SEPANJANG tahun 2010, kita menyaksikan rangkaian konflik berlatar-belakang agama. Dari penyerangan terhadap komunitas Ahmadiyah di Desa Manis Lor, sengketa pendirian tempat ibadah, hingga penusukan seorang pendeta di Bekasi. Kondisi ini seolah menunjukkan, sebagai bangsa kita tidak bisa hidup bersama dalam pluralitas.
Celakanya, aksi kekerasan berlatar agama biasanya “ditutup-tutupi” oleh pemuka agama itu sendiri. Mereka berdalih agama pada dasarnya menganjurkan kebaikan, perdamaian, hidup rukun, dan saling menghormati. Konflik agama muncul karena adanya oknum-oknum yang memanfaatkan agama demi kepentingan politik maupun golongan tertentu (Haryatmoko, 2003:73). Sejarah membuktikan agama selalu dekat dengan konflik dan kekerasan. Pertentangan antara Protestan dan Katolik di Eropa abad ke-17, perang salib yang melibatkan dua peradaban besar, juga konflik antara Hindu dan Muslim di India. Fakta-fakta ini menunjukkan, agama rentan dengan konflik dan kekerasan. Perlu sikap hati-hati dalam memandang agama, sebab realitas terkadang dimentahkan oleh argumen-argumen keinginan (baca: ideologi agama).
Karena itu, perlu sebuah kritik ideologi terhadap agama yang eksis. Kritik ini penting agar kita menyadari bahwa agama bukanlah barang suci yang bebas dari kontaminasi manusia. Agama terbentuk melalui proses sejarah, bercampur dengan budaya serta hasrat-hasrat manusia. Kata “agama” sendiri memiliki jenis pemaknaan yang luas meliputi gagasan-gagasan, praktek-praktek, juga pengalaman-pengalaman – kadang positif dan kadang negatif (ibid, 2008:15). Kritik ideologi sendiri bukan untuk melemahkan fungsi agama sebagai jalan hidup manusia, bukan pula sebagai justifikasi atas kebenaran kaum atheis, tapi refleksi untuk membangun agama menjadi lebih baik, terutama dalam posisinya sebagai unsur yang melekat dalam sejarah dan budaya manusia. Akhirnya, jawaban atas kritik itu bukan apologia (membela diri), tetapi transformasi kritik tersebut untuk pemurnian pemahaman agama (Haryatmoko, 2003:68).
Agama dan Kekerasan
Tiga pemahaman peran agama yang bisa menjelaskan kaitan antara agama dan kekerasan: pertama, agama sebagai kerangka penafsiran religius terhadap hubungan sosial (fungsi idiologis); kedua, agama sebagai faktor identitas; dan ketiga, agama sebagai legitimasi etis hubungan sosial (ibid, 64).
Sebagai ideologi, agama berfungsi melegitimasi suatu tindakan. Ia berfungsi sebagai norma atau tata aturan yang menentukan baik buruknya suatu perbuatan, benar salahnya suatu tindakan. Karena agama berbicara mengenai kebenaran, tidak jarang tindakan-tindakan kekerasan itu dilakukan atas nama Tuhan. Begitu pula keyakinan seseorang selalu diposisikan sebagai sesuatu yang bertentangan satu sama lain. Keimanan serta kesalehan lalu tak lepas dari tindakan menafikan atau menyalahkan keyakinan yang lain. Corak berfikir oposisi biner menjadikan agama sebagai sesuatu yang eksklusif.
Ajaran-ajaran agama juga sering menjadikan kekerasan melalui sarana analogi. Di kalangan muslim Indonesia, sudah sangat familiar bahwa ketika suami istri melalukan hubungan intim pada malam Jum’at, pahalanya sama dengan membunuh seribu orang Yahudi. Begitu pula penghalalan darah non-muslim, sering kita temui dalam ajaran Islam. Bangsa Yahudi sendiri tidak jauh berbeda, dalam Talmud (Bayamut, no 6) dsebutkan, kaum Yahudi akan menjadi bernajis apabila ia menyentuh kuburan orang-orang non-Yahudi (goim), karena mereka itu binatang, bukan manusia. Dalam Chaschen Hammischapt (338/16) disebutkan: semua penduduk kota Yahudi wajib memberikan saham sebagai usaha bersama dalam memberikan biaya untuk membunuh pengkhianat, termasuk mereka wajib membayar pajak tambahan (Syarqawi, 2003:215,287). Setiap ajaran Abrahamistik hampir memiliki konsep serupa yang dekat dengan kekerasan. Kristen pun demikian, mereka memiliki semboyan extra ekresia mulasanus, yang artinya di luar gereja tidak akan ada yang selamat.
Keyakinan atas suatu agama sebagai ideologi, rentan sekali dimanfatkan untuk kepentingan-kepentingan dominasi dan eksploitasi, terutama dalam ranah politik. Didukung oleh kepatuhan umat yang buta terhadap pemimpinnya, agama menjadi alat bagi kepentingan kelompok untuk melegitimasi kekuasaan. Oleh karena itu, pendekatan terhadap tokoh-tokoh agama menjelang pemilu menjadi kebiasaan yang sering kita lihat sebagai salah satu perilaku politik.
Dalam keberagaman etnis dan geografis penduduk Indonesia, agama pun membentuk dirinya sebagai identitas masyarakat. Ia menjadi lebih kental lagi bila dikombinasikan dengan identitas etnis seperti Aceh Muslim, Flores Katolik, Bali Hindu, dan sebagainya. Pertentangan pribadi atau etnis bisa menyulut dan berubah menjadi konflik antar-agama (Haryatmoko, 2003:65). Konflik yang sempat terjadi di Sampit atau Sambas, misalnya, berubah isu menjadi konflik agama, padahal konflik tersebut mulanya terjadi karena adanya kesenjangan ekonomi antara pendatang dari Madura dengan penduduk setempat.
Identitas yang terbentuk berdasarkan latar belakang agama ini, juga dapat memelihara ingatan kolektif masyarakat. Orang akan terus ingat dengan konflik seperti di Poso, Ambon, Ternate, atau pemboman temapat ibadah serta penghinaan atas keyakinan (agama). Suatu ketika konflik-konflik semacam ini akan muncul kembali jika ingatan tersebut masih terpelihara. Pelanggengan ingatan ini biasanya berjalan melalui lembaga, seperti keluarga maupun pendidikan. Tidak terkecuali penataan pemukiman yang kurang baik (penataan berdasarkan etnis dan agama) ikut memelihara ingatan kolektif ini.
Hubungan sosial manusia sendiri sering diikat oleh semangat ajaran suatu agama. Klaim bahwa nilai-nilai HAM bersal dari Barat, yang sering diidentikan dengan Kristianisme, bisa memancing reaksi penolakan dari bangsa-bangsa Timur dan dari Islam (ibid, 65). Atau penolakan terhadap sikap menahan diri dari pemborosan, sikap menabung, karena hal itu dianggap sebagai etika Protestan. Penolakan ini muncul bukan karena diskursus gagasan itu sendiri, melainkan atas sentimen ajaran agama yang berbeda.
Kegiatan politik di Indonesia tidak jauh berbeda. Perbedaan agama kemudian dijadikan sarana untuk membangun hubungan sosial politik. Orang Islam bikin partai Islam, orang Kristen pun demikian. Hubungan sosial politik kemudian tereduksi dalam kerangka agama beserta pertentangan-pertentangannya, bukan dalam hubungan satu sama lain sebagai warga negara dan semangat dalam membangun hidup bersama. Padahal, menurut filsuf Jerman Jurgen Habermas, sekiranya ada satu negara yang dihuni oleh mayoritas suatu agama, maka mereka akan melihat diri mereka sebagai warga negara bila mereka hendak hidup secara politis di dunia ini (Hardiman, 2009:159). Intinya mereka bukan “warga agama”.
Kritik atas Agama
Banyak filsuf yang telah melakukan kritik terhadap agama, seperti Ludwig Feuerbach yang menyatakan God is not create human, but human creates God; Karl Marx menyatakan religion is opium; atau Sigmund Freud dalam teori our father rejection. Selain ingin menyatakan bahwa Tuhan adalah sebuah ilusi, mereka pun ingin menekankan bahwa agama adalah alat kekuasaan yang selalu ada dan digunakan dalam hubungan sosial. Konsep takdir, sabar, dan hal-hal ukhrowi dilihat Feuerbach sebagai konsep yang menjauhkan manusia dalam kemampuannya mengubah dunia. Agama menjadi sebuah pelarian dalam ketidakmampuan manusia. Allah telah ditempatkan sebagai dalang yang dengannya manusia berada dalam kondisi pasif.
Kini dalam masyarakat Indonesia yang sangat plural, kritik idiologi diperlukan agar agama tidak terus menjadi legitimasi atas berbagai bentuk kekerasan. Bersikap kritis dan curiga terhadap apa yang terjadi dalam masyarakat adalah hal yang mesti kita lakukan. Contoh, baru-baru ini di beberapa daerah, diterapkan peraturan kepada setiap calon Gubernur, Bupati, maupun Walikota agar bisa membaca Al-Qur’an. ‘Islam sebagai agama mayoritas’ biasanya dijadikan hujjah (argumen) untuk membenarkan praktik tersebut. Karena aturan ini, mayoritas tidak lagi menjadi rahmatan lil alamin, ia sekedar bahasa yang menerjemahkan libido politik, hasrat kekuasaan, atau birahi duniawi. Jika dahulu Feuerbach mengatakan bahwa agama adalah ‘proyeksi atas kelemahan manusia’, kini menjadi ‘proyeksi atas keserakahan manusia’.
Efek dari proyeksi tersebut adalah perpecahan. Peraturan-peraturan semacam itu semakin memperlebar jurang antara mayoritas dan minoritas, hak politik sebagai warga negara menjadi semakin sulit diperoleh, dan pada akhirnya, mayoritas akan berkumpul pada lingkarang pusat, sementara minoritas tetap berada di pinggiran.
Di sisi lain, agama pun dijadikan alat kekuasaan politik. Fatwa haram golput yang dikeluarkan MUI tidak lain bentuk dari “kongkalingkong” agama dengan kekuasaan. Ketika politik mengalami defisit kepercayaan, agama menambalnya. Jaman orde baru pun melakukan hal yang serupa. Semua kelompok agama Islam disatukan dalam wadah partai agar rezim berjalan aman dan sentosa. Konflik etnis kemudian dibungkus dengan issu agama, sehingga pelanggaran HAM menjadi bias bahkan tak terlihat. Sikap kritis terhadap agama ini hanya bisa kita lakukan ketika kita mengambil jarak terhadapnya. Mengamati adalah proses melihat, dan melihat membutuhkan jarak.
Selain itu kita harus menyadari bahwa agama merupakan sesuatu yang tidak bisa lepas dari kerangka sejarah. Setiap tradisi besar agama memiliki wajah yang berbeda dalam setiap waktu. Tradisi-tradisi tersebut bukan suatu entitas yang statis, namun terus bergerak; mereka pun tidak melulu homogen tetapi masing-masing membentuk variasi-variasi yang beragam (Hick, 1996:515). Menurut John Hick, konsekuensi dari kesejarahan ini adalah transformasi eksistensi manusia dari pusat diri (self-centredness) menuju pusat realitas (reality-centredness) (ibid, 518). Artinya, pemahaman keagamaan serta hubungannya dalam masyarakat tidak melulu berpangkal pada kehendak diri pribadi atau suatu pemeluk, melainkan adanya suatu kesadaran yang didasari atas realitas, yakni realitas majemuk. Hick bahkan mempertanyakan; If we accept that salvation/liberation is taking place within all the great religious traditions, why not frankly acknowledge that there is a plurality of saving human response to the ultimate divine Reality? (ibid, 516).
Islam sendiri pada dasarnya menyadari bahwa agama selalu berada dalam konteks kesejarahan. Oleh karena itu dalam Islam kita mengenal metode qiyas, ijma, atau ijtihad ulama. Begitu pula dalam Kristen terdapat hermeneutika, sebuah metode tafsir atas kitab suci dan tradisi mereka.
Jika kita berpegang pada epistemologi Kantian, maka pengetahuan keagamaan kita tidak akan lepas dari rasio kita sendiri. Karena rasio memiliki keterbatasan, maka akan selalu ada objek das ding an sich atau objek noumenon yang tinggal di sana, entah itu mengenai kebenaran, realitas Tuhan, maupun konsepsi keagamaan lainnya. Maka yang menjadi ego atau pelindung dari ketidakpastian rasio dalam hubungan antar-agama itu tidak lain imperative categories itu sendiri.
Pada akhirnya kita membutuhkan suatu teori yang dapat membangun atau mendorong pada maksud praxsis. Di Inggris sekitar abad ke-15, kota London sudah sangat metropolis. Penduduknya berasal dari bermacam golongan, orang-orang lokal dan pendatang dari berbagai negara semua berkumpul. Raja pada saat itu dipaksa berpikir, bagaimana membangun suatu kekuatan idiologis agar masyarakatnya yang heterogen tidak terpecah-belah oleh konflik. Maka muncul gagasan tentang multikulturalisme, sebuah gerakan yang mendorong masyarakat menuju kesadaran dan praxsis hidup bersama. Pada zaman sekarang, dalam konteks agama, semangat itu kita kenal dengan sebutan pluralisme.
Pluralisme bukan hanya sikap menghargai perbedaan atau menerima bahwa setiap keyakinan memiliki kebenaran dalam dirinya masing-masing. Meminjam Habermas, pluralitas secara sosiologis adalah kemampuan untuk menghubungkan secara normatif individu-individu beserta kepentingannya ke dalam suatu kelompok yang lebih besar. Prinsip pluralitas yang menghargai opini publik, membuka partisipasi publik seluas-luasnya, dan menghargai ekpresi publik muncul bukan karena individu berasal dari satau kelompok yang berbeda, tetapi karena ia diakui sepenuhnya sebagai bagian dari warga negara yang dilindungi secara hukum (Habermas, 1996:331).***
Supriadi Al-Hamdulillah, Penulis lepas, tinggal di Banten
Kepustakaan:
Habermas, Jurgen, 1996, Between Facts and Norms: Contribution to a Discourse Theory of Law and Democracy, (trans.) William Rehg, Polity Press, Britain.
Hardiman, Budi F., 2004, Kritik Idiologi, Menyingkap Pertautan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas, Kanisius, Yogyakarta.
_________________, 2009, Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas, Kanisius, Yogyakarta.
Haryatmoko, 2003, Etika Politik dan Kekuasaan, Kompas, Jakarta.
Hick, John, 1996, Religious Pluralism, dalam Philosophy of Religion (ed.) Michael Paterson etc., Oxford University Press, New York.
Syarqawi, Muhammad asy, 2003, Talmud, Kitab “hitam” Yahudi yang menggemparkan.
Sindhunata, 1983, Dilema Usaha Manusia Rasional, Gramedia, Jakarta.