Bagaimana mereka diusir dari kampung halaman dan besar sebagai pengungsi?
PADA SIANG RABU, 13 Februari 2002, Ruhiyatun Fajri terkejut selagi melintasi kota Selong. Di persimpangan pertama, dia melihat satu ruko hancur. Ruko itu milik Awaluddin. Atun, nama panggilan Ruhiyatun, berteman karib dengan Ema dan Ica, anak Awaluddin. Pintu depan rumah toko (ruko) rusak. Barang-barangnya berserakan. Pita kuning polisi terbentang di depan ruko. Kantor kepolisian resort Lombok Timur berjarak hanya 50 meter dari arah utara.
Atun pulang dari sekolah, biasa jalan kaki melewati Selong, menuju rumah orangtuanya, terletak di ujung kampung Sawing. Atun kelas dua di Sekolah Menengah Pertama (SMP) 2 Selong. Dia segera mempercepat langkah. Namun pikirannya tertuju terus pada toko plus rumah kedua sahabatnya itu.
Kampung Sawing berdekatan dengan kampung kampung Gamang, limaratus meter dari rumahnya. Atun mengenal beberapa teman di sana, salah satunya keluarga Hammatul Hayyi
Hayyi malam sebelumnya menginap di rumah Malik Saifur Rahman, saudara dekat dan teman sekolah. Rumah Hayyi berjarak 30 meter dari rumah Malik. Pagi Rabu itu Hayyi dan Malik berangkat bersama. Malik menyebut bibi pada Hayyi dari hubungan darah mereka meski umurnya sepantar.
Di sekolah, Hayyi mendengar beberapa anak menggunjing. Tampaknya ada yang tahu dia menginap. Hayyi sebal mendengar teman-temannya berbisik, khawatir mencibir dirinya sebagai anak Ahmadi. Dia tak suka sekaligus takut.
Hayyi dan Malik sudah ditunggu keluarganya di depan sekolah. Mereka tak langsung pulang, alih-alih diajak mengungsi ke Mapolres. Itu hari terakhir mereka melihat rumah.
TIGARATUS METER SEBELAH timur dari kantor bupati Lombok Timur, berdiri masjid Khilafah, pusat aktivitas Ahmadiyah Pancor. Biasanya anak-anak jemaah Ahmadiyah bertemu di masjid ini. Pada 2001, masjid direnovasi, dibikin dua lantai, guna menampung jumlah jamaah yang terus bertambah. Perhitungannya, masjid baru akan menampung hingga 500 orang. Tahun pertama itu baru selesai setengah. Di seberang masjid, terdapat rumah Syahdan, bupati Lombok Timur.
Duaratus meter di belakang masjid, dihela sawah, dengan jalan gang yang sedikit memutar, berdiri rumah ulama Azhar Izuddin. Ia sebuah bangunan kotak 8×6 meter persegi. Masing-masing anak Azhar yang berkeluarga tinggal dalam satu kamar. Keluarga Muhammad Irwan, ayah Irma Nurmayanti, menempati kamar belakang, terpisah rumah induk.
Malam sebelumnya, Azhar dan pengurus Ahmadiyah bicara soal penyerangan terhadap jemaah di masjid Khilafah. Rumah Rehanuddin yang pertama kali dirusak. Jaraknya hanya 20 meter dari rumah Azhar. Kedua rumah itu dalam satu gang.
Keluarga Azhar yakin rumahnya takkan diserang. Azhar ulama yang cukup disegani. Badannya tinggi besar, kulit hitam, janggut putih. Dia punya wibawa.
Sore itu Rehanuddin datang dari kantor kepolisian. Dia mengajak keluarga Azhar untuk mengungsi. Rehan khawatir penyerangan itu akan berlanjut pada rumah lain. Tapi permintaannya ditolak. Bahkan beberapa jemaah ikut mengungsi ke rumah Azhar. Mereka menganggap rumah tersebut paling aman untuk berlindung.
Sebelum maghrib, seorang polisi bernama Sabri datang. Dia satu-satunya Ahmadi dengan profesi polisi di pulau Lombok. Sabri hendak ikut shalat berjamaah. Dia juga ingin melihat kondisi keluarga Azhar. Mereka memutuskan shalat maghrib sekalian isya. Azhar memimpin shalat.
Sekitar pukul 19.00, melingkar di ruang utama, keluarga Azhar makan bersama. Irma Nurmayanti duduk bersama keluarga. Dia terlihat senang.
Tiba-tiba, suara dentingan batu beradu atap mengagetkan mereka. Sebagian atap dari lembaran seng membikin suara makin keras. Lemparan pertama dari arah sawah.
Irma panik. Orang-orang terdiam. Sabri keluar dengan gesit. Naluri polisi mendorongnya segera bertindak.
DOR!
Sabri melayangkan tembakan peringatan ke udara. Hening sejenak.
Lemparan batu muncul dari arah selatan. Bertubi-tubi. Suara benturannya kian kencang. Orang-orang panik. Mereka berhamburan. Mencari perlindungan.
Irma diseret orangtuanya ke satu kamar belakang. Dalam gelap, Irma melihat kamar itu sudah penuh dengan saudaranya. Beberapa paman dan sepupu meringkuk di atas kasur, yang lain di bawah ranjang. Irma duduk bersandar di dinding sisi pintu.
Seluruh penerangan segera padam. Irma ketakutan. Dia menangis tanpa bersuara. Dia sulit tidur. Sampai pukul 2 dini hari, suara lemparan batu terus berdentam.
MARKAS KEPOLISIAN RESORT Lombok Timur terletak di timur kota. Posisinya di sisi barat jalan mendaki. Bagian depan dibatasi pagar di atas tanggul. Taman rumput mengisi halaman depan. Luas gedung sekitar 30×15 meter persegi. Sebuah lorong di tengah-tengah membagi ruangan besar.
Di belakang kantor berdiri sebuah bangunan. Ada tiga buah kamar mandi di sisi kanan. Tangga setinggi lima meter melingkari teras. Di atas dinding depan tertulis “Gedung Dharma Wanita.”
Gedung serbaguna itu kosong melompong. Namun selama dua minggu gedung ini penuh dengan jemaah Ahmadiyah sejak serangan terhadap rumah Azhar Izuddin. Tigaratus orang berjejal. Kadang bertambah dan berkurang. Pengungsian bergelombang ini menimbulkan kesan campur aduk bagi anak-anak.
Ruhiyatun Fajri menangis ketika ikut mengungsi. Namun, tak berlangsung lama, ia terhibur begitu bertemu semua teman baiknya. Atun gadis berambut pendek sebahu. Dia periang dan mudah bergaul.
Bersama temannya di pengungsian, dia bermain dari pagi hingga sore. Kesempatan seperti ini jarang dia dapatkan. Biasanya anak-anak jemaah Ahmadiyah hanya bertemu sore atau akhir pekan saat berkumpul di masjid Khilafah.
Keriangan Atun lenyap menjelang tidur. Bangsal gedung terlalu kecil untuk seluruh pengungsi. Mereka tidur beralaskan tikar tipis. Semua orang berusaha mencari posisi nyaman. Tidur bedempetan. Sebagai gadis beranjak dewasa, Atun merasa kurang memiliki privasi, harus tidur campur bersama pengungsi lelaki.
Mereka juga antri mandi, hingga berjam-jam, giliran memakai tiga kamar mandi. Akhirnya, polisi mengijinkan kamar mandi di dalam kantor.
Bagi orang tua, kejadian pengusiran sulit diterima. Mereka tahu banyak orang sebelumnya benci dengan jemaah Ahmadiyah. Sudah sering kejadian ada orang Ahmadiyah diasingkan dari keluarga, bahkan diarak keliling kota oleh saudara sendiri.
Tapi tak pernah mereka diminta mengungsi. Rumah hancur. Harta ludes. Inilah pertama kalinya mereka menghadapi gelombang kekerasan secara massal dan lebih realistik.
SATU PERSATU JEMAAH Ahmadiyah berkumpul di Mapolres. Semuanya dijemput dengan alasan sama: demi keamanan. Anggota polisi dan tentara berjanji “akan melakukan pengamanan maksimal terhadap rumah-rumah.” Beberapa pengungsi memberikan kunci rumah dan persediaan makanan kepada petugas jaga ketika diminta pergi.
Menurut Khaerudin, selama di Mapolres, mereka dilarang keluar. Mereka tahu situasi di kota dan rumah-rumah mereka dari kerabat dan teman yang berkunjung.
Khaerudin kakak tertua Malik Saifur Rahman. Rumah mereka bersisian. Awalnya bangunan yang sama. Khaeruddin membuat sekat setelah dia menikah. Dia juru pungut rutin anggota Ahmadiyah cabang Pancor.
Dia memperkirakan rumahnya dirusak pada Jumat malam. Serangan-serangan lebih sering terjadi di malam hari saat penghuni sudah mengungsi. Malam itu dia melihat cahaya merah dari arah kampung. Bunyi suara gemeretak atap-atap rumah dari bambu yang terbakar terdengar keras. Khaerudin membayangkan rumah tetangganya, juga seorang Ahmadi, dibakar. Dia yakin rumahnya juga tinggal puing.
JUMAAT, 15 SEPTEMBER pukul 2 dini hari. Polisi membangunkan sepuluh orang. Di antaranya Musifudin, Azhar Izuddin, Syapi’in, Mahmuludin, Sulaiman Damanik, Arifin Faruk, Awaluddin dan Amin Agus. Mereka pengurus Ahmadiyah cabang Pancor. Petugas kepolisian Lombok Timur menyediakan tempat baru untuk mereka.
Amin Agus tak membawa keluarganya. Alasannya, “Saya kan orang pendatang di sini, jadi tak usahlah bawa keluarga.” Ibu mertua Amin memiliki garis darah dengan pendiri Nahdlatul Wathan. Amin berpikir istri dan anaknya lebih aman bersama keluarga mereka.
Nahdlatul Wathan organisasi Islam terbesar dan terkuat di pulau Lombok. Pusatnya di kecamatan Pancor, Selong, tempat sebuah pesantren besar bediri satu blok dari masjid Khilafah. Beberapa keluarga Ahmadi termasuk mertua Amin adalah keluarga besar pendiri Nahdlatul Wathan.
Malam itu, orang-orang dalam daftar khusus dipindahkan ke Markas Komando Distrik Militer Lombok Timur. Di lokasi baru ini mereka mendapat tempat lebih baik. Masing-masing keluarga diberi sebuah kamar kecil. Mereka mendapat kasur, bantal dan selimut. Suatu kemewahan untuk situasi genting saat itu.
Namun penjagaan sangat ketat. Mereka dilarang berkeliaran apalagi keluar dari areal gedung. Musifudin dan Azhar Izuddin gelisah. Sudah dua hari mereka tak mendengar kabar anak-istri di Mapolres. Amin Agus sudah pulang diam-diam ke Mapolres sehari sebelumnya namun juga tak ada kabar darinya. Jarak Kodim dan Maporles hanya 10 menit dengan berjalan kaki.
Musifudin dan Ahzar minta ijin pulang ke Mapolres. Penjaga memberi ijin. Mereka terkejut. Selama ini mereka rupanya masuk sel isolasi, macam tahanan khusus politik.
Pengasingan macam ini sudah direncanakan matang. Isolasi informasi antara Kodim dan Mapolres juga disengaja.
Ketika hari-hari tanpa pengurus dan ulama, jemaah Ahmadiyah mendapatkan tekanan psikologis. Suatu hari Jumat dan Sabtu, Kapolres Lombok Timur, Wiguna mengumpulkan pengungsi laki-laki di mushala. Wiguna memberikan kabar, sebagai pemanas, seluruh pengurus Ahmadiyah di Kodim sudah menyatakan keluar dari Ahmadiyah.
Dia bertanya, ”Siapa yang ingin tinggal di Lombok Timur?”
Beberapa orang pun mengacungkan jari. Pikir mereka, ini cuma soal pilihan untuk tetap ingin tinggal di kampung. Peristiwa ini terjadi beberapa kali.
Anwar Tampubolon menyela, “Sudah, Pak, jangan menjebak kami. Tanyakan saja siapa yang ingin keluar dari Ahmadiyah?!”
Tampubolon pria berbadan gempal. Gaya bicaranya meledak-ledak, khas orang Medan. Dia termasuk orang pertama, bersama pengacara dan seorang sopir, yang langsung dikirim dari Parung, Bogor, basis Jemaah Ahmadiyah Indonesia, untuk menemani para pengungsi. Tampubolon bukan pengurus teras tapi gayanya dinilai tepat menghadapi karakter orang Lombok yang keras.
Wiguna memberikan dua opsi: keluar dari Ahmadiyah atau dari Lombok Timur. Secara halus, ini pengusiran terhadap jemaah Ahmadiyah.
”Aparat kami akan mengantarkan sampai perbatasan. Jika ke barat (Mataram) akan kami antar, jika ke timur (Sumbawa) akan kami antar sampai pelabuhan.”
Setelah malam itu, Ruhiyatun Fajri melihat perilaku ayahnya yang ganjil, sulit berkomunikasi serta makan seperti kesetanan. Nasi atau mie instan dilahap dengan cepat, langsung pakai tangan dan dijejalkan ke mulut.
Ingatan terhadap ayahnya ini membuat hati Atun hancur. Kelak, Atun sungkan bicara soal masa-masa sulit tersebut.
HULTIYA Fatimah duduk di baris kedua banku mobil colt L300. Keluarganya ikut. Fatimah anak kedelapan Musifudin. Dia kakak kelas Irma Nurmayanti, cucu ulama Azhar Izuddin. Rumah Azhar hancur dilempari batu-batu, benteng terakhir perlindungan jemaah Ahmadiyah cabang Pancor.
Postur Fatimah kecil. Kulitnya coklat. Wajahnya tirus. Gigi atasnya terlihat menonjol saat berbicara. Fatimah periang. Bicaranya cepat dengan gaya argumentatif. Susah membuatnya diam jika mulai bicara.
Sebelas mobil keluar dengan perlahan dari Mapolres, berbelok ke arah selatan.
Fatimah terus berbicara. Dia sibuk memperhatikan suasana kota yang baru dilihatnya sejak mengungsi. Mobilnya melewati taman kota menuju arah timur. Ini jalur yang dia lewati jika berangkat ke masjid Khilafah.
Begitu mobil mendekat masjid – di kiri jalan – dia melongok, bersaing dengan para penumpang. Tujuannya satu: sebuah masjid yang sekian lama menjadi tempat mereka beribadah, tempat bermain, tempat keceriaan. Fatimah kaget. Dia melihat bangunan masjid porak-poranda.
Dia bisa menerima rumah dan toko milik orangtuanya rusak. Tak sedikit pun dia menangis selama seminggu di pengungsian. Namun dia tak kuasa melihat masjid hancur. “Saya lebih sedih masjid dirusak daripada rumah saya,” katanya.
Sisa perjalanan itu Fatimah irit bicara. Dia lebih banyak diam. Mobil meluncur cepat.
PULAU LOMBOK TERMASUK salah satu sentra program transmigrasi di Indonesia. Wilayah yang tandus membuat banyak penduduknya memilih merantau. Di sini setiap tahun program transmigrasi dijalankan. Ada sebuah gedung khusus tempat para calon transmigran dilatih selama seminggu. Gedung ini berisi empat bangsal. Luasnya sekira 30×10 meter persegi. Satu bangunan di bagian barat berfungsi rumah penjaga dan gudang. Penduduk menyebut gedung traransmigrasi ini sebagai Transito.
Selama pengusiran jemaah Ahmadiyah, bangsal-bangsal Transito digunakan tempat penampungan. Para pengungsi Ahmadiyah diberi ultimatum dua minggu untuk mencari tempat tinggal baru.
Para pengurus Ahmadiyah dari Jakarta segera dikirim untuk mendampingi jemaah Ahmadiyah Lombok. Pemda Mataram tak punya kepentingan meminta orang-orang Ahmadiyah pindah keyakinan. Agus Mubarik salah satu orang yang dikirim dari Jakarta pada gelombang kedua. Dia turut mendampingi Abdul Basith, Amir Nasional Jemaah Ahmadiyah Indonesia. Mubarik masih kemenakan luar Basith. Keluarga istrinya salah satu keluarga terpenting di lingkaran pusat Ahmadiyah. Mubarik dalam beberapa periode membantu Sekertaris Umur Kharijiah, divisi humas Ahmadiyah Indonesia. Sejak tahun 2008 ia menjabat posisi tersebut.
Mubarik mengatakan, fokus pekerjannya saat itu “bagaimana menyelamatkan pendidikan anak-anak pengungsi serta memberikan kehidupan yang layak bagi keluarga pengungsi.”
Berita penyerangan di Pancor dan Selong masih hangat di pulau Lombok. Para pengurus berpikir sekolah-sekolah takkan mau menerima mereka usai pengusiran. Padahal ujian sekolah makin dekat menjelang akhir September 2002. Abdul Basith memutuskan anak-anak dipindahkan ke lokasi lain untuk bersekolah.
Ruhiyatun Fajri alias Atun, kelas dua di SMP 2 Selong, mendengar kabar kepindahan itu. Beritanya beredar cepat. Sepengetahuan Atun, mereka akan dikirim ke pulau Jawa.
Mereka akan ditempatkan bersama-sama di satu asrama. Atun menyambut gembira. Dia membayangkan tentu menyenangkan melihat kota besar. Apalagi dia akan bersama teman-temannya.
Tak semua anak sekolah diijinkan ikut oleh orangtua. Kelas 4 SD jadi batas minimal. Namun beberapa siswa kelas 3 bersikeras. Anak-anak sungkan berpisah dengan teman sebayanya.
Pagi 29 September 2002, Atun berangkat ke pasar Cakra, 300 meter dari Transito, bersama ibunya untuk membeli beberapa pakaian. Sewaktu mengungsi, orangtuanya sedikit bawa bekal pakaian buat Atun. Ibunya khusus membeli buah-buahan berupa mangga dan jeruk.
Siangnya, 48 pengungsi diberangkatkan dengan bus Safari Darma Raya, sebuah armada besar yang melayani jalur Nusa Tenggara-Jakarta. Badan bus ini ini memiliki ciri khas berupa pemandangan satwa gajah berlatar hutan. Mereka didampingi Amin Agus, pengurus Ahmadiyah cabang Pancor.
Ruhiyatun Fajri senang membayangkan perjalanan ini. Dia sedikit sedih ketika bus siap berangkat. Ibu-ibu menangis.
Dari Mataram, bus menuju selatan ke Lembar, pelabuhan yang menghubungkan Pulau Lombok dan Bali. Sesungguhnya ini bukan titik terdekat. Arus yang kuat di sekitar selat membuat jalur pelayaran lebih memutar. Perjalanan memakan waktu empat jam.
Atun bercerita situasi di dalam bus benar-benar ramai dan kacau. Tiap anak diberi kantong plastik hitam besar. Selama perjalanan mereka muntah. Bau muntah bercampur minyak angin menyebar ke setiap pojok bus. Namun nafsu makan anak-anak juga besar. Meski kemudian makanan ini dimuntahkan selagi bus berjalan.
Atun mengingat, ada temannya bernama Nurhasanah dari Montong Gamang, kakak Hayyi, kejang-kejang perut, mengerang kesakitan di bagian belakang bus, dekat toilet. Suara jeritannya terdengar menyakitkan. Dari kursinya, Atun melihat salah satu sopir bus memijit Anna. Sopir itu bertampang seram. Tubuhnya tinggi dan kurus, kulitnya hitam dan pendiam. Atun sedikit ketakutan saat melihatnya pertama kali. Namun setelah melihat si sopir membantu Anna, Atun menilai sopir itu punya hati baik, tak seseram yang dia bayangkan.
SENIN, 1 OKTOBER 2002. Jemaah Ahmadiyah di Parung, basis Ahmadiyah Indonesia, baru saja menunaikan shalat subuh saat mendengar kedatangan anak-anak dari Lombok. Beberapa pemuda segera menuruni lantai dua masjid. Bangunan masjid bergaya modern, dicat putih dengan konsep minimalis. Tulisan aksara Arab dan aksen menara memberi petunjuk sekilas adanya tempat ibadah. Supir angkutan umum lebih mengenal tempat ini sebagai Kampus Mubarak.
Dibantu siswa-siswa Jamiah, calon mubaligh Ahmadiyah, anak-anak pengungsi diantar ke bagian belakang komplek. Sedikit terpisah ada gedung bernama Lajnah Imailah, sayap organisasi perempuan Ahmadiyah. Gedung tiga lantai ini dibangun awal 1990-an.
Atun kagum melihat gedung di sekitarnya. Di kota Selong, kampung halamannya, sedikit gedung tinggi. Bangunan masjid yang paling mencolok, merangkap gedung kegiatan, terdiri tiga lantai, limapuluh meter dari jalan utama komplek. Lantai satu digunakan kantor pengurus besar Jemaah Ahmadiyah Indonesia. Lantai tiga sebagai gudang peralatan.
Sebetulnya, lokasi Parung tak terlalu asing bagi jemaah Ahmadiyah dari Lombok. Setiap tahun Ahmadiyah mengadakan Jalsah Salanah, pertemuan nasional berisi ceramah agama. Ahmadiyah cabang Pancor dikenal fanatik mengikuti kegiatan ini. Mereka mengirim puluhan anggota setiap Jalsah Salanah. Ini dinilai prestasi luarbiasa mengingat lokasi mereka yang jauh dari Pulau Jawa. Lokasi Parung juga menjadi pusat pendidikan mubaligh.
Perasaan Ruhiyatun Fajri, gadis belia, yang datang dari kampung dan melihat suasana berbeda, mendadak ceria. Dia juga senang saat dirinya dan teman-teman menerima perlengkapan sekolah baru. Satu set buku, tas, seragam sekolah hingga sepatu.
Namun Parung cuma tempat sementara. Tasikmalaya adalah tujuan terakhir anak-anak pengungsi ini.
WANASIGRA TERLETAK DI DESA Tenjowaringin, kecamatan Salawu. Ini daerah perbatasan Tasikmalaya dan Garut, dipisahkan sebatang sungai yang mengalir dari gunung Cikuray. Jalan berbatu dan menanjak sepanjang 300 meter . Ia dikelilingi sawah dan hutan. Delapanpuluh persen penduduk Tenjowaringin pengikut Ahmadiyah.
Menurut Agus Mubarik, saat itu mereka lebih memilih “menangani masalah dalam hening.” Seluruh aktivitas pengungsian dan pemulihan berlangsung tanpa mengundang perhatian media. Beritanya sebatas muncul di media-media lokal Lombok.
Busra, istri Attaul Razak, mengatakan suaminya yang memilih lokasi ini. Razak mubaligh Ahmadiyah Nusa Tenggara. Pada Juli 2002, Razak mengirim enam anak Ahmadi dari Lombok ke kota Tasikmalaya. Mereka ditampung dan disekolahkan di sebuah panti asuhan milik Ahmadiyah. Razak sangat memperhatikan pendidikan anak-anak pengungsi.
Segera sesudah kedatangan, mereka dikumpulkan di masjid. Laki-laki dan perempuan dipisah. Anak-anak ini hendak dipingit sebagai anak asuh.
Ruhiyatun Fajri merasa badannya lelah. Ini perjalanan terpanjang yang baru dia alami. Tenaga terkuras. Udara di Wanasigra dingin, menusuk tulang ketika malam.
Seorang pria muncul dan bertanya, ”Mau ikut saya ke rumah?”
“Ya,” ujar Atun cepat, terlalu lelah menuggu. Atun mengajak Maemunah, anak pengungsi yang dia kenal.
Pria itu bernama Cecep. Rumahnya terletak di kampung Nagrak, satu perkampungan kecil di lereng bukit bagian timur Wanasigra. Istrinya, Nina, sudah menunggu mereka di warung makan milik ibu Cecep, di tepi jalan raya utama.
Atun dan Mae, panggilan Maemunah, menyusuri jalan kembali, tiba di warung ibu Cecep, segera diajak makan. Mereka malu-malu. Beberapa orang di warung berkata, “Sabar ya, Nak.”
Setiba di rumah, mereka langsung tidur nyeyak. Atun mengatakan sejak mengungsi, selama tiga minggu, inilah pertama kali dirinya tidur di sebuah kamar.
Hari-hari Baru
PAGI PERTAMA di rumah baru, Atun disambut pemandangan indah: bukit hiijau, hamparan sawah, pohon-pohon, gunung Cikuray dan barisan bukit yang berkelok. Di sebelah barat terlihat jalan menuju kampung Wanasigra. Rumah-rumah berjejer di sepanjang jalan itu. Letaknya berjauhan satu sama lain, lalu memadat di pertigaan menuju masjid.
Atun berseru keras. Suaranya menggema. Di ujung lain dia melihat teman-temannya. Tangannya melambai.
Atun melihat Ema dan Ica, dua anak Awaluddin — yang rumah plus toko keluarga ini hancur di Selong (kejadian pertama yang dilihat Atun saat pengusiran). Mereka lantas menyusuri jalan tanah di perkebunan teh.
Anak-anak ini tak perlu lagi menyembunyikan diri sebagai Ahmadiyah. Masyarakat setempat menerima mereka dengan terbuka.
Atun melewati bulan ramadhan, Oktober 2002, dengan rutin sekolah. Setiap anak pengungsi bersekolah sesuai tingkat pendidikan mereka saat di Lombok Timur. Mereka juga bisa bebas berteman. Pak Ajun mengatakan “kebanyakan murid orang Ahmadiyah.” Ajun ayah Cecep. Dia mengajar di sekolah baru Atun.
Ini satu hal yang menguatkan psikologis anak-anak pengungsi. Atun, misalnya, saat di Lombok Timur, selalu menyembunyikan identitas keyakinanya, khawatir teman-teman sekolah sungkan menerimanya. Dia sering diejek dengan julukan “si ninja Sawing” dari kerudung yang dia pakai sehari-hari. Sawing merujuk nama kampungnya. Anak perempuan Ahmadiyah di Sawing selalu memakai kerudung di dalam maupun luar rumah. Atun juga pernah berbohong kepada petugas sekolah, bahwa dirinya bukan Ahmadiyah, dan merasa berdosa demi menutupi keyakinan ini.
Di sekolahnya yang baru, Atun memilih teman sebangku dengan Arif Rahman Hakim, adik Hultiya Fatimah, anak dari keluarga Musifudin —salah satu pengurus Ahmadiyah cabang Pancor. Alasannya, dia masih lebih kerasan dengan teman lama.
Namun kendala bahasa serta budaya Sunda butuh adaptasi lama. Atun menyebut orang-orang setempat ”suka bergunjing di belakang,” sesuatu yang tak dia temui di tempat asalnya. Rohidatulaini, seorang pengungsi, menggambarkan sikap orang Sunda, “Baik di depan tapi menusuk di belakang.”
Di rumah, Atun merasa kesepian. Cecep bekerja sebagai sopir angkutan umum dan istrinya, Nina berjualan warung makan pinggir jalan. Pasangan ini tiba di rumah malam hari. Keluarga ini jarang masak, makanan dikirim dari warung. Menunya memang lezat, bermacam ikan dan sayur.
Awalnya ikan-ikan yang dikirim terasa lezat, meski sedikit tawar. Tapi Atun terkejut setelah melihat bagaimana ikan-ikan ini didapat. Kolam-kolam ikan, atau orang Sunda menyebutnya “empang,” juga dijadikan tempat buang kotoran manusia, yang lantas jadi makanan ikan-ikan. Setiap rumah di perkampungan sekitar Wanasigra punya empang macam ini. Memikirkannya bikin Atun mual. Dia sampai berbohong tak suka makan ikan.
Anak-anak pengungsi ini awalnya mengira akan ditempatkan dalam satu asrama. Ini juga jadi kendala, bagaimana hidup bersama dengan orangtua asuh, lingkungan baru, dan harus membaur dengan anak-anak setempat?
Mubarak Hamdan Umar, anak pengungsi dari kampung Sawing bercerita, “Katanya mau ditaruh di satu asrama. Semuanya anak Lombok. Tapi nggak jadi. Saya dulu tinggal di Cikuray. Pas pertama di situ, saya nggak bisa tidur.” Cikuray merujuk perkampungan di tepi jalan raya Tasikmalaya-Garut, sebuah daerah yang dilintangi jembatan sungai Cikuray.
“Berapa malam itu nggak tidur. Nangis mulu,” katanya. Menjelang kelas enam SD, Mubarak akhirnya pilih pulang ke Lombok. Dia tak tahan dengan udara dingin pegunungan dan sering sakit-sakitan.
Pada Juni 2003, delapan bulan usai perpindahan, anak-anak sekolah menghadapi ujian naik kelas. Mereka juga bersiap pindah sekolah. Satu demi satu anak-anak pengungsi pulang, sulit beradaptasi dengan tempat baru. Umumnya anak-anak setingkat SD. Beberapa anak berganti orangtua asuh, bergabung dengan anak lain. Harapannya, dengan memilih sendiri dan bersama pengungsi lain yang disukai, mereka cepat beradaptasi. Tapi banyak dari mereka tetap tak bisa berpisah dengan orangtua sendiri.
Malik Saifur Rahman adalah anak pertama yang pulang. Kakak tertuanya, Khaerudin, datang menjemput. Kabar kepulangan kembali ini cepat menyebar. Ditambah kabar lain bahwa “akan lebih banyak anak menyusul pulang.”
Ruhiyatun Fajri gelisah. Dia bosan. Dia kesepian. Dia sering bertengkar dengan anak pasangan Cecep dan Nina. Dia berpikir, lebih nyaman tinggal dengan orangtua sendiri, meski hidup mereka mengungsi serta terusir dari kampung halaman, betapapun kondisinya jauh lebih buruk dari hidupnya sekarang dalam perantauan.
SEBAGIAN BESAR AHMADI memilih menikah dengan sesama Ahmadi. Ini semacam sesuatu yang alamiah, terpatri kuat dalam setiap keluarga Ahmadiyah. Populasi keyakinan yang minoritas di Indonesia menyebabkan terjadi pernikan dalam keluarga atau marga. Di komunitas-komunitas Ahmadi yang terkonsentrasi, seseorang dapat cepat disangkutkan melalui hubungan darah atau pernikahan dengan tetangganya.
Jalsah Salanah, pertemuan tahunan resmi Jemaat Ahmadiyah Indonesia, biasa mengambil waktu libur sekolah, antara Juni dan Juli. Acaranya selain ceramah agama, sebetulnya seperti reuni keluarga. Orang-orang Ahmadi yang migrasi, karena pernikahan atau alasan lain, bisa menemui keluarga mereka atau menitip sesuatu kepada rekan satu daerah.
Ruhiyatun Fajri mendengar teman-temannya akan dijemput dalam Jalsah Salanah 2003. Bahkan sudah beredar nama-nama anak yang dihubungi untuk pulang. Mendekati Jalsah, Atun tak mendengar dia termasuk salah satu dari mereka. Selama delapan bulan dalam pengungsian sejak di Transito, tak ada komunikasi sekalipun dengan orangtua dan keluarganya di Mataram.
Kesedihannya memuncak. Dia lebih sering bertengkar dengan Gina, anak satu-satunya pasangan Cecep dan Nina. Atun melihat Gina saling berbisik bersama teman-teman, dengan bahasa Sunda, sambil memandanginya. Atun merasa mereka membicarakan dirinya.
Puncaknya, Atun minta pindah rumah. Cecep dan Nina mencoba membujuknya. Gina lalu dipindahkan ke rumah neneknya selama dua hari. Saat kembali, Atun tak lagi melihat Gina mencibir. Namun kesepian Atun makin membesar.
Dia pernah berniat kabur. Garut kota terdekat, pikirnya. Jika bisa mencapai Garut, mungkin dia bisa naik bus kembali ke Mataram? Pikiran ini makin lama makin mengisi hari-harinya. Mungkin dia bisa memulai dengan menjual barang miliknya? Anak-anak Lombok sering menjual barang-barang mereka ketika membutuhkan uang. Pertama kali dia menjual sarung yang didapatnya saat di Mapolres seharga Rp 3,000. Sebetulnya pasangan Cecep dan Nina mau melakukan apapun demi Atun. Tapi Atun sendiri malu. Teman-temannya bahkan sering menjual barang-barang dari jatah bulanan atau pemberian lain.
Namun ongkos ke Mataram pasti mahal, batinnya. Dia menimbang, mungkin harus mengamen jika ingin kabur? Barang-barangnya hanya cukup untuk perjalanan hingga Garut.
Menjelang Jalsah Salanah, Solihin, ketua cabang Ahmadiyah Wanasigra, mengumumkan “anak-anak Lombok yang ingin pulang dapat ikut ke Jalsah di Bogor.” Atun segera mengambil kesempatan ini.
Keputusan Atun membuat Nina menangis. Nina menyiapkan bekal uang dan makanan.
“Kalau sudah sampai Lombok, jangan lupa ya sama kami…”
Namun, di Bogor, tak ada yang menjemputnya. Dia kembali ke Wanasigra.
Di rumah Solihin, bersama anak-anak senasib dirinya, mereka dikumpulkan. Solihin tanya, “Apakah mau kembali lagi pada orangtua asuh yang lama?” Atun menolak. Dia malu sudah berpamitan. Dia juga merasa kesepian.
Seseorang bernama Nos Barnas menjadi orangtua asuh Atun berikutnya.
RUMAH NOS BARNAS di kampung Citeguh. Ini pusat desa Tenjowaringin. Letaknya dua kilometer dari Wanasigra. Citeguh memiliki satu masjid besar. Dari tempat wudhu terhampar sungai Cikuray dengan batu-batu besar. Deretan pohon pinus menyejukkan udara perkampungan.
Nos Barnas tinggal bersama dua cucu laki-laki. Ini tempat tinggal sementara bagi Atun selama enam bulan. Tujuan sebetulnya adalah rumah Ibu Oom, anak dari Nos Barnas.
Atun senang dengan orangtua asuhnya yang baru. Bu Oom mengerti bagaimana memperlakukan anak barunya. Tahu Atun masih malu minta sesuatu, dia sering bertanya kepada Citra, anak asuh lain asal Lombok.
Sewaktu pembayaran iuran sekolah, dia bertanya kepada Atun apakah sudah membayar? Setiap bulan, Atun — seperti anak-anak pengungsi lain — mendapat jatah uang sekolah, uang saku, kadang juga beberapa barang. Anak-anak di Citeguh, karena tempatnya lebih jauh, sering menerima lebih lambat dari teman-teman mereka di Nagrak. Bu Oom biasanya membayar lebih dulu uang sekolah Atun.
Atun suka dengan bentuk perhatian Bu Oom, yang memberi nasihat langsung. Jika salah, dia langsung ditegur. Dia juga diberi tanggung jawab untuk mengawasi dan mendidik anak kandung Bu Oom. Atun merasa seperti anak kandung sendiri.
Hingga usianya setingkat SMA, tak sekalipun Atun ingin pindah ke tempat lain.
Di Wanasigra, ada sekolah menengah umum, berdiri pada 2000, melalui Yayasan Alwahid. Peresmiannya sendiri oleh Mirza Tahir Ahmad, pemimpin internasional Ahmadiyah, saat berkunjung ke Indonesia. SMA ini jadi tujuan utama anak-anak Ahmadi di Indonesia. Seluruh anak pengungsi dari Lombok di kawasan Tenjowaringin bersekolah di sini.
Letaknya di dekat persimpangan menuju masjid Wanasigra. Menjorok di tepi jurang, berbatas kebun sayur serta sungai Cikuray. Tiang-tiang tinggi menyangga bagian utara pondasi gedung sekolah. Jaraknya dari Citeguh sekitar dua kilometer melintasi jalur kabupaten serta jalan berbatu dan mendaki. Atun sekolah di SMU Alwahid ini.
Tiga tahun dia menyusuri jalan-jalan antara Citeguh dan Wanasigra. Alamnya yang indah, suasana belajar yang jauh dari kebisingan, pengabdian guru-guru yang dia kagumi, membuatnya nyaman. Hujan menjadi musuh utama. Bau pete dan jengkol dari rumah penduduk kadang-kadang menyambangi kelas belajar.
Dua tahun berikutnya Atun sempat merantu kerja sebagai buruh di Bogor dan Karawang. Pekerjaan tak berjalan mulus. Gaji kecil. Pekerjaan berat. Pada pertengahan 2009, dia memutuskan pulang ke Lombok.
Dia tinggal bersama orangtuanya di sebuah rumah milik Ahmadiyah di Kampung Ketapang, Desa Gegerung. Tiap malam Atun mengayuh sepeda ke kota. Dia bekerja di warung makan pinggir jalan di dekat pasar Cakra. Dia berjualan sup dan jus buah. Tiap malam dia mendapat Rp 20.000. Ini jumlah kecil tapi pekerjaan macam ini cukup memberinya kesibukan. Selepas bekerja dia mengayuh sepeda ke Transito, menginap hingga subuh. Terakhir saya medengar dia menikah dan diajak tinggal di Bogor.
Transito dihuni warga Ahmadiyah. Bukan dua minggu macam ultimatum pertama pada 2002 tapi kini tahunan. Pada Feburari 2006 perkampungan para pengungsi di Ketapang diserbu, untuk kedua kali. Para pengungsi memilih bertahan sampai pemerintah daerah Lombok memberi jaminan keamanan. Rata-rata pengungsi sudah pernah diusir lebih dari sekali dari rumah mereka. Bahkan ada yang diusir hingga lima kali kurang dari sepuluh tahun.
Irma Nurmayanti dan Hultiya Fatimah lebih beruntung. Sekolah mereka di kota Selong memberikan surat pindah lengkap. Setelah menyelesaikan sekolah menengah pertama di Ciomas, Bogor, Fatimah kembali tahun 2003 ke Mataram. Irma menyusul setahun kemudian. Fatimah tengah menanti kelulusan dari Universitas Mataram. Hanya mereka berdua dari seluruh anak pengungsi di Lombok yang dapat melanjutkan ke bangku kuliah.
Ema dan Ica, anak Awaluddin, pindah pada Juli 2003 ke Kampung Cisalada, Bogor. Orangtuanya menjual aset-aset mereka di Lombok dengan murah lalu mencoba peruntungan baru. Kini Awaludin punya kebun jambu biji di belakang rumah, di tengah sawah, sehari bisa menghasilkan 80-100 kilogram, memikul dan menjualnya sendiri. Awaludin masih ingin kembali ke Mataram, bergabung dengan rekan-rekan pengungsi.
Malik Saifur Rahman bersama dua rekan lain kembali ke Tenjowaringin pada 2007. Dia sekolah di SMU Alwahid. Kini mereka datang dengan kesadaran sendiri. Sekolah di Tasikmalaya lebih memberi jaminan ketenangan. Malik dan dua rekannya punya rencana mendaftar jadi mubaligh Ahmadiyah. Di Wanasigra, Malik kembali bertemu saudara dekatnya, Hamattul Hayyi.
Sejak akhir September 2002, Hayyi belum pernah menjalin kontak satu kalipun dengan orangtuanya.***
Foto-foto: Firdaus Mubarik
Firdaus Mubarik