PADA bagian terakhir ini saya ingin memfokuskan analisis ini pada ekspresi politik kalangan “informal proletariat” menurut Mike Davis, atau “non-industrial proletariat” menurut Max Lane, atau “non-industrial urban proletariat” menurut James Petras, atau Kaum Miskin Kota (KMK) menurut istilah populer di kalangan progresif di Indonesia.
Seperti dikatakan Petras, karena posisi ekonominya yang sangat buruk, tersingkir dari keuntungan-keuntungan ekonomi formal sebagai akibat dari proses pembangunan kapitalistik, secara sosial terisolasi dari kehidupan normal perkotaan, maka kelompok ini – dalam kasus Amerika Latin – telah menjadi basis sosial penyangga sistem politik yang non-revolusioner. Selain itu, orientasi politik populis atau korporatis dari KMK itu disebabkan oleh posisi gandanya, yang bersifat psikologis maupun psikis: karena mereka (KMK) pada umumnya adalah penduduk yang bermigrasi dari desa ke kota maka pengalaman hidupnya adalah setengah kota setengah desa; karena ia hidup di pemukiman kumuh di perkotaan maka ia mengalami langsung dua keadaan: secara ekonomi ia sangatlah miskin tapi secara politik aspirasinya adalah aspirasi perkotaan. Pengalaman hidupnya menunjukkan bahwa ia telah tercerabut dari kehidupan asilnya di pedesaan tapi juga tidak bisa berintegrasi dengan serikat buruh di perkotaan.
Dengan ciri khas seperti itu, maka seperti yang telah saya sitir dalam artikel sebelumnya (di sini), studi klasik Petras menyimpulkan ekspresi politik dari kelompok KMK ini umumnya berwujud populis, korporatis atau gabungan keduanya ketimbang berorientasi politik kelas. Di Argentina, sebagai misal, kelompok KMK ini merupakan penyumbang massa terbesar bagi Peronisme, sebuah pemerintahan populis yang dipimpin oleh Juan Peron. Di Brazil, KMK juga menjadi pendukung utama pemerintahan populis-korporatis Gétulio Vargas. Sementara di Peru, mereka mendukung partai nasionalis-populis the Alianza Popular Revolucionaria Americana (APRA). KMK juga menjadi basis sosial dari organisasi-organisasi dengan orientasi politik yang lebih kanan, yang diorganisasikan berdasarkan garis paternalis-diktatorsip. Misalnya, rejim Manuel Arturo Odria di Peru, Gustavo Rojas Pinilla di Kolumbia, atau Marcos Pérez Jiménez di Venezuela.
Tetapi, Petras juga mengatakan, orientasi populis, korporatis atau gabungan keduanya yang melekat pada KMK ini, juga disebabkan antara lain oleh “kesombongan” gerakan kiri tradisional untuk mengartikulasikan kepentingan KMK ke dalam program-program politiknya. Sindiran atau umpatan lumpenproletariat menjadi penanda dari kesombongan kiri tradisional ini. Menurut kelompok ortodoks ini, berdasarkan struktur pekerjaan yang terfragmentasi serta keterkucilannya dari sektor ekonomi utama maka sulit untuk mengharapkan KMK bisa menjadi agen perubahan sosial yang radikal. Selain itu, membludaknya massa pengangguran perkotaan menjadi senjata utama kelas kapitalis untuk tetap mempertahankan struktur upah murah di hadapan tuntutan kenaikan upah kelas pekerja industrial.
Namun, seperti ditunjukkan Petras dalam artikelnya “The Unemployed Workers Movement in Argentina” (Monthly Review, 2002), dengan model perorganisiran yang luwes, buruh pengangguran perkotaan ini sukses memobilisasi massa secara teroganisir dan berkesadaran politik kelas sehingga mampu menjatuhkan rejim kapitalis-neoliberal di Argentina pada 2001. Di tengah-tengah gerakan buruh industrial yang sangat ekonomistik, terisolasi pada tuntutan sektoralnya yang terbatas, serta jumlahnya yang terus menurun, pada Agustus 2001, misalnya, terjadi aksi demonstrasi lebih dari 300 ribu massa yang melintasi 300 jalan-jalan utama di Argentina, yang dimotori oleh buruh pengangguran perkotaan ini. Hampir sebulan kemudian, menjelang September 2001, para buruh pengangguran ini mengorganisir aksi pendudukan atas jalan raya di seluruh Buenos Aires.
Max Lane dalam bukunya “Unfinished Nation Indonesia Before and After Suharto,” (2008) menunjukkan bagaimana “kerjasama” antara gerakan progresif dengan KMK telah sanggup memobilisasi massa rakyat turun ke jalan-jalan utama di Jakarta, dalam apa yang disebut koalisi Mega-Bintang-Rakyat (MBR).” Karena itu, dalam artikelnya yang lain (2010), Lane menyimpulkan “kebangkitan politik radikal proletarian akan ditentukan oleh interaksi antara seksi “formal” dan informal, seksi industrial dan non-industrial.”
Studi terbaru dari sosiolog Sujatha Fernandes, dalam bukunya “Who Can Stop The Drums? Urban Social Movements in Chavez’s Venezuela,” (2010) juga menunjukkan hal senada dengan temuan Petras dan Lane. Dalam buku ini, Fernandes menunjukkan bagaimana KMK, yang secara ekonomi dan politik terpinggirkan oleh kebijakan neoliberal di bawah pemerintahan Carlos Andrez Perez, sejak awal terlibat dalam aksi demonstrasi massal berujung rusuh massal dalam menentang kebijakan neoliberal pada 1989, yang dikenal dengan sebutan Caracazo. Ketika Chavez mendaki puncak tertinggi kekuasaan Venezuela melalui Pemilu demokratis pada 1999, KMK termasuk pendukung utamanya. Mereka inilah yang turun ke jalan-jalan utama menuntut dikembalikannya Chavez ke kursi kepresidenan setelah dikudeta oleh faksi konservatif militer yang didukung oleh media massa arus utama, kelompok industrialis, serikat buruh kuning yang bermarkas di industri minyak, serta pemerintahan Washington pada 2002.
Peran media alternatif
Salah satu hal menarik dari buku Fernandes, ketika ia menujukkan bahwa sesungguhnya pendukung akar rumput Chavez itu sangat fragmentatif, baik secara ekonomi maupun ekspresi politiknya.
Fragmentasi itu terjadi dalam hubungan di antara sesama basis pendukung Chavez maupun hubungan antara basis sosial pendukung Chavez dan Negara. Chavez, seperti kita ketahui, ketika memenangkan pemilu 1999 tidak memiliki partai politiknya sendiri, melainkan melalui koalisi elektoral dalam bentuk front yang dikuasai dan dikontrol oleh sel-sel bawah tanah pimpinan Chavez, yang disebut Movimiento Bolivariano Revolucionario 200 (MBR-200). Melalui MBR-200 ini seluruh elemen pendukung Chavez diorganisasikan dan dikoordinasikan.
Ketika dalam perjalanannya MBR-200 ini menemui kegagalan, maka Chavez kemudian mengintrodusir aksi-aksi langsung ke unit-unit lokal basis untuk merangsang partisipasi langsung, melalui gerakan yang disebut Circulos Bolivarianos (CBS), dimana antara 2001 dan 2003 tercatat sekita 200 ribu CBS dibentuk di seluruh negeri. Namun karena tidak memiliki kapasistas dan kurang memiliki kesabaran, CBS ini juga akhirnya gagal. Chavez kemudian memperkenalkan bentuk organisasi baru bernama Unidades de Batalla Electoral (Units of Electoral Battle, UBES), yang sukses mengamankan kedudukan Chavez dalam referendum 2004. Setelah referendum, UBES ini ditransformasikan ke dalam Unidades de Batalla Social (Unit of Social Battle, UBSS). Untuk menghindari kerumitan birokrasi, Chavez juga kemudian membypass lembaga-lembaga tradisional yang korup dan nepotis, dengan membentuk misi-misi yang menyalurkan sumberdaya-sumberdaya langsung ke komunitas. Maka muncullah beragam misi seperti Mission Sucre, Mission Robinson, dan Mission Ribas.
Segala upaya yang dilakukan pemerintahan Chavez ini, tentu saja dipandang beragam oleh gerakan sosial. Mereka yang berpandangan kepeloporan, menganggap bahwa apa yang dilakukan Chavez telah benar adanya, sementara kelompok KMK berpendapat bahwa apa yang dilakukan Chavez jika tidak diikuti oleh sikap kritis bisa menyebabkan gerakan terkooptasi oleh negara.
Perbedaan cara pandang ini, seperti dicatat Fernandes, telah menimbulkan perdebatan tajam dan serius di kalangan gerakan sosial pendukung Chavez. Bahkan, mereka ini tidak segan-segan memobilisasi massa untuk turun ke jalan-jalan menentang kebijakan pemerintah yang dianggap bertentangan dengan kepentingan basis massa. Misalnya, ketika gerakan sosial menentang keputusan pemerintah untuk meningkatkan hasil produksi pertambangan batubara di Zulia, karena dipandang akan mencemari waduk Manuelote di Zulia, Mina Norte, dan Mina Pas Diablo, yang merupakan sumber mata air penduduk setempat.
Nah, yang menarik dari dinamika ini adalah peran media alternatif sebagai jembatan penghubung sekaligus pemersatu di antara gerakan sosial yang berbeda-beda ini. Dengan perkembangan teknologi, maka bermunculan media-media alternatif mulai dari internet hingga radio. Fernandes mencatat radio adalah media yang paling efektif dalam menjembatani dan menyatukan keragaman perspektif itu. Melalui media-media itu, gerakan sosial ini mendiskusikan dan memperdebatkan gagasan-gagasannya dan mencari solusi-solusi yang bisa diterima oleh semua kalangan.***