DI tengah-tengah geger kasus bailout Bank Century, tiba-tiba publik dikejutkan oleh keputusan dungu Kejaksaan Agung (Kejakgung), yang melarang peredaran atas lima buku. Tindakan, Kejakgung ini bukanlah yang pertama dan mungkin pula bukan kali terakhir. Celakanya, tidak ada alasan yang jelas, tegas, dan pasti mengapa kebijakan pelarangan itu dikeluarkan. Alasan yang digunakan oleh Kejakgung, selalu sama sejak dari jaman rejim Orde Baru, bahwa buku-buku tersebut meresahkan, mengganggu ketertiban dan keamanan masyarakat.
Terhadap kebijakan yang dungu disertai alasan yang tak kalah bodohnya, Coen Husain Pontoh dari IndoPROGRESS, mewawancarai pengacara hukum Habiburokhman SH dari Habib & Co Law Firm. Berikut petikannya:
IndoPROGRESS (IP): Secara hukum apa pendapat anda soal kebijakan pelarangan peredaran lima buku oleh Kejaksaan Agung (Kejakgung) tersebut?
Habiburokhman (H): Tindakan tersebut merupakan pelanggaran serius atas Pasal 28 huruf E ayat (2) Konstitusi kita yang berbunyi:
“Setiap orang dijamin atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya “.
Selain itu, pelarangan tersebut melanggar ayat (3) Konstitusi kita (UUD 1945) yang berbunyi :
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Tindakan tersebut juga merupakan pelanggaran terhadap Pasal 23 ayat (2) UU HAM Nomor 39 Tahun 1999 yang berbunyi:
“Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara.”
IP: Pihak Kejakgung menyatakan, alasan pelarangan itu karena kelima buku tersebut mengganggu keamanan dan ketertiban umum. Apakah alasan ini benar secara hukum? Apa ukurannya?
H: Tidak ada tafsir yang jelas dalam produk perundang-undangan kita mengenai keamanan dan ketertiban umum. Selama ini, dalam mengeluarkan kebijakan pelarangan buku, Kejaksaan Agung juga jarang sekali secara jelas dan detail menyebutkan dasar hukum (peraturan) yang digunakan untuk melakukan pelarangan buku tersebut. Jadi apa yang selama ini terjadi dengan pelarangan buku oleh Kejaksaan Agung, hanyalah keputusan politik yang tidak jelas sanksi hukumnya jika dilanggar.
IP: Apakah dasar hukum bagi kebijakan pelarangan peredaran lima buku itu, masih relevan dengan kondisi saat ini?
H: Beberapa kali Kejaksaan Agung menggunakan Pasal 30 ayat 3 huruf c UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang berbunyi:
“Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut meyelenggarakan kegiatan:c. Pengawasan peredaran barang cetakan;” untuk melegitimasi pelarangan buku.
Selanjutnya penjelasan Pasal tersebut berbunyi:
“Yang dimaksud dengan “turut menyelenggarakan” adalah mencakup kegiatan-kegiatan bersifat membantu, turut serta, dan bekerja sama. Dalam turut menyelenggarakan tersebut, kejaksaan senantiasa memperhatikan koordinasi dengan instansi terkait.”
Jika dilihat dari pasal tersebut, maka kewenangan Kejaksaan hanyalah “turut menyelenggarakan kegiatan pengawasan barang cetakan.”
Artinya Kejaksaan Agung hanyalah pihak yang “membantu, turut serta dan kerja sama dengan” instansi lain untuk “mengawasi” peredaran barang cetakan.
Jadi UU Kejaksaan Nomor 16 Tahun 2004 pun sejatinya sama sekali tidak memberikan kewenangan kepada Kejaksaan Agung untuk melarang penerbitan buku.
Meskipun begitu, menurut saya, Pasal tersebut menjadi bertentangan dengan konstitusi karena sering dijadikan dasar hukum untuk melarang peredaran dan penerbitan buku dan oleh karenanya pasal tersebut bisa diajukan pembatalannya ke Mahkamah Konstitusi.
Pasal tersebut juga tidak lagi relevan dengan semangat penegakkan hukum dan HAM dewasa ini. Pasal tersebut hanya relevan di era penjajahan .
IP: Kebijakan pelarangan buku ini sudah berulangkali terjadi, dan eksekusi di lapangan tidak efektif untuk mencegah peredaran buku-buku yang dilarang. Lalu, buat apa membuat kebijakan hukum yang tidak efektif? Apa tujuannya?
H: Dengan kemajuan teknologi, memang tindakan pelarangan buku tidak lagi efektif. Namun, jikapun tindakan tersebut tetap dilakukan, latar belakangnya pasti kegelisahan politik sang pengambil kebijakan atas terbitnya buku tersebut.
IP: Secara hukum, langkah apa saja yang bisa dilakukan untuk mencabut atau membatalkan kebijakan pelarangan buku tersebut?
H: Langkah hukum yang bisa dilakukan adalah dengan menggugat Presiden dan Jaksa Agung, karena telah melakukan perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechmatige overheid daad) sebagaimana diatur Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Selain itu juga bisa dilakukan pengajuan permohonan uji materi terhadap pasal yang sering digunakan menjadi dasar hukum pelarangan (Pasal 30 ayat 3 huruf c uu No 16 tahun 2004) tentang Kejaksaan.***