RIM: Surveiller et marchandiser BlackBerry (1)

Print Friendly, PDF & Email

Kasus Posisi

HARI Jumat (7/1/2011), Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Tifatul Sembiring, seusai melantik para pejabat eselon I di jajaran kementeriannya (Kemkoninfo), memberikan pernyataan, “Dalam beberapa pekan ini, RIM (Research in Motion), harus sudah menutup situs konten pornografi atau kalau tidak, kita akan tutup.”1 Pernyataan ini sontak menjadi polemik di media masa maupun di mikroblogging seperti twitter. Pada hari Minggu (9/1/2/2011), Tifatul membeberkan alasan-alasan sekaligus tuntutan-tuntutan yang harus dipenuhi oleh RIM, jika ingin tetap beroperasi di Indonesia.2

Melalui twitter @tifsembiring pada hari Senin (10/1/2011), kita dapat mengetahui bahwa Pemerintah meminta RIM agar: (1) hormati dan patuhi Peraturan Perundangan yang berlaku di Indonesia, terkait dengan UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, UU. No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi; (2) buka perwakilan di Indonesia, karena pelanggan RIM di Indonesia untuk Blackberry sudah lebih dari 2 juta; (3) membuka service center di Indonesia untuk melayani & mudahkan pelanggan mereka yang juga WNI; (4) merekrut dan menyerap tenaga kerja Indonesia secara layak dan proporsional; (5) sebanyak mungkin menggunakan konten lokal Indonesia, khususnya mengenai software; (6) memasang software blocking terhadap situs-situs porno, sebagaimana operator lain sudah mematuhinya; dan (7) bangun server/repeater di Indonesia, agar aparat hukum dapat lakukan penyelidikan terhadap pelaku kejahatan termasuk koruptor. Di akhir kicauannya, Tifatul menulis, “Kalau ada nasionalisme di dada kita & ingin jd bangsa berwibawa, pasti sebagian kita akan setuju poin2 yg saya sampaikan tentang #RIM”.

Ternyata, kontroversi tidak berhenti di sini. Tifatul masih terus berkicau dalam twitternya pada Rabu (12/1/2011), kali ini menggunakan nalar nasionalisme ekonomi (bahkan cenderung terkesan anti asing). Ia membeberkan bahwa RIM telah mengeruk keuntungan ratusan milyar per bulan dari rakyat Indonesia dan tanpa membayar pajak, biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi, merekrut tenaga kerja Indonesia, bangun infrastruktur jaringan dan menyediakan layanan Corporate Social Responsability (CSR) di Indonesia.

Surveiller: Ke-(tidak)-taatan pada peraturan

Dalam tweeter maupun konferensi persnya, Tifatul memang tidak merujuk lebih detail pasal-pasal apa saja yang dijadikan tuntutannya pada RIM. Dalam ilmu hukum, tuntutan tanpa rujukan pasal yang jelas, bisa disebut sebagai obscuur libel – tuntutan yang kabur. Ketidakjelasan dalam sebuah tuntutan hukum seringkali diasosiasikan sebagai kesewenang-wenangan. Pada era Orde Baru maupun di bawah rezim otoriter, tuntutan-tuntutan terhadap aktivis seringkali dibuat sekabur mungkin, semisal dengan rumusan “melanggar peraturan perundang-undangan Indonesia atau bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945” dan jika tidak, maka merujuk pada pasal-pasal “karet” yang dapat diinterpretasikan secara arbitrer.

Dengan prasangka baik, bisa jadi Tifatul tidak menyebutkan pasal-pasal yang dijadikan alasan tuntuntannya, karena keterbatasan 140 karakter dalam twitter. Jika, kita membaca lebih lanjut 3 Undang-Undang yang dirujuk oleh Tifatul dalam polemik dan kontreversi #RIM ini, maka kita menemukan satu titik temu antara ketiganya: KESUSILAAN.3

Sesungguhnya, di sini kita melihat bagaimana norma kesusilaan ini menjadi pintu masuk sekaligus legitimasi bagi pemerintah untuk melakukan, apa yang disebut oleh Foucault, sebagai surveiller – pengawasan (inspeksi atau observasi) atau pendisiplinan.4 Pendisiplinan dan penghukuman (surveiller et punir) berfungsi secara komplementer, meskipun penghukuman lebih sering diasosikan dengan suatu respon hukum yang bersifat langsung, sedangkan disiplin tidak membutuhkan suatu respon spesifik atau yudisial atas suatu pelanggaran atas norma.5

Di sini, terlihat jelas bahwa aspek surveiller lebih mengemuka dibandingkan punir, karena di sini, pendisiplinan RIM tidak didasarkan sebagai respon spesifik atau yudisial atas suatu pelanggaran norma. Sebagaimana kita ketahui, dalam kasus ini, tidak atau belum ada sebuah persidangan yang membuktikan bahwa RIM telah bersalah melakukan kejahatan pornografi, entah itu memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan (vide Pasal 29 UU Pornografi).

Dari website RIM, kita bisa mengetahui bahwa RIM memang tidak diperuntukkan untuk kegiatan atau kejahatan pornografi, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 29 UU Pornografi. Secara tegas, kita menemukan penjelasan berikut, “Research In Motion (RIM), is the designer and manufacturer of the award-winning BlackBerry® smartphone, used by millions of people around the world. The company also creates software for businesses and the operating system that allows the BlackBerry smartphone to provide mobile access to email, IM, apps, media files, the Internet and more.”6

Di sini, secara tegas disebutkan bahwa RIM bukanlah produsen, pembuat, pemperbanyak, penyebarluas, penyiar, pengimpor, penawar, penjual, pembeli, penyewa, pemberisewa atau penyedia pornografi, yang dapat dikenakan sanksi berupa pembekuan izin usaha, pencabutan izin usaha, perampasan kekayaan hasil tindak pidana dan pecabutan status badan hukum (vide Pasal 41 UU Pornografi). Sekali lagi, di sini, kita menjumpai bahwa tuntutan Tifatul adalah kabur dan tidak jelas (obscuur libel sekaligus salah sasaran (error in persona). Oleh karena itu, secara hukum tuntutan Tifatul berdasarkan pasal ini tidak bisa diterima.

Tuntutan penghentian RIM memasarkan produk dan jasa BlackBerry di Indonesia, sejatinya merupakan penghukuman. Namun untuk sampai pada tingkat penghukuman, sebenarnya masih perlu diadakan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan apakah RIM benar-benar bersalah dan memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang diatur dalam Bab VII UU ITE, khususnya Pasal 27 dan/atau Pasal 52 ayat (1) serta untuk kemudian dapat dipidana berdasarkan ketentuan pidana berdasarkan Pasal 45 ayat (1) juncto Pasal 52 ayat (4). Kendala lain secara hukum, tentu saja adalah permasalahan yurisdiksi atau kewenangan memeriksa perkara, apakah akan di pengadilan di Indonesia atau di Kanada. Selanjutnya kategori mereka yang mewakili RIM, mengambil keputusan dalam RIM, melakukan pengawasan dan pengendalian dalam RIM, melakukan kegiatan demi keuntungan RIM (vide Penjelasan Pasal 52 ayat (4) UU ITE) juga sangat luas dan kabur, yang artinya hal ini memungkinkan terjadinya obscuur libel.

Contoh yang paling konkret, jaksa tentu akan mengalami kesulitan untuk menunjuk secara tepat siapa saja yang melakukan kegiatan demi keuntungan RIM, karena setiap unsur produksi hingga penjualan produk dan jasa RIM (supplier material, para buruh RIM, penjual grosir maupun eceran produk RIM, pembuat iklan dan pemasaran RIM, serta operator telekomunikasi rekanan RIM) sekaligus pengguna produk dan jasa RIM, merupakan mata rantai kegiatan yang menguntungkan RIM.

Nah, andaikan ini memang dipaksakan, tentu saja tiga juta pemakai BlackBerry (sesuai dengan kicauan Tifatul dalam twitternya) bisa terkena rumusan pasal ini. Begitu pula dengan enam operator telekomunikasi rekanan RIM di Indonesia. Maka ini sama halnya dengan kriminalisasi masal rakyat Indonesia!

Selanjutnya, jika Pasal 21 UU Telekomunikasi digunakan, maka kita dihadapkan pada pertanyaan, apakah RIM itu termasuk penyelenggara telekomunikasi yang untuk kemudian dapat diberlakukan sanksi administrasi berupa pencabutan ijin (vide Pasal 45 juncto Pasal 46). Dalam hal ini, Menkominfo tentu tidak bisa mencabut ijin RIM di Kanada, karena bukan kewenangannya untuk menerbitkan dan mencabut ijin perusahaan asing di negara asing.

Berdasarkan Pasal 11 UU ini, kita mengetahui bahwa penyelenggaraan telekomunikasi hanya dapat dilakukan setelah mendapat ijin dari menteri (c.q. Menkominfo). Artinya, jika belum mendapatkan ijin dari menteri maka kegiatan itu adalah terlarang atau ilegal. Hingga kini, kita mengetahui bahwa RIM tidak pernah meminta ijin kepada menteri untuk melakukan penyelenggaran telekomunikasi, begitu pula menteri juga tidak pernah mengeluarkan ijinnya. Jika, kegiatan yang dilakukan oleh RIM memang ilegal menurut UU ini, maka dari awal menteri langsung menghentikan kegiatan RIM tanpa negosiasi. Selanjutnya para operator rekanan RIM yang bekerjasama dalam sebuah kegiatan ilegal, juga bisa dikenakan sanksi karena telah melakukan kegiatan turut serta dalam perbuatan pidana. Namun sebelum itu, jika kegiatan yang dilakukan oleh RIM selama ini ilegal, maka menghadirkan pertanyaan besar pada kita atas efektivitas UU ini sekaligus kompetensi dan tanggung jawab Menkominfo dalam hal ini.

Kendala lain adalah Pasal 8 ayat (1) dari UU ini yang membatasi bentuk badan hukum penyelenggara telekomunikasi hanya pada 4 bentuk: BUMN, BUMD, Badan usaha swasta, atau Koperasi yang didirikan untuk maksud untuk penyelenggaraan telekomunikasi, karena, seperti diketahui, RIM tidaklah didirikan untuk untuk maksud penyelenggaraan telekomunikasi seperti halnya operator-operator rekanan RIM, tapi sebagai desainer dan produsen telpon pintar BlackBerry dan software atau aplikasi untuk bisnis dan operating system yang memungkinkan telpon pintar Blackberry menyediakan mobile access untuk menggunakan e-mail, aplikasi, internet, dan lain-lain.7 Ono W. Purbo pun menegaskan bahwa RIM bukan operator atau penyelenggara telekomunikasi, bukan pula Internet Service Provider (ISP), tapi lebih merupakan aplikasi di Internet, tepatnya proxy, yang kira-kira equivalen dengan yahoo.com, google.com, facebook.com, dan lain-lain.8

Tifatul menerapkan disiplin dalam kasus ini sebagai alat untuk menegakkan normalitas, untuk menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak, apa yang sesuai dengan aturan dan dari mana memulainya. Hingga di sini, seperti yang pernah ditulis oleh Foucault, bahwa surveiller berfungsi sebagai satu korektif – sebagai satu alat untuk membawa kembali orang-orang pada jangkauan normalitas.9 Cara-cara yang dipakai oleh disiplin untuk menciptakan efek ini, terdiri dari 3 hal, yaitu la surveillance – pengawasan, la sanction – sanksi atas semua sikap/tindakan yang jauh/tidak sesuai dengan norma yang ditentukan, dan l’examen – pengujian untuk memverifikasi tingkatan konformitas individu (maupun korporasi) dan sikap/tindakannya atas cara-cara yang diterapkan.10 Seperti Foucault tuliskan bahwa seni menghukum dalam rejim disiplin berguna bukan untuk menebus dosa atau merepresi, tetapi lebih pada, comparer – membandingkan, différencier membedakan, hiérarchiser – membuat hierarki, homogeniser – melakukan homogenisasi dan exclure – melarang masuk/mengeluarkan.11 Sialnya/untungnya, hal-hal ini juga dapat kita lihat dalam kicauan Tifatul dalam twitternya yang kemudian diliput oleh media.

Rezim disiplin dalam bidang pertelekomunikasian ini akan menciptakan sebuah perubahan kebiasaan dari dalam diri individu maupun korporasi sebagai role occupants dari norma yang ada, karena seperti dalam analisa sebelumnya, bahwa perubahan atau adaptasi yang dilakukan oleh RIM maupun para pemegang keputusan RIM, bukanlah sebagai reaksi/respon atas sebuah putusan yudisial yang membuktikannya bersalah dan melanggar norma. Keadaan ini di masa depan, akan menciptakan suatu yang diistilahkan oleh Foucault sebagai panoptisme.12 Panoptisme ini membentuk sebuah ide yang mengatur suatu “État policier – negara polisi,” yang mampu mengubah suatu kebiasaan dan hubungan, di mana sikap/tindakan totalitas anggota “tubuh sosial” atau masyarakat menjadi diobservarsi atau diawasi oleh sedikit orang yang memegang kekuasaan/kapital dan yang dekat dengan mereka.13

Dengan dalih agar aparat hukum dapat lakukan penyelidikan terhadap pelaku kejahatan termasuk koruptor, RIM harus membuat server/repeater atau data center, sebenarnya Tifatul ingin melakukan intersepsi atau penyadapan dalam komunikasi yang dilakukan oleh para pengguna BlackBerry, atau rakyat Indonesia. Pengawasan ini jelas tidak selalu berkaitan atas dugaan kejahatan pornografi, tapi setiap segala sesuatu yang dianggap oleh penguasa sebagai “menyimpang”, “tidak sesuai”, “nakal”, atau “jahat.” Sebenarnya, apa yang dilakukan oleh Tifatul ini bukanlah sebuah tindakan atau hal baru dan bukan pula sebuah kontroversi baru. Karena, pada saat isu “Cicak versus Buaya” sedang ramai, Tifatul menciptakan suatu kontroversi dengan keinginannya untuk menguasai wewenang penyadapan.14 Bahkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang digagas oleh Tifatul saat itu, oleh Mahkamah Konstitusi dinilai inkonstitusional.15

Karena ketiadaan UU Penyadapan hingga kini, maka apa yang didalilkan oleh Tifatul kepada RIM jelas merupakan sebuah tindakan ilegal. Sesuai dengan Pasal 31 ayat (3) UU ITE (UU yang dirujuk Tifatul) dalam hal intersepsi atau penyadapan dalam rangka penegakan hukum yang mensyaratkan adanya UU Penyadapan dan permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya,16 maka RIM wajib mengabaikan tuntutan Tifatul agar menciptakan server/repeater atau data center untuk tujuan ini.

Ilegalitas yang dilakukan oleh Tifatul dalam kasus ini, ternyata tidak hanya terhenti dalam kontroversi mimpi lamanya, tapi juga saat berkicau dalam twitternya “CATAT: RIM Tanpa bayar pajak sepeserpun kepada RI…”17 Hal ini karena, bukan hanya karena RIM telah membantah atau mengklarifikasinya,18 tapi karena Pasal 34 UU No. Tentang Ketentuan Umum Perpajakan melarang setiap pejabat dan tenaga ahli untuk memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, kecuali pejabat dan tenaga ahli terserbut jadi saksi atau saksi ahli di pengadilan atau memberikan keterangan kepada pihak lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Singkatnya, membeberkan rahasia pajak kepada publik tanpa ijin tertulis dari Menteri Keuangan adalah terlarang!

Dalam kasus ini, Menteri Keuangan, Agus DW Martowardojo, pada hari Rabu (12/1/2011) menyatakan, “Saya belum menerima laporannya. Tetapi, seandainya ada komponen royalti atau pajak yang belum dibayar, akan kami tagihkan beserta penaltinya. Tetapi, saya belum terima laporan karena belum sampai di meja saya. Akan kami tagih bersama dendanya.”19 Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Humas Direktorat Jendral Pajak, M. Iqbal Alamsjah, pun juga menanyakan darimana Tifatul mendapatkan data bahwa RIM tidak bayar pajak sepeser pun? Iqbal kemudian menegaskan bahwa dirinya tidak mempunya kapasitas menjawab, karena itu kerahasiaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 34 UU KUP tersebut.20 Dari sini, bisa dipastikan bahwa Tifatul belum mendapatkan ijin tertulis dari Menteri Keuangan atau apa yang dilakukan oleh Tifatul adalah ilegal!

Akhirnya kita bisa tahu, bahwa kicauan Tifatul bahwa dia hanya menjalankan Undang-undang21 hanyalah mitos, jika tidak ingin disebut kebohongan yang sekaligus menambah panjang daftar kebohongan pemerintah.22***

Mahmud SyaltoutPhD in International, European and Comparative Law, University of Paris 5

Catatan kaki:

1Kompas, “Tak Blokir Pornografi, BlackBerry Terancam Ditutup” Disponible sur: (consulté 15 January 2011).

2Kompas, “Blokir Layanan BlackBerry: Ini Dia 7 Tuntutuan Tifatul untuk RIM! », Kompas Disponible sur: (consulté 15 January 2011).

3Untuk lebih jelasnya, kita bisa melihat dalam pasal-pasal berikut:
1). Pasal 21 UU Telekomunikasi: «Penyelenggara telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi yang bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum.
2). Pasal 27 ayat (1) UU ITE: «Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.»
3). Pasal 52 ayat (1) UU ITE: «Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) menyangkut kesusilaan atau eksploitasi seksual terhadap anak dikenakan pemberatan sepertiga dari pidana pokok.».
4). Pasal 1 UU Pornografi: «Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.»

4Alan Sheridan, penerjemah Surveiller et punir ke dalam bahasa Inggris, menuliskan secara presisi bahwa kata kerja surveiller tidak memiliki kesamaan langsung dalam bahasa Inggris, meskipun hal tersebut mengacu pada ide pengawasan, inspeksi atau observasi, namun Foucault sendirilah yang menetapkan judul dalam bahasa Inggris Discipline and Punish. Lihat Michel FOUCAULT. Discipline and Punish: The Birth of the Prison, New York: Pantheon Books, 1977, p. ix.

5Lebih lanjut, lihat Julie MERTUS et Kristin RAWLS, Crossing the Line: Insights from Foucault on the United States and Torture. Discipline and Punishment in Global Politics: Illusions of Control / éd. par Janie LEATHERMAN, New York: Palgrave Macmillan, 2008, p. 27-40.

6RIM, « RIM Company – Learn about Research In Motion » Disponible sur: (consulté 15 January 2011).

7Ibid.

8Untuk lebih jelasnya mengenai hal ini, baca Ono W. PURBO, « Wawancara sekitar Blokir BlackBerry » Disponible sur: (consulté 15 January 2011).

9FOUCAULT. loc. cit. p. 178-179.

10Michel FOUCAULT. Surveiller et punir, Paris: Gallimard, 1975, p. 188-189.

11Ibid., p. 183.

12Panoptisme berasal dari bahasa latin, «pan» berarti «semua» dan «optisme» berasal dari kata kerja yang berarti «melihat». Terminologi ini dipinjam oleh Foucault dari Jeremy Bentham, bapak utilitarisme, yang menggunakan istilah Panopticon, untuk menggambarkan sebuah penjara persegi lima di mana ada sebuah menara di tengah-tengahnya yang bisa melihat ke dalam sel-sel, hingga para tahanan merasa selalu diawasi dan kemudian dengan sendirinya menjadi terdisiplinkan.

13Ibid., p. 211.

14Lebih jelasnya, baca Tempo, “Kontroversi Aturan Penyadapan” Disponible sur: (consulté 15 January 2011).

15Baca HUKUM ONLINE, “PP Penyadapan Hanya Akan Diberlakukan Sementara” Disponible sur: (consulté 15 January 2011).

16Di sini patut dicatat bahwa Kemkoninfo bukanlah institusi penegak hukum.

17Baca pula Kompas, “Tak Bayar Pajak, RIM Keruk Rp 2 T Per Tahun” Disponible sur: (consulté 15 January 2011).

18Baca Kompas, “RIM: Kami Sudah Bayar Pajak » Disponible sur: (consulté 15 January 2011).

19Kompas, “Menkeu: Pajak RIM Akan Ditagih” Disponible sur: (consulté 15 January 2011).

20Vivanews, “Ditjen Pajak: Apakah BlackBerry Bayar Pajak? Itu Rahasia” Disponible sur: (consulté 15 January 2011).

21Kompas, “Tifatul: Saya Hanya Jalankan Undang-undang” Disponible sur: (consulté 15 Januari 2011).

22Baca Azyumardi AZRA. “Menggugat Pembohongan Publik.” Kompas, Jakarta, 14 Januari 2011.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.