Tanggapan atas Perdebatan tentang Negara
MENYAMBUT undangan Wendy Prajuli dalam sebuah tulisan, Membicarakan Negara: Kritik atas Tulisan Muhammad Ridha, melalui coretan ini saya mencoba berpartisipasi dalam ‘pembicaraan tentang Negara, yang terproblematisasi dalam konteks kasus Tenaga Kerja Indonesia (TKI).
Jika dicermati dalam tulisannya, Kegagalan Negara? Ketidak-Jelasan Nasib TKI: Sebuah tawaran untuk perubahan paradigma, terasa semangat Hizkia Yossie Polimpung untuk memberikan kontribusi dalam suatu proyek emansipasi atau bahkan perlawanan terkait dengan nasib TKI. Dalam tataran praksis, terdapat sebuah kesan bahwa ia berupaya untuk meletakkan perubahan cara pandang terhadap Negara sebagai landasan aktivitas advokasi terhadap persoalan TKI.
Kritik Yossie ditujukan kepada para aktivis pembela nasib TKI, yang dengan suara nyaris seragam, mengembalikan segenap persoalan ini kepada kegagalan Negara dalam melindungi warga negaranya. Di sini, terkandung suatu makna tentang negara yang secara hakiki diciptakan untuk melindungi rakyatnya. Yossie coba membalikkan cara pandang ini, dengan secara tegas mengatakan bahwa perwujudan Negara berdaulat modern tidak akan pernah menjadikan rakyat sebagai prioritas utama pemerintah. ‘Prioritas utama kedaulatan hanya ada dua: menjaga kesinambungan kedaulatannya dan memerintah rakyat yang (kebetulan) berada pada yurisdiksinya: titik.’
Dari tulisan Yossie, tersirat makna tentang negara yang punya kehendaknya sendiri, yakni kehendak berdaulat dan memerintah. Ide ini langsung disambar kritik Muhammad Ridha melalui tulisannya, melalui tulisannya, Problem Negara dan TKI: Menempatkan Negara Kapitalis pada Tempatnya, dengan ide tentang negara, yang menurut Wendy, merupakan ‘pendekatan tipikal para Marxian.’
Dari dua kritik yang ditujukan Ridha kepada gagasan kedaulatan Negara dalam tulisan Yossie, terkandung suatu makna bahwa Negara itu ‘kosong’ dan tidak ‘berkehendak’. Kehendak Negara ditentukan oleh dinamika serta perjuangan dalam jejaring kelas. Negara yang abai terhadap nasib TKI, menurut Ridha, merupakan konsekuensi kemenangan logika kelas kapitalis.
Dalam kritiknya, Wendy berupaya untuk mementahkan hipotesis Ridha mengenai tunduknya Negara pada kekuatan kapital, dengan menampilkan fakta pembekuan 30 perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) oleh pemerintah. Namun, analisis Wendy terkesan terlalu sederhana, dengan logika bahwa PJTKI adalah para pemilik modal dan pemerintah tidak berpihak kepada mereka dalam kebijakan tersebut. Dalam premis epistemologis materialisme dialektis, relasi-relasi sosial seringkali tidak dapat diungkap hanya melalui observasi superfisial. Sehingga, terlalu cepat untuk menilai bahwa Negara tidak tunduk secara mutlak pada kekuatan kapital, hanya dengan sebuah sikap pemerintah yang tidak mencerminkan kepentingan para pemilik modal.
Selain itu, analisis Wendy juga secara tidak langsung tetap memosisikan Negara sebagai institusi ‘netral,’ ‘kosong’, dan tidak ‘berkehendak.’ Terutama ketika ia menilai bahwa sikap pemerintah yang membekukan PJKTI tersebut merupakan wujud kemenangan dari organisasi masyarakat sipil (OMS). Dengan kata lain, gagasan Wendy tidak jauh berbeda dengan Ridha, yang meletakkan Negara dalam suatu posisi yang kosong. Hanya saja, Wendy meletakkannya dalam dinamika relasi sosial yang lebih luas, tidak membatasinya dalam logika perjuangan antara kelas kapitalis dengan proletar, serta meletakkan pemerintah sebagai perantara dalam pertarungan untuk memenangkan Negara.
Anatomi perdebatan tentang negara ini harus dibingkai dalam suatu arah yang jelas. Disinilah niat saya untuk mencoba nimbrung dalam perdebatan ini.
Pada dasarnya, dalam setiap tulisan tersebut terkandung semangat membara dan energi yang kuat untuk emansipasi. Ya, untuk pembebasan. Hanya saja, perdebatan muncul ketika semangat ini memiliki penekanan sasaran kuasa yang berbeda. Apakah pembebasan dari kuasa ‘Yang Maha Berdaulat,’ yakni Negara, atau bebas dari kuasa ‘Yang Maha Kapital’?
Perdebatan semakin kompleks ketika muncul gagasan bahwa sebenarnya ‘Yang Maha Berdaulat’ pada dasarnya tunduk di bawah kendali ‘Yang Maha Kapital.’ Bertambah kompleks ketika muncul kekuatan argumentasi yang mengungkapkan bahwa ‘Yang Maha Berdaulat’ punya kehendaknya sendiri, yang pada dasarnya juga memberangus kebebasan.
Untuk itu, saya mencoba untuk meletakkan perdebatan tentang negara ini dalam suatu proyek emansipasi. Emansipasi dari segala bentuk pemberangusan kebebasan, termasuk dari Negara. Karenanya, penelusuran terhadap kehendak otonom negara sangat penting untuk dilakukan, sehingga proyek emansipasi tidak berhenti pada pembebasan dari kuasa ‘Yang Maha Kapital,’ tetapi juga dari ‘Yang Maha Berdaulat’ Negara, jika terbukti memiliki kehendaknya sendiri yang memberangus kebebasan.
Negara ‘Berkehendak’
Posisi tulisan ini menerima dan mencoba untuk menambahkan tawaran Yossie mengenai perubahan cara pandang terhadap Negara.
Kehendak berdaulat dan memerintah negara dalam tinjauan historis telah secara mendalam dijelaskan Yossie dalam artikel tentang TKI dan tentang World Economic Forum, dalam tulisan yang berjudul Restorasi Kelas Dominan?. Tulisan ini berupaya untuk menelusuri pengejawantahan kehendak Negara tersebut dalam praksis inklusi/eksklusi melalui monopoli atas identitas politik.
Mengutip Norbert Elias, kemunculan Negara modern terkait dengan perkembangan dua bentuk monopoli yang saling terhubung satu sama lain, yakni monopoli atas hak untuk memiliki dan menggunakan instrumen kekerasan dan monopoli atas perpajakan. Dalam prosesnya kemudian, pembangunan Negara (state-building) memerlukan proses penciptaan ikatan-ikatan sosial baru dan perkembangan pola-pola baru formasi identitas. Pada proses ini, Andrew Linklater menyatakan, Negara berupaya untuk mendapatkan monopoli atas hak untuk menentukan identitas politik, sebagai wujud monopoli yang ketiga.
Dalam praksis monopoli yang ketiga inilah, keberadaan Negara sebagai entitas yang berkehendak, tidak kosong dan tidak netral semakin terlihat. Melalui monopoli atas hak menentukan identitas politik, Negara berhak untuk menentukan siapa yang merupakan warga negara (citizen) dan siapa yang bukan (alien). Kekuatan inklusi/eksklusi dari negara ini semakin membuktikan ‘kehendak’ negara yang bahkan tidak tunduk secara mutlak terhadap kekuatan kapital.
Kehendak Negara yang tercermin dari kekuatan inklusi/eksklusi ini bahkan tetap bertahan di tengah proses industrialisasi global, yang berjalan seiring dengan karakter kosmopolitan kapitalis dalam proses produksi dan konsumsi sebagaimana telah dinyatakan Karl Marx dalam Manifesto Komunis. Bahkan, ekspansi kapital pada tataran global, tetap didasarkan pada eksistensi negara nasional dengan teritori yang spesifik. Karakter kosmopolitan kapitalis terbukti tidak mampu meruntuhkan sistem inklusi/eksklusi Negara yang berbasis pada identitas politik ini.
Kehendak Negara dalam kekuatan inklusi/eksklusi ini, dalam praksisnya mewujud ke dalam hak Negara untuk menentukan batasan dari tanggung jawab moral warga Negaranya. Tanggung jawab kepada sesama warga negara (citizenship) berada di atas tanggung jawab kepada sesama manusia (humanity) tanpa sekat-sekat eksklusi.
Ramainya perdebatan tentang nasib Tenaga Kerja ‘Indonesia’ ini pun menjadi cerminan terang tentang betapa Negara berhasil mengeksklusi secara moral warga negara, melalui identitas politik dengan yang bukan warga negara. Apakah akan muncul reaksi dan perdebatan yang seramai ini di Indonesia, jika yang menjadi korban adalah tenaga kerja Pakistan, Filipina atau India? Obligasi moral kita lebih kuat kepada tenaga kerja Indonesia, karena mereka adalah warga negara (citizen) Indonesia. Ini adalah bukti bahwa kita pun menjadi korban dari kehendak berdaulat dan memerintah yang dimiliki Negara.
Kekuatan inklusi/eksklusi Negara sebagai sistem inklusi/eksklusi memperlihatkan bahwa Negara bukanlah entitas yang kosong dan netral. Negara punya kehendaknya sendiri, yang dalam praksisnya memberangus kebebasan. Pembebasan dari kehendak ‘Yang Maha Berdaulat’ ini karenanya harus menjadi bagian dari proyek emansipasi yang simultan dengan pembebasan dari “Yang Maha Kapital.’
Proyek Emansipasi dalam Konteks Eksklusi Ganda Buruh Migran
Dalam kerangka emansipasi dari kekuatan inklusi/eksklusi Negara, maka persoalan TKI diletakkan sebagai persoalan buruh migran, tanpa sekat eksklusi identitas politik.
Buruh migran adalah mereka yang harus menanggung beban eksklusi ganda dari proses ekonomi dan politik dalam sebuah tatanan di mana ‘Yang Maha Kapital’ berinteraksi dengan ‘Yang Maha Berdaulat.’ Mereka di-eksklusi, diusir, dibuang, dipaksa keluar dari tanah asal mereka yang secara ekonomi diciptakan tidak mampu menyerap tenaga kerja di tengah kondisi surplus tenaga kerja.
Setibanya di tanah rantau, beruntung jika mereka bisa sampai tujuan. Tidak jarang kisah buruh migran ini berakhir di tengah perjalanan, mereka harus hidup dalam kondisi yang tereksploitasi. Mereka diperlakukan layaknya binatang, seiring dengan kehidupan mereka yang diletakkan dalam sebuah ruang politik tanpa representasi.
Di dalam negeri, mereka adalah bagian penyusun dari surplus tenaga kerja yang lahir dari dan menopang mekanisme valorisasi (valorization) dalam kapitalisme. Valorisasi berjalan melalui investasi kapital pada mesin dan teknologi baru, yang kemudian berdampak pada penurunan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan dalam proses produksi. Alhasil, terciptalah kelebihan tenaga kerja di dalam masyarakat. Di satu sisi, kelebihan tenaga kerja ini adalah mereka yang di-eksklusi dalam proses produksi kapitalisme. Namun, di sisi lain, mereka juga yang di-inklusi, karena keberadaan kelebihan tenaga kerja (tenaga kerja tidak aktif) ini, menjadi landasan eksploitasi ganda terhadap tenaga kerja aktif. Mereka dipaksa untuk meningkatkan produktivitas seiring dengan tekanan pada tingkat upah terkait keberadaan surplus tenaga kerja.
Tenaga kerja tidak aktif, yakni mereka yang di-eksklusi, pada dasarnya juga di-inklusi untuk memainkan fungsi eksploitasi dalam proses produksi kapitalisme. Tidak ingin menjadi bagian yang di-eksklusi di dalam negeri, dengan semangat perjuangan hidup yang tinggi, mereka pun memilih hijrah ke negeri orang.
Ternyata, hijrah pun tidak menghentikan proses eksklusi atas diri mereka. Di tanah rantau, mereka di-eksklusi secara politik, sebagai “yang bukan warga negara,” sejak negara merupakan sistem eksklusi/inklusi yang secara tegas memisahkan warga negara (citizen) dengan orang asing (alien). Sebagai alien, tidak ada representasi atas ruang politik yang mereka huni. Bahkan, mereka pun bukan menjadi manusia, seiring dengan hak asasi manusia hanya dimiliki oleh mereka yang merupakan warga negara (citizen rights).
Di ujung kisah, mereka yang harus menanggung beban eksklusi ganda ini menjadi apa yang disebut Giorgio Agamben sebagai homo sacer, yakni orang yang dapat dibunuh tanpa dikategorikan sebagai pembunuhan.
Kasus buruh migran menjadi refleksi bagaimana keduanya, ‘Yang Maha Berdaulat’ dan ‘Yang Maha Kapital,’ memiliki kehendak yang memberangus kebebasan. Oleh karena itu, Negara yang memiliki kehendak daulat dan perintah beserta kapitalis dengan kehendak akumulasi di atas eksploitasi, harus diletakkan secara simultan sebagai sasaran dalam proyek emansipasi.***
Dodi Mantra, Dosen Tetap Program Studi Hubungan Internasional, FISIP Universitas Al-Azhar, Jakarta