menurut Jassin jauh dari semangat perlawanan terhadap kolonialisme. Jassin kemudian punya pengertiannya sendiri tentang ‘humanisme universal’ yang sering dipertahankannya. Tapi seperti disebut dalam teks ‘Manifes Kebudayaan,’ (Jassin ikut merumuskan dan menandatanganinya), pengertian ini tidak satu. Yang dipilih para penandatangan ‘Manifes Kebudayaan’ adalah pengertian ini:
‘bahwa kebudayaan dan kesenian itu bukanlah semata-mata nasional, tetapi juga menghayati nilai-nilai universal, bukan semata-mata temporal, tetapi juga menghayati nilai-nilai eternal.’
Kalimat itu, bagi saya, yang ikut merumuskan naskah itu, mengandung pandangan tentang universalitas yang berbeda dengan pandangan Kant. Dalam pengertian saya, jika yang universal adalah sesuatu yang transendental, maka itu adalah ‘transendental’ dalam pengertian yang tak lepas dari sejarah, dari ruang dan waktu. Di sini baiklah saya perkenalkan pengertian Terry Eagleton dalam On Evil tentang bentuk transenden yang bukan ‘vertikal,’ melainkan ‘horisontal.’ Menurut Eagleton (dia juga Marxis, lho), transsenden yang horisontal terjadi karena:
‘there is no necessary conflict between the historical and the transcendent, it is because history itself is a process of self-transcendence. The historical animal is one who is constantly able to go beyond itself.’
Dengan kata lain, universalitas, sesuatu yang transendental, tumbuh dari pergulatan sejarah. Dalam perspektif inilah Marx menganggap proletariat sebagai kelas yang ‘universal’: universal dalam arti mewakili kelas yang tertindas di seluruh dunia dan universal dalam gagasan emansipasinya: terbentuknya masyarakat manusia tanpa kelas, ‘sebuah wilayah masyarakat yang tak lagi bisa mengklaim satu tempat kesejarahan, melainkan manusia sebagai satu’. (lihat Early Writings, terbitan Penguin Books, 1975, hal. 254 dan 256).
Tapi Marx tak pernah melepaskan pandangan bahwa ‘tempat kesejarahan’ itu sesuatu yang niscaya. Dengan perspektif seperti itu juga Laclau, misalnya, kemudian mengembangkan argumen tentang ‘universalitas yang tak satu’.
3. Martin juga berasumsi bahwa saya sepakat dengan pandangan kaum pasca-modernis atau ‘pasca-strukturalis.’ Sampai derajat tertentu ada benarnya. Bagi saya, pandangan pasca-strukturalis, yang merayakan perbedaan, memang punya peran dalam melawan pandangan yang mengukuhkan struktur yang ‘integralistik,’ seperti Indonesia dalam pandangan Orde Baru, juga menolak gagasan kekuasaan yang totaliter dalam Naziisme, Fascisme atau Stalinisme.
Tapi saya juga punya kritik terhadap pandangan pasca-strukturalis. Pertama: pandangan ini menampik tiap bentuk universalitas. Ini, (terutama dalam premis Lyotard di awal), bukan saja keliru, tapi tak membuka jalan bagi pergerakan politik yang pada suatu titik memerlukan konsensus dan kohesi, bukan merayakan perbedaan semata. Kedua, pandangan pasca-strukturalis yang merayakan perbedaan itu tak menunjukkan adanya pengakuan akan dialektika. Seperti saya tulis dalam Catatan Pinggir dalam salah satu majalah Tempo bulan Juli 2011:
Politik dewasa ini sering mendesakkan agar kita menghargai kearifan lokal, identitas-identitas yang berlainan, atau keunikan sebuah kaum. Yang tak disadari, sikap ini bisa berakhir dengan politik yang, seperti sikap konservatif, tak menghendaki transformasi.
Seakan-akan tak ada konflik dalam sejarah. Seakan-akan tak ada dialektik, seakan-akan perbedaan dalam hidup ibarat dua sisi rel kereta api yang sejajar, tak bertaut, maka tak akan bertabrakan.
Di samping asumsi-asumsi yang keliru atau setengah keliru itu, Martin tak menyukai argumen saya, bahwa Marx ‘hanya separuh benar.’ dan bahwa ‘kekuatan sosial tidak identik dengan modal.’
Tapi dalam sejarah memang ada kekuatan sosial yang tanpa modal: para ulama atau brahmana di dusun-dusun – dan juga para pengurus Partai Komunis di Uni Soviet dan RRC.
Martin tak mencatat, mungkin tak mau melihat, bahwa ‘negara sosialis’ telah melahirkan ‘kelas baru’ tanpa modal: nomenklatura yang punya privilese – yang dipegang orang Partai. Milovan Djilas, bekas tokoh Partai Komunis Yugoslavia (yang bukunya, The New Class, dalam versi Inggris, di tahun 1962 saya dapat diam-diam dari seorang teman Yugoslavia yang berkunjung ke Indonesia) sudah menunjukkan itu. Beberapa dasawarsa kemudian, sinyalemen yang sama dikukuhkan oleh Mao Zedong: ia mengerahkan ‘massa’ untuk menggempur markas besar Partai Komunis Cina – yang dianggapnya telah jadi kekuasaan musuh ‘massa.’ Di tahun-tahun selanjutnya, kita lihat perlawanan kaum buruh Polandia terhadap Partai Komunis yang berkuasa – satu konflik yang tak bisa dijelaskan sebagai perlawanan buruh terhadap kekuasaan modal. Dengan kata lain: dalam pengalaman sejarah, kekuasaan yang tak disertai modal sebagai milik privat bisa juga menimbulkan alienasi.
Saya tak tahu apakah Martin pernah dan mau membaca kesaksian orang-orang yang hidup di Uni Soviet dan Eropa Timur di masa Stalin atau bertemu dengan orang yang pernah mengalami alienasi dalam sistem itu. Dalam teksnya yang mengemukakan totalitarianisme, ia tak menyebut Kambodia di bawah Pol Pot, di mana Marxisme-Leninisme dibawakan dalam bentuk totalitarianisme yang ekstrim dan berdarah. Atau Korea Utara, di mana Marxisme-Leninisme berevolusi dari nomenklatura tokoh Partai jadi aristokrasi keluarga.
Saya memang tak bisa menyamakan kapitalisme (yang bertolak dari kebebasan individu – dan tentu saja kebebasan untuk rakus) dengan totalitarianisme, yang meniadakan individu. Tak berarti kapitalisme tak penting lagi untuk dilihat sebagai sumber alienasi. Namun dalam tulisan saya itu saya sedang meletakkan satu perkara dalam fokus – yakni alienasi yang terjadi dalam negeri-negeri sosialis; itu tak berarti alienasi di tempat lain dinafikan.
Dari tulisannya saya dapat kesan, bagi Martin, kritik kepada Marx, atau kepada para penafsirnya yang resmi, harus dianggap anti-Marxis. Padahal banyak suara yang memakai bendera Marxis yang tak bebas dari kritik. Kritik itu tak berarti ‘anti-Marxis’: kita tak bisa mencap, misalnya, Trostky (kecuali bila kita Stalinis) sebagai ‘anti-Marxis’ bila ia melawan Stalinisme yang totaliter yang telah menghukum mati praktis seluruh anggota Politbiro Partai dari masa Lenin.
Martin (yang tak saya ketahui sikapnya terhadap Stalinisme) menganggap saya bukan Marxis atau Marxis gadungan atau musuh Marxis diam-diam. Saya selalu geli bila diberi label. Saya terbiasa menulis sastra, bukan pemikir sistematik – dan sebab itu terbiasa untuk tidak bolak-balik dalam satu sistem pemikiran, apalagi siap ditentukan oleh satu ‘isme.’ Terjebak sendiri dalam satu label itu lucu.
Tapi sikap Martin mengingatkan saya kepada sikap MUI terhadap Islam liberal dan Ahmadiyah. JIL dan Ahmadiah itu bukan Islam, kata MUI, bahkan anti-Islam. Dengan kata lain, hanya ada satu cara tafsir – baik tentang Marxisme atau Islam. Yang lain dari tafsir itu dianggap bukan, bahkan bid’ah atau ‘anti.’ Dan yang memutuskan ‘bukan,’ atau ‘anti’ adalah MUI atau….Martin Suryajaya!
Namun saya tak peduli benar apakah saya ‘Marxis’ atau bukan. Yang pasti saya bukan ‘born-again Marxist,’ yang kemaruk Marxisme, yang selalu ingin membuktikan merk Marxisnya, dan dengan pethakilan mempertunjukkan keteguhan ‘iman’-nya.
Saya mengenal Marxisme sejak dini.
Pertama, karena keluarga dan pendidikan dasar saya. Saya diajari hingga hafal lagu ‘Internasionale’ dan ‘Tanggal Satu Mei’ sejak saya berumur 9 tahun.
Kedua, di antara 1959-1966, perkenalan dengan Marxisme sangat intensif dalam generasi saya. Berlawanan dengan generasi Martin – yang mengalami masa Orde Baru ketika Marxisme jadi ajaran terlarang — generasi saya justru diwajibkan belajar Marxisme, guna memahami ajaran revolusi Bung Karno. Bahkan HMI punya instruktur Marxisme; almarhum Ahmad Wahid yang ‘Pembaharuan Pemikiran Islam’-nya terkenal itu adalah salah satunya. Saya ingat ada dua teman saya, aktivis HMI juga, yang dengan tekun membaca buku Liu Shao-qi (sebelum dia dijatuhkan Mao), How To be a Good Communist.
Ketiga, di masa ‘demokrasi terpimpin’ itu bacaan, buku, majalah, dan film yang masuk ke Indonesia praktis hanya datang dari Uni Soviet dan RRC. Jika mau membaca teori, mudah dan murah sekali membeli buku karya Marx, Engels, Lenin, Plekhanov, Mao Zedong dan lain-lain. PKI (Partai Komunis Indonesia) sendiri punya penerbitan yang aktif: ‘Ilmu Marxis,’ misalnya, yang bisa didapat di toko buku di kantor Partai di Jalan Kramat Raya, Jakarta. Saya mengikuti itu semua dengan antusias: dalam umur antara 19 sampai 21 tahun itu saya kepingin belajar filsafat, dan buku-buku itu amat gampang diperoleh. Tak dapat saya elakkan (dan tak perlu saya pamerkan), pengaruh Marxisme berperan besar dalam masa pembentukan pemikiran itu.
Tapi saya memang tak bisa mengatakan pandangan saya, seperti Martin menyebut pandangannya, ‘ortodoks.’ Saya anggap Marxisme itu penting, tapi hal yang lumrah saja – dan hanya jadi perkara besar yang mengerikan atau sebaliknya mempesona setelah dilarang oleh Orde Baru. Kata ‘lumrah’ berarti Marxisme itu seperti garam bagi makanan: meresap, memberi ‘daya,’ tapi tak kelihatan.
Namun karena lumrah, tak ada yang mencemaskan bila pada suatu taraf ketika ‘garam’ itu terasa terlalu kuat, ia perlu dikurangi kepekatannya. Dan selalu ada unsur-unsur lain yang dicari atau secara tak langsung masuk. Apalagi, bagi saya, Marx bukan pemikir yang, betapapun dahsyatnya, tanpa kekurangan dan kekaburan. Tafsir terhadap pemikirannya bisa macam-macam dan bisa saling bertentangan.
Akan sia-sia andai Martin ingin jadi wali penjaga Marxisme yang murni, yang bebas dari tafsir. Marxisme yang dipahami Martin itu juga satu tafsir, bukan? Dalam sejarah Marxisme bisa terjadi bacaan yang bertentangan, misalnya antara Lucaks dan Brecht dan Bloch, atau varian yang tak lazim, misalnya dalam pemikiran Walter Benjamin.
Dalam tulisan yang sama, Martin menyerang pandangan tentang kedaifan. Saya memang sering berbicara tentang apa yang saya sebut the ethics of finitude, ethika kedaifan: pengakuan akan keterbatasan manusia sebagai subyek sejarah. Sebenarnya ini tak jauh dari pemikiran lain, dari Vattimo dan juga….Marx.
Misalnya ini bisa berkait dengan satu pandangan yang ‘sangat Marxis,’ karena keluar dari pena Marx sendiri: ‘Manusia membuat sejarah, tapi dalam kondisi yang tak dipilihnya sendiri.’ Dengan kata lain, manusia tak bisa sepenuhnya lepas dari kondisi yang ada – dan bahkan, dalam membuat perubahan, tradisi masa lalu terus saja menghantuinya.
Ethika kedaifan juga berkait dengan kritik kepada pengagungan subyek manusia (‘aku’ dalam humanisme Pencerahan) – juga oleh pemikir yang punya akar Marxisme, seperti Althusser dan Adorno. Bagi Althusser, ‘subyek’ hanyalah konstruksi ideologi dan prakteknya, di mana lembaga seperti Negara, Gereja, Hukum, berperan efektif. Ia bahkan mengatakan, peran ‘Subyek’ (dengan ‘S’) tak ada dalam sejarah.
Adorno, dengan mengritik Kant dan Hegel, meletakkan subyek tidak dalam posisi menentukan dan dominan. Subyek epistemik, menurut Adorno, adalah ‘sesuatu yang secara obyektif dibangun oleh masyarakatnya dan tanpa itu subyek tak mungkin ada.’ Yang harus dilihat, kata Adorno, adalah Vorrang des Objekts.
Pengagungan atas Subyek ini pada dasarnya pengagungan atas ‘aku’ yang akhirnya selalu kembali ke diri sendiri yang sama. Pandangan Adorno tentang subyek yang terkait dengan modernitas bukanlah, seperti dikatakan Martin, manusia yang ‘mengembara tak tentu arah seperti Odisius menuju Ithaka yang selalu hilang dari ujung cakrawala.’ Manusia modern, model manusia borjuis yang diagungkan sebagai Subyek, justru seperti Odisius yang sama sekali tidak menghilang, malah akhirnya kembali ke Ithaka — ke miliknya — setelah menempuh perjalanan yang penuh risiko dengan memakai tipu muslihat dan mengekspolitasi orang lain,
Dari sini ethika kedaifan adalah satu posisi untuk menangkis Subyek ala Odisius yang perkasa yang menaklukkan ‘yang-lain.’ Itulah sebabnya Adorno, dengan satu pandangan materialistis, mengacu kepada apa yang somatik dan menderita dalam manusia.
Tapi saya tak tahu apakah Martin cukup baik membaca Adorno…
Nah, sekian dulu jawaban saya sementara ini. Saya harus segera kembali ikut menyiapkan sebuah pementasan. Harapan saya, diskusi ini akan menandai kesukaan kita kepada pertukaran pikiran yang lebih sehat, tak cuma tuduh menuduh.***