Awal
TERDAPAT optimisme yang kuat dari sejumlah peneliti dan pengamat gerakan Islam, bahwa gerakan Islam adalah suatu kekuatan besar yang dapat menjadi elemen penting dari perubahan sosial di Indonesia. Kajian Hefner, misalnya, menyoroti tentang kekuatan kelompok Islam sipil dan demokratik sebagai tulang punggung demokrasi di Indonesia (Hefner 2000; Ramage 2002). Telaah serupa, dengan tekanan yang berbeda, juga pernah disuarakan oleh Eko Prasetyo yang menyebut bahwa kelompok Islam fundamentalis juga memiliki modal sosial yang tak kalah berharganya: barisan massa yang aktif dan militan, sikap oposisional terhadap imperialisme Barat, serta gaya hidup yang bertolak belakang dengan kultur kapitalisme (Prasetyo, 2003). Lalu, bagaimana situasi yang terjadi hari ini? Masihkah gerakan Islam mampu menjadi tulang punggung penantang kekuasaan? Ataukah gerakan-gerakan ini hanya melayani kekuasaan? Lalu bagaimana gerakan Islam mesti meletakkan diri?
Beberapa tahun setelah kajian-kajian tersebut diluncurkan, kita mendapati suatu fenomena yang kurang lebih seragam. Fenomena itu menunjukkan gambaran yang suram: tak ada satu pun dari spektrum gerakan Islam itu yang benar-benar menjadi kekuatan perubahan sosial. Kebanyakan gerakan Islam tak sanggup lepas dari jejaring kekuasaan, sementara yang lainnya tak sanggup mengembangkan kapasitasnya sebagai gerakan yang berbasis-massa dan progresif. Kekuasaan, dalam tulisan ini, tidak hanya bermakna kekuasaan politik, seperti negara, tetapi juga kekuasaan ekonomi yang berwujud kapitalisme-neoliberal. Kekuasaan juga dimaknai sebagai sesuatu yang bersifat diskursif maupun praksis, berupa wacana-wacana, politik asosiasi, maupun relasi-relasi kelembagaan.
Kelompok kelas menengah muslim (atau yang disebut Hefner sebagai sipil-demokrat muslim) tak dapat benar-benar menjadi sebuah kekuatan pengimbang yang tangguh bagi kekuasaan negara dan pasar. Benar bahwa kelompok ini dapat bersikap sangat kritis terhadap berbagai kebijakan negara, tetapi di saat yang sama kritisisme itu justru menjadi landasan untuk berpihak pada kekuatan pasar. Kritisisme itu menjadi suatu alat untuk melucuti kekuasaan negara dan melempangkan jalan bagi kapitalisme neoliberal.
Pendeknya, pola yang terjadi bagi sebagian kelompok ini adalah: sangat kritis terhadap kekuasaan negara, tetapi membuta pada kekuasaan kapitalisme neoliberal. Bahkan, kelompok ini cenderung mengambil-alih, mengabsorpsi, dan mereproduksi wacana kekuasaan dan terlibat penuh di dalam jejaring dan elemen-elemennya. Sebagian besar kelas menengah muslim yang tergabung di dalam organisasi masyarakat sipil seperti JIL menunjukkan praktik semacam itu. Dalam sebuah debat tentang kenaikan BBM, misalnya, Ulil Abshar-Abdalla menyebutkan dukungannya terhadap sistem pasar yang bersendikan kapitalisme-multikulturalisme-demokrasi. Sistem pasar, menurut Ulil, akan memberikan masyarakat kebebasan, kesejahteran dan keadilan. Melalui kapitalisme-lah, menurut Ulil, orang akan mencecap pengalaman kebebasan, seperti pengalaman orang berbelanja di mall yang memiliki banyak pilihan komoditas dan barang-barang (Pontoh, 2008).
Hal yang sama terjadi pula pada sebagian kelas menengah NU dan Muhammadiyah. Sebagian besar dari kelompok kelas menengah ini menyeburkan diri dengan wacana dan praksis kekuasaan dengan pola: hirau pada wacana-wacana good governance, civil society, clean governement, dan abai pada wacana tentang privatisasi, liberalisasi perdagangan, dan kemiskinan struktural.
Relasi gerakan Islam sipil ini disemai melalui pertemuannya dengan sejumlah funding agencies. Alih-alih bersikap kritis, berbagai gerakan Islam ini justru mengabsorpsi tanpa sikap kritis wacana-wacana kekuasaan (Ridwan 2008; Qodir 2008). Dengan standing position semacam ini, maka sebagian besar kelompok kelas menengah muslim ini cenderung menjadi ‘satpam ideologis’ bagi kekuasaan kapitalisme neoliberal.
Lalu, apakah kelompok Islam fundamentalis dapat menjanjikan hal yang berbeda? Kelompok inikah yang bisa menjadi sandaran untuk melawan kekuasaan kapitalisme yang semakin menggurita? Sepintas, modal sosial untuk politik resistensi sangat melimpah di kalangan ini. Berbasis massa yang aktif dan radikal, visi yang anti imperialis (anti-Amerika atau anti-Barat), dan gaya hidup puritan yang mengingkari budaya kapitalisme.
Namun, bagaimanakah esensi gerakan Islam radikal? Visi yang sangat menonjol dari berbagai gerakan Islam radikal adalah keyakinannya bahwa Islam, berbeda dengan Kristen dan peradaban Barat, memiliki kekhasan (specificity) yang sungguh berbeda dari peradaban Barat. Kekhasan itu berupa pengingkaran terhadap sekularisme dan perjuangan untuk menempatkan agama sebagai pemandu kehidupan negara. Dasar inilah yang menjadi basis bagi sikap-sikap kritis dan anti-Amerika atau anti-imperialisnya kelompok Islam radikal. Kelemahan utama dari standing position semacam ini adalah: argumennya tidak dipijakkan pada realitas yang konkret. Dengan kata lain, argumennya berangkat dari perbenturan “kultur dan moralitas” dan dialasi oleh “dogma”, ketimbang berangkat dari persoalan tentang “alienasi, eksploitasi dan ketertindasan manusia dan masalah kemanusiaan”.
Hal inilah yang memungkinkan gerakan dan politik Islam radikal absen dari pembelaan terhadap konflik-konflik struktural yang dialami oleh masyarakat tertindas dalam melawan kapitalisme global. Kebanyakan dari pemimpin dan aktivis gerakan Islam radikal tidak menganggap penting perjuangan kaum buruh membebaskan dirinya dari belenggu outsourcing; memicingkan mata terhadap penggusuran atas kaum miskin kota; mengabaikan perjuangan dan hak untuk mendapatkan tanah, pangan dan kehidupan dari petani miskin dan tunakisma; menistakan perjuangan untuk merebut ruang hidup (landscape) dan budaya sendiri dari masyarakat adat; serta seringkali memusuhi dan menyerang perjuangan rakyat (popular struggle) dan perjuangan untuk penegakan HAM seringkali dengan tuduhan meneguhkan kembali marxisme atau komunisme.
Dengan corak keyakinan dan gerakan semacam itu, maka gerakan Islam radikal seringkali memosisikan dirinya sendiri sebagai salah satu aliansi dan mata-rantai kekuasaan kapitalisme dan imperialisme. Di Indonesia, hal ini ditunjukkan oleh serangan-serangan brutal kelompok Islam radikal terhadap demonstrasi kaum buruh dan kaum miskin kota; serangan terhadap demonstrasi menentang UU PMA (Penanaman Modal Asing); serangan dan pengutukan terhadap demonstrasi anti-UU Sisdiknas yang berwatak neoliberal; serta yang terakhir, pelecehan sebagian kelompok Islam radikal terhadap kasus pembunuhan Munir dan dukungan membuta terhadap elit-elit tentara. Di Mesir, kelompok Ikhwanul Muslimin, misalnya, menolak reforma agraria dan mendukung undang-undang pertanahan yang menguntungkan pemilik tanah dan merugikan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dari petani penyakap dan penggarap (Amin 2008). Ada juga beberapa bentuk-bentuk resistensi terhadap “imperialisme”, ditunjukkan oleh perlawanan gerakan-gerakan Islam terhadap penyerangan Amerika terhadap Iraq dan aksi terorisme Israel terhadap Gazza, tetapi resistensi itu tidak dilakukan dalam rangka penolakan terhadap “sistem kafir Barat”, terhadap “negara Yahudi dan Amerika”, ketimbang terhadap suatu logika menyeluruh dari sistem imperialisme.
Karena itu, dalam beberapa hal ekspresi yang muncul dari gerakan Islam radikal adalah reaksioner. Hal ini dimungkinkan karena kelompok ini meskipun kadangkala melakukan resistensi terhadap wacana dan praksis kekuasaan, tetapi tidak bersifat total, tidak menyentuh elemen kunci dari sistem kekuasaan, dan karenanya menjadi bagian dari reproduksi relasi kuasa. Karenanya, sadar atau tak sadar, kelompok Islam radikal justru seringkali menjadi alat kekuasaan atau bahkan aparatus represif dari kapitalisme neoliberal.
Akhir
Dua pola relasi kuasa di atas menunjukkan bahwa gerakan dan politik Islam sesungguhnya belum beranjak jauh. Gerakan Islam masih menjadi pelayan dari kekuasaan yang berkembang saat ini. Karenanya, diperlukan suatu upaya yang lebih serius agar gerakan Islam bisa menjadi bagian dan berpartipasi dalam penciptaan dunia yang lebih baik: dunia di luar kapitalisme neoliberal dan imperialisme; agar gerakan Islam dapat menjadi bagian dari cita-cita progresif pembebasan manusia dari akumulasi dengan penghisapan dan penjarahan yang dilakukan oleh kapitalisme; agar gerakan Islam menjadi bagian dari perjuangan untuk keadilan sosial, politik dan ekonomi. Untuk melangkah ke arah itu, maka jenis relasi yang mesti dikembangkan oleh gerakan Islam terhadap kekuasan adalah resistensi total terhadap wacana, praktik dan relasi kekuasan.
Untuk menjadi gerakan semacam itu, maka ada beberapa langkah yang mesti dikerjakan: pertama, gerakan Islam harus bersifat kritis. Gerakan mesti belajar untuk membongkar jenis-jenis kekuasaan yang bersarang dalam ranah ekonomi, politik-legal dan budaya. Gerakan Islam mesti memelajari bagaimana kapitalisme bekerja; mengurai bagaimana kapitalisme melakukan akumulasi dengan eksploitasi, penghisapan dan penjarahan; mengamati bagaimana sistem politik-legal melayani kelas berkuasa; menelaah bagaimana budaya menjadi alat bagi penundukan, penanaman kesadaran palsu, dan hegemoni. Proses belajar ini mutlak dilakukan!. Tanpa analisa sosial yang tepat, maka gerakan bisa jadi hanya kembali mereproduksi wacana dan praktik kekuasaan saja.
Kedua, gerakan Islam mesti berwatak transformatif. Setelah memahami mekanisme kekuasaan, maka gerakan Islam juga mesti mengembangkan prakarsa-prakarsa kritis-transformatif, dengan cara melakukan upaya pembelaan dan pemberdayaan terhadap kaum lemah da tak berdaya, membangun suatu struktur sosial, ekonomi, dan politik yang tidak eksploitatif dan manipulatif (Faqih, 2003).
Ketiga, gerakan Islam mesti menjadi bagian dari blok progresif yang berupaya untuk tata dunia yang lebih adil dan manusiawi. Gerakan Islam tidak boleh bercita-cita menggantikan kekuasaan imperialistik Amerika Serikat dengan sejenis imperialisme yang berbasis Islam. Gerakan Islam mesti menjadi bagian dari penciptaan tata dunia yang meletakkan kerjasama demokratik yang berlandaskan prinsip-prinsip saling melengkapi (dari pada berkompetisi), solidaritas (daripada dominasi), kerjasama (daripada eksploitasi) dan penghormatan kedaulatan rakyat (menggantikan kekuasaan korporasi) bagi kemajuan negeri-negeri di dunia Selatan yang lebih miskin (Soyomukti, 2005).***
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di http:dyanuardy.wordpress.com. Dimuat ulang di sini untuk tujuan pendidikan.
Kepustakaan:
Coen Husain Pontoh, “Debat tentang Kenaikan BBM di Milis JIL” dalam http://coenhusainpontoh.wordpress.com.
Douglas E. Ramage,” Percaturan Politik di Indonesia: Demokrasi, Islam dan Ideologi Toleransi,” Jogjakarta: Matabangsa, 2002.
Eko Prasetyo, “Konsep Gerakan Sosial dalam Gerakan Islam Laskar Jihad” Jurnal Wacana, Edisi 11, Tahun III, 2003.
Mansur Faqih, “Islam sebagai Alternatif” kata pengantar dalam Eko Prasetyo “Islam Kiri, Yogyakarta: Insist Press, 2002.
Nur Khaliq Ridwan, “Menjelang Seabad NU: Di Tengah Neoliberalisme Masyarakat Nahdliyin Mau Kemana?” Jurnal Mandatory, Edisi 4/tahun 4/2008.
Nurani Soyomukti, “Hugo Chavez, Revolusi Bolivarian dan Politik Radikal,” Jogjakarta: Resist Book, 2007.
Samir Amin, “Political Islam in the Service of Imperialism”, Monthly Review, December, 2007.
Robert W. Hefner, “Civil Islam: Islam dan demokratisasi di Indonesia,” Jakarta: ISEAS, 2000.
Zuly Qodir, “Globalisasi, Neoliberalisme dan The New Social Movement: Pengalaman Muhammadiyah” Jurnal Mandatory, Edisi 4/tahun 4/2008.