Bagaimana Membaca Kapital Sekarang?

Print Friendly, PDF & Email

KEKUATAN utama, yang diakui baik dari kalangan Marxis maupun non-Marxis, yang berhasil ditemukan oleh Kapital, yang merupakan karya terbesar Karl Marx, adalah kemampuannya dalam memblejeti cara kerja kapitalisme secara spesifik. Cara kerja kapitalisme, yang sebelumnya dipahami sebagai sebuah kerja yang alamiah, harmonis, dan otomatis, menjadi terbantahkan dalam teks ini. Kapital, setidaknya, memberikan kita sebuah pemahaman utuh bahwa proses kerja kapitalisme, yang dapat diamati pada tingkatan pabrik, pada dasarnya memiliki kontradiksinya sendiri. Kontradiksi yang secara primordial bisa dlihat pada tataran komoditas, menjadi akar bagi kemajuan sekaligus kehancuran kapitalisme itu sendiri, yang kemudian mengantarkan kapitalisme pada hukum internalnya yang disebut dengan hukum kecenderungan jatuhnya tingkat keuntungan.

Namun demikian, tidak berarti Kapital kebal terhadap kritik. Salah satu yang setidaknya harus kita dorong dalam memahami teks ini, adalah pentingnya posisi konteks dalam teks Kapital itu sendiri. Kondisi perkembangan kapitalisme yang berkembang pada masa Marx, tentu saja berbeda dengan kondisi kita sekarang. Tidak heran jika pembacaan Marx dalam Kapital berangkat dari fenomena kapitalisme pada masa itu. Yang ingin saya sarankan dalam proses ini, bukan semacam inisiatif untuk memoderasi beberapa proposisi yang telah dibangun Kapital, karena menganggap ada proposisi yang telah usang dalam Kapital. Justru saya ingin mendorong dan meradikalisasi proposisi Kapital dalam konteks kekinian.

Tentang Kapitalisme Kontemporer

Guna mendorong proses ini, saya merasa penting untuk memberikan deskripsi atas kondisi kontemporer dari kapitalisme, yang ditandai dengan proses finansialisasi kapitalisme. Titik tolak finansialisasi terjadi ketika kenaikan harga minyak dunia dan gagalnya rezim fixed rate exchange dalam mengelola relasi pertukaran ekonomi global pasca Perang Dunia II. Krisis keduanya tentu saja membuat consensus pasca PD II dengan Bretton Woods-nya harus direvisi secara simultan. Salah satu langkah yang kemudian diambil oleh para pemimpin dunia saat itu adalah dengan menjadikan dollar, yang merupakan mata uang patokan bagi ekonomi global, mengalami fluktuasi nilai dasarnya. Jika sebelumnya 1 dollar nilainya ditetapkan sama dengan 1/35 ons berat emas, maka dalam kesepakatan yang baru nilai dollar disesuaikan dengan tingkat utang Amerika Serikat. Momen ini menandai munculnya rezim pertukaran uang baru yang dikenal dengan rezim floating exchange rate (rezim mata uang mengambang).

Perubahan ini dengan segera membawa implikasi yang luas bagi ekonomi global saat itu. Misalnya, Nilai mata uang yang digunakan untuk perdagangan internasional menjadi berubah-ubah dan tidak menentu. Akibatnya, upaya untuk mempertahankan nilai mata uang nasional hanya akan menyebabkan tergerusnya cadangan devisa suatu negara yang berimplikasi pada ketidakkokohan fundamental ekonomi negara tersebut.

Mengambangnya nilai tukar mata uang, juga menyebabkan terjadinya mutasi atas nilai mata uang di seluruh dunia. Pengambangan atas nilainya menyebabkan nilai uang menjadi tidak stabil dan cenderung rapuh. Ketidakstabilan ini sendiri merupakan sesuatu yang imperative dalam kapitalisme, mengingat logika permintaan dan penawaran dalam mekanisme pasar hanya dapat bekerja secara optimal ketika niali mata uang fluktuatif dan berubah-ubah. Dengan kata lain, nilai mata uang ditempatkan dalam logika transasksional setara dengan komoditas lain yang merupakan hasil dari kerja. Terjadi apa yang disebut komodifikasi atas uang, dimana uang menjadi komoditas yang diperjualberlikan.

Komodifikasi atas uang menyebabkan kapitalisme kontemporer mengalami proses perluasan atau universalisasi yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Uang menjadi alat pertukaran sekaligus menjadi alat produksi untuk proses akumulasi lebih lanjut. Salah satu fitur terpenting dalam prsoes ini, setidaknya dapat dilihat dari transformasi sistem keuangan dan perbankan kontemporer yang tidak lagi berasaskan pada mekanisme pendanaan (funding) dan pinjaman (lending), dimana selisish antara pinjaman dengan pendanaan menjadi keuntungan pihak perbankan. Pada masa sebelum universalisasi kapitalisme, perbankan masih menjalankan fungsi-fungsi tradisionalnya, dimana fungsi bank mementarai keuangan dalam pendanaan aktifitas perekonomian. Fungsi perbankan tradisional itu dapat dijelaskan dalam skema berikut:

bagaimana-kita-membaca-kapital-sekarang_1

Dalam fase finansialisasi, kelebihan uang (excess money) yang dimiliki oleh pihak ketiga tidak lagi termediasikan semata melalui institusi perbankan yang mengambil keuntungan melalui selisih pendanaan dengan pinjaman. Akan tetapi secara langsung relasinya terjadi antara pihak masyarakat dengan perusahaan itu sendiri. Dalam konteks inilah muncul banyak termin dalam ekonomi kapitalis kontemporer yang berupaya menggambarkan interaksi yang muncul seperti obligasi atau surat utang, saham, sukuk (obligasi syariah) dan sebagainya. Semua istilah tersebut, pada dasarnya, hanya improvisasi semata dari interaksi fundamentalnya, yaitu universalisasi relasi ekonomi kapitalis, karena memungkinkan masyarakat secara luas tanpa pembedaan struktur sosialnya untuk menjadi bagian dari pemilik alat produksi (kapitalis) selama memiliki uang. Tidak heran, jika kemudain, fase kapitalisme kontemporer disebut pula sebagai kapitalisme rakyat (people’s capitalisme). Berikut skema dalam system keuangan kapitalisme kontemporer:

bagaimana-kita-membaca-kapital-sekarang_2

Namun harus tetap diingat bahwa kapitalisme adalah sebuah relasi sosial yang kental akan kontradiksi. Kemampuan dirinya untuk terus berkembang beriringan dengan karakteristik inherennya yang kontradiktif yang kemudian berujung pada krisis. Risiko ini muncul ketika nilai atas uang mengalami volatilitas, fluktuatif, dan cenderung berubah-ubah. Kondisi ini tentu saja menyebabkan terjadinya ketidakpastian atas nilai alat pertukaran atau uang ketika transaksi ekonomi tengah terjadi. Apa yang terjadi sekarang tentu saja akan berbeda di masa mendatang. Selisih atas perbedaan antara nilai uang di masa datang dengan nilai uang di masa kini, akan menimbulkan harga risiko yang harus dibayar oleh pihak yang tengah melakukan transaksi tersebut. Untuk itulah diperlukan sebuah instrumen untuk menanggulangi munculnya resiko yang muncul dalam proses transaksi. Instrument ini kerap kali disebut sebagai derivatif.

Derivatif adalah sebuah kontrak bilateral atau perjanjian penukaran pembayaran yang nilainya diturunkan atau berasal dari produk yang menjadi “acuan pokok” atau juga disebut “produk turunan” (underlying product); daripada memperdagangkan atau menukarkan secara fisik suatu aset, pelaku pasar membuat suatu perjanjian untuk saling mempertukarkan uang, asset atau suatu nilai disuatu masa yang akan datang dengan mengacu pada aset yang menajdi acuan pokok. Dalam praktiknya, banyak sekali produk finansial yang dikategorikan sebagai produk derivatif. Salah satunya adalah Opsi. Opsi adalah kontrak dimana salah satu pihak menyetujui untuk membayar sejumlah imbalan kepada pihak yang lainnya untuk suatu “hak” (tetapi bukan kewajiban) untuk membeli sesuatu atau menjual sesuatu kepada pihak yang lainnya. Misalnya, seseorang yang khawatir bahwa harga dari stok XXX akan turun sebelum ia semapt menjualnya, maka ia membayar imbalan kepada seseorang lainnya (ini disebut “penjual” opsi jual atau put option) yang menyetujui untuk membeli stok daripadanya dengan harga yang ditentukan di depan (strike price). Pembeli menggunakan opsi ini untuk mengelola resiko turunnya nilai jual dari stok XXX yang dimilikinya, di sisi lain si pembeli opsi mungkin saja menggunakan transaksi opsi tersebut untuk memperoleh imbalan jasa dan mungkin telah memiliki suatu gambaran bahwa nilai jual XXX tidak akan turun. Sebagai lawan dari opsi jual adalah opsi beli atau biasa disebut call option, dimana pada opsi beli ini memberikan opsi kepada pembeli opsi hak untuk membeli aset acuan (underlying asset) pada suatu tanggal yang disepakati dengan harga yang telah ditetapkan atau yang dikenal dengan istilah option strike.

Dalam logika kapitalisme, derivatif berguna sebagai seuatu alat untuk mengalihkan resiko. Contohnya, petani dapat menjual kontrak berjangka atas hasil panenan kepada spekulator sebelum panen dilakukan. Si petani melakukan lindung nilai (hedging) atas resiko naik atau turunnya harga panenan dan si spekulator menerima pengalihan resiko ini dengan harapan imbalan yang besar. Si petani mengetahui secara pasti nilai jual hasil panen yang akan diperolehnya kelak dan si spekulator akan memeroleh keuntungan apabila harga jual mengalami kenaikan. Sebaliknya, bila harga jual mengalami penurunan maka ia akan mengalami kerugian.

Sayangnya upaya untuk mengalihkan resiko ini kemudian memunculkan resiko lain yang tidak kalah mengancam terhadap proses akumulasi. Instrument derivatif ini memunculkan sebuah bentuk interaksi ekonomi yang kental dengan prinsip spekulasi. Apa yang harus dilihat dalam transaksi derivatif ini adalah setiap orang dimungkinkan untuk memiliki kontrak derivatif. Bahkan orang-orang yang tidak memiliki hubungan langsung terhadap perusahaan yang menerbitkan kontrak derivatif ini. Sebagai contoh, dalam transaksi derivatif produk opsi, pihak penjual kontrak menjual kepada lebih dari satu pihak. Jika atmosfir bisnis kondusif, upaya ini akan menguntungkan pihak penerbit kontrak mengingat estimasi harga yang telah dilakukan tidak berbeda jauh dengan yang diharapkan. Namun apabila iklim bisnis buruk, upaya tersebut hanya akan menyeret perusahaan menuju kerugian yang besar karena harus membayar sebuah kewajiban kepada pihak pembeli kontrak. Selain itu juga berimplikasi pada penurunan nilai asset yang pada mulanya ingin dilindungi namun berbalik menyusut nilainya.

Bagaimana Kapital Melihat Kondisi-kondisi Kita?

Yang harus ditekankan dalam upaya kita untuk membaca Kapital sekarang adalah upaya kontekstualisasi atas Kapital sebagai teks itu sendiri. Dalam bukunya Three Studies on Hegel, Adorno menolak pola pendekatan yang berupa pertanyaan yang bercirikan patronase, ”Apa yang masih tetap hidup dan apa yang telah mati dari Hegel?” Menurut Adorno, pertanyaan seperti ini mengandaikan sebuah posisi seorang hakim yang dapat secara bijak mejawab, ”ya, mungkin ini masih tetap aktual sekarang…” Bagi Adorno, ketika kita berhubungan dengan seorang filosof besar, pertanyaan yang harus diajukan bukanlah bagaimana filsuf ini dapat mengatakan tentang kondisi kita, tapi sebaliknya bagaimana kesulitan-kesulitan kontemporer kita dalam kaca mata filsuf tersebut. Bagaimana epos kita muncul dalam pemikiran dia.

Dalam kaitannya dengan bagaimana kita membaca Kapital sekarang, maka penting untuk menempatkan apa yang kita alami sekarang, kondisi objektif kita sendiri, dalam struktur logika Kapital. Ini adalah dialektika antara yang lama dengan yang baru. Jika kita pahami Kapital sebagai bagian dari gerakan historis atau yang kita semua sebut dengan komunisme, maka penjelasan atas kondisi objektif kapitalisme kontemporer tidak bisa lagi dilihat secara parsial, yang sering muncul dalam penjelasan-penjelasan baru oleh para ahli, misalnya sebagai ekonomi neoliberalisme, finansialisasi, ekonomi post modern, dll. Kategori-kategori ini, menurut saya, kehilangan poin untuk menjelaskan apa yang baru dalam yang baru. Satu-satunya cara untuk menjelaskan apa yang baru dalam yang baru adalah dengan menganalisa apa yang tengah berlaku sekarang melalui kaca mata apa yang abadi di masa lampau. Jika teks Kapital, sebagai bagian dari pengalaman manusia untuk melakukan emansipasi radikal dari sturktur masyarakat yang menindas, dari masa spartacus, hingga masa sekarang, maka penting untuk menempatkan teks ini sebagai apa yang disebut Hegel dengan universalitas konkrit. Universalitas konkrit dalam artian bukan sebagai kapasitas teks ini untuk mengaplikasikan beberapa rentetan fitur-fitur abstrak di berbagai situasi. Misanya, apakah fitur-fitur penting dalam kapital tentang kerja, nilai surplus, dll, baik di masa kapitalismenya Marx maupun masa kapitalisme yang kita hadapi sekarang masih berlaku? Akan tetapi dalam sebuah ide bahwa kesimpulan dalam teks Kapital, mengenai objektifitas destruktif dari kapitalisme itu sendiri, mempunyai kemampuan, sebuah potensi, untuk ditemukan kembali dalam setiap situasi historis kapanpun.

Kesimpulan yang tidak bisa ditawar adalah, kita harus menemukan kembali, lagi dan lagi, mekanisme kerja dan kontradiksi kerja yang secara objektif berlaku dalam kapitalisme kontemporer, sebagaimana yang pernah ditemukan Marx dalam Kapital pada masanya tentunya, dalam pengalaman kita sendiri. Tanpa kita menganalisa secara objektif kapitalisme yang sekarang kita alami, kita akan gagal untuk menempatkan posisi perjuangan kita untuk melampaui (aufgehnbung) keterbatasan-keterbatasan kapitalisme yang membuat seluruh hidup kemanusiaan menjadi terancam.***


Muhammad Ridha, Anggota Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP)

[1] Makalah pengantar diskusi rutin bulanan Perhimpunan Rakyat Pekerja Komite Kota Jakarta Selatan dengan tema, ”Kapital Jilid I”. Hari Sabtu, 3 April 2010.

 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.