Dalam rangka hari Solidaritas untuk Penderita Hiv/AIDs sedunia, 1 Des. 2009
SELAMA ini, narasi utama dari epidemik HIV/AIDS selalu mengambinghitamkan institusi pelacuran, pengguna napza, kaum homosexual, dan analisa rasis yang disematkan pada kebiasaan sexual kulit berwarna yang tidak sehat. Dengan pendekatan seperti ini, kita telah mengabaikan fakta bahwa penyebaran HIV/AIDS yang terjadi sekarang ini, sangat terkait dengan penerapan sistem ekonomi neoliberalisme. Karena itu, sebuah analisa tentang dampak struktural dari kemiskinan dan ketimpangan yang berkaitan dengan HIV/AIDS, sangat penting untuk menentang cara-cara rasis dan pengkambinghitaman atas korban. Pemahaman struktural ini juga dimaksudkan untuk menunjukkan pentingnya strategi penghilangan kemiskinan secara lokal dan global, sebagai senjata struktural dalam melawan pennyebaran HIV/AIDS.
Adalah fakta bahwa para pengidap HIV/AIDS di negara berkembang, tidak memperoleh pengobatan yang memadai. Kemiskinan dan utang yang disebabkan oleh diadopsinya kebijakan ekonomi negara-negara Barat, merupakan penyebab utama penyebaran penyakitb HIV/AIDS ini. Meskipun ada faktor lain yang menyebabkan penyebaran HIV/AIDS, namun secara luas disepakati bahwa wabah tersebut adalah turunan dari wabah yang lebih besar lagi, “Wabah Kemiskinan.”
Di semua negara-negara berkembang, penyebaran HIV/AIDS dan kematian yang di akibatkannya, sangat terkait dengan kemiskinan. “Kemiskinan tidak hanya menciptakan kondisi biologis untuk penyebaran infeksi, tapi juga telah membatasi pilihan-pilihan untuk melawan penyebarannya.” Dan kemiskinan di negara-negara berkembang, terutama di daerah epidemik di Afrika, sangat terkait dengan program penyesuaian struktural yang dimajukan IMF dan Bank Dunia (Structural Adjustment Programmes/SAPs). Kebijakan ini diadopsi oleh negara-negara berkembang dalam bentuk hutang luar negeri, liberalisasi perdagangan, privatisasi dan pengurangan subsidi sosial negara kepada rakyatnya, terutama dalam hal pelayanan kesehatan publik. Kebijakan IMF dan Bank Dunia tersebut telah mendorong rakyat miskin makin terjerembab dalam kemiskinan, “ SAPs meningkatkan kemungkinan rakyat miskin terinfeksi HIV dan menciptakan kondisi yang subur bagi perkembangan HIV/AIDS.”
Negara Kaya dan Pembiaran Wabah HIV/AIDS
Penyebaran wabah HIV/AIDS pada awal tahun 1980-an, sebenarnya bukan tidak bisa dicegah. Atau dikurangi resikonya yang mematikan bagi rakyat miskin, terutama di Afrika. Yang tidak ada, sesungguhnya, adalah komitmen dari negara-negara kaya untuk memberantas penyebaran penyakit ini, di negara-negara miskin.
sejak awal 1980-an hinga 1990-an, terutama di Afrika, puluhan juta orang mati karena wabah HIV/AIDS. Tetapi, peristiwa tragis itu belumlah menarik perhatian negara-negara maju, sebab korban yang mati dan terjangkit berada jauh di seberang sana. Bahkan, ada kesan, negara-negara maju seperti ‘menutup mata,’ karena problem HIV/AIDS diangap sebagai “problem Afrika,” bukan problem mereka. Bahkan, lebih jahat lagi, ketika wabah itu sedang merebak dengan cepat, negara-negara Barat malah disibukkan dengan agenda kerjasama ‘mematikan’ dengan pemerintahan di negara berkembang, yakni memajukan kebijakan penyesuaian struktural yang mengakibatkan “wabah kemiskinan global.” Kepentingan pasar bebas dikedepankan di atas kepentingan kemanusiaan.
Sesungguhnya, pemerintah Amerika Serikat dan negara-negara maju di Eropa, sudah mendapatkan informasi tentang wabah HIV/AIDS sejak pertengahan tahun 1980-an. Tetapi mereka tidak melakukan langkah-langkah signifikan untuk menghentikan penyebaran wabah tersebut hingga Konfrensi AIDS di Durban, tahun 2000. Amerika Serikat baru terlibat langsung setelah menganggap wabah itu sebagai ancaman bagi “keamanan nasional” mereka.
Karena HIV/AIDS dipandang sebagan “ancaman nasional,” tidak heran bila dinas rahasia CIA yang pertama kali diterjunkan untuk melakukan kajian. Pada tahun 1987, dalam laporan berjudul ““The Global AIDS Disaster,” CIA memprediksikan bahwa pada tahun 2000 infeksi HIV/AIDS akan menjangkiti 45 juta orang, sebagaian besar di Southern Afrika. Prediksi laporan ini ternyata hampir akurat. Ketika dikeluarkan, laporan ini tak mengalami penyangkalan dari berbagai pihak di pemerintahan. Bahkan, pihak militer Amerika menyatakan kegembiraannya dengan prediksi tersebut. “, Oh, it will be good because Africa is overpopulated anyway.”
Dan gilanya lagi, Bank Dunia bahkan pernah mengangggap kematian akibat epidemik AIDS menguntungkan secara ekonomis. Seperti termuat dalam sebuah laporanya pada bulan Juni 1992. “ Jika dampak paling utama dari epidemik AIDS adalah mengurangi angka pertumbuhan penduduk, berarti itu akan meningkatkan pertumbuhan pendapatan per kapita. ”
WHO sendiri pada saat itu belum mempunyai program serius utnuk HIV/AIDS, selain meramalkan bahwa 10 juta orang akan mati hingga tahun 2000. Sebuah jumlah kematian manusia non-perang tertinggi dalam sejarah umat manusia, dijadikan prediski statistik, karena tidak ‘berdampak’ secara langsung pada masyarakat makmur negeri-negeri maju. Baru pada tahun 1996, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) berhasil mendirikan UNAIDS program. Pada saat itu, UNAIDS didirikan dengan mitra World Bank, WHO, and UNICEF yang mengucurkan dana untuk program AIDS dari $225 juta hingga $400 juta. Padahal, menurut William H. Foege, direktur Centers for Disease Control and Prevention (CDC), pada tahun 1990an dibutuhkan dana sekitar 3 milyar dollar AS untuk memerangi AIDS secara global.
Sumbangan negara maju untuk UNAIDS juga kecil di program awal tahun 1996-98. Amerika Serikat yang menyediakan dana 124.5 juta dollar untuk pencegahan AIDS, hanya sedikit yang mengalir ke Afrika, pusat epidemik dan kematian korban AIDS. Menurut Harvard’s Center for International Development, antara tahun 1996 hingga 1998, bantuan finansial dari negara-negara kaya untuk menangani epidemik AIDS di sub-Sahara Afrika, hanya berkisar antara $69-140 juta dolar pertahun. Artinya tiap korban HIV/AIDS hanya mendapat biaya pengobatan 3 dolar perorang tiap tahun.
Bila saja dana negari-negeri maju yang berlimpah turun sejak awal, maka korban kemanusiaan non perang yang sangat eksesif bakal bisa dikurangi dan dicegah penyebarannya. Menurut data UNAIDS, diseluruh dunia pada tahun 2007, terdapat 32.8 juta orang yang terinfeksi HIV dan 2 juta orang meninggal karena Aids. Sekitar 80 persen dari kematian ditahun 2007, terjadi di Sub-Sahara Afrika, sebuah kawasan dimana 2/3 orang dewasa terinfeksi HIV dan 90 persen anak-anak kerkena HIV.
Neoliberalisme dan Wabah HIV/AIDS
Seperti diungkapakan di atas, paket SAPs yang diusung oleh rejim neoliberal sejak awal tahun 1980-an, turut memberi andil besar dalam proses pemiskinan dan ketidakberdayaan negara-negara berkembang untuk mengatasi wabah epidemik HIV dan AIDS.
Salah satu proposal dari ekonomi neoliberal adalah meliberalisasi dan memprivatisasi seluruh aspek kehidupan umat manusia dalam logika pasar bebas dan hubungan dagang. Dalam hal ini ada dua proyek neoliberal yang secara langsung berimbas pada penanganan HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya di dunia berkembang, yaitu pemotongan subsidi kesehatan oleh negara dan privatisasi pelayanan kesehatan kepada swasta. IMF dan BD mengajukan pemotongan subsidi dan privatisasi dengan logika bahwa subsidi membebani anggaran negara dan tidak sejalan dengan semangat kompetitif pasar bebas.
Sebagai solusinya, pelayanan kesehatan kepada publik harus diswastanisasi. Selain itu pelayanan kesehatan menjadi bisnis dengan motivasi mendapatkan profit. Akibatnya, akses dan hak rakyat miskin untuk mendapatkan fasilitas kesehatan yang layak, berkualitas dan murah (bahkan gratis) dihilangkan. Bank Dunia telah merekomendasikan berbagai bentuk privatisasi dalam sektor kesehatan, privatisasi perawatan kesehatan telah memotong akses kepada berbagai pelayanan mendasar bagi rakyat miskin. Penerapan prinsip-prinsip pasar dalam perawatan kesehatan telah mentransformasikan pelayanan kesehatan dari pelayananan publik menjadi komoditi swasta. Akibatnya akan meniadakan akses bagi orang miskin yang tak mampu membayar pelayanan swasta.
Kebijakan lain dari IMF dan Bank Dunia yang mematikan adalah politik utang luar negeri. Akibat jeratan utang luar negeri ini, anggaran negara-negara berkembang, terutama di sub-sahara Afrika, yang menjadi kawasan dengan korban HIV/AIDS, harus dipangkas besar-besaran. Anggaran negara di kawan itu, sebagian besar justru ditujukan untuk membayar cicilan dan bunga utang luar negeri.
Misalnya, pada tahun 2000, utang luar negeri negara-negara sub-Sahara Afrika kepada IMF, World Bank, dan Negara-negara kaya mencapai 227 milyar dollar, dengan cicilan tahunan mencapai 14.5 miliar dolar. Ini setara dengan 5% of GDP and 15% pendapatan ekspor. Akibatnya, anggaran negara-negra tersebut lebih banyak digunakan untuk membayar hutang ketimbang membiayai pelayananan publik kepada orang miskin. Ambil contoh Uganda, yang menghabiskan 1.6 persen GDP untuk kesehatan dan 2.4 persen untuk cicilan utang; Zimbabwe 3.4 persen dan 10.3 persen; Zambia 3.2 persen dan 9.8 persen.
Kepentingan Kapitalisme Farmasi
Perusahaan farmasi multinasional sangat sedikit perhatiannya pada wabah penyakit tropis. Bukan karena ilmu pengetahuan tak dapat menjangkaunya, tapi karena dianggap bukan merupakan pasar yang menguntungkan. Perusahaan Farmasi beralibi, mereka tak mendapatkan balik biaya atas investasi riset yang dilakukan. Tanggung jawab perusahaan farmasi adalah kepada para pemegang saham yang tahunya dalam laporan tahunan harus mendapatkan deviden bukan kepada proyek kemanusiaan.
Perusahan farmasi banyak melakukan riset pada sakit jantung, cancer Alzheimer’s dan beragam obat kuat seperti viagra, yang memenuhi pasar obat-obatan. Korporasi farmasi menganggap, penanganan wabah tropis tidak menguntungkan mereka, karena kebanyakan mereka yang terkena wabah adalah orang-ornag yang sangat miskin. Dikantor pusat berbagai perusahaan obat terkenal, poster humas memberikan gambaran bahwa perusahaan menaruh perhatian pada kemanusiaan dan berkomitmen untuk merawat mereka yang sakit. “Apa yang tidak mereka katakan adalah bahwa kemanusiaan mereka tergantung dari isi kantong si pasien.”
Perusahaan farmasi juga mempunyai jaringan loby yang kuat kepada pengambilan keputusan politik di parlemen dan pemerintahan negara-negara kaya. Jalur loby tersebut digunakan untuk melindungi kepentingan mereka diseluruh dunia seperti hak paten yang ketat, memonopoloi produk obat-obatan, memberikan harga yang tinggi bagi obat-obatan dan pelayanan medis.
WTO, Hak Paten dan Intellectual Property
Demi kepentinganmenjaga citra, sekarang mulai banyak perusahaan farmasi memberikan bantuan obat-obatan untuk AIDS dan obat-obatan lainnya dengan harga murah. Mereka juga mendonasikan uang untuk berbagai insisiatif global. Tapi, ironisnya, perusahaan farmasi tidak mau beranjak pada isu fundamental yang sangat dibutuhkan oleh negara-negara berkembang seperti; akses untuk obat-obatan yang penting, isu hak paten dan, hak negara miskin untuk mengembangkan pengobatan alternatif.
Salah satu benteng perusahaan Farmasi untuk mendesakan kepentingannya secara global, adalah kebijakan global menyangkut hak paten dan intelektual property yang diputuskan oleh World Trade Organization (WTO). Sudah menjadi rahasia umum bahwa WTO adalah alat dari negara maju dan perusahaan multinasional, untuk memaksakan kepentingan ekonomi dan politiknya atas negara-negara berkembang.
Pada tahun 1994, WTO mengadopsi TRIPS (Trade-Related Aspects of Intellectual Property). Obat-obatan termasuk didalamnya pada bagian aturan paten. Dalam aturan paten tersebut, perusahaan multinasional Farmasi diberikan hak memonopoli obat-obatan yang dapat menyelamatkan kehidupan manusia hingga 20 tahun. Negara miskin yang membutuhkan obat-obatan harus menunggu 20 tahun untuk dapat merasakan keuntungan dari obat-obatan tersebut. Negara-negara berkembang harus mengadopsi aturan TRIPS hingga tahun 2006.
Aturan TRIPS untuk obat generik juga dibatasi hanya untuk kepentingan domestik bukan untuk ekspor. Namun, pada prakteknya, perusahaan farmasi juga menolak pengembangan obat generik untuk AIDS seperti yang terjadi di India, Thailand, dan Afrika Selatan. Kebijakan ini berarti negara yang tidak mempunyai industri farmasi yang padat modal, tetap harus mengimpor obat-obatan dari perusahaan multinasional. Mereka tak diperbolehkan mengimpor obat generik dari negeri berkembang yang sudah mengembangkan obat generik untuk AIDS.
Pada pertengahan tahun 1999, kepentingan perusahana farmasi multinasional meloby pemerintahan Bill Clinton, untuk memberikan sangsi ekonomi kepada Afsel, karena keberhasilan pemerintah Afsel mengadakan obat generik yang murah untuk memerangi AIDS. Pharmaceutical Research and Manufacturers of America (PhRMA) and perusahaan farmasi seperti Bristol-Myers Squibb, Glaxo-Wellcome, and Pfizer yang terkenal dengan prosuksi obat-obatan untuk AIDS, menuduh Afsel telah melanggar auran paten dan intelektual property, seperti yang disepakati dalam WTO. Namun, tentu saja mudah ditebak, dibalik tekanan politik tersebut adalah ketakutan mereka akan direbutnya pasar obat-obatan yang mereka monopoli.
Penutup
Pemberantasan wabah HIV/AID yang mendapatkan dukungan luas sekarang ini, tetap saja belum menyentuh sebab yang menajdi dasarnya yaitu kemiskinan, yang diakibatkan ketimbangan ekonomi akibat diterapkannya sistem ekonomi neoliberal sejak awal tahun 1980-an. Sistem ini telah melahirkan ‘wabah kemiskinan global’ yang menjadi induk bagi berkembang biaknya segala jenis penyakit mematikan di negeri-negeri berkembang dan ketidakmampuan rakyat miskin mendapatkan obat dan perawatan mediis yang berkualitas dan murah.
Lembaga-lembaga ekonomi kapitalis seperti Bank Dunia, IMF dan WTO, sebagai alat dari kepentingan negara maju dan perusahaan multinasional, mengambil peran besar dalam proses wabah kemiskinan global ini. Karena itu upaya penanganan HIV/AIDS juga terkait dengan penanganan problem kemiskinan global dan mendemokratiskan relasi ekonomi antara negara maju dan negara berkembang. Selama ketimpangan ekonomi tetap langgeng, selama itu pula pemberantasan penyakit HIV/AIDS, hanya merupakan kebijakan di atas kertas.***
Wilson