Imperialisme Ekologi

Print Friendly, PDF & Email

‘Kegiatan penanaman pohon di lingkar tambang merupakan bagian dari komitmen kami menjadi perusahaan yang terdepan dalam bidang perlindungan lingkungan, dan sekaligus kami mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama mensukseskan program Penanaman Satu Miliar Pohon sebagai tema Hari Lingkup se-Dunia tahun ini.’
T. Darren Hall, General Manager Operations PTNN (surmber: www.sumbawanews.com, 4/6/2010)

PENGGALAN berita di atas bersumber dari peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2010, di mana PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT), perusahaan pertambangan itu bersama masyarakat, dan pemerintah daerah merayakannya dengan gerakan menanam pohon di Sumbawa. Seperti diketahui, tahun ini United Nations Environment Programme (UNEP) memilih tema perayaan: ‘Many Species, One Planet, One Future.’ Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), menerjemahkannya ke dalam perayaan nasional di bawah tema ‘Keanekaragaman Hayati, Masa Depan Bumi Kita.’

Apa yang dilakukan oleh Newmont sendiri hanya salah satu contoh saja, bagaimana perusahaan-perusahaan pertambangan membangun citranya sebagai perusahaan yang peduli terhadap lingkungan. Kunjungi saja situs-situs perusahaan-perusahaan itu dunia maya, aneka informasi atau bahkan propaganda dilakukan untuk mencitrakan diri sebagai perusahaan dengan kinerja lingkungan hidup yang baik dan benar. Tengok situs PT Inco, perusahaan pertambangan yang dipandang paling menghormati lingkungan, seperti terpampang di sana, korporasi mengklaim mempraktikkan apa yang disebut ‘sustainable development,’ mantera yang populer di negeri ini sejak 1980an.

Padahal, kedua perusahaan punya reputasi buruk dalam soal lingkungan hidup. Kasus pencemaran di Teluk Buyat Sulawesi Utara, beberapa tahun lalu mengonfirmasi tentang Newmont. Sementara Inco sendiri, jangankan hanya di Soroako, sampai di Sudbury, Canada, perusahaan ini juga bermalasah dari segi pengelolaan lingkungan hidup. Freeport? Tentu jauh lebih parah.

Pointnya, praktik-praktik perusakan lingkungan merupakan sesuatu yang tertanam dalam prinsip akumulasi di dalam sistem kapitalisme. Dengan demikian, aktivitas-aktivitas seremoni dan pembangunan citra semacam di atas, cukup difahami sebagai reklame saja, dan sama sekali tidak berhubungan dengan watak merusak dari sistem ini.

Kosakata momok

Pertengahan 1990an, ketika mengunjungi sebuah desa di pedalaman Sulawesi, yang berbatasan dengan sebuah kawasan konservasi, saya ikut mendengar pengarahan seorang Kepala Desa kepada warganya di Balai Pertemuan desa. Kata yang keluar berulang dari Pak Kepala Desa adalah ‘pembangunan berkelanjutan.’ Saat itu, dia mengajak warganya harus mulai menerapkan gagasan itu. Giliran tanya jawab, seorang lelaki tua bertanya, apa arti kosa kata itu. Dengan jujur, sang Kepala Desa mengakui bahwa dia sendiri juga tidak tahu pengertiannya. Tetapi, dengan semangat dia bilang, tidak penting pengertian “pembangunan berkelanjutan” dipercakapkan, yang perlu pelaksanaannya, karena merupakan program pemerintah. ‘Saya juga tidak tahu artinya, tetapi itu yang diulang-ulang Pak Bupati dalam pertemuan dengan seluruh kepala desa minggu yang lalu.’ Kira-kira begitu komentarnya menanggapi sang penanya.

Dia lantas menambahkan, dulu juga tidak tahu apa arti ‘pembangunan,’ tetapi sekarang kita sudah lihat ada sekolah dan puskesmas. Presiden sampai digelar ‘bapak pembangunan.’ Kalau kita menyukseskan program baru ini, lanjut kepala desa, kelak presiden akan dapat gelar lagi ‘bapak pembangunan berkelanjutan.’ Semua warga diam serius, ada yang mengangguk mendengar pernyataan itu, entah paham atau tidak.

Percakapan kecil itu sebenarnya menggambarkan begitu banyaknya kosa-kata baru yang muncul dalam 20 atau 30 tahun terakhir berkenaan dengan soal lingkungan hidup dan pembangunan. Selain “pembangunan berkelanjutan”, kita bisa mendaftar, ada keanekaragaman hayati (biodiversity), perubahan iklim (climate change), konservasi alam dan pembangunan (conservation and development) dan seterusnya. Sirkulasi kosa-kata itu mengglobal: dari pertemuan-pertemuan pimpinan negara di kantor-kantor multilateral, muncul di meja-meja para direktur bank-bank komersial, riset-riset di universitas, program-program pemerintah dan organisasi non-pemerintah, sampai percakapan orang-orang kampung.

Buat orang-orang desa, kosa-kata itu menjadi momok. Pemeliharaan alam dan pembangunan, adalah dua kata yang indah terdengar di kuping, buat mereka yang tidak kehilangan apapun ketika kedua kata itu dipercakapkan. Tetapi, tidak bagi orang-orang kampung. Itu bisa berarti, perut akan kosong, karena akses mereka ke hutan dan tanah dipotong. Awalnya, ketika mendengar program ‘konservasi dan pembangunan’ yang didanai Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, pikiran awam mereka menduga inilah kesempatan emas memperoleh uang dari bank, bukan Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang kikir untuk rakyat berkaki telanjang itu. Apa daya, seperti kata seorang warga desa dalam sebuah dialog panas dengan pejabat pemerintah yang memaksa mereka harus pindah dari kampung di bawah proyek “konservasi dan pembangunan”: ‘Kalau BRI penyebab tanah dan rumah (agunan) hilang, karena kami tidak mampu bayar cicilan kredit. Bank Pembangunan Asia penyebab kampung dan seluruh isinya hilang. Padahal kami tidak meminjam sesenpun.’

Contoh lain, bagaimana kosa-kata semacam menjadi momok bagi warga desa bisa dipetik dari karya Antropolog Celia Lowe, yang menulis buku dari disertasi doktornya, Wild Profusion: Biodiversity conservation in an Indonesian archipelago (2006). Dalam studinya tentang Orang Bajau di Kepulauan Togean di Teluk Tomini Sulawesi, dia menggambarkan dengan baik sekali bagaimana regim pengetahuan dominan global di bidang konservasi, yang melibatkan kaum peneliti, pemerintah, dan organisasi non-pemerintah menganggap suku laut paling kosmopolitan di wilayah Asia Tenggara itu bermasalah dalam hubungan mereka dengan alam.

Imperialisme

Apa yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan pertambangan transnasional dan penerapan model konservasi yang anti rakyat, menurut John Bellamy Foster (the Ecological Revolution, 2009), sebenarnya merupakan bagian dari ‘imperialisme ekologi’ yang secara nyata hadir dalam sistem kapitalisme global saat ini. Menurut Foster, praktik imperialisme ini ditandai dengan berlangsungnya perampasan sumber daya alam oleh kekuatan dominan (dari negeri-negeri kapitalis maju) terhadap negeri-negeri yang terkebelakang dan mengubah secara drastis keseluruhan ekosistem di mana negara dan bangsa-bangsa itu bergantung. Hal ini juga meliputi mobilisasi penduduk dan tenaga kerja murah secara besar-besaran dalam hubungannya dengan kegiatan-kegiatan (industri kapitalis) dalam pengerukan sumber daya alam. Lalu, eksploitasi terhadap kerentanan masyarakat secara ekologi demi penguasaan sumber daya alam oleh kekuatan-kekuatan imperialis. Terakhir, melalui mekanisme yang membebani negara-negara sedang berkembang oleh negara-negara maju dalam soal dampak ekologi dari kegiatan-kegiatan industri yang menguras alam tersebut. Semua hal itu merupakan potret dari ‘metabolic rift,’ yang menggambarkan kontradiksi abadi kapitalisme dengan lingkungan hidup.

Pernyataan Foster terlihat terang. Dari standar ganda pemberlakukan lingkungan oleh perusahaan-perusahaan transnasional di negeri asal dan di luar negeri, kesepakatan-kesepakatan internasional di bidang lingkungan hidup yang tidak adil antara negara-negara maju dan negeri terkebalakang, tindakan Monsanto mematenkan bibit-bibit tanaman pangan sebagai pemilik dalam sistem hak milik yang ekslusif, hingga program-program transnasional dalam mengusir para petani dari kawasan-kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi adalah sebagian di antara contoh yang bisa ditengok.

Sepintas, kasus-kasus itu tampak berdiri sendiri, tidak saling bertautan. Tetapi, kalau melihat kapitalisme sebagai sebuah sistem yang menyeluruh, kita dapat dengan mudah mengerti bagaimana tautan-tautannya. Semua cerita itu bisa dipahami dengan menjelaskan bagaimana sebuah ‘blok historis,’ yang terdiri dari korporasi transnasional, bank-bank multilateral dan bank-bank komersial, pemerintah, peneliti, dan organisasi-organisasi non-pemerintah yang kaya raya, hadir secara bersama untuk memajukan kepentingan-kepentingan mereka atas nama perlindungan alam di bawah sistem yang kapitalistik. Yang terjadi bukan saja, petani kecil dikalahkan dan buruh dieksploitasi, tetapi juga alam dikomodifikasikan hingga kurus kerontang.

Oleh karena itu, ‘Many Species, One Planet, One Future’ hanya bisa tegak kalau kehidupan bumi ini harus diorganisir untuk memajukan kepentingan bersama secara sama-sama. Bukan kepentingan ‘spesies’ tertentu: kelas kapitalis.***

Anto Sangaji, mahasiswa Doktoral di York University, Kanada

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.