“MUSLIM Power.” “Islam Is the Way.” “Muslim on Board.” Kata-kata semacam itu mulai tampak pada stiker atau aksesoris di bagian belakang mobil pada akhir tahun 1980-an atau awal tahun 1990-an. Mobilnya biasanya mobil pribadi, dan jenis mobilnya menunjukkan pengemudinya kelas menengah. Stiker-stiker ini beda dengan yang dipasang pengemudi bemo atau angkot, biasanya di dashboard, dengan gambar Ka’bah atau dua tangan dalam posisi berdoa, dengan kalimat Basmalah dalam tulisan Arab.
Tahun-tahun itu ditandai berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan peristiwa-peristiwa lain yang secara populer disebut “penghijauan” dalam kehidupan politik. Banyak priyayi, misalnya, termasuk pasangan Presiden dan Ibu Negara waktu itu, menampilkan wajah yang lebih Islami, suatu trend yang terus berlangsung hingga sekarang. Arus perkembangan di masyarakat kelas menengah dapat dikatakan merupakan konteks yang menyertai perkembangan itu. Tasbih atau aksesoris gantung dengan kaligrafi “Allah” dan/atau “Muhammad” pun tampak di mobil-mobil kelas menengah ke atas juga.
Yang patut diperhatikan adalah penggunaan bahasa Inggris di atas. Bukankah bahasa yang lebih dekat dengan Islam adalah bahasa Arab? Apa yang sedang terjadi?
Pada hemat saya, simbolisasi politik identitas ringan-lah yang sedang terjadi. Stiker atau aksesoris yang saya sebutkan pada awal tadi, sebagian berwarna dan berbentuk mirip dengan benda serupa dengan tulisan “Jesus’ Beloved on Board” atau “Free Trip to Heaven: See Bible” yang mungkin dipasang oleh pemilik mobil yang beragama Kristen. Belakangan muncul juga hiasan serupa dengan kata-kata “Hyang Widhi Be With Us” atau “Buddha Bless You.”
Inilah politik identitas dalam perwujudannya dalam budaya populer. Memang dapat disanggah apakah benar pemasangan hiasan seperti itu menunjukkan politik identitas, karena bisa saja yang memasang hiasan dengan kata-kata yang merujuk pada agama Nasrani, umpamanya, belum tentu beragama Nasrani. Mungkin hiasan cuma hiasan belaka? Bukankah banyak penggemar Madonna juga mengenakan kalung berleontin salib tanpa berpikir terlalu serius. Cuman aksesoris doang?
Benarkah itu semua tidak berarti terlalu jauh? Sewaktu saya mengajar antropologi kognitif dahulu, salah satu yang dipelajari adalah pembagian kategoris berbagai hal dan benda budaya. Contoh favorit saya adalah pembagian kerudung, jilbab (dari berbagai macam juga: jilbab tsunami, jilbab gaul dst.), dan penutup kepala lainnya yang dikenakan perempuan muslim. Mahasiswa yang mengenakan jilbab gaul, misalnya, kelihatan dan kedengaran sangat terganggu kalau diandaikan bahwa mereka sebetulnya bisa saja mengenakan kerudung seperti ibu mereka atau perempuan-perempuan lainnya. Jadi, apa yang sedang terjadi sebetulnya?
Kiranya politik identitas (dalam hal ini identitas keagamaan) merupakan sesuatu yang riil. Tetapi perlu juga kita tengok aspek ringan atau budaya populernya. Kalau dibelokkan sedikit ke identitas gender atau orientasi seksual, bagaimana dengan hiasan dengan kata-kata “Lesbian Power” atau “We’re Here, We’re Queer, Get Used to It” di Barat. Ada yang pernah mengatakan, sebetulnya sama saja hiasan macam stiker keagamaan dengan stiker queer seperti itu. Orang-orang macam itu mengusik pikiran kita dengan mempertanyakan, apa sebetulnya beda Sri Paus dikelilingkan dalam Popemobile dengan pawai Mardi Gras atau Gay Pride? Kedua-duanya merupakan upaya untuk mempromosikan suatu usaha pengakuan identitas, kan?
Tapi tunggu sebentar, apakah kita yakin orang selalu seserius itu berpolitik identitas? Masih dalam kerangka pikir rada serius, saya jadi teringat satu peristiwa dalam novel Milan Kundera, The Unbearable Lightness of Being. Tokoh novel itu, seorang pengungsi politik dari Cekoslowakia, menyaksikan pawai protes di kota Eropa Barat di mana dia memperoleh suaka, dan dia pun merinding merenungkan bahwa dalam pawai seperti itu, sambil meneriakkan yel-yel bersama, kedirian kita hilang dalam kelompok, dan agak susah kita menjadi cerdas.
Barangkali kita memang tetap perlu berpolitik identitas untuk memajukan suatu perjuangan yang penting, namun sesekali perlu juga bisa tersenyum simpul atau tertawa terbahak-bahak dan menyadari bahwa dalam simbol-simbol politik kita terpendam potensi kekocakan yang dapat menghibur kita sedikit.
Saya jadi teringat suasana pemilihan ketua Persatuan Waria Kota Surabaya (Perwakos) pada tahun 2002. Di tengah suasana pemilihan yang penuh dengan canda dan celoteh, datanglah empat anggota yang mengenakan jilbab. Teman mereka berkomentar, “Koq kelihatan alim kalian?!” Jawab salah satu dari mereka, “Nggak sempat ke salon, nek, jadi ya dijilbabi saja.”
Bandung, 12 Mei 2010.
Dédé Oetomo, Dosen Senior di Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya dan pendiri Yayasan GAYa NUSANTARA