MENANGGAPI pengajuan Judicial Review UU PNPS No.1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama, reaksi yang sangat keras dan menggebu-gebu muncul dari Menteri Agama Suryadharma Ali. Bukan hanya berkomentar secara nyinyir terhadap pengajuan itu, ia juga sangat berkepentingan dan menyiapkan segala energinya menghadapi proses ini. Konon, bahkan beliau mengumpulkan ormas-ormas Islam, termasuk ormas yang anti-demokrasi, untuk menyiapkan perlawanan terhadap upaya memperjuangkan kesetaraan warga negara.
Terkait dengan respon Menteri Agama dan Menteri Hukum dan HAM, ada dua hal menarik yang perlu ditanggapi, terutama menyangkut batas. Tentu pernyataan ini perlu ditanggapi bukan karena kedua menteri tersebut adalah manusia beragama. Tentu karena mereka adalah pejabat negara, yang berbicara atas nama pemerintah. Dus, pernyataan mereka ada dalam koridor relasi antara warga dengan pemerintahnya, antara masyarakat dengan negara.
Batas Agama
Pemerintah, kata Suryadharma, telah menetapkan enam agama yang sah di Indonesia, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu (Republika, Rabu, 27 Januari 2010).
Pernyataan ini sangat bermasalah, karena: pertama, tidak pernah ada keputusan pemerintah terkait pemberlakuan agama resmi. UU PNPS sendiri tidak menyebutkan istilah agama yang sah atau agama yang diakui. Yang ada, Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/1978 tentang petunjuk pengisian kolom agama pada KTP, yang antara lain disebutkan bahwa agama yang diakui pemerintah ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha. Itupun—seperti diungkap Mahfud MD–punya masalahnya sendiri. Surat Edaran Mendagri seharusnya hanya berisi petunjuk teknis meliputi cara pengisian, bentuk penulisan huruf, kode blangko, penjelasan kolom-kolom, jumlah rangkapan, dan petunjuk tindakan untuk instansi tertentu, maka tidak boleh mengandung kebijakan baru yang bukan wewenang Mendagri (Mahfud MD, 2009).
Kedua, jika dihubungkan dengan prinsip kebebasan beragama yang sudah seharusnya kita adopsi sebagai negara yang telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), maka pembatasan jumlah agama ini merupakan masalah serius. Karena, pembatasan agama berarti pembatasan hak memilih agama sesuai hati nuraninya. Padahal, jutaan orang di negeri ini merasa tak satupun dari enam agama itu sesuai dengan hati nuraninya.
Ketiga, pembatasan jumlah agama ini melawan fitrah agama, sekaligus fitrah negara dalam sistem demokrasi.
Menteri Agama mengkhawatirkan lahirnya agama baru jika UU PNPS ini dicabut. Agama adalah sesuatu yang menyejarah, dan sejarah meniscayakan perubahan yang tak pernah berhenti. Apalagi agama secara substansial terkait dengan pikiran dan keyakinan manusia. Tidak ada yang tahu kapan pergerakan pikiran manusia ini akan berhenti dan terhenti. Bagaimana cara membatasi pikiran dan keyakinan manusia? Jadi mengapa harus khawatir dengan lahirnya agama baru? Bukankah semua agama pernah baru?
Di lain pihak, fitrah negara adalah berdiri di atas semua golongan. Negara harus netral agama, netral suku, netral ras. Favoritisme, pengutamaan satu kelompok tertentu di atas kelompok yang lain sudah jelas diskriminatif.
Keempat, pembatasan jumlah agama yang sah/diakui ini melawan realitas yang sudah terlanjur ada dalam negara ini. Adalah fakta yang tak mungkin dibantah bahwa selama ini pembatasan tersebut pada tingkat implementasi kebijakannya berwujud pemaksaan negara terhadap warganya yang bukan penganut enam agama tersebut untuk melakukan hipokrisi dengan mencantumkan identitasnya dalam KTP dengan salah satu dari enam agama tersebut. Adalah kenyataan empirik bahwa ada puluhan juta penganut Sikh, Bahai, Yahudi, penghayat kepercayaan, dan agama-agama lokal yang bahkan sudah ada sebelum enam agama itu ada, yang selama ini menjadi korban pembatasan ini.
Pembatasan ini juga mengingkari fakta bahwa kelompok mayoritas di satu negara, bisa menjadi minoritas di negara lain. Jika semua negara menerapkan kebijakan ini atas dasar jumlah penganut, tentu saja ada jutaan warga muslim yang terdiskriminasi di negara lain.
Batas Kebebasan
Sementara itu, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar juga mengemukakan, permintaan pihak LSM tersebut sama saja dengan menginginkan kebebasan yang sebebas-bebasnya tanpa adanya pembatasan (Suara Merdeka, 4 Februari). Benarkah demikian? Tidakkah belau berpikir bahwa tidak ada yang disebut dengan kebebasan tanpa batas? Bukankah pernyataan ini justru terlihat sebagai tuduhan membabi buta dengan memosisikan kelompok pemohon judicial review dalam wilayah imajinatif yang bahkan tak terpikirkan oleh mereka?
Saya sangat yakin bahwa Menteri Hukum dan HAM kita tahu betul bahwa kebebasan beragama dapat dibatasi oleh pemerintah, sebagaimana tercantum dalam ICCPR dan UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pembatasan yang mensyaratkan melalui Undang-undang itu dapat dilakukan untuk melindungi ketertiban umum, keselamatan masyarakat, kesehatan masyarakat, moral masyarakat, dan pembatasan untuk melindungi kebebasan mendasar dan kebebasan orang lain.
Saya juga sangat yakin bahwa Pak Menteri tahu bahwa kebebasan beragama adalah kebebasan yang masuk wilayah non-derogable rights. Juga bahwa wilayah pembatasan kebebasan beragama ada pada ekspresi keberagamaannya, bukan pada keyakinannya.
Jika kita keluarkan pembahasan ini dari logika hukum di atas, kita juga akan sampai pada kesimpulan ketidakmungkinan kebebasan tanpa batas itu. Kebebasan yang berbasis individu akan bertabrakan dengan kebebasan individu yang lain. Itulah salah satu batas penting yang berjalan sesuai kodrat alam, meski hukum manusia tidak dibuat sekalipun.
Jadi, marilah kita berpikir ulang tentang batas.***
Anick HT, adalah direktur eksekutif Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP).