SUKSESNYA rekonsolidasi kekuasaan elite, melalui dibentuknya sekretariat gabungan (setgab), yang dipimpin oleh ketua umum partai Golkar, Aburizal Bakrie, telah menyebabkan larisnya teori Kartel Politik sebagai alat analisis dalam memhami fenomena politik elit.
Teori kartel politik ini dipinjam dari teori kartel yang berlaku di dunia ekonomi, dimana intinya adalah untuk meminimalkan persaingan, mengontrol harga, dan memaksimalkan keuntungan di antara para anggota kartel. Ketika diterapkan di lapangan politik, teori kartel ini bertujuan untuk menjaga stabilitas politik elit agar tidak terjadi goncangan dan perpecahan akibat persaingan di antara sesama elite dalam memperebutkan jabatan-jabatan politik dan sumberdaya ekonomi strategis di era demokrasi. Seperti ditulis Antonius Made Tony Supriatma, dalam artikelnya berjudul Politik Indonesia: Bergerak Ke arah Kartel? “politik kartel muncul dari sebuah koalisi besar dari para elit politik. Sistem ini diciptakan untuk meminimalkan kerugian dari pihak yang kalah, entah dalam pemilihan umum atau dalam koalisi. Berbeda dengan sistem otoriterisme-birokratik yang memakai sistem ‘penyingkiran’ (exclusionary) terutama dari elemen-elemen radikal dan populis dari rakyat, kartel lebih mengutamakan mekanisme ‘perangkulan’ (incorporation) dari elit yang memiliki latar belakang ideologis yang berbeda.” Dengan terjadinya politik kartel ini, maka yang paling dirugikan tentu saja adalah massa rakyat.
Tapi, dari mana asal-usul terbentuknya kartel politik ini? Sebagian besar penjelasan menyebutkan bahwa kartel politik ini bibitnya sudah ditanam sejak orde baru berkuasa. Jika merujuk pendapat ini, maka para aktor yang terlibat dalam politik kartel ini berasal dari institusi-institusi seperti birokrasi, intelektual-teknokrat, militer, bisnis, dan partai politik seperti Golkar, PDI-P, dan PPP. Inilah lingkaran inti dari politik kartel ini, ditambah dengan partai-partai baru pasca reformasi, seperti PKS dan Partai Demokrat. Sumber lain dari elit politik ini muncul dari kelompok-kelompok yang berbasis etnis, ras, dan agama yang tampak dominan di tingkat lokal.
Sepintas, teori kartel politik ini sanggup menjelaskan konstelasi politik elit yang terjadi saat ini. Yang jadi soal adalah, pertama bagaimana menjelaskan fenomena kartel politik yang bisa berkembang subur di masa demokrasi yang justru mensyaratkan kompetisi? Kedua, teori kartel politik ini sama sekali tidak memperhitungkan faktor internasional, khususnya dinamika ekonomi-politik kapitalisme-neoliberal yang sangat mempengaruhi pengambilan kebijakan ekonomi-politik domestik. Teori ini, misalnya, abai dalam melihat peran IMF, Bank Dunia, WTO, korporasi transnasonal dan lembaga-lembaga keuangan global, serta kekuasaan imperial Amerika Serikat yang mewujud dalam kebijakan Perang Global Melawan Terorisme. Teori kartel politik, melulu berkutat pada dinamika politik elit yang terisolasi pada level nasional dan lokal, serta tidak mampu menempatkan dinamika tersebut dalam konteks ekonomi politik yang lebih luas.
Kartel Di Masa Demokrasi
Mengapa dalam sistem demokrasi, dimana kekuasaan dengan sengaja melalui undang-undang dibagi-bagi bisa muncul kartel politik? Bukankah dalam sistem demokrasi, pengangkatan seorang pemimpin pun harus melalui jalan kompetisi dan pengambilan keputusan harus melibatkan banyak pihak, dengan kepentingan yang berbeda-beda? Kepentingan apa yang menyatukan para elite yang sebelumnys berkompetisi memperebutkan suara rakyat melalui mekanisme pemilihan umum? Kemudian, bagaimana pula menjelaskan perpecahan yang bisa setiap saat terjadi di kalangan elite yang melakukan kartel politik tersebut? Cukupkah ia dijelaskan dengan argumen bahwa sesungguhnya yang mengikat kartel politik ini adalah pragmatisme (pengejaran kekuasaan politik, ekonomi, dan kultural) para elite tersebut? Bagaimana para elit ini kemudian bisa dengan leluasa memanipulasi rakyat pemilihnya secara terbuka dan kasat mata?
Ambil contoh konkret, bagaimana menjelaskan koalisi antara PDI Perjuangan, PKS, dan PAN yang mengusung pasangan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surakarta Joko Widodo-FX Hadi Rudyatmo (Jo-Dy), melawan pasangan yang didukung oleh Partai Demokrat, Partai Golkar dan Hanura, sementara di tingkat nasional PKS berkoalisi dengan Partai Golkar dan Partai Demokrat, sementara Partai Hanura sangat dekat PDI Perjuangan?
Menjawab pertanyaan ini ini, saya mengajak Anda menengok teori lama tentang oligarki yang dikemukakan oleh sosiolog Robert Michels. Menurut Michels, demokrasi gagal menghentikan kecenderungan oligarkis untuk muncul ke permukaan. Apalagi dalam sistem demokrasi prosedural dimana faktor kelembagaan (organisasi) menempati kedudukan yang sentral. Bagi Michels, dinamika organisasi selalu ditentukan oleh faktor intelektualitas, finansial, dan kepemimpinan. Dan ketiga faktor ini selalu direpresentasikan oleh elite, bukan oleh massa dengan kemampuan yang beragam, yang menyebabkan organisasi tersebut jatuh dalam kekuasaan oligarki. Kata Michels (1959),
adalah organisasi yang menyebabkan lahirnya kedaulatan para wakil atas pemilih, kedaulutan para penerima mandat atas pemberi mandat, dan kedaulatan para delegasi atas pemberi delegasi. Siapa yang bicara organisasi, bicara oligarki.
Memang analisa Michels lebih ditujukan pada internal organisasi, ketimbang hubungan antar organisasi. Baginya, organisasi adalah pertarungan tanpa henti antara kepentingan massa dengan kepentingan elite. Namun, studi mutakhir tentang demokrasi menunjukkan, oligarki tidak hanya terjadi di internal partai tapi juga di antara partai yang berkuasa. Studi Adam Przeworski dalam bukunya Sustainable Democracy (1999), memperlihatkan bahwa kontrol terhadap dominasi politik dilakukan melalui birokrasi oligarki untuk menjadikan partai sekadar mesin pendulang suara pemilih dan konstituennya. Birokrasi oligarki ini membentuk kartel yang berkewajiban untuk menentang para pesaingnya sekaligus untuk membatasi kompetisi, menghalangi akses, dan mendistribusikan keuntungan kekuasaan politik di antara para anggota kartel. Mereka inilah yang kemudian menciptakan bahaya bagi demokrasi, karena menjadikannya sebagai proyek individual beberapa pemimpin partai politik dan asosiasi-asosiasi korporatisnya yang menghasilkan keuntungan bagi mereka dan melindungi uangnya dari pihak luar.
Oligarki Transnasional
Saat ini, ketika kita membicarakan kosakata demokrasi, ia tak bisa dilepaskan dari konteks ekonomi-politik yang melingkupinya kini, yakni kapitalisme-neoliberal. Dalam sistem ekonomi-politik neoliberal, teori tentang oligarki mengalami perkembangan pesat. Titik pusat kajiannya tidak hanya berkutat pada internal organisasi a la Michels, atau sedikit meluas antar organisasi a la Przeworski. Dalam alam kapitalisme-neoliberal, pengambilan kebijakan di tingkat nasional atau lokal, dipercaya tidak lagi bergantung pada kondisi nasional atau lokal, tapi telah berjalin berkelindan dengan faktor-faktor internasional.
Adalah sosiolog William I. Robinson, dalam bukunya A Theory of Global Capitalism Production, Class, and State in a Transnational World, (2004) yang mengajukan bentuk baru oligarki di masa neoliberal yang disebutnya, Transnasional State (TNS). Pada buku lain, Robinson mengatakan oligarki yang terbentuk di masa neoliberal ini adalah ‘oligarki transnasional’ atau Poliarchy. Menurut Robinson Aparatus TNS ini adalah jaringan yang terbentuk dari negara bangsa yang terintegrasi secara eksternal dan tertransformasi bersama dengan ekonomi supranasional dan forum-forum politik. Forum-forum ekonomi terdiri dari IMF, Bank Dunia, WTO, bank-bank regional, dan sebagainya. Sedangkan forum-forum politik terdiri dari negara-negara yang tergabung dalam Group of Seven (G-7) dan 22 negara besar lainnya, di samping PBB, Organization for Economic Cooperation dan Development (OECD), the European Union (EU), the Conference on Security and Cooperation in Europe (CSCE), dan yang paling anyar adalah forum G-20.
Di dalam forum-forum itu, bercokol segelintir orang yang berkantor di gedung-gedung bertingkat tinggi dan bergelimang kemewahan, yang hidup bagaikan para kaisar atau raja-raja di zaman feodal. Merekalah yang menentukan gerak maju dan mundur, masuk dan ke luar arus uang, barang, dan jasa. Para elite inilah menentukan lokasi dan besaran investasi, mereka terdiri dari pemilik-cum manajer perusahaan-perusahaan multinasional, lembaga-lembaga dana multilateral, serta elite politik dan elite militer yang menguasai negara bangsa. Ketika mereka berbincang tentang kebebasan (freedom), hal itu bermakna freedom of investment, freedom of capital flows, and freedom of trade in all goods and all services including living organism and intellectual property.
Hal menarik dari teorisasi Robinson ini bahwa oligarki transnasional state ini muncul dari proses sejarah, yakni pada epos keempat perkembangan kapitalisme yang disebutnya globalisasi. Ciri utama dari epos ini adalah perkembangan pesat korporasi multinasional, perkembangan cepat teknologi internet dan telekomunikasi serta secara politik ditandai oleh kebangkrutan sosialisme dan gagalnya seluruh proyek pembebasan nasional di dunia ketiga. Dengan demikian, oligarki Transnasional State ini merupakan hasil dari konflik kelas, yakni kemenangan kapital atas kelas buruh. Di atas basis material ini, ekspansi kapital berlangsung secara ekstensi dan intensif sekaligus. Ekstensif dimana terjadi ekspansi kapital secara agresif ke seluruh sudut-sudut dunia melalui instrumen kebijakan pasar kerja fleksibel, deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi perdagangan dan keuangan global. Sementara secara intensif, ekspansi kapital ditandai dengan proses komodifikasi atas seluruh segi-segi kehidupan manusia. Sebagai contoh, jika sebelumna pendidikan dan kesehatan menjadi urusan publik, maka pada era kapitalisme-neoliberal ini maka kedua sektor ini diijadikan komoditi yang mendatangkan keuntungan bagi korporasi melalui proses privatisasi.
Melalui proses ekstensifikasi dan intensifikasi ini, maka hampir tak ada lagi wilayah di muka bumi ini yang tidak terintegarasi dalam sistem kapitalisme-neoliberal. Dalam sistem baru ini, peran negara bangsa telah mengalami pergeseran yang sangat radikal. Jika sebelumnya negara-bangsa peranannya adalah sebagai fasilitator dan garantor dari kapital domestik melalui perlindungan atas pasar domestik dan ekspansinya ke pasar internasional, maka dalam epos kapitalisme-neoliberal ini peran negara-bangsa adalah menjadi pelayan dan fasilitator bagi ekspansi kapital secara ekstensif dan intensif itu.
Dalam konteks Amerika Latin, penerapan demokrasi neoliberal ini berjalan secara efektif sepanjang tahun 1980an dan 1990an. Para pengusung demokrasi-neoliberal yang disebutnya Polyarchy, atau TNS tersebut menggunakan struktur kekuasaan global ekonomi untuk mereorganisasi kelembagaan negara dan menciptakan seperangkat kelembagaan yang sangat memudahkan bagi pendalaman penyesuaian struktural. Para elite sipil yang lahir dari sistem demokrasi-neoliberal ini, kemudian berlomba-lomba mengintegrasikan ekonomi negara-negara di kawasan Amerika Latin ke dalam sistem kapitalisme global, melalui restrukturisasi neoliberal secara massal, dalam apa yang dikenal sebagai deregulasi, liberalisasi, privatisasi, pengetatan belanja sosial, fleksibilitas kerja, dan sebagainya.
Hasil dari proyek ekonomi politik ini sungguh luar biasa: ‘yang kaya semakin kaya, yang miskin bertambah miskin; kondisi-kondisi sosial kalangan mayoritas memburuk dengan cepat dan marjinalitas semakin meningkat,’ tulis Robinson. Studi empiris yang dilakukan Luis Reygadas, mengonfirmasi retorika Robinson, dimana sejak diterapkannya kebijakan neoliberal pada 1990 hingga 2005, tingkat kesenjangan ekonomi antara kaya dan miskin di kawasan itu adalah yang terburuk di dunia. Sebagai contoh, 10 persen penduduk terkaya menerima hampir (48 persen) dari total pendapatan, sementara 10 persen penduduk terkaya di negara-negara maju ‘hanya’ menerima 29.1 persen.
Dari tahun ke tahun, jurang pendapatan ini semakin lebar. Pada tahun 1970, satu persen penduduk kaya menerima pendapatan 363 kali dibanding satu persen penduduk miskin. Pada 1985, proporsi ini meningkat menjadi 417 kali. Pada dekadde yang sama, di tahun 1970, jumlah orang miskin mencapai 118 juta, dimana angka ini pada 1998 menyusut tinggal 82 juta orang. Tetapi, pada 1994 jumlah orang miskin kembali melesat menembus angka 210 juta, dan terus naik hingga mencapai 222 juta pada 2005. Pada tingkat negara, seperti Paraguay, Brazil, Bolivia, dan Panama, mencatat rekor sebagai negara yang tingkat kesenjangan penduduknya menempati posisi teratas di planet ini. Di tingkat kota, potret kesenjangan antar penduduk juga sangat timpang. Buenos Aires, ibukota Argentina, misalnya, adalah salah satu kota dengan tingkat kesenjangan yang tertinggi di dunia. Di kota itu, rata-rata tingkat kemiskinan naik dari 4.7 persen populasi pada 1974, menjadi 57 persen seperempat abad kemudian.
Segregasi masyarakat yang disebabkan oleh penerapan kebijakan neoliberal, juga melanda sektor politik. Di kawasan itu, walau tidak resmi berlaku politik rasis a la Afrika Selatan, selama berpuluh tahun dominasi warga keturunan kulit putih tak tergoyahkan. Pada saat bersamaan, penduduk keturunan kulit hitam, perempuan, dan masyarakat adat menempati posisi yang sangat marjinal.
Penutup
Demikianlah, melalui perspektif TNS ini, kita bisa menarik kesimpulan: pertama, kartel politik sebenarnya hanya fenomena yang muncul akibat kekalahan kelas pekerja di hadapan kapital pada lingkung internal negara-bangsa;
Kedua, karena teori kartel politik tidak menempatkan analisisnya pada konteks kapitalisme-neollberal maka ia gagal dalam melihat dan menjelaskan bagaimana kaitan dari konsolidasi elit politik tersebut dengan dinamika kapitalisme-neoliberal;
Ketiga, melalui TNS kita diberitahu bahwa tidak ada lagi perbedaan yang kaku antara borjuasi nasional dan internasional. Konsekuensi politiknya, tidak ada lagi yang disebut borjuasi nasional yang berwatak progresif, yang berani melawan kepentingan borjuasi asing. Posisi dari dari borjuis lokal (kecil dan besar), dengan peranannya yang spesifik adalah sebagai rantai dari aktivitas trannasional capital (TNC) yang dikoordinasikan oleh korporasi transnasional.***
Penulis adalah editor IndoPROGRESS