DI TENGAH kebun jambu mete, Leonardo Lidi, 57 tahun bersenandung. Nadanya terdengar lirih. Musik yang mengiringinya hanya bebunyian suara alam. Dari suara jangkrik hingga gonggongan anjing yang menyalak keras.
“Lagu ini diiringi dengan tabuh. Saya bisa mainkannya,” Katanya kepada saya. Udara terasa dingin. Nyamuk-nyamuk mulai menyedot darah di betis dan tangan. Leonardo Lidi memakai pakaian adat. Atasannya berwarna biru menyala dan memakai sarung tenun ikat.
Saya tidak mengerti dengan liriknya. Ia seperti merapal hendak menceritakan sesuatu. Saya mendengar lantunan dari suaranya yang tipis. Matanya menerawang menembus gelapnya kebun jambu mete. Lagu ini judulnya, Wohe Hoer atau Ratapan. Ia buat pada tahun 1965. Mengenang tragedi pembantaian orang-orang kampung yang dituduh sebagai anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia atau PKI.
Leonardo Lidi, ketika itu berumur 17 tahun. Ia tinggal di Rohe. Dan melihat dengan mata sendiri pembantaian dikampungnya. Ada 33 orang dikumpulkan di lapangan sepakbola. Dan algojo yang diperintah oleh tentara Indonesia melakukan ritualnya.
“Tangan mereka diikat dan kemudian dipotong kepalanya,” katanya. Masyarakat ketakutan. Banyak yang melarikan diri ke hutan-hutan. Sembunyi dari kejaran tentara. Masyarakat tidak mengerti apa yang sebenarnya tengah terjadi.
“Mereka tidak bersalah. Dan tidak ikut-ikutan politik. Mereka hanya petani biasa,” katanya. Tak jelas mengapa mereka diburu dan dibunuh. Tak ada pengadilan yang membuktikan mereka bersalah dan terlibat dengan PKI. Selain membantai dengan biadab, tentara juga membakar sekolah-sekolah umum.
Kini, Leonardo Lidi tinggal bersama suami dan kedua keponakannya. Rumahnya sangat sederhana. Dindingnya terbuat dari bilah bambu. Lantai tanah. Tak ada listrik yang menerangi rumahnya.
Mereka tinggal di Kampung Wolon Ratet, sekitar 15 kilometer dari Maumere. Dari jalan utama, saya turun ke sebuah lembah. Banyak pohon jambu mete dan sudah menutupi tanah. Rumah tinggalnya jauh dari tetangga. Dari puncak terlihat laut Maumere. Dan awan gelap menggantung di langit.
Ia mengingat peristiwa pembantaian terjadi pada 14 November 1965. Tiga hari kemudian, ia membuat lirik untuk mengenang peristiwa hitam di tanah Flores. Kejadian pembantaian ini juga menyebar di kampung-kampung lainnya. Ia mendengar langsung dari orang-orang kampung lain yang selamat. Banyak korban yang dibuang ke laut. Termasuk dikumpulkan dalam satu lubang.
“Saya angkat doa. Baunya sudah saya cium. Bau orang mati, memang,” katanya.
Menurutnya, jauh hari sebelum pembantaian, ada yang mendata nama. Mereka menulis nama-nama yang menerima bantuan makanan pokok, seperti beras, jagung dan minyak tanah. Tak jelas siapa, mengapa dan tujuan apa mereka menerima bantuan itu. Termasuk nama yang memberikan bantuan makanan pokok. Daftar nama penerima ini yang kemudian menjadi sasaran pembantaian.
“Algojonya tidak boleh meneteskan air mata. Jika tidak, mereka sendiri menjadi korban pembantaian oleh tentara. Mereka potong kepala harus satu kali. Seperti potong kepala ayam,” kata Daniel David, warga dari Maumere. Di kampungnya sendiri, dari pengakuannya ada sekitar 500 orang yang mati.
David, membantu dan ikut memberdayakan ekonomi masyarakat di Maumere. Dari mulai tenun ikat alami, mendirikan galeri tenun hingga membangun koperasi simpan pinjam. Saya mengenalnya sekitar dua tahun yang lalu. Ketika tinggal di Maumere dan membantu sebuah lembaga swadaya masyarakat.
David membantu menerjemahkan lirik lagu ini secara harfiah. Bait tiap bait dari lirik lagu itu.
[14 November 65. Pater Bolen meninggalkan Flores. Suhu politik lagi tinggi. Ia pergi ke Jerman. Kemudian terjadi musibah. Masyarakat terpecah belah. Tidak tahu kemana. Tidak tahu pegangan hidup. Mereka pergi ke hutan-hutan. Untuk mencari keselamatan diri.Kami sendiri. Tidak tahu berlindung ke mana. Tidak tahu arah. Hanya kepada pastor dan kepada Tuhan. Ini jalan satu-satunya. Kami tidak tahu berbuat salah apa. Kemana orang-orang dibawa.
Kepada masyarakat yang masih punya telinga untuk mendengar dan mata yang masih melihat. Tidak tahu kenapa orang-orang dimusnahkan. Kepada siapa kami mengadu. Hanya ada satu jalan, kepada pastor dan kepada Tuhan].
“Apa ada yang mencatat dan melakukan penelitian soal peristiwa ini di Flores?,” tanya saya.
“Setahu saya tidak ada. Di Watublapi ada tugu untuk mengenang peristiwa itu. Tapi tidak ada catatan sejarahnya. Saya mendengar langsung cerita dari kakek. Termasuk dari algojonya yang tersisa. Dan masih ada yang hidup,” kata David.
Siapa sebenarnya algojo itu? Apakah ia memang seorang eksekutor? atau orang suruhan yang diperintah oleh tentara untuk melakukan sejumlah pembantaian? Apakah algojo itu seorang pelaku atau korban yang mengalami intimidasi dan teror juga dari tentara?
Saya dan David berjalan ke Watublapi sekitar 18 kilometer dari Maumere. Jalan aspal kecil. Kiri kanan tumbuh pohon cengkeh dan asam. Sepi dan tidak banyak kendaraan yang lewat. Kami naik motor menaiki daerah perbukitan. Gerimis turun dan udara jauh lebih dingin ketimbang di Maumere. Di Watublapi saya hendak bertemu dengan keluarga korban dan salahsatu eksekutornya.
Sebuah rumah kecil dan beberapa bunga hias tampak berjejer rapi di pekarangan. Rumah kecil dengan beberapa kursi kayu berada di beranda. Ini adalah kediaman Yan Jong. Seorang tokoh masyarakat dari Kanilima.
Paska proklamasi Indonesia tahun 1945 muncul istilah Kanilima. Singkatan dari KangaE, Nita dan Lio-Maumere. Mereka adalah warga masyarakat yang mendiami kerajaan Sikka dan kerajaan Nita. Warga masyarakat ini dibawah masa pemerintahan Raja Don Thomas (1925-1945).
Menurut Longginus Diogo, penulis buku “Kisah Kerajaan Tradisional Kangae Arade, Nian Ratu Tawa Tanah” (27/02/2009) mengatakan bahwa Kanilima adalah sebuah gerakan politis arus bawah. Mereka berjuang untuk membebaskan diri dari rezim feodal-otoriter. Membebaskan diri dari tindakan kekerasan, penindasan dan pemerasan. Kanilima hendak mengubah sistem pemerintahan dari dominasi Sikka agar lebih setara.
Gerakan ini muncul pada tahun 1947. Membangun basis dari satu desa ke desa lainnya. Beberapa tokoh masyarakat dari Kanilima ini antara lain barisan KangaE dipimpin Moan P. Y. Bapa dan Yan Jong, Barisan Nita dipimpin Guru Phiter Pedor dan Fr. Jati sedangkan barisan Lio Maumere dipimpin Guru Donatus Pale, G. Gego, P. Pango dan Frans Sari.
Orang-orang dari Sikka mayoritas menduduki posisi pemerintahan Raja Don Thomas. Kanilima menilai bahwa pemerintahan ini sisa bentukan dari Hindia Belanda. Ketegangan politik lokal ini kemudian pecah ketika terjadi peristiwa 1965. Tokoh Kanilima dari KangaE, Yan Jong dituduh sebagai komunis dan akhirnya meninggal dunia. Dan masyarakat di pedesaan yang menjadi basis Kanilima menjadi korban tuduhan komunis oleh pihak tentara.
Saya tidak menulis nama mereka yang menjadi korban dan eksekutornya. Saya mengantongi nama mereka. Namun mereka meminta agar saya tak menuliskannya. Keluarga dari Yan Jong, menilai peristiwa 65 sudah selesai.
“Itu masa gelap. Hukum tidak jalan. Cari jalan terang saja,” katanya kepada saya. Tubuhnya sudah ringkih. Tangannya bergetar dan bicaranya pelan. Tak mudah membangkitkan kembali ingatan pahit yang terjadi pada masa itu.
Keluarga korban memilih diam dan membenamkan ingatan pahit itu. Apalagi ketika masa Orde Baru dibawah Soeharto. Orang tak berani membicarakan tentang PKI. Apalagi mengusut kekerasan dan kejahatan yang dilakukan oleh tentara. Dan keterlibatan Soeharto dalam peristiwa itu.
Soeharto menghanguskan setiap bentuk komunisme hingga akar-akarnya. Jutaan buku dan karya ia bakar. Tak berani ngomong. Apalagi menulis dari sudut pandang pribadi hingga era reformasi tiba. Dari 1998 hingga kini, banyak memoar yang kemudian terbit menjadi buku. Menceritakan secara detail mengenai pengalaman, ingatan dan pergulatan selama tirani Soeharto.
SAYA bertemu dengan banyak korban 65 di Bandung, Jakarta, Jogjakarta dan Semarang. Melakukan wawancara dan menulis tentang mereka. Ikut dalam diskusi sejarah dan mendengar banyak cerita. Mulai dari Oey Hay Djoen, elit PKI yang menguasai wacana ekonomi, Samsir Mohammad, sekretaris jenderal Barisan Tani Indonesia hingga anak keluarga dari Aidit.
Oey dan Samsir meninggal dunia ketika saya ikut dalam ekspedisi Zamrud Khatulistiwa. Saya akan mengenang kehangatan, minum kopi dan diskusi soal kebangsaan dan sejarah republik ini.
Banyak diantara mereka, ada yang mau berbicara apa adanya. Banyak juga yang sudah melupakan peristiwa pahit itu. Keluarga korban menuntut hak kepada negara untuk memulihkan nama mereka. Dan menuntut keadilan terhadap para pelaku yang melakukan kekerasan dan kejahatan hak azasi manusia. Namun hingga kini tak ada pengadilan mengenai kekerasan 65. Dan membuktikan pelaku utama yang bertanggung jawab terhadap kekerasan dan intimidasi peristiwa tersebut.
“Yan Jong memperjuangkan kecerdasan bagi orang-orang timur. Mendirikan banyak sekolah. Dia juga bukan orang PKI. Tapi ini politik, saya tidak tahu persisnya,” kata seorang eksekutor yang saya temui tak jauh dari rumah keluarga Yan Jong. Usianya sekitar 70 tahun. Telinganya sudah samar-samar. Ia berbicara keras dan lantang. Beberapa kali menunjukkan posisi korban ketika pembantaian berlangsung.
Ia mengingat peristiwa pembantaian itu terjadi pada Februari 1966. Maumere dilanda musim kering panjang. Banyak tanaman pangan yang gagal panen. Ia bertugas sebagai eksekutor atau algojo nomor dua atas perintah tentara. Tentara mengumpulkan 10 anak muda sebagai algojo.
Tentara itu memberikan perintah bagaimana cara melakukan pembantaian berupa potong kepala dengan parang, cara mengikat dan mengikuti kode-kode penyerbuan. Mereka akan menjadi korban yang sama jika para calon korban berhasil melepaskan diri. Tentara akan mengambil lima orang korban tambahan sebagai penggantinya.
“Satu saya dan empat sisanya adalah keluarga,” begitu ancam tentara. Mereka juga mendapatkan latihan bagaimana mengikuti prosedur penyergapan. Tentara memberikan aba-aba berupa teriakan “ANJING!” dan kemudian para eksekutor menjawab “GILA!”.
Tentara ini menyebutnya sebagai “KOMOP” atau singkatan dari Komando Operasi Pemberantasan. Tentara ini mengikatkan kain berwarna merah di lengan dengan tulisan berwarna putih. Istilah “KOMOP” tak ada dalam pencarian mesin pencari Google. Termasuk sejarah peristiwa pembantaian di Maumere ini. Mesin pencari gagal mendeteksi kata “PKI”, “Komunis”, “Maumere”, “Komap”, “Flores”.
“Saya dapat jatah 10 orang. Saya tidak tahu jelas alasan mengapa mereka dibunuh. Mereka (Tentara) hanya mengatakan bahwa orang-orang itu terlibat PKI,” katanya.
Eksekusi dilakukan pada malam hari. Truk mengangkut 20 orang dengan kondisi diikat dengan tubuh mereka babak belur. Korban dalam kondisi lemah dan mengenaskan. Tentara menggunakan besi panas dan kemudian menyabet korban di bagian punggung.
Wajah korban lebam akibat pukulan. Ia tak mengenal siapa yang menjadi korban itu. Dan lubang dengan panjang dua meter, lebar satu meter dan kedalaman dua meter sudah dipersiapkan sebelumnya.
“Suasananya gelap sekali. Suaranya ngeri. Kita tidak tahu orangnya (Korban). Banyak dari Dobo, Moropiring, Baubatun,” katanya.
“Dari peristiwa itu tak ada kabar sampai sekarang. Tidak ada penjelasan. Saya pernah antar dua orang mahasiswa dari Jakarta. Mereka orang Flores dan menanyakan pada Kodim alasan dan peristiwa pembantaian itu. Jawabannya, ini rahasia negara,” katanya.
Mahasiswa itu tak menemukan jawabannya. Dia juga harus memendam peristiwa paling pahit sepanjang hidupnya. Ia tak bisa berbuat apa-apa. Termasuk ketika ia terpaksa harus mengikat kakaknya sendiri. Dan kemudian menyerahkannya pada aparat tentara.
“Saya minta jangan terulang lagi kasus 65 itu di negara tercinta Indonesia. Mungkin sampai akhirat pertanyaan ini selalu ada. Ini rahasia negara atau pelanggaran HAM?,” katanya.
Paska pembantaian di Maumere pada Februari 1966, terjadi kekeringan panjang dan kelaparan. Tidak ada beras, jagung maupun ubi yang bisa ditemukan. Banyak pencurian hewan ternak.
LEONARDO Lidi adalah seniman sejati dan mengenang peristiwa kelam itu melalui lagu. Banyak karya berupa lagu dan tarian. Ia sering diundang untuk acara-acara tradisional di Maumere. Mulai dari perkawinan hingga acara kematian. Baik oleh masyarakat maupun pemerintah Kabupaten Sikka. Namun, kehidupan ekonominya jauh dari sejahtera. Ia dan suaminya hanya mengurusi kebun kecil dan sebagian tanahnya menjadi jaminan pegadaian.
Daniel David membantu untuk merekam semua hasil karyanya. Dan kemudian direkam di dapur rekaman. Ia bersama seniman musik lokal di Maumere menyanyikan kembali lagu-lagu milik Leonardo Lidi. Dan berharap rekaman lagu itu laku keras dan bisa membantu ekonomi keluarga Leonardo Lidi.
Tahun 1965 adalah tahun yang kelam. Dan pelanggaran hak azasi manusia yang sistemik sepanjang sejarah Indonesia. 12 ribu orang tanpa pengadilan dibuang ke kamp Pulau Buru. Dan diperkirakan dua juta orang lebih mati. Berdasarkan hasil penelitian Robert Cribb dalam bukunya The Indonesian Killings: Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966. Kejadian pembantaian terbesar terjadi di Jawa dan Bali. Peristiwa ini menjatuhkan Soekarno dan dua tahun kemudian, Soeharto menjadi presiden kedua Republik Indonesia.
Soeharto melalui pemerintahan Orde Baru-nya melarang setiap bentuk yang berkaitan dengan komunisme. Mulai dari buku hingga lagu. Militer membakar buku-buku karya macam Pramoedya Ananta Toer. Dan hingga kini, paska reformasi, pemerintah Indonesia belum mencabut ketetapannya yang melarang komunisme (TAP MPRS NO 25 Tahun 1966). Termasuk melakukan rehabilitasi, pemulihan dan bantuan terhadap keluarga korban.
Satu-satunya presiden Indonesia yang meminta maaf terhadap peristiwa kelam itu adalah Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Ia berasal dari Nahdhatul Ulama. Salahsatu organisasi Islam di Indonesia.
Spanduk-spanduk anti komunisme juga masih menjalar di kota-kota besar macam Bandung. Saya sendiri menyaksikan sebuah peristiwa sweeping oleh organisasi masyarakat dan menutup diskusi buku di Toko Buku Ultimus. Mereka menganggap diskusi ini hendak menumbuhkan komunisme. Beberapa panitia dan peserta diskusi diperiksa oleh polisi. Sebelumnya di Bandung, saya juga melihat langsung pembubaran diskusi tentang sejarah Gerwani atau Gerakan Wanita Indonesia.
“Banyak yang menangis ketika saya menyanyikan lagu Wohe Hoer,” kata Leonardo Lidi. Keluarga korban mengenang peristiwa pahit dan mencekam itu.
“Pemerintah atau tentara tidak melarang lagu itu,” tanya saya.
“Tidak. Mereka hanya mencatat lirik lagunya,” katanya.
Flores jauh dari Jawa. Namun mengapa pembantaian juga terjadi di Flores? Sejauhmana pengaruh PKI di sini? Bagaimana persisnya peristiwa pahit ini terjadi di Flores? Mengapa tidak banyak penelitian mengenai pembantaian di Flores? Apakah peristiwa kelam di Rohe itu tidak tercatat dalam sejarah mengenai peristiwa 1965? Bagaimana gereja melihat peristiwa pembantaian itu? bagaimana hubungannya dengan PKI? Mengapa gereja tidak bisa menahan pembantaian di Flores?
Benedict Anderson, seorang peneliti tentang nasionalisme dan dikenal sebagai Indonesianis mengatakan kepada Radio Netherland, 28 september 2005. Ia memberikan komentar atas pernyataan maaf dari Gus Dur kepada orang-orang yang dikatakan komunis. Termasuk memberikan analisis tentang pertanyaan saya itu.
Banyak pembunuhan berlangsung di pedesaan. Seperti yang terjadi di Dobo, Moropiring, Baubatun. Daerah ini jauh dari pusat kota, Maumere. Menurut Benedict, di kota jauh lebih aman ketimbang berada di pedesaan.
“Tapi sampai sekarang, umpamanya, tidak pernah ada penelitian terhadap apa yang terjadi di daerah yang jelas Katolik seperti Flores. Apa yang terjadi di sana? Saya belum pernah, melihat laporan tentang ini,” ungkap Benedict Anderson.
Pemerintah Indonesia lebih dari seperempat abad melarang kedatangan Benedict Anderson karena pendapatnya soal G30S. Ia peneliti senior dari Cornell University, Amerika Serikat. Hingga kini, ia mendesak kepada organisasi-organisasi agar lebih terbuka dan jujur mengungkapkan peranan mereka pada pembunuhan massa paska G30S.
Saya mengingat ketika Hindia Belanda mengasingkan Soekarno ke Ende pada tahun 1933. Ende adalah sebuah kota kecil di Flores menghadap laut. Kotanya tenang. Di tanah ini, Soekarno merumuskan Pancasila. Salahsatu silanya berbunyi, Ketuhanan yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang adil dan beradab. Pancasila menjadi dasar negara Republik Indonesia. Namun mengapa, pembantaian itu justru melukai dasar kemanusiaan yang menjadi ruh bagi republik ini.
Saya dan Farid Gaban melakukan perjalanan. Melihat banyak realitas dari Sabang hingga ke Merauke. Dan republik ini menumbuhkan nasionalismenya dengan jalan banyak kekerasan dan ketidakadilan. Kemiskinan dan kebodohan menjadi akut. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia hanya menjadi sila yang tak bermakna.
R.A.F Webb dan Steven Farram dalam bukunya “Di-PKI-kan: Tragedi 1965 dan Kaum Nasrani di Indonesia Timur” mengatakan bahwa studinya tentang komunisme di Nusa Tenggara Timur atau NTT, harus memahami masalah kemiskinan dan nilai sosial budaya. Pulau Flores dan kebanyakan pulau lain di wilayah Indonesia Timur tergolong terisolasi. Dengan kondisi geografis yang kering. Kondisi ini menyebabkan banyak keluarga di Nusa Tenggara Timur dalam kondisi miskin.
Namun bagaimana potret kemiskinan di Nusa Tenggara Timur? Saya tidak ingin terjebak dalam wacana kemiskinan. Kemiskinan memiliki ukuran tersendiri. Khususnya dalam melihat standar kehidupan dasar manusia. Seperti hak pada kesehatan, pendidikan, air, tempat tinggal yang layak, misalnya.
Dua tahun yang lalu, saya tinggal di Flores. Melihat kondisi masyarakatnya yang tinggal di kepulauan ini. Pendapatan warga mengandalkan pada hasil pertanian, macam jambu mete, kelapa, pohon lontar, kakao, kopi, dan mencari ikan.
Hasil pertanian melimpah namun pengetahuan, penanganan dan pemasaran produk pertaniannya lemah. Banyak warga yang belum mendapatkan akses listrik. Termasuk mengandalkan air hujan untuk minum.
Saya bertemu dengan Maria Goreti, perempuan dari Watublapi. Ia tinggal di sepetak tanah yang baru ia beli tiga tahun yang lalu. Nilai tanah itu sekitar empat juta rupiah. Ia beli dari hasil penjualan tenun alami. Di belakang rumahnya yang terbuat dari bilah bambu, ia menenun. Membuat pewarnaan alami dan mengambil motif-motif tenun tradisional. Setiap tahunnya, ia bisa menghasilkan sekitar 1o lembar kain tenun. Dengan nilai jual sekitar 300 ribu untuk selendang dan dua juta rupiah untuk sarung tenun.
Perekonomian keluarganya terdongkrak dari hasil tenun. Ia menyimpan pendapatannya pada koperasi kelompok tenun. Dan sanggar membantu setiap penenun dalam pemasaran dan pengelolaan keuangan. Maria Goreti dan anggota kelompok penenun lainnya bergerak untuk keluar dari lubang kemiskinan.
“Saya bisa beli motor. Kakak saya jadi ojek,” kata Maria Goreti kepada saya. Perempuan-perempuan di Watublapi bergerak untuk memberdayakan diri agar mandiri. Terlepas dari jerat hutang dan kemiskinan. Watublapi daerah perbukitan dan di daerah sini banyak rumah mengandalkan pasokan air hujan sebagai air minum. Pada tahun 1965, Watublapi hingga Dobo, banyak warga yang menjadi korban pembantaian dan kekerasan.
“Kemelaratan memberi peluang PKI memasuki alam harapan dan aspirasi rakyat ,” tulis R.A.F Webb dan Steven Farram. Program-program PKI menyentuh dan menjalankan dari kondisi-kondisi lokal masyarakat. Mulai dari masalah pertanian hingga tetek bengek masalah kesenian. Partai ini menjadi partai terbesar ketiga dunia setelah Cina dan Uni Soviet.
Di NTT sendiri gerakan komunis tumbuh sejak zaman Belanda. Diperkirakan komunisme tumbuh pada tahun 1924. Pelopornya, Christian Pandy, JW Toepoe, dan Franz Djami, dengan total orang “komunis” sejak 1924-1926 adalah 2.280 orang. Menurut Webb dan Farram diperkirakan jumlah orang yang dibantai pada tahun 1965-1966 di Nusa Tenggara Timur antara 50 ribu hingga 200 ribu orang.
Namun, apakah keluar dari kemiskinan monopoli ideologi? bukankah tujuan kehidupan adalah kesejahteraan, keadilan dan membuatnya agar lebih betah di muka bumi? Setiap manusia memiliki hak untuk keluar dari kemelaratan hidup dan mendapatkan kemerdekaannya.
SAYA tak menemukan banyak referensi sejarah yang lengkap soal peristiwa ini. Kebanyakan penelitian mengenai 1965 banyak dilakukan di Jawa, Sumatra Utara maupun Bali. Tidak mudah untuk melacak kejadian persisnya. Dan menemukan kebenaran mengenai peristiwa pembantaian di Sikka.
Perlu penelitian lebih lanjut. Melakukan wawancara dengan banyak keluarga korban, meminta kesaksian dari para “algojo” yang masih hidup, dan menemukan “daftar nama” yang akhirnya menjadi korban pembantaian itu. Memastikan setiap nama korban, pelaku dan sebagainya. Hingga melihat hubungan agama, ideologi, sosial, budaya hingga ekonomi saat itu.
Penggalian lebih lanjut, juga mengenai kejadian masa sekitar 1950 – 1960. Periode penting ketika pergolakan “politik lokal” muncul. Bagaimana kemunculan istilah “Kanilima”. Apa yang diperjuangkan, ketegangannya seperti apa, siapa saja, dan mengapa kemudian tokoh-tokoh Kanilima akhirnya dituduh sebagai PKI. Siapa saja pemimpin pemerintahan saat itu?
Verifikasi, pelacakan dokumen, kesaksian dan penggalian korban akan membuktikan fakta-fakta yang terjadi pada masa itu. Tak mudah melacak kebenaran yang terjadi pada 45 tahun yang silam. Namun, kejadian pahit dan tragedi kemanusiaan di Maumere dan mungkin di wilayah Flores lainnya, meninggalkan luka mendalam. Dan ingatan peristiwa kelam itu membekas pada keluarga korban. Tak hanya di Flores bahkan di Jawa, Bali dan wilayah lainnya di negeri ini.
Leonardo Lidi, mengenang peristiwa 1965 itu melalui senandung. Bahwa ia dan masyarakat lainnya tak mengerti mengapa peristiwa bengis itu terjadi di Flores. Ia mencatat sejarah hitam melalui sebuah lagu. Dan mereka akan selalu mengenang dan tidak melupakan kejadian pahit itu. Hanya doa, obat penenang kegelisahannya. Seperti liriknya, kepada siapa kami mengadu. Hanya ada satu jalan, kepada pastor dan kepada Tuhan.
Ini bagian yang tersulit sepanjang perjalanan saya dalam ekspedisi Zamrud Khatulistiwa. Sulit membayangkan bagaimana kejadian saat itu. Merasakan luka, menahan amarah, hingga memendam ingatan pahit. Dan akhirnya harus menerima keadaan. Dengan cara melupakan tragedi kemanusiaan sepanjang sejarah republik ini.
Rasanya tak mudah. Dan pasti, siapapun orangnya, yang masih memiliki hati nurani dan kemanusiaan akan mengutuk peristiwa biadab itu. Dan apa artinya kebenaran, jika ia tak berdaya dan lumpuh? Apa artinya kemerdekaan, jika hidup dalam kemelaratan? Kemanusiaan hanya menjadi debu dan puing dalam sejarah.***
Amad Yunus, adalah wartawan lepas dan saat ini bersama wartawan senior Farid Gaban, tengah berkeliling dengan bendera “Zamrud Kathulistiwa.”
Ahmad Yunus