Ketika Aktivitas Relijius Menyerbu Ruang Publik
“MBAK, gak bisa lewat situ. Ditutup.”
“Trus lewat mana?” Saya pasang muka bodoh.
“Coba gang sebelah sana..”
“Saya abis dari sana tadi. Gak bisa lewat juga.” Saya berkeras.
“Tapi ini dah ditutup. Ada pengajian. Coba aja lewat kalau mau.”
”Pengajian kok bikin repot.” Saya mendengus kesal. Berlalu mencari jalan lain menuju rumah.
Saya sudah tak mampu menahan rasa kesal. Ini Jumat malam. Saya baru saja lepas dari kemacetan lalu lintas yang biasa hinggap menjelang weekend tiba. Ditambah lagi petang tadi baru saja lepas hujan. Lengkap sudah. Kemacetan yang sempurna.
Saya seret kaki saya berputar-putar mencari jalan alternatif. Wajah merengut, berkeringat. Dengan beban tas berisi laptop serta beberapa buku di bahu, tubuh saya makin malas diajak melangkah. Dalam kondisi normal, jarak dari muka jalan tempat saya dihalau beberapa laki-laki yang berjaga dengan rumah saya, tak lebih dari 300 meter. Cukup enteng sebenarnya, apalagi mulut gang lumayan besar sehingga biasa dipakai mobil berlalu-lalang menuju jalan utama. Jalan Raya Bogor.
Beberapa motor juga biasa nongkrong di mulut gang sebagai pangkalan ojek. Tapi, malam itu, beberapa tukang ojek rupanya telah beralih menjadi penjaga gang hingga tak bisa dilewati kendaraan. Bahkan untuk pejalan kaki yang bukan jamaah pengajian seperti saya. Sebagai perempuan tak berkerudung, memakai rok selutut dan kaus lengan pendek dengan potongan leher yang rendah, makin sulit buat saya untuk melintasi gang tersebut saat itu. Sempat saya nekat ingin lewat, tapi hampir dapat dipastikan akan menjadi santapan mata gratis jamaah pengajian. Menjadi contoh yang baik bagi jamaah yang membutuhkan prototype perempuan penghuni neraka jahanam.
Saya susuri tepi jalan raya yang sudah sesak dengan pedagang dadakan. Gelaran barang dagangan berimpit-impit. Mulai dari botol-botol kecil minyak wangi yang baunya tak pernah saya sukai tapi dipercaya beraroma surgawi, kaset-kaset murotal, kopiah, gambar-gambar kaligrafi, baju-baju gamis dan pakaian takwa lainnya.
Pemuda-pemuda tanggung dengan baju koko putih dan kopiah bulat putih berseliweran. Berbicara dengan sapaan ”ane-ente” pada lawan bicaranya. Sementara para perempuan tampak ber-abaya hitam, persis meniru gaya pakaian perempuan timur tengah.
SUARA dentuman mercon dan kembang api membangunkan tidur saya. Rasa penat dan kesal telah melelapkan saya tanpa sempat membasuh muka dan berganti pakaian.
Jarum jam menunjuk angka dua belas malam. Dentuman mercon berganti dengan suara pada mikrofon yang mempersilahkan seorang habib menyampaikan tausiyahnya. Suaranya terdengar seperti suara Uje. Ustad muda mantan model dan laris-manis di layar kaca televisi.
Suara stereo microfon sempat menggoda saya untuk mendatangi pengajian yang telah menutup jalan itu. Tapi saya malas berganti pakaian dengan yang lebih tertutup.
Pikiran nakal untuk nekat datang dengan pakaian yang melekat di badan kembali menggoda saya. Toh hanya beberapa langkah saja ke arah sumber suara. Saya buka pintu dan melihat beberapa tetangga yang berkerumun di depan rumah. Beberapa ikut mendengarkan ceramah. Yang lain asyik ngobrol sendiri. Beberapa pemuda tanggung duduk-duduk menjaga palang yang difungsikan sebagai penutup jalan. Mereka semua berpakaian a la Timur tengah.
Melihat kerumunan itu, nyali saya ternyata menciut. Jika saya nekat bergabung, saya menjadi mahluk asing di lingkungan itu. Kehadiran saya, yang seperti si manis jembatan Ancol versi modern, tentu akan segera menjadi santapan empuk para mata yang tengah mencari contoh paling baik tentang perempuan laknat penuh dosa.
Rasa penasaran kemudian cukup saya tuntaskan pada longokan kepala lewat jendela rumah.
Sebuah panggung tampak berdiri tepat di tengah jalan. Inilah alasan mengapa jalan ditutup. Dekorasi gambar mesjid berkubah dan alam padang pasir menghampar pada sekat-sekatnya. Dengan sudut pandang terbatas, saya hanya bisa menyaksikan kerumunan laki-laki berkoko dan berpecih bulat putih. Jamaah perempuan mungkin di belakang. Posisi yang jamak terjadi. Berada di shaf belakang dan tak terlihat.
Kerumunan itu seakan ingin menunjukkan, inilah kami, umat Islam yang mayoritas itu. Jangan macam-macam dengan kami. Saya membayangkan para pemuda tanggung itu. Banyak yang putus sekolah dan tak ada kerja. Beberapa sering nongkrong menghabiskan malam. Disulut sedikit saja tentu akan mudah memancing emosi mereka. Pemuda-pemuda yang juga harus berjuang melawan godaan serbuan narkotika dan obat terlarang, yang sudah masuk sampai ke pelosok. Juga tayangan mesum yang mudah di dapat melalui warung-warung internet di ujung gang.
”PENGAJIAN apaan sih semalam?” saya bertanya ketus pada ayah saya.
”Ya biasalah. Anak-anak muda ngundang habib,” ayah saya menjawab santai.
”Kenapa nutup jalan gitu? Mau lewat aja susah”. Rasa kesal saya masih belum pupus.
”Namanya juga syiar. Ngundang massa.”
”Kenapa gak di mesjid aja? Kan ada mesjid gede.”
”Ya laen lah. Mesjid kan udah ada yang megang. Habibnya juga laen. Lagian kalo di jalan, orang-orang di pasar kan bisa dateng sambil lewat. Kalo di mesjid mana mau pada dateng. Masak kalah sama acara dangdutan..”
Saya tak mendebatnya lagi. Dengan lahan yang tersisa, sudah jamak terjadi jalan raya dikorbankan untuk acara syukuran. Sunatan, kawinan, dangdutan. Sekarang ditambah pengajian.
”Semalem itu itu sih gak terlalu rame. Belon kalo Nurul Mustofa.”
Ayah saya melanjutkan omongannya. Menyebut sebuah kelompok pengajian yang lebih massal dan heboh bila bikin acara.
Ada banyak nama bagi organisasi-organisasi pengajian habib ini. Dengan beragam klan dan fam habib. Nurul Musthofa salah satunya. Spanduk raksasa dan umbul-umbul biasa sesak terpasang di jalan-jalan raya bila mereka mengadakan acara. Menjadi pertanda agar bersiap mencari jalan alternatif untuk melintas karena mereka juga bisa menutup jalan raya.
”Emang ngundang habib bayar berapa?” Saya mulai penasaran.
”2-3 jutaan lah. Kalo yang gede kayak Nurul Mustofa 20 juta juga abis. Belon spanduknya. Bayar polisi…”
”Duit dari mana?”
”Sumbangan lah. Nyari sponsor juga. Kemaren kan pada dimintain. Sumbangan dari jamaah, duit parkiran.”
HABIB mengacu pada sebutan untuk sekelompok ulama dari Timur Tengah. Utamanya Saudi Arabia. Kelasnya sedikit berbeda dengan pemuka agama lokal.
Habib yang akar kata Arab-nya berarti ”kekasih” juga dipercaya masih memiliki silsilah keturunan dengan keluarga Nabi Muhammad saw. Di Jakarta, terdapat kantong-kantong keluarga habib. Beberapa yang terkenal berdomisili di Tanah Abang, Kwitang, Cawang, dan Condet. Nama-nama belakang seperti Al-Jufri, Al-Attas, Al-Habsyi, Al-Husein, Assegaf, merujuk pada fam tertentu dan seakan menjadi jaminan mutu.
Status sosial mereka juga sangat-sangat dihormati. Menjadi suatu kehormatan setempat bila ada habib yang tinggal di suatu perkampungan. Ia akan menjadi orang pertama yang didatangi untuk mengambil keputusan menyangkut hajat hidup sekitar. Termasuk di dalamnya larangan mengadakan acara dangdutan yang sempat marak bila ada hajatan, atau panggung perayaan tujuh belasan yang menampilkan tarian anak-anak dan lagu-lagu band masa kini. Juga anjuran untuk mengenakan pakaian putih-putih saat shalat dan menghadiri pengajian.
Selain habib ada pula para ustadz dan ustadzah sebagai pemuka agama. Dua kelompok terakhir ini biasanya tokoh lokal yang memimpin pengajian atau punya madrasah di Jakarta. Umumnya keturunan betawi. ‘Ustadz’ sebutan untuk para guru dan pemuka agama laki-laki. ‘Ustadzah’ untuk perempuan. Para ustadzah biasanya istri atau anak perempuan para ustadz dan memimpin pengajian ibu-ibu. Mereka juga memiliki status sosial yang tinggi di masyarakat. Namun bila ada habib di lingkungan tersebut, pamornya akan berada di bawah habib. Karena warga sudah mafhum untuk lebih mengutamakan dan memuliakan para keturunan Rasulullah.
Di masa kecil saya juga sempat keliling mengikuti pengajian-pengajian ini. Tapi dulu diadakan di mesjid-mesjid. Momennya juga biasanya dalam rangka memperingati maulid nabi, Isra Mi’raj atau perayaan islam lainnya. Pengajian biasa diadakan hingga tengah malam. Para ustadz yang diundang biasa datang larut malam. Apalagi ustadz yang telah terkenal. Alasannya banyak undangan. Sebelum ia mulai berceramah ia pasti akan bercerita baru dari tempat anu atau situ. Tarif puluhan juta untuk ustadz yang tengah tenar dan sering muncul di teve menjadi rahasia umum. Dulu sebutan ’Kyai Pajero’ pun sempat mampir untuk seorang da’i yang biasa dipanggil dengan bayaran seharga mobil Pajero.
Dari gaya berceramah ada ustadz dan habib favorit. Biasanya yang pandai beretorika dengan cerita-cerita lucu yang mengundang gelak tawa (semasa kecil, sempat pula saya bercita-cita menjadi ustadzah saat tersirap menyaksikan penampilan para ustdz/ustadzah favorit).
Sesuai dengan tren pasar saat ini, banyak pula tampil habib-habib muda yang fungky dan wajah yang enak dilihat.
Para ustadz pun sering menjadi incaran ibu-ibu. Berharap menjadikan anak gadisnya sebagai istri para ustadz. Tak peduli istri kedua, ketiga atau keempat. Meski untuk habib, kemungkinan memperistri perempuan lokal hampir musykil. Mereka pasti sudah dijodohkan dengan keturunan dan keluarga Arab pula. Mungkin untuk menjaga kemurnian darah Arab mereka (bila ada ustadz dan ustadzah untuk guru-guru agama perempuan lokal, saya belum pernah mendengar ada istilah ‘habibah’ sebagai pemuka agama. Perempuan-perempuan Arab istri para habib jarang yang muncul di permukaan).
Penghormatan dan kecintaan pada para habib kadang sampai pada hal yang irasional. Tak beda dengan perilaku para abdi dalem yang setia membasuh kaki tuannya. Lalu meminum air basuhan tersebut. Dalam suatu pengajian (yang juga memacetkan jalan), saya menyaksikan sendiri karpet merah dihamparkan di jalan raya yang telah ditutup. Para jamaah berkerumun di sisi-sisi jalan menunggu kedatangan habib. Persis seperti penonton yang tengah menunggu pertunjukkan karnaval. Mereka setia menunggu meski hujan mengguyur.
Begitu terdengar kabar para habib akan datang tabuhan rebana dan puji-pujian shalawat diperdengarkan. Jalan segera sesak. Saya penasaran, ingin melihat sosok sang habib yang tengah dirindu-rindu. Apa lacur, si habib yang disebut-sebut tetap berada di dalam mobil yang berjalan tersendat-sendat. Dengan iringan payung seperti umbul-umbul kerajaan masa lampau mengiringi konvoi sedan Mercy yang menyembunyikan sosok sang habib. Sementara massa tetap setia membaca shalawat di sisi-sisi jalan. Diiringi guyuran hujan dan suara rebana yang dketuk bertalu-talu.
APA ISI ceramah mereka?
Biasanya berisi hal-hal yang terdengar remeh temeh dan menyangkut hidup keseharian. Tentang adab sholat, kadang juga soal tata cara bersenggama dan junub. Intinya menyangkut perilaku manusia dengan akhlakul karimah. Untuk memperkuat isi ceramahnya, tentu saja tak lupa menyitir kitab imam anu, hadits atau ayat al-Qur’an. Bila kita tekun menyimak ceramah-ceramah ini lalu membandingkan dengan segala perbuatan sehari-hari, akan terasa betapa kotor diri ini dan rasa-rasanya cuma perbuatan dosa saja yang sudah kita lakukan.
Isi ceramah kadang pula merembet ke isu-isu internasional. Terutama bila situasi Islam global tengah memanas. Terorisme misalnya. Atau serangan Israel di wilayah Gaza.
Bagaimana dengan isu sosial seperti kemiskinan, korupsi, atau kritik terhadap pemerintahan? Jauh pangang dari api. Di era Soeharto sempat dikenal ustadz-ustadz vokal yang rajin mengritik pemerintahan. Mereka ditangkapi dan menjadi pahlawan lokal (ingat kasus Tanjung Priok?)
Sekarang tampaknya eranya telah berubah. Pemerintah pandai menarik hati para alim ulama. Dibuatkan majlis-majlis ulama yang berafiliasi pada tokoh atau partai politik tertentu. Dalam berbagai perayaan nasional, para da’i dan habib pun mendapatkan podium. Isu korupsi dan kritik terhadap pemerintah, terutama menyangkut isu sosial, mungkin dianggap urusan duniawi yang terlalu kompleks untuk diurai.
Saya menduga-duga. Di tengah kepenatan penduduk yang sehari-hari harus berjuang dan bertahan dengan kesulitan hidup yang makin menggila, selain hiburan yang bisa didapatkan dari tayangan sinetron atau komedi di teve, mungkin yang dibutuhkan adalah siraman rohani diiringi humor-humor segar (dan kadang sedikit nakal) dari para ustadz dan habib.
Omong soal politik? Biarlah menjadi urusan para politikus.
PERSAINGAN pengaruh kekuasaan di mesjid-mesjid antara pemuka agama lokal (para ustadz Betawi yang biasanya mewakafkan tanahnya untuk pembangunan mesjid) dan habib yang memiliki keistimewaan, juga kerap tak terelakan. Ayah saya pernah bercerita bagaimana situasi panas sempat terjadi saat rapat pemilihan pengurus salah satu mesjid dekat rumah kami.
Persaingan itu makin panas saat ada kelompok baru yang juga tengah mengincar untuk menduduki mesjid tersebut sebagai panggung syiarnya. Mereka para usrah yang biasanya terdiri dari kalangan muda pendatang. Kelompok ini sering dikaitkan dengan PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Partai kelas menengah perkotaan yang lahir dari pengajian anak-anak muda dalam kelompok-kelompok tarbiyah. Kelompok yang diinspirasi dari gerakan Ikhwanul Muslimin Mesir ini, juga dikabarkan tengah rajin merangkul jamaah lewat mesjid dan kampus-kampus.
Melihat dan menyaksikan gelora beragama seperti ini, mendadak muncul pertanyaaan di benak saya: “dimana peran aktivis (Islam) liberal atau kultural?”
Mungkin pertanyaan yang naif. Tapi saya membayangkan adanya ulama fungky berpengaruh yang tidak tergila-gila dengan simbolisasi a la Arabia dan dengan mudahnya menunjuk hidung orang lain yang tak sealiran dengan sebutan fasik, murtad, atau kafir.***
Syafa’atun Aisha