ISLAM sebagai agama adalah sebuah risalah profetik yang tunggal. Namun demikian, tafsir manusia terhadap risalah ini dalam perjalanan historisnya di bumi manusia tidak pernah tunggal. Kondisi hidup dari setiap kelompok dan kekuatan sosial ketika memaknai situasi yang ia hadapi, selalu memengaruhi bagaimana ia membangun pandangan hidup, sistem nilai dan basis legitimasi atas apa yang ia yakini. Seperti diuraikan dengan gamblang oleh intelektual Islam profetik asal Iran Ali Shariati (1985), ketika menulis tentang riwayat Abu Dzar al-Ghifari dalam And Once Again Abu Dzar, “Tidaklah cukup mengatakan kembali ke Islam. Kita harus uraikan secara spesifik. Islamnya Abu Dzar sebagai rakyat ataukah Marwan sang penguasa…Yang satu adalah Islam khalifah, istana, penguasa, sementara yang lain adalah Islamnya rakyat, yang tertindas dan miskin”.
Pandangan Shariati ini dengan jelas menunjukkan, ketika setiap orang datang dan memeluk teks suci ia tidaklah bebas nilai. Ia datang dengan segenap harapan dan problematikanya sendiri. Demikian pula tiap-tiap muslim ketika memaknai agamanya Islam, maka mereka akan mendatanginya dengan sebuah komitmen awal yang mereka pilih secara sadar, sebuah titik berangkat yang pada kelanjutannya, apabila ditelusuri, akan membentuk pilihan ideologis, sistem nilai dan perangkat keyakinan yang secara metodologis membentuk pemahamannya tentang agama yang mereka peluk.
Hermeunetika Islam
Pandangan hermeunetik dalam Islam bukan hal baru. Walaupun tidak sesistematis dan komprehensif seperti pemahaman hermeunetika saat ini, gagasan ini telah muncul pada masa-masa awal kehadiran Islam. Hal itu, misalnya, kita temukan dalam pemaparan Imam Ali bin Abi Thalib dalam Nahjul Balaghah, saat ia ditegur kaum Khawarij ketika sepakat untuk berunding dengan Muawiyah. Kaum Khawarij menuduh, kesepakan itu telah menyalahi perintah Al-Qur’an. Beliau kemudian meminta kaum Khawarij untuk membawa Al-Qur’an dan menyuruh mereka agar Al-Qur’an berbicara. Ketika kaum Khawarij itu bingung dan terdiam atas uraian Imam Ali, beliau pun menguraikan sebuah kalimat yang menandai tradisi hermeunetika dalam Islam yaitu, “Inilah Al-Qur’an itu yang ditulis dengan sebenar-benarnya, dan berdiri di antara dua pihak, namun ia tidak berbicara dengan lidahnya; ia butuh penafsir dan para penafsir adalah manusia.”
Dari uraian Imam Ali ini maka hubungan antara teks suci dan manusia tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial dan kondisi obyektif yang dialami oleh tiap-tiap manusia. Memercayai universalitas Al-Qur’an sepanjang masa adalah berbeda dengan meyakini teks Al-Qur’an dapat dibaca tanpa memperhatikan kondisi ruang dan waktu serta kondisi sosial yang dihadapi oleh tiap-tiap orang yang mendatanginya. Setiap perjalanan teks suci sebagai sebuah risalah, selalu terkait dengan berbagai peristiwa yang melatarinya (atau dalam istilah ilmu khasanah Islam disebut sebagai peristiwa-peristiwa yang melatari turunnya ayat/azbabun nuzul). Seperti diutarakan teolog Islam pembebasan anti-apartheid asal Afrika, Farid Esack (1997) dalam Qur’an Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression, dalam pemaknaan progresif, wahyu dimaknai dalam prinsip tadrij, bahwa setiap ajaran diwahyukan secara berangsur-angsur mencerminkan dengan baik interaksi dinamis antara kehendak Allah swt, realitas di bumi serta kebutuhan dan kondisi manusia dalam situasi yang konkret. Pewahyuan Al-Qur’an yang diwahyukan secara koheren dalam prosesnya berlangsung secara bertahap sebagai sebuah dialog interaktif antara wahyu profetik dan kebutuhan konkret. Kontekstualisasi terhadap pesan-pesan profetik Al-Qur’an inilah yang memungkinkan tampilnya konstruksi teologi progresif, yang memungkinkan kita meletakkan komitmen dasar keyakinan sebagai seorang Muslim untuk membangun sistem nilai berdasarkan dialognya antara kenyataan yang ia hadapi dengan risalah suci yang ia yakini. Melalui kerja tafsirlah maka setiap kata, peristiwa, dan ajaran yang terbentang jauh dalam jarak masa lalu memiliki relevansi, dan memberi makna eksistensial terhadap kondisi saat ini.
Berbeda dengan pendekatan kaum literalis yang berusaha mereplikasi dan mereproduksi secara utuh realitas kehidupan ummat Islam zaman Rasulullah dalam realitas abad ke-21, kaum muslim progresif memaknai ayat-ayat Islam sebagai ayat-ayat yang bergerak. Kaum progresif membedakan antara api Islam, yaitu nilai-nilai substansial yang menjadi ruh dari agama ini, dengan ayat-ayat yang secara spesifik digunakan sebagai aturan yang ditegakkan dalam konteks ruang dan waktu.
Mengutip dialog dalam status facebook saya, terhadap salah satu komentar yang menolak pendekatan kontekstual ruang dan waktu dalam memahami agama, saya kemudian mengajukan pertanyaan “apakah anda sepakat bahwa Islam melarang perbudakan?” Jawabannya sepakat. Selanjutnya saya kembali menanyakan kepadanya, apakah anda menemukan ayat ataupun hadits nabi yang secara tegas menghapuskan institusi perbudakan? Kawan yang memberi komentar tersebut kemudian menjawab, tidak ada ayat yang secara jelas melarang perbudakan. Diskusi tentang –perbudakan ini saya pilih, karena pada persoalan inilah setiap Muslim menyepakati bahwa posisi manusia setara di dalam Islam.
Dengan contoh dialog tersebut, saya bermaksud menjelaskan bahwa “Api Islam” yang menjadi semangat konstan dari agama ini adalah kesetaraan umat manusia dan tatanan bebas dominasi. Paling tidak, ada lebih dari 50 ayat tentang relasi keadilan menyangkut hubungan umat manusia dalam Islam. Sementara terkait dengan kontekstualitas zaman waktu itu, belum dihapuskannya institusi perbudakan adalah terkait dengan keterbatasan kondisi ruang dan waktu. Namun demikian, tak berarti Islam abai terhadap persoalan ini. Secara bertahap relasi Tuan dan Budak dimanusiawikan dan mulai diperkenalkan hak-hak dari budak (Risalatul Huquq; Imam Ali Zainal Abidin ra), lalu pembebasan dari belenggu perbudakan lebih diutamakan dalam Islam. Dengan memegang ruh Api Islam, yaitu kesetaraan, keadilan dan anti-dominasi di antara umat manusia maka sebuah teologi progresif Islam membangun metodologi tentang bagaimana konstruksi politik dibangun, landasan hukum dipikirkan dan aktivitas ekonomi dijalankan dalam kondisi terkini.
Berangkat dari penerimaan pluralitas tafsir manusia atas ajaran profetik yang diyakini, saya ingin menelaah perbedaan antara Islam Progresif dengan gagasan Islam Liberal. Pembedaan ini bukan dengan mendaraskan pemahamannya secara konseptual, namun pertama-tama dengan menjejakkan pengalaman perjuangan demokrasi dan keadilan di Indonesia. Dari sana, saya ingin menujukkan komitmen keberagamaan seperti apakah yang sesuai dengan kondisi politik dan perjuangan saat ini.
Realitas demokrasi Indonesia
Runtuhnya rejin Soeharto pada 21 Mei 1998, membuka lembaran baru ekonomi-politik di Indonesia, yakni kolaborasi antara sistem demokrasi elektoral dan sistem ekonomi neoliberalisme. Momen baru pasca otoritarianisme di satu pihak menyeruakkan tuntutan akan kebebasan dan penghormatan pada hak-hak sipil dan politik, tapi sekaligus juga makin menjauhkan cita-cita kesetaraan, kebebasan dan keadilan sosial dari kenyataan sosial. Dengan kata lain, setelah Soeharto jatuh, kehidupan politik kembali bergairah: kontestasi partai politik yang berjalan bebas, institusionalisasi partai politik dan kelembagaan trias politika, perundang-undangan pemilihan umum, proses desentralisasi dan semakin terintegrasinya Indonesia dalam perekonomian pasar bebas.
Segenap perubahan sistemik tersebut, ternyata masih menyisakan ruang kosong dalam perbaikan kondisi kehidupan warganegara, khususnya berkaitan dengan hak dasar seperti hak-hak sipil, politik dan ekonomi. Aturan-aturan publik yang dibangun masih sarat dengan karakter patriarkhi dan pemaksaan tafsir literal agama dalam wilayah publik. Perubahan politik dari era Soeharto menuju era reformasi, juga kian memekarkan tindakan korupsi dan malpraktik kekuasaan di ruang publik. Pada saat yang sama, keadilan sosial, keadilan politik dan keadilan budaya dikangkangi, bahkan ditindas atas nama kepentingan bisnis dan komunal.
Satu hal yang meresahkan saya, ketika menyimak perjuangan politik yang terajut dalam proses penguatan demokrasi saat ini, adalah keterbatasan perhatian dari para aktivis pro-demokrasi akan isu-isu keadilan ekonomi dan sosial. Sebagian aktivis demokrasi yang berlatar kelas menengah, misalnya, begitu fokus pada isu kebebasan hak-hak sipil dan politik, seperti pengakuan terhadap kebebasan keyakinan, kesetaraan politik, dan terorisme, namun abai terhadap isu-isu yang terkait dengan persoalan ketimpangan struktural yang dialami oleh lapisan terbesar warga Indonesia. Sungguh mengherankan bahwa kepedulian terhadap kebebasan beragama dan problema terorisme (yang tentu sangat penting), tidak membawa sebagian lapisan aktivis kelas menengah untuk peduli terhadap isu privatisasi pendidikan, yang membatasi secara sistematik orang miskin sekolah di universitas; legalisasi sistem perbudakan dan eksploitasi manusia keluar negeri melalui label Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang memberikan devisa luar biasa; sistem outsourcing dan penghancuran serikat pekerja yang semakin menjadikan buruh sebagai komoditi; dan penghancuran serta kriminalisasi oleh aparat negara terhadap kaum tani.
Menyimak fakta ini, saya melihat bahwa di kalangan pejuang kebebasan dan demokrasi saat ini setidaknya ada dua kelompok besar, yaitu kaum liberal yang menempatkan isu kebebasan individu dari intervensi negara sebagai yang utama dan kaum progresif yang memperjuangkan demokrasi sebagai realisasi tatanan sosial politik anti dominasi. Isu yang diperjuangkan kaum demokrat progresif bukan hanya isu kebebasan formal, lebih dari itu isu yang berkaitan dengan hadirnya bentuk-bentuk baru eksploitasi terhadap segenap rakyat Indonesia. Artikulasi politik dari kaum progresif menggemakan kembali keresahan Soekarno delapan puluh satu tahun lalu (1930), dalam pledoinya di depan pengadilan kolonial Belanda, Indonesia Menggugat yaitu “dengan kedatangan imperialisme modern caranya mengeduk berubah…tetapi banjir harta yang keluar dari Indonesia malahan semakin besar, pengeringan Indonesia malahan semakin dalam”.
Renungan lain dari proses perjuangan demokrasi ini menyangkut persaudaraan lintas agama. Yang saya temui dalam proses-proses perjuangan liberasi ini adalah hadirnya komitmen utuh kemanusiaan dari berbagai lintas keyakinan untuk mempertahankan keadilan di tingkat basis. Masih lekat dalam ingatan, perkembangan kesadaran kritis saya dalam melihat realitas sosial penindasan tak dapat dilepaskan dari diskusi kritis, baik dengan seorang ustadz langgar (Ustadz Quswandhi), maupun dosen progresif marxis gay dan masih berkomitmen terhadap nilai-nilai utama Katholik yang saya hormati, yakni Dede Oetomo. Beberapa tahun lalu, saya menyaksikan pembelaan seorang romo (Romo Yohannes Gani), yang tinggal dan mendampingi para pengungsi di pasar baru Porong akibat korban kejahatan ekologis dari Lapindo. Kriminalisasi oleh negara yang dilakukan terhadap petani di Alas Tlogo, menghadirkan komitmen ulama setempat untuk membela mereka dan perjuangan menkonsolidasikan gerakan buruh di banyak tempat membangun solidaritas kaum agamawan bahkan kaum yang menganut pandangan humanisme universal di banyak tempat. Pendeknya, problem demokrasi, keadilan sosial dan komitmen lintas iman inilah yang menjadi perhatian saya, ketika mencoba belajar untuk memformulasikan teologi progresif dalam Islam sebagai sebuah jalan pembebasan.
Dalam konteks inilah, pemaknaan terhadap kehadiran aktif Tuhan dalam mengelola semesta dan ciptaanya (Tawhid) dan komitmen ketundukan dan pasrah terhadap kehendaknya (Islam) dalam refleksi ini saya arahkan. Lalu apa perbedaan antara karakter progresif tersebut karakter liberal Islam? Farid Essack (2008) dalam karyanya In Search of Progressive Islam beyond 9/11, menguraikan bahwa ada perbedaan mendasar antara progresif dan liberal yang memiliki imbas terhadap pemaknaan agama dan komitmen aktif dalam memaknai dan mengubah dunia. Secara etimologis, progresif adalah bergerak ke depan, mendukung kemajuan. Secara ide-ide, politik progresif adalah term progresif sejalan dengan gagasan-gagasan kiri yang berbenturan dengan gagasan reaksioner dan konservatif, sementara dalam wacana kritis (critical discourse) progresifitas selalu diasosiasikan dengan ide-ide republikanisme dan komunitarian bukan liberal yang mengusung individualisme dan kebebasan formal.
Pada kaum liberal fokus perjuangan adalah menciptakan tatanan yang bebas dari intervensi negara dan kesamaan kesempatan tanpa melihat posisi sosial awal dari masing-masing kelompok. Sementara posisi politik kaum progresif ketika dihadapkan pada pentingnya sebuah perubahan sosial, pertama-tama adalah mempertanyakan nature dari perubahan tersebut: siapakah kelas-kelas sosial yang diuntungkan dari keberlangsungan perubahan tersebut; apakah eksploitasi terhadap kaum yang dimiskinkan masih akan berlanjut dalam jalur perubahan sosial yang sedang diperjuangkan? Selanjutnya, kaum progresif meletakkan tujuan utama dari perjuangan tersebut untuk menghadirkan keadilan sosial dan menuntaskan eksploitasi manusia atas manusia di setiap wilayah kehidupan.
Mengapa menghadirkan artikulasi teologi progresif ini penting dalam konteks globalisasi? Realitas politik di era free market democracy menunjukkan kepada kita bagaimana nilai-nilai liberalisme ekonomi politik yang mengandaikan pentingnya intervensi minimal otoritas politik dalam wilayah ekonomi, kebebasan individu dan pasar bebas telah melegalkan eksploitasi dan penindasan hak-hak manusia semakin intensif dan sistematis dari sebelumnya. Atas nama bebas dari intervensi negara maka ruang-ruang eksploitasi kelas borjuis terhadap kelas pekerja berlangsung secara lebih telanjang, anak-anak miskin terhambat proses mobilitas sosial vertikalnya karena rejim komersialisasi pendidikan (yang membangun dalih melepaskan diri dari intervensi negara) menghambat mereka mengakses pendidikan tinggi, perdagangan bebas menghantam nasib petani untuk memenuhi kebutuhan dasar diri dan keluarganya. Realitas ekonomi politik yang membentuk kondisi hidup dari tiap-tiap orang di Indonesia inilah, yang melahirkan tuntutan untuk memperjuangkan artikulasi progresif dalam teologi Islam dan melampaui teologi liberal yang terbatas pada kebebasan manusia.
Dalam konteks pergaulan global antar warga dunia, kontestasi pemaknaan progresif dan liberal ini juga tidak terelakkan. Dalam pemaknaan Islam liberal, diskursus pluralisme dan multikulturalisme dimaknai sebatas keterbukaan terhadap keberagaman maupun perbedaan dengan pembelaan terhadap hadirnya pluralitas sebagai hak dasar sipil dan politik tiap-tiap manusia. Sementara dalam perspektif kaum progresif, pluralisme dan multikulturalisme senafas dengan tuntutan keadilan radikal. Bagi kaum progresif, perhatian terhadap mereka yang selama ini disisihkan dalam konstruksi berbangsa seperti masyarakat adat, adalah pengakuan tidak saja terhadap keyakinan mereka terhadap nilai-nilai spiritual bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, namun juga pengakuan terhadap pola produksi mereka terhadap bumi dan alam yang dihancurkan oleh ekspolitasi kapital.
Pengakuan terhadap dialog antar peradaban, juga tidak melupakan kritik terhadap relasi peradaban dalam sistem kapitalisme yang menghisap keluar sumber daya dalam rantai penghisapan dan ketergantungan yang berpusat pada kekuatan imperium kapitalisme. Komitmen teologi pembebasan Islam adalah penolakan terhadap imperialisme dan sistem kapitalisme yang melanggengkan penindasan manusia atas manusia, sejalan dengan penghargaan terhadap pluralisme, multikulturalisme dan kebebasan sebagai anti dominasi.
Relasi tawhid dan progresifitas
Setelah secara singkat kita mengelaborasi perbedaan antara komitmen progresif dan liberal. Selanjutnya saya akan mencoba menghubungkan bagaimana karakter progresif ini bertemu dengan fundamen dasar dari Islam yaitu Tawhid. Penjelasan ini penting dan menjadi inti dari wacana teologi pembebasan dalam Islam, agar tulisan ini tidak menjadi tulisan inegesis (memasukkan keinginan saya secara sembarangan terhadap Islam) namun menjadi exegesis (bagaimana teks Islam berbicara dalam pemaknaan progresif). Ketika doktrin La Ilaha Illallah dikabarkan oleh para nabi, maka lapisan kelas sosial yang paling terdepan menyerukan penolakan terhadap ajaran ini dalam sejarahnya adalah kalangan elite politik, kaum kaya, dan kepala-kepala suku. Hal ini adalah lumrah karena doktrin ini memiliki makna paradoks, di satu sisi menyerukan ketundukan kepada Allah yang Tak Terhingga dan di sisi lain mengabarkan kebebasan dan kesetaraan ummat manusia.
Di satu sisi penghambaan dan ketundukan ini muncul dalam ayat “Maha Suci Allah, bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah, semua tunduk pada-Nya (Qs Al-Baqarah; 116) dan disisi lain kabar akan kesetaraan manusia diserukan dalam makna yang radikal, yaitu janji pewarisan dunia kepada kaum miskin dan yang tertindas, seperti dalam ayat “Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang2 yang tertindas di bumi dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang2 yang mewarisi bumi (Al-Qashash: 5). Dalam formulasi teologi progresif Islam, jelas bahwa secara fundamental ajaran tawhid dalam Islam mengabarkan pesan tentang ketundukan radikal kepada Tuhan sekaligus kesetaraan dan imperatif membangun tatanan yang bebas dominasi di mana mereka yang termiskinkan menjadi pemimpin di dalamnya.
Sebagian kritik dari kalangan materialis terhadap komitmen ketuhanan kerapkali menyerang kepercayaan terhadap Tuhan dan agama, karena menyebabkan kualitas manusia luntur, dan pada saat yang sama membuatnya lemah dan pasrah di hadapan kondisi ketertindasan yang dialaminya, sembari menunggu nikmat dan kebahagiaan dalam kehidupan pasca kematian. Tulisan ini tidak bermaksud mengritik paham materialis tersebut, namun dalam konteks teologi pembebasan Islam, tulisan ini bermaksud memberikan pemahaman yang berbeda dan bertolak belakang dengan tesis tersebut.
Di dalam khasanah fundamen dasar Islam, 99 nama-nama Allah diperkenalkan sebagai bentuk penghayatan dan peneguhan komitmen dasar manusia terhadap penciptanya. Seperti diutarakan oleh Muhammad Taqi Falsafi (1992), ketika mengulas tentang Ayat Kursi dalam karya tafsirnya memberikan elaborasi tentang makna dari Al-Qayyum (Maha Berdiri Sendiri). Al-Qayyum dalam tafsir berarti “yang berdiri tegak dan menjaga segala sesuatu, dan yang memberikan kepada mereka apa yang menunjang keberadaan mereka”. Artinya bahwa dalam nama Al-Qayyum tersebut selain Allah berdiri sendiri dan tidak bergantung kepada yang lain, ia juga mencukupi kebutuhan manusia. Dalam pemaknaan radikal pembebasan, Tuhan yang maha mencukupi kebutuhan manusia tidaklah membuat kita sebagai manusia pasrah dengan kondisi. Justru, sebaliknya, kaum aktivis Islam progresif akan memaknai setiap ketidakadilan sebagai bentuk tindakan dzalim manusia atas bumi bukan menyerah dan menganggapnya sebagai suratan. Iman tak menghisap keluar keagungan manusia namun menyadarkan bahwa tiap orang harus terpelihara dan tercukupi hidupnya.
Kesadaran teologis dalam Islam juga menekankan pentingnya manusia dalam perjuangannya untuk merenungkan bagaimana proses-proses sejarah yang berlangsung membentuk kompleksitas relasi-relasi sosial yang membangun kondisi bagi kehidupannya, maupun membatasi dalam realitas eksploitatif. Tekanan akan pentingnya memperjuangkan keadilan sosial yang akan menyatukan kaum progresif Muslim dengan kaum “kiri” lainnya dalam kesamaan memperjuangkan proyek pembebasan akan dituntaskan dalam pemaknaan Surat Al-Ashr, dimana Allah memulainya dengan Demi Waktu. Demi waktu! Di bentang cakrawalanya terbangun sejarah yang dibangun oleh daya manusia yg membentuk kondisi hidupnya. Sesungguhnya mayoritas manusia yang tak menyadari relasi-relasi yang terbangun di dalamnya atau memanfaatkan untuk kebakhilannya akan merugi! Kecuali mereka yg bangun dan sadar (iman), beraksi, menyeru apa yg haq dan adil (amal shalih). Hal itu ia lakukan dengan harapan keadilan datang (sabar).
Demikianlah, kembali mengutip Farid Essack (1997), bagi sosok Muslim yang tersisih dan berkomitmen untuk membangun solidaritas dengan yang lain, maka usaha ini adalah menggenapi perjalanan Rosul Muhammad, di tengah medan pertarungan Mekkah dalam posisinya sebagai tertindas berhadapan dengan penindas; dan dalam keramahan kaum “lain” di Madinah menuju praksis kemerdekaan Madinah untuk menghentikan dominasi satu kaum terhadap kaum lainnya.***
Airlangga Pribadi, Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga, Koordinator Serikat Dosen Progresif