UPAYA pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Budiono dalam melemahkan lembaga Komisi Pemberantaran Korupsi (KPK), terus memicu kritik. Pemerintah tampaknya, salah berhitung. Aksi-aksi mereka yang tidak elok, telah memicu munculnya gelombang demonstrasi terbesar dalam satu dekade terakhir.
Rakyat melihat, usaha pemerintah melemahkan KPK, hanya menunjukkan bahwa pemerintahan SBY-Boediono, tidak memiliki komitmen yang tegas dalam memberantas korupsi. Jika sebelumnya, sikap peragu dan lamban yang menjadi ciri khas SBY dianggap sebagai kekuatannya, kini ciri khas itu justru menjadi titik lemahnya. SBY kini dituding tengah menyembunyikan kasus korupsi yang lebih besar. Jika ia gagal meyakinkan rakyat bahwa pemerintahnya sanggup memberantas korupsi tanpa pandang bulu, maka ia harus bersiap menghadapi gelombang tsunami demonstrasi.
Bagaimana gerakan progresif merespon dan mengadvokasi kasus-kasus semacam ini? Untuk menjawabnya, Coen Husain Pontoh dari IndoPROGRESS, mewawancarai Luky Djani, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), kini sedang melanjutkan studi doktoral di Murdoch University, Australia. Berikut petikannya:
IndoPROGRESS (IP): Bagaimana menjelaskan terbongkarnya tindak korupsi, yang sanggup memobilisasi aksi perlawanan beberapa saat lalu?
Luky Djani (LD): Pertikaian yang sekarang memuncak dengan label cicak vs buaya sebenarnya sudah berlangsung lebih dari 1 tahun. Ini tampak dari upaya sistematis untuk pelemahan (bahkan penihilan) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mengapa publik (atau tepatnya online-ers) bereaksi? Karena aksinya sudah terlalu kasar dan benderang
IP: Mengapa KPK perlu dilemahkan, padahal institusi ini berguna buat mendongkrak citra pemerintahan yang tak kunjung mampu menyelesaikan masalah krisis ekonomi?
LD: Setiap instrumen jika ‘keluar’ dari kontrol dan proyeksi dari yang berkuasa tentunya akan dikendalikan. Jika tidak akan menjadi senjata makan tuan. Upaya secara halus sebenarnya sudah dicoba dengan memasukkan ‘orang-orang’ ke dalam KPK. Strategi infiltrasi sudah diupayakan. Tapi karena mayoritas staf KPK punya komitmen dan resistensi atas upaya ini, menyebabkan taktik infiltrasi itu tidak maksimal. Juga desakan dan tuntutan publik yg berkelanjutan agar KPK terus bertindak benar, menjadi penjaga koridor laju KPK.
Yang menarik, tanpa keberhasilan KPK pun, rezim demokrat berhasil memperdaya hati pemilih. Dengan segenap sinyal dan tindakan (semu) atas komitmen anti korupsi, sudah cukup untuk memikat hati pemilih. Pesona SBY kan lebih besar dari substansi dan kinerja pemerintahannya sendiri. Memang ada klaim atas pencapaian KPK oleh penguasa. Seolah-olah keberhasilan KPK adalah keberhasilan pemerintah/demokrat.
Selain itu, pembatasan periode membuat SBY nothing to loose. Mau bagus atau buruk kinerja Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, tidak ada pengaruh bagi keberlanjutan karir pribadi SBY (gak tau apakah dia punya ambisi utk tetap bertahan dan memupuk dinasti).
IP: Tetapi, lembaga macam KPK ini kan lahir sebagai hasil dari reformasi, bukan inisiatif pemerintah yang berkuasa. Bagaimana anda menjelaskan ini? Realitas politik seperti apa yang terjadi selama 10 tahun ini, dari segi pemberantasan korupsi?
LD: Betul, lembaga-lembaga state auxiliary bodies (KPK, KPI, LPSK, KPPU, Ombudsman, dsb) memang eksis karena hasil reformasi. Justru itu, karena penguasa tidak merasa penting seperti layaknya DPR, atau Kejaksaan, maka keberadaan lembaga-lembaga tersebut hanya sebatas aksesoris. Ini berbeda dengan MK yang memang dimandatkan dlm UU.
Keberadaan lembaga-lembaga ini juga sebagai sinyal bahwa pemerintah ‘paham’ akan trend demokratisasi global, yakni sebagai mesin kelembagaan. Bagi penganut reformasi kelembagaan, keberadaan lembaga-lembaga ini sudah cukup bagi prasyarat hadirnya check and balance, rule of law, good governnace, dsb. Dengan mengikuti trend, pemerintah tetap bisa masuk dalam kategori negara demokrasi (liberal), juga tetap mendapatkan bantuan kerjasama antar pemerintah maupun dengan agen-agen pembangunan.
IP: Kalau begitu, mesti ada perombakan besar dan mendasar secara kelembagaan demokrasi, jika ingin pemberantasan korupsi lebih maju lagi?
LD: Bung, korupsi kan, salah satu indikator, untuk penera kualitas demokrasi. Masalah utama di Indonesia, instrumen dan mekanisme demokrasi (walau liberal) dikuasai oleh predatory elite (elite pemangsa).
Ruang politik yang ada saat ini cukup terbuka, tetapi yang memanfaatkannya secara sadar adalah para elite. Karena saat ini itulah satu-satunya jalan bagi mereka untuk survive. Permasalahan timbul karena ruang demorkasi beserta instrumennya dipakai dengan menggunakan budaya, mekanisme dan instrumen “old politics”. Jadi walau kelembagaan diperbaiki, ditambah, dan diperindah tetapi kalau yang menggunakannya tetap elite pemangsa, hasilnya akan tetap sama. Korupsi, eksploitasi SDA, dan hegemoni penguasa atas kelompok marginal, minoritas akan tetap ada.
IP: Bisa diterangkan sedikit apa itu ciri elite pemangsa dan bagaimana mereka bekerja?
LD: Elite Pemangsa mungkin lebih kepada terminologi teoritis. Saya sendiri memahami dan mengembangkannya dari uraian C. Wright Mills dalam bukunya “The Power Elite.” Dalam pemahamanku, elite pemangsa ini mempunyai karakter, “codes,” jaringan kerja dan sumberdaya seperti yang digambarkan Mills. Tetapi dalam beroperasi mereka memonopoli, menghegemoni, mengeksploitasi kelembagaan dan instrumen negara yang ada dan tidak jarang menggunakan kekerasan.
Kartel atau bossisme hanya ‘ciri’ berdasarkan konteks dan kemampuan penguasaan. Kartel, kalau kita ikuti pendapatnya Dan Slater, terjadi jika kelompok-kelompok elite ‘berbagi’ kekuasaan, wilayah dan sektor ‘jarahan’ serta bekerja dalam relasi yang setara. Sedangkan “Boss” dalam perspektif James T. Sidel, mengacu pada perorangan atau satu kelompok yang memonopoli wilayah tertentu.
IP: Bisa berikan contoh konkret ciri dari elite pemangsa ini?
LD: Cirinya bisa di temui di DPR, istana dan bisnis kroni
IP: Jika korupsi dalam sistem demokrasi liberal ini merupakan konsekuensi dari keberadaan elite pemangsa, berarti penyelesaian korupsi lebih merupakan penyelesaian politik (pergantian sistem atau kelembagaan politik) ketimbang hukum?
LD: Penegakan hukum masih diperlukan untuk menegaskan ‘batasan’ mana yang “hitam-putih” tanpa abu-abu. Juga untuk memberi sanksi bagi semua yang bersalah agar tidak ada impunitas.
Tetapi, jika terus mengandalkan aspek penegakan hukum seperti yang selama dilakukan, sangat tidak memadai. Gerakan anti korupsi lantas menjadi gerakan mengejar koruptor dan menjeblosan ke penjara. Kelemahan utama dari strategi ini terletak pada lingkungan hukum itu sendiri. Lembaga, aparatur, perangkat perundangan dan prosedur beracara masih sangat rapuh dan jelas tidak kebal intervensi baik politik, finansial maupun tekanan secara fisik. Untuk itu perlu ada gerakan yang secara sistematis berupaya untuk menggantikan elite pemangsa ini dan kemudian merombak struktur yg mendiskriminasi dan mendominasi. Memang di banyak tempat, bermunculan upaya gerakan alternatif baik yang bertumpu pada politik elektoral maupun non-elektoral. Pengorganisasian kelompok korban, marginal, maupun kepentingan (publik) perlu dijadikan fokus, agar kelompok terorganisir ini dapat mengimbangi elite pemangsa yngg selama ini mengakuisisi ruang politik. Tanpa ada perubahan struktur politik (dan ekonomi), level lapangan permainan antar kelompok kepentingan, agenda pemberantasasn korupsi selalu tergantung kepada belas kasih elite. Lebih tepatnya, kita hanya bertumpu pada keinginan politik penguasa.***