Kisah Umi Sarjono, yang keluar masuk penjara di masa revolusi kemerdekaan. Memimpin organisasi perempuan terbesar. Meninggal dalam sunyi, di usia 87.
RUMAH BERCAT hijau muda di jalan Tegalan, Matraman, Jakarta Timur itu mendadak ramai. Kertas kuning berkibar di ujung jalan. Tua muda orang berkerumun. Gang sempit di samping rumah itu pun penuh sesak. Ada dua karangan bunga sederhana berjajar, dari Komisi Nasional (Komnas) Perempuan dan ICTJ (The International Center for Transitional Justice).
Di teras, kain terpal dibentangkan melingkar. Jenasah sedang dimandikan.
“Meninggal jam berapa bu?” bisik saya ke seorang ibu berkerudung hitam.
“Kurang tahu. Tanya Mimin itu, katanya sih jam 02.00 pagi…..”
Seorang gadis muda, bertubuh mungil dengan rambut dikucir, muncul dari balik dapur. Wajahnya sembab.
“Semalam jam 19.00 budhe minta minum air putih. Jam 02.00 saya dengar budhe batuk-batuk. Setelah itu tidur lagi. Jam 07.00, saya lihat tidak bangun-bangun lagi….”
Mimin, 19 tahun, tiga tahun terakhir ini menemani almarhumah, bersama Pak Ono yang menjaga rumah. Mimin tak bisa lagi bercerita. Berkali-kali tangannya menyusut genangan di matanya.
Di luar, ibu-ibu dari Panti Waluya Sejati yang melayat sejak pagi ramai berbincang.
“Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Wanita Indonesia (DPP-Gerwani), sudah habis sekarang!“ tutur bu Muji. Obrolan pun sahut-menyahut.
“Meninggalnya tanggal 11 Maret. Pas Supersemar!” seru seorang lelaki muda, bertopi dan menenteng kamera. Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) 1966, adalah surat yang diklaim rejim Orde Baru sebagai pemberian wewenang presiden Soekarno kepada jenderal Soeharto memulihkan keamanan dan ketertiban dengan jalan apapun setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965.
“Beliau sosok yang sangat penting. Sayang kita belum banyak mengorek bahan-bahan darinya. Sayang sekali…..” kata Tedjabayu Sudjojono, putra mendiang pelukis terkenal S. Sudjojono.
Suara panggilan sholat Jumat telah lama berlalu. Jenasah belum selesai dimandikan. Seorang lelaki berpeci putih dengan kain sarung bolak-balik menghampiri rumah duka.
“Belum selesai ya? Keburu jemaah di mushola bubar nih!”
Orang-orang berpandangan.
“Sebentar Pak, ini sedang dikafani.”
Lelaki berpeci pun berlalu. Nenek Hasanah, yang memandikan jenasah tampak gusar.
“Kapasnya tidak cukup….” Ia setengah berbisik.
Ria Susanti, dari harian Sinar Harapan bergegas lari ke apotik. Beberapa menit kemudian ia kembali dengan napas terengah. Sebuntal besar kapas segera berpindah tangan.
“Silakan yang mau melihat jenasahnya. Sebelum saya tutup…”
Satu per satu keluarga dan kawan, mendekat. Seorang ibu separuh baya melafalkan Al Fatihah, kemudian perlahan mencium kening jenasah. Matanya berkaca-kaca. Hati saya pun masgul. Wajah tua itu seperti sedang tidur dengan damai. Hanya sekali bertemu, secuil mendengar kisahnya, entah kenapa dada ini begitu sesak.
“Orang baik, meninggalnya pun pasti diantar oleh banyak orang,” gumam nenek Hasanah, menyaksikan pelayat, tua muda, laki perempuan yang berjubal. Hasanah berumur 87 tahun. Ia mengaku mengenal almarhumah sejak 50 tahun lalu.
Jam 13.00 ambulance beranjak meninggalkan Tegalan. Di belakangnya iring-iringan tiga mobil yang membawa keluarga dan sebuah kopaja carteran mengantar ke pemakaman Cipinang Asem, Jakarta Timur.
Langit berubah gelap begitu kami tiba. Areal pemakaman itu sempit. 30-an orang berdiri berjejalan, menginjak batu-batu nisan. Pihak keluarga memberi sambutan singkat, kemudian seorang kiai mengumandangkan doa. Hujan pun runtuh tepat ketika jenasah diturunkan ke liang lahat. Satu liang dengan suaminya, Sukisman Sarjono, yang wafat pada 1991.
Tanah diuruk. Satu per satu kerabat dan kawan menaburkan kembang di atasnya. Potongan-potongan fragmen seperti berputar di kepala saya, seorang gadis muda menyandang senapan pada perang gerilya, berpidato hingar-bingar di depan 10 ribu orang di istora Senayan, berdebat di ruang-ruang sidang Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR)…
Seorang perempuan muda melingkarkan melati di atas pusara, yang bertuliskan Suharti Sumodiwiryo, lahir 23 Desember 1923 – wafat 11 Maret 2011. Adalah nama kecil Umi Sarjono. Pemimpin organisasi perempuan terbesar pada masanya, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani).
MATAHARI membakar kepala ketika saya membuka pagar Panti Jompo Waluya Sejati, di jalan Kramat V, Senin. Ibu Sri Sukatno menghampiri. Senyumnya langsung merekah.
“Sudah ditunggu lho jeng…..” tawa renyah bu Lestari, menyambut di balik pintu.
Panti itu baru direnovasi sekitar empat tahun lalu. Kini berlantai dua. Ada beberapa kamar tidur, ruang tengah cukup luas untuk mereka bersantai. Di bagian belakang, dapur dan tempat jemuran. Sekitar sepuluh orang menetap disini.
Saya tertarik dengan sejumlah foto yang berjejer rapi di atas buffet. Tampak menonjol, sebuah lukisan foto Ibu Sulami, salah satu pendiri LPKP (Lembaga Penelitian Korban Peristiwa 1965). Sulami, wafat pada 2006, adalah salah seorang yang menginisiasi berdirinya panti jompo itu. Sebuah lagi foto Tjiptaning Proletariat, ketua Yayasan Waluya Sejati Abadi, kini menjadi ketua Komisi IX DPR RI.
Beberapa ibu menyaksikan breaking news dari sebuah stasiun televisi. Ibu Pujiati, yang paling sepuh, terbaring di ranjang ketika saya melongok ke kamar.
“Sakit bu?”
“Ndak, istirahat saja…”
Di antara penghuni panti, bu Sri Sukatno dan bu Lestari adalah pengurus Gerwani. Sri dulu wartawan Ekonomi Nasional dan sekretaris DPD Gerwani DKI Jakarta. Ia 11 tahun meringkuk di penjara Bukit Duri dan Plantungan, Kendal. Lestari adalah ketua Gerwani cabang Bojonegoro.
Siang itu, saya meminta mereka berkisah tentang Umi Sarjono. Sang pemimpin, yang jejaknya sangat minim tercatat dalam sejarah. Saya hanya menemukan beberapa entry ketika melacak di mesin pencari google. Referensi paling lengkap tentang Gerwani dan peran Umi adalah buku Saskia E. Wieringga, Penghancuran Gerakan Perempuan. Khusus berkisah tentang Umi, hanya saya temui dalam buku Ria Susanti berjudul Kembang-kembang Genjer.
Sri menyeret kursi di depan saya. Lestari duduk di sampingnya.
“Bu Umi itu perempuan garis depan. Tante saya bersahabat dengan beliau sejak gadis,” Sri mengawali kisahnya. Intonasi suaranya tegas. “Waktu itu saya masih kecil. Kaget sekali melihat ada seorang perempuan masuk rumah, pakai baju tentara dan sepatu lars. Itulah Umi Sarjono!”
Sri berusia 70 tahun. Raut wajahnya cantik. Selalu tampil dengan baju rapi, kacamata dan rambut digelung. Sorot matanya tegas. Ingatannya jernih. Suaminya, almarhum Sukatno, aktivis Partai Komunis Indonesia (PKI) Jakarta.
“Bu Umi itu sudah berjuang sejak jaman Belanda dan Jepang. Dia ditangkap berkali-kali…”
Umi lahir di Salatiga pada 23 Desember 1924. Ayahnya seorang lurah, juga pejuang nasionalis. Darah pejuang Umi berhulu jauh pada kakek buyutnya yang seorang prajurit Diponegoro. Setelah kalah perang melawan Belanda pada 1830, sebagian pasukan Diponegoro menyingkir ke Salatiga. Babad alas, membuka lahan pertanian dan beranak-pinak disana. Kakek Umi salah satunya.
Umi menetapkan jalan revolusioner sejak gadisnya. Merekah cantik di usia 20-an tahun, dia bergabung dalam pasukan gerilya. Ia anggota Laswi (Laskar Wanita) dan bertempur di garis depan melawan Jepang.
“Anggota Laswi itu ratusan. Ada di tiap kabupaten. Waktu itu kan semangat revolusi kemerdekaan, semua orang terpanggil berjuang dalam perang gerilya,” terang Lestari.
“Laswi memiliki beberapa unit, yakni dapur umum, palang merah, kurir dan garis depan. Bu Umi ini penah jadi kurir, juga pernah di garis depan. Pegang senjata lho jeng!“ imbuhnya. Lestari bertubuh mungil dan ramah. Selalu menambahkan ‘jeng’ dalam kalimatnya. 11 tahun ia mendekam di penjara Malang.
Umi tertangkap di Blitar dan dijebloskan ke penjara dengan tuduhan membantu pemberontakan PETA (Pembela Tanah Air) pimpinan Supriyadi. Di Blitar juga yang mempertemukannya dengan dua orang penting dalam hidupnya, Sukisman Sarjono, aktivis PKI yang kemudian dinikahinya, dan SK Trimurti, kawan seperjuangan sejak gadis hingga di ujung senja. Paska Agresi militer II, Umi kembali terjun ke jalan gerilya.
Seperti Umi, SK Trimurti yang akrab disapa Tri, juga keluar masuk penjara sejak muda. Tahun 1947, ia diangkat sebagai Menteri Perburuhan pada kabinet Amir Syarifudin. Tri adalah ketua Partai Buruh Indonesia. Umi pun bergabung di sana.
Kemerdekaan digenggam, namun perjuangan memerangi imperialisme belumlah tamat. Untuk memperkuat perjuangan emansipasi, sejumlah perempuan memandang perlu dibangun satu organisasi perempuan, yang berkesadaran politik. Berdirilah Gerwis (Gerakan Wanita Indonesia Sedar), yang berkongres pada Juni 1950. Gerwis merupakan gabungan dari tujuh organisasi perempuan. Tris Metty terpilih sebagai ketua, Umi dan Trimurti sebagai wakil ketua. Tris Metty, adalah karib Umi di Laswi.
Sejak awal kiprahnya Gerwis menempuh jalan anti imperalisme. Membangun kesadaran perempuan akan hak-hak politiknya, meningkatkan upah buruh, memperjuangkan kesejahteraan dan pendidikan anak, merupakan beberapa visi yang disepakati dalam Kongres. Pada Kongres berikutnya di tahun 1954, Gerwis beralih nama menjadi Gerwani. Umi terpilih sebagai ketua umum. Harti Warto, Ny Mudigdo dan Salawati Daud sebagai wakil ketua. Sekretaris Jendral dijabat oleh Sulami, Kartinah Kurdi, dan Masyesiwi.
Jika pada tahun 1950-an adalah masa-masa pembangunan ke dalam bagi Gerwani, 1960-an adalah masa emas. Itu pula titik terpenting kepemimpinan Umi. Jumlah kader bertambah subur. Program-program populis, mulai dari pendirian sekolah dan penitipan anak, menyelenggarakan kursus-kursus pemberantasan buta huruf, hingga kampanye pembebasan Irian Barat.
Gerwani mendidik kadernya untuk menjadi perempuan melek politik dan mandiri. Lestari masih mengingat dengan jelas aktivitasnya sebagai pengurus cabang Bojonegoro. “Saban hari kami turun ke basis-basis tani dan buruh, mendirikan TK Melati, penitipan anak dan kursus buta huruf gratis.” Lestari mencatat, sekitar 1.500 balai penitipan anak dibangun Gerwani pada tahun 1960-an. Para petani, buruh, tak perlu membayar. Disitulah ladang rekrutmen anggota berlangsung efektif. Nilai-nilai Gerwani yang dipasok ke anggotanya adalah kemerdekaan, kerja keras dan pengabdian pada perjuangan.
Bagaimana hubungan Gerwani dengan PKI? Kendati tidak secara resmi berafiliasi, tak dapat dimungkiri adanya kedekatan ideologi dan politik dengan PKI. Capaian peningkatan kader pun banyak dinilai karena pengaruh PKI. Salah satunya, lewat kerjasama dengan SOBSI (Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) dan Buruh Tani Indonesia (BTI). Kader-kader Gerwani rajin menemui basis-basis buruh dan petani. Melakukan kegiatan bersama, juga aksi solidaritas, memperjuangkan upah, cuti haid bagi buruh perempuan, hingga memperjuangkan reformasi agraria bersama BTI.
Mulai 1960-an, Gerwani dominan dengan isu-isu imperialisme dan kolonialisme, mempertegas garis politik Gerwani yang mendekat ke PKI. Umi menyatakan bahwa “program PKI menjamin emansipasi dan hak sama untuk perempuan.” Di situ pula awal perpisahan Umi dengan Trimurti, karibnya semenjak gadis. Dalam buku Saskia digambarkan bagaimana Trimurti kecewa dengan dominasi PKI dalam Gerwani.
Bergabung dalam pasukan gerilya sedari muda, Umi matang secara mental, pemikiran dan politik. Umi membaca tulisan-tulisan Marx, juga Clara Zetkin, aktivis Bolsevik yang sering dikutip Soekarno dalam Sarinah. Ia juga menimba banyak pengalaman perjuangan organisasi perempuan di negeri-negeri sosialis di GDWS (Gerakan Wanita Demokratis Sedunia). Di kancah internasional ini, nama Gerwani cukup bergigi.
Tahun 1959 Umi melangkah ke parlemen sebagai utusan dari fraksi Golongan Karya. Pupuler di basis, di politik pengaruhnya pun makin diperhitungkan. Umi dikenal konseptor dan piawai melakukan lobby. “Bu Umi orangnya sangat luwes. Bahkan dengan musuh-musuh politiknya seperti Mr. Kasman Singodimejo dan Chairul Saleh pun, bu Umi bisa ngobrol dengan baik di luar sidang, setelah sebelumnya sebelumnya berdebat keras sekali!“ terang Sri.
Mr Kasman Singodimedjo, dedengkot Masyumi, pernah menjadi Ketua KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat). Pada 1960, Masyumi dibubarkan Soekarno. Hubungan Masyumi dan Gerwani, yang secara politik dekat dengan PKI, ibarat dua kutub yang saling berhadapan. Sementara Chairul Saleh ketua MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara), pendiri partai Murba (Musyawarah Rakyat Banyak), juga musuh berbuyutan Gerwani dan PKI.
Umi rajin menyambangi berbagai organisasi perempuan untuk diajak bekerjasama. Misalnya dalam peringatan hari Kartini atau hari perempuan internasional, Umi melibatkan mereka dalam kepanitiaan bersama.
“Kowani dan Perwari itu termasuk yang sulit untuk dilobby. Ibu Sartowiyono pimpinan Perwari itu galak sekali. Keras. Tapi ia baik sekali dengan Bu Umi. Itu karena lobi Bu Umi, dengan dibantu dr Hurustriati Subandrio dan Utami Suryadarma, istri Panglima AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) Surjadi Suryadarma. Dengan ketua Kowani Yetty Noor dari PSI (Partai Sosialis Indonesia), juga akrab sekali”
Kowani (Kongres Wanita Indonesia) adalah sebuah organisasi besar. Di dalamnya ada Fatayat NU, Muslimat, Wanita Katolik, Perwari (Persatuan Wanita Republik Indonesia), Wanita Demokrat (Marhaen). Sri menilai, kedekatan dengan Trimurti lah salah satu yang membentuk keluwesan politiknya. “Bu Umi ini orangnya Trimurti. Khasnya adalah merangkul orang lain yang bukan PKI.”
Hubungan dengan Soekarno pun cukup dekat. Sri masih mengingat dengan jelas bagaimana kegigihan Umi menerobos protokoler istana, demi melobi Soekarno untuk memberi sambutan dalam perayaan ulangtahun Gerwani ke 15, 4 Juni 1965.
“Waktu itu DPP Gerwani sudah mengirimkan surat ke Sekretariat Negara (Setneg). Sudah satu bulan dan tak ada tanggapan.“
Acara hendak dimulai beberapa jam lagi, jawaban dari Setneg belum ada. Jam 14.00, Umi Sarjono mengajak Salawati dan Sri Sukatno menghadap Soekarno di istana.
“Kenapa mendadak?!” nada Soekarno meninggi.
Umi menjelaskan. Tanpa banyak bicara, Soekarno mengiyakan. Istirahat sebentar, berganti baju dan mereka pun berangkat. “Bung Karno duduk di jok belakang, di sampingnya bu Umi, bu Salawati dan saya.” Mobil Indonesia-1 pun melaju ke Senayan.
Ribuan massa tumpah ruah di Senayan, sebuah gedung megah yang dibangun 1962 untuk acara GANEFO (Games of the New Emerging Forces), ajang olahraga tandingan Olimpiade, sebuah gagasan Soekarno. Bendera merah putih dan melati sebagai lambang Gerwani, berkibar-kibar di segala penjuru.
“Pokoknya Senayan penuh sesak. Orang-orang pakai baju biru semua, seragam Gerwani….” Kenang Sri.
Itu pertama kali ulangtahun Gerwani dirayakan besar-besaran. “Saya menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia termasuk Gerwani agar mendukung perjuangan nasional bangsa Indonesia untuk menyukseskan Dwikora dan Trikora!!” seru Soekarno. Tepuk tangan dan yel-yel tak putus-putus. Mars Gerwani pun bergaung seantero Senayan.
Di atas podium Umi berdiri tegak. Laporan kemajuan Gerwani, penambahan jumlah kader dan cabang, disambut sorak sorai massa 10 ribuan massa. Acara makin semarak dengan berbagai pentas seni. Tari-tarian dengan kostum meriah dari Baperki, ensamble Gentasuri, koor terbaik pimpinan Made Yase, juga beberapa kesenian daerah. Bing Slamet, seniman yang dekat dengan Lekra dan seorang Soekarnois, menyumbang lagu. Mawarti Sudarnoto, penyiar RRI bersuara renyah, kesayangan Soekarno, didapuk sebagai pembawa acara.
Perayaan ulangtahun ke 15 itu menjadi headline di semua koran. Empat bulan kemudian, huru-hara itu terjadi. Penculikan enam jendral TNI AD pada 30 September 1965, menjungkirbalikkan konstelasi politik. PKI, dan seluruh organisasi kiri dituding sebagai pelaku pemberontak. Pengurus, anggota dan simpatisannya diburu hingga ke lubang tikus. Kantor-kantor mereka dibakar. Rumah dan asset pribadi dijarah. Ratusan ribu dijebloskan ke penjara atau ditembak mati tanpa diadili.
Oktober 1965, Umi ditangkap usai bersidang di Senayan. Berlima dengan Salawati Daud, Ny. Mudigdo, Siti Aminah dan Dahliar, ia digelandang ke markas Kostrad. Diinterogasi berhari-hari, hingga akhirnya dijebloskan ke penjara Bukit Duri, 13 tahun lamanya.
Gerwani, organisasi yang dibangun selama 15 tahun, yang bervisi tegas memperjuangkan hak perempuan dan melawan imperialisme itu pun tumbang. Organisasi dengan anggota 1,5 juta runtuh seketika. Babak baru tergelar. Gerwani dicap sebagai organisasi beringas dan amoral. Umi meradang. Dalam pemeriksaan, berkali-kali ia menolak fitnah keji terhadap Gerwani.
1998, SOEHARTO tumbang setelah berkuasa 32 tahun. Ruang demokrasi melonggar. Lawan-lawan politik yang dulu dipenjarakan, mulai lantang bersuara. Narasi kebohongan Soeharto sedikit-sedikit dilucuti. Organisasi korban 1965 pun bermunculan, menuntut pemerintah untuk mengusut tuntas pelanggaran HAM berat pembantaian massal anggota dan simpatisan PKI.
Dalam gegap gempita itu, banyak pertanyaan, kenapa Umi tidak banyak bersuara? Memoar yang ditunggu-tunggu darinya juga tak muncul. Padahal dia orang nomor satu di Gerwani.
“Bu Umi merasa sangat bersalah. Terutama kepada anggota, pada orang-orang yang tidak bersalah itu. Termasuk tujuh orang gadis yang dituduh menyilet-nyilet itu. Tanggungjawab sebagai pemimpin itulah yang membuatnya sangat tertekan….” tutur Ruth Indiah Rahayu, aktivis perempuan. Yuyud, nama panggilannya, adalah istri mantan ketua CGMI (Central Gerakan Mahasiswa Indonesia), almarhum Hardoyo. Umi dan Hardoyo sama-sama anggota DPR GR.
Hal ini dibenarkan oleh Sri Sukatno, yang pernah sama-sama menghuni penjara di Bukit Duri. Sri mengenang, bagaimana Umi sangat perhatian terhadap ‘anak-anak’ ini.
“Dulu, kalau jadwal bezoek adalah Rabu dan Minggu. Bu Umi sering dibezoek oleh saudaranya. Kalau bawa makanan, bu Umi suka umpetin, bukan buat dimakan sendiri, tapi dibagikan kepada 7 anak ini.”
Sejenak suara Sri tertahan. “Saya lihat sendiri bu Umi mengurus anak-anak yang gak ngerti apa-apa itu. Mereka diajar baca tulis dan bahasa Inggris. Bu Umi sabar sekali, meski kebanyakan dari mereka itu akhirnya gila karena terus-terusan disiksa tentara…“
Tujuh gadis ini berasal dari kampung, ada yang dari Banten, Jawa Barat dan Jawa Timur. Diajak ke Jakarta dengan iming-iming bekerja di restoran. Sampai Jakarta, mereka dilemparkan ke tangan germo. Dipaksa melacur, dan tertangkap dalam pada akhir September 1965. Tentara segera membangun sebuah dongeng baru, gadis-gadis ini sebagai tokohnya.
“Mereka itu Eny, Jamilah, Henny, Jujuk, Waginah, dan Karsiah yang disiarkan di RRI (Radio Republik Indonesia), sebagai anggota Gerwani yang nyilet-nyilet penis jendral itu. Mereka disiksa habis-habisan. Kepalanya dibenamkan ke bak mandi, disundut rokok, dipopor senapan. Tak tahan, mereka meneken saja Berita Acara yang dibuat petugas. Jadilah skenario mereka sebagai anggota Gerwani yang biadab!” tutur Sri. Nada suaranya meninggi.
Rangkaian horor Gerakan 30 September terus beredar. Dalam buku Terempas Gelombang Pasang, Sudjinah, mantan pengurus DPP Gerwani melukiskan bagaimana para perempuan itu disuruh menari telanjang di penjara Bukit Duri. Foto-foto itulah yang kemudian disebar di koran Angkatan Bersenjata, Berita Yudha dan dikutip koran-koran lainnya. Setiap hari, hingga bertahun-tahun lamanya.
Tahun 1980-an, Ben Anderson, ahli Indonesia dari Universitas Cornell melansir temuan baru berupa bukti visum tim dokter, yang menyibak fakta bahwa kekejaman berupa penyayatan kelamin itu bohong belaka. Tapi kampanye fitnah terus berjalan tanpa pandang bulu, dengan media pers sebagai corongnya. Soekarno berkali-kali menolak bangunan fitnah yang menghantam kelompok kiri itu. Apa daya, kekuasaan sudah terenggut dari tangannya.
Umi dan beberapa anggota DPR GR di penjara Bukit Duri tak mengalami siksa fisik. Tapi Umi harus menyaksikan bagaimana ketujuh gadis-gadis ini disiksa. Mendengar para pengurus Gerwani di cabang, ranting ditangkapi dan dijebloskan ke penjara. Para anggota dan simpatisan dikejar-kejar. Para guru TK Melati hilang malam-malam tak tentu rimbanya.
Tanggungjawabnya sebagai pemimpin terluka. Umi terluka. Itu membuatnya tak sanggup bersuara.
Umi keluar dari Bukit Duri pada 1976, dijemput oleh Ngastiyah adiknya. Saat itu Sukisman masih mendekam di Pulau Buru. Umi kemudian menempati rumah kecil di Tegalan, Matraman (Depan Toko Buku Gramedia) Jakarta Timur, milik ponakannya Narti Sutomo, yang dianggapnya sebagai anak angkat. Pernikahan dengan Sukisman tak membuahkan anak.
Rumah di gang sempit itu berjarak tak lebih 500 meter dari bekas kantor Gerwani. Sekarang di lahan itu berdiri sebuah restoran padang.
“Tetangga-tetangga tahu gak kalau Bu Umi itu pimpinan Gerwani?” Saya bertanya ke beberapa orang tetangganya.
“Gerwani sih tahu. Tapi posisinya persis sebagai ketua, saya rasa tidak….” jawab Ning. Rumah Ning persis di depan rumah Umi. Ia warga asli Tegalan. Usianya 50-an tahun. Berperawakan kecil dengan rambut pendek. Kendati tak ada hubungan saudara, ia mengakui cukup dekat dengan keluarga Umi. Dulu, ia kerap berlatih angklung di kantor Gerwani.
“Tetangga baik kok pada Bu Umi. Gak reseh. Mungkin karena Bu Umi juga baik. Cuma memang gak pernah ikut kegiatan di kampung. Mungkin karena udah tua dan sakit-sakit.” Tambahnya.
Sukisman dan Umi pernah membuka warung tenda di Tegalan. “Jualan mie ayam, bakso, es serut. Laris sih. Bapak yang jualan. Ibu membantu saja, juga menyiapkan makanan untuk bapak. Bapak kan sudah sakit gula waktu itu… “tutur Ester. Perempuan 50-an tahun, berkulit hitam manis ini adalah ibu Mimin. Tak ada hubungan saudara, tapi suaminya, Sukirno, adalah kawan berjuang Pak Sukisman sejak muda.
Ketika Sukisman jatuh sakit, warungnya tak terurus. Bangkrut. Sukisman wafat pada September 1991. Umi tinggal sendiri di Tegalan, ditemani suami istri Sukirno dan Ester. Keponakan-keponakannya yang membantu keuangan, termasuk membiayai ketika Umi masuk rumah sakit. Pemasukan lain diperoleh dari menyewakan kamar rumahnya. Dulu ada beberapa kamar di lantai atas yang disewa. Sekarang, hanya satu kamar, disewa ibu-ibu yang berjualan nasi goreng di dekat Gramedia. Harga sewanya 500 ribu sebulan.
Umi mulai menderita berbagai penyakit usia tua. Diabetes, glukoma, jantung. Sebelumnya, ia dikenal sangat gesit. Umi sering berkeliling kampung memakai tongkat, berbelanja. Kendati, kadang-kadang dia sudah lupa dengan nilai uang yang dibawanya.
Kendati daya ingatnya masih jernih, kadangkala pikunnya menyerang. Umi sering sekali bilang “Aku ki ora terlibat!” Umi benci sekali melihat acara “Silet” di televisi. Kalimat “setajam silet” kerap membuatnya langsung menutup kuping dan masuk kamar. “Opo, disilet-silet? Aku ora terlibat! Gak ada itu silet-siletan!”
Umi terpukul ketika kehilangan kawan-kawannya, termasuk ketika Kartinah Kurdi, Sekjen Gerwani, kawannya yang paling dekat wafat. Saat itu Umi tengah sakit, saudara dan kawan-kawannya tak sampai hati mengabarkan berita duka itu. Beberapa hari, setelah fisiknya menguat, seorang kawan membisikinya pelan-pelan.
“Ora. Kartinah isih urip! Aku pengen ketemu!!” Umi meronta. Air mata menggenang di sudut matanya. Ia terpukul sekali.
Trimurti juga karibnya yang paling lama. Perkawanannya terentang lebih dari setengah abad. Ia memanggil “Yu Tri.” Sama-sama di pasukan gerilya jaman Jepang, membangun Gerwis, hingga akhirnya berpisah ketika Tri memutuskan keluar dari Gerwani dan aktif di Murba. Di masa tua, mereka kembali saling mengunjungi.
Ester berkisah, dulu sering diajak ke rumah Tri di daerah Salemba. Tri wafat pada 2008, dalam usia 96. “Waktu Bu Tri meninggal itu, saya disuruh nganter ke pemakaman di Kalibata. Pakai kursi roda.”
Setelah kedua kawan berjuangnya pergi, Umi kembali bergelut dengan penyakit tuanya. Sejak Februari 2010 sebelah kaki kirinya lumpuh. Saat itu ia tertabrak sepeda motor ketika tengah berbelanja. Sejak itu ia hanya bisa terbaring di tempat tidur.
Ketika saya berkunjung ke rumahnya beberapa tahun silam, Umi jernih bertutur tentang rezim SBY yang tak jauh beda dengan Soeharto, tentang keprihatinannya kekosongan organisasi perempuan seprogresif dulu.
“Organisasi perempuan harus kuat, harus progresif, harus politis…,” tuturnya dengan mata terpejam. Glukoma yang menyerang matanya telah membuat pandangannya kabur.
“Bila ada bantuan untuk dirinya, bu Umi memilih diberikan kepada anak-anak buahnya yang lebih membutuhkan. Sumbangan untuk operasi glukomanya pun, dia berikan kepada yang lain,” kenang Yuyud.
“Ia juga merasa bersalah, karena ia sebagai pimpinan, justru keluar lebih dulu dari penjara. Lebih dulu dari kawan-kawan lainnya. Sekeluar penjara, Bu Umi berkeliling ke anak buahnya, meminta maaf pada mereka. Ia adalah satu dari sedikit pimpinan yang melakukan itu! “ tandas Ruth.
SIANG ITU adalah tahlilan tujuh hari kematian Umi. Sekitar 50 nasi kotak disiapkan. Nasi, dengan lauk sambal goreng kentang, acar dan ayam bumbu bali ditata dalam boks. Mimin, Pak Ono, Ester dan seorang tetangga memasak sejak semalam.
“Nanti acara sehabis Ashar. Cuma undang beberapa orang dari mushola.” Kata Ester.
Saya melongok ke dalam kamar Umi. Sebuah dipan berukuran sedang, lemari tua, meja kayu yang di atasnya berjajar beberapa buku. Juga ada Alquran. Di dinding tergantung bingkai foto berukuran 10 R. Foto ketika masih sebagai anggota DPR. Cantik dan bugar. Sebuah radio bertengger di atas meja. Semuanya barang tua. Tak satupun yang mewah.
“Ini tulisan budhe Umi….” Mimin menunjukkan sebuah buntalan plastik. Kertas-kertas kusam, beberapa bundel fotokopi, juga beberapa lembar ketikan. Sebagian sudah bolong dimakan rayap. Sebagian tulisan tangannya kabur dimakan usia.
“Dulu sebelum matanya gak bisa lihat, Bu Umi masih suka mengetik sendiri. Ditulis tangan, terus diketik. Saya yang disuruh bacakan ….“ kata Mimin.
Saya membolak-balik tumpukan kertas itu. Tampak Umi berusaha keras menyusun penggalan memoarnya. Umi menulis di kertas apa saja. Di balik soal sekolah sampai fotocopy majalah. Dalam coretannya, berkali-kali Umi menegaskan, menolak tuduhan terlibat Gerakan 30 September. “Ormas Gerwani yang didirikan untuk menegakkan emansipasi wanita menentang diskriminasi gender, partisipasi dalam perjuangan menyelesaikan revolusi nasional menentang kolonialisme. Sekarang Gerwani diserang dengan fitnah sadis dan kotor. Semua tuduhan rekayasa dan fitnah tak ada satupun yang bisa dibuktikan…” tulisnya.
Gerwani adalah jalan hidup Umi. Belasan tahun ia membangun dan membesarkannya. Dan Soeharto, meluluhlantakkannya seketika.
“Bagaimana perasaanmu Min?”
“Ya sedih lah. Sedih banget…” Mimin menunduk. Tangannya memencet-mencet HP. Umi banyak menitipkan kisahnya pada Mimin, kendati barangkali gadis itu hanya sanggup mencerna semampunya.
“Saban hari Budhe cerita soal Gerwani, bagaimana dulu dia berpidato, kasih pendidikan, keliling dunia kasih sambutan. Pasti dia orang hebat. Sangat penting. Trus kesepian. Meninggal juga gak ada yang tahu…” Mimin kembali tersedu.
Menjelang Ashar, tamu-tamu yang akan tahlilan mulai datang. Saatnya pulang. Sekali lagi, saya menatap gambar Umi semasa muda. Segar dan cantik. Pancaran matanya kokoh. Hatinya teguh. ***
Lilik HS, Penulis Lepas.