Islam dan Kontradiksi Pembangunan
BEGITU berkuasa, Orde Baru dengan cepat mengambil kebijakan yang keras terhadap organisasi Islam secara umum. Alasannya sangat jelas: dengan disingkirkannya komunis, Islam politik menjadi satu-satunya kekuatan di Indonesia yang memiliki potensi untuk memobilisasi diri. Munculnya kekuatan Islam yang terorganisir dengan basis akar rumput yang kuat, jelas menentang logika dasar Orde Baru – yang memulai pembangunan kapitalis di atas basis stabilitas sosial yang muncul melalui politik demobilisasi masyarakat secara luas.
Bahwa Islam yang terorganisir kemudian menjadi sasaran utama, terlihat ketika wadah pemilu kaum Muslim, Parmusi, ditolak keberadaannya pada akhir 1960an. Penolakan ini mungkin disebabkan mereka dianggap sebagai pesaing serius yang potensial bagi Golkar, alat yang digunakan Orde baru untuk menjamin sukses pemilu selama lebih dari tiga dekade. Sebagai alternatifnya, rejim Orde Baru secara artifisial membentuk partai lain bagi kalangan Muslim, yang disebut PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Partai ini berfungsi layaknya sebagai wadah pemilu “kalangan Islam” tapi, barang bikin-bikinan inipun, dengan berbagai cara, dipersulit aktivitasnya. Tujuannya, untuk meredam popularitasnya di kalangan rakyat pemilih.
Bagi para aktivis Muslim, posisi Orde Baru yang memusuhi Islam, tampak jelas dari kian meningkatnya pengaruh kalangan abangan dan Kristen di jajaran birokrasi dan militer, dan yang lebih penting, pertumbuhan cepat kelompok bisnis etnis Cina. Mereka cemas dengan kebangkitan CSIS (Centre for Strategic and International Studies) pada 1970an, sebuah lembaga tanki pemikir di bawah perlindungan langsung pembantu utama Soeharto, jenderal Ali Moertopo. CSIS juga memiliki jaringan yang kuat dengan kelompok bisnis Cina, yang mendapat sokongan negara dalam beragam perlindungan kebijakan ekonomi. CSIS adalah pengembang gagasan yang membenarkan pembangunan ekonomi di atas landasan kontrol sosial yang ketat, yang contoh terbaiknya adalah karya Ali Moertopo sendiri (Moertopo, 1973).
Penolakan terhadap Parmusi, menandakan sebuah fase baru dari berlanjutnya kekalahan kaum Muslim borjuis kecil perkotaan dan pedesaan. Di antara sekian banyak pemimpin terpenting dari kelas yang kalah ini adalah Mohammad Natsir, ketua Masyumi. Sebagai salah satu kritikus “Orde Lama” Soekarno, Natsir kemudian menjadi pengritik keras Orde Baru. Ia memainkan peran penting dalam pembangunan sebuah organisasi yang disebut Dewan Dakwah Islamiyah (DDI), yang mendedikasikan dirinya pada pengkaderan aktivis Islam ketimbang secara terbuka terlibat dalam aktivitas politik. Namun demikian, DDI kemudian muncul sebagai sumber yang paling konsisten dalam beroposisi terhadap Orde Baru, sekaligus menjadi benteng bagi penyebaran pemikiran Islam konservatif.
Dalam konteks politik yang sangat otoritarian, oposisi Islam politik sangat sering mengambil bentuk kritik yang terekspresikan melalui pengajian-pengajian dan khotbah-khotbah agama. Sementara aktivitas dakwah mengambil tempat di banyak wilayah pedesaan yang merupakan benteng pendukung PKI, dimana para petani yang hidup di daerah tersebut memperoleh alasan yang baik untuk menerima identitas Muslim guna menghindarkan diri dari tuduhan sebagai komunis, aktivitas tersebut juga bertempat di masjid-masjid yang berlokasi di daerah kelas bawah perkotaan yang padat penduduknya, seperti di Jakarta dan kota-kota lainnya. Sebagaimana dicatat Raillon (1994:211), ‘banyak masjid termasuk fasilitasnya dimaksudkan tidak hanya untuk mendukung kegiatan keagamaan tapi, juga sebagai promosi budaya dan politik sehari-hari: klinik, kultural, tempat tidur besar, kantin, toko, tempat percetakan, perpustakaan, tempat berolahraga, dsb.’ Dalam lingkungan seperti ini, beberapa individu memperoleh status sebagai selebriti bawah tanah, dimana banyak dari dakwah-dakwah mereka direkam dan diedarkan dari tangan ke tangan, khususnya di kalangan pendengar kelas bawah perkotaan yang menjadi sasarannya. Pertumbuhan kelompok sosial yang terakhir ini, merupakan produk dari perkembangan cepat kapitalisme, dan bagi mereka, dakwah yang mengutuk ketidakadilan sosial dapat diterima dengan sangat jelas.
Namun demikian, aktivitas Islam politik tidak hanya muncul dalam bentuk seperti ini. Perjuangan dalam bentuk kekerasan yang lebih terbuka, sebagai reaksi terhadap Orde baru, juga terjadi. Komando Jihad, misalnya, yang beroperasi pada akhir 1970an dan awal 1980an, digambarkan dalam propaganda Orde Baru sebagai organisasi bawah tanah yang bertujuan mengambilalih kekuasaan dengan cara-cara kekerasan, dimana tujuannya adalah mendirikan negara Islam. Komando Jihad kemudian menjadi sangat terkenal sebagai penggambaran dari beragam kelompok keras yang dirujuk dalam pemberitaan pers periode tersebut.
Abdullah Sungkar dan Abubakar Ba’asyir, yang dituduh sebagai aktor utama Jemaah Islamiyah, juga dianggap banyak kalangan memiliki jaringan dengan Komando Jihad (ICG 2002). Ketika keduanya mendirikan pesantren Al Mukmin di Ngruki dekat Solo, Jawa Tengah, pada awal 1970an, pembukaannya diresmikan oleh tak kurang Mohammad Natsir sendiri.1 Almarhum Sungkar, sangat dikenal sebagai seorang pembicara ulung dan individu yang sangat kharismatik, yang dihormati di Solo dan Jawa Tengah, karena sikapnya yang menentang Orde Baru secara terang-terangan.2
Meskipun demikian, asal-usul Komando Jihad senantiasa diliputi misteri yang gelap. Selama ini ada pendapat yang kuat bahwa organisasi ini diciptakan Ali Moertopo, sebagai pembenar bagi tindakannya menghancurkan oposisi Muslim. Salah satu pendukung klaim ini adalah Haji Wahyudin, salah seorang guru agama yang dipenjara pada 1980an, yang dituduh terlibat dalam kelompok Teror Warman. Kini, sebagai direkur Al Mukmin, ia percaya bahwa Komando Jihad “diciptakan” untuk memberangus kaum Muslim yang dianggap Orde Baru sebagai ancaman. Skemanya adalah keterlibatan mereka dalam operasi Moertopo yang “mengundang” aktivis Muslim untuk bekerjasama dalam koalisi melawan komunis, yang mereka percayai, sedang dalam proses membangun kembali kekuatannya pasca kegagalan di tahun 1960an.3 Perlu dicatat, dua anak lelaki Kartosuwiryo, pemimpin asli DI, pernah diadili karena keterlibatan mereka dalam kegiatan bawah tanah. Dalam pidato pembelaan di pengadilan, mereka mengatakan bahwa mereka bertindak sebagai agen intelijen negara untuk merekrut kalangan Islamis, guna berjuang melawan kebangkitan kembali komunisme (Raillon 1994:215).
Pada pertengahan 1980an, ketegangan antara Orde Baru dengan beberapa kelompok Muslim menjadi lebih terbuka. Di sini penting digarisbawahi sejumlah inisiden kekerasan, termasuk pemboman Candi Borobudur di Jawa Tengah dan dua cabang Bank Central Asia, yang dimiliki oleh Liem Sioe Liong, pengusaha Cina tersukses yang dekat dengan Soeharto. Kejadian dramatis lainnya terjadi di pemukiman kelas pekerja di pelabuhan bersejarah Tanjung Priok, di Jakarta Utara. Di tempat ini, Muslim dalam jumlah yang tidak diketahui, yang turun ke jalan melakukan protes menemui ajalnya dalam sebuah konforntasi berdarah dengan pasukan keamanan yang berada di tempat itu pada 12 September 1984.
Di antara mereka yang terbunuh dalam pembantaian di Tanjung Priok adalah pemimpin kerusuhan itu, Amir Biki. Biki adalah aktivis mahasiswa yang mendukung penggulingan Soekarno. Ia kemudian menjadi seorang pengusaha yang berbisnis dengan perusahaan minyak negara, Pertamina (lihat Raillon, 1994). Namun demikian, pada akhir 1970an, ia merasa frustasi dengan apa yang dilihatnya sebagai perlakuan istimewa terhadap pengusaha keturunan Cina. Dalam pengertian ini, ia merupakan contoh tipikal dari borjuis kecil Muslim, yang mengharapkan keuntungan dari perubahan yang ada melalui aliansinya dengan militer tapi, mendapati bahwa harapannya tersebut tinggallah harapan.
Di luar peristiwa berdarah itu, hubungan antara sebagian Islam politik dengan Negara yang semakin tegang, muncul dalam bentuk penolakan sejumlah organisasi Muslim terhadap dijadikannya Pancasila – yang terdiri dari sekumpulan norma yang kabur – menjadi ideologi negara atau azas tunggal di pertengahan 1980an. Beberapa kelompok Muslim, bersuara lantang menentang kebijakan ini. Melalui kebijakan penerapan azas tunggal Pancasila, pemerintah bermaksud memperketat kontrolnya terhadap kegiatan kelompok-kelompok dalam masyarakat. Semua organisasi diharuskan menerima Pancasila sebagai landasan keberadaannya. Yang menolak harus menerima resiko dibubarkan oleh negara.
Perkembangan yang diuraikan di atas, mesti diletakkan dalam konteks proses perubahan ekonomi dan sosial yang lebih luas pada tahun 1970an dan 1980an, saat terjadi perkembangan kapitalisme yang sangat signifikan, yang disertai dengan perubahan sosio-struktural yang berhubungan dengannya. Hal terakhir ini dicirikan oleh kemunculan kelas pemilik kapital domestik yang kuat, pertambahan bertahap jumlah anggota kelas pekerja industrial baru yang umumnya ditemui di pusat-pusat manufaktur perkotaan berupah rendah, dan juga kelas menengah perkotaan dan profesional bergaji tinggi, yang semakin tampak dari gaya hidup mereka yang berorientasi konsumsi.
Reaksi dalam masyarakat Indonesia menyangkut pertumbuhan luar biasa bisnis keturunan Cina, pada dasarnya menyatukan orientasi kelas dan oreintasi yang bersifat etno-relijius, karena peran yang dimiliki oleh bisnis etnis Cina sebagai penengah dalam struktur ekonomi kolonial. Harus diingat, asal-usul Sarekat Islam, sebagai contoh, berkaitan dengan persaingan antara borjuis kecil Muslim dengan bisnis Cina. Konglomerasi Cina, pada akhirnya secara umum diasosiasikan sebagai keberlanjutan situasi era kolonial, dimana konsentrasi kekayaan di tangan minoritas keturunan Cina merupakan hasil dari akomodasinya dengan negara. Pada saat yang sama, korupsi besar-besaran dan aktivitas pemburu rente yang dilakukan oleh elite birokrasi semakin menjadi-jadi dan mengundang kemarahan publik (sebagai perbandingan dengan dunia Arab dalam hubungannya dengan dampak sosial dari pertumbuhan elite penjarah, lihat Lubeck 1998).
Yang juga patut diperhatikan, untuk sebagian besar kelas bawah Indonesia yang berkembang, terjadi kekurangan sumber budaya dan ideologi yang koheren sebagai metode analisa dalam memahami berbagai perubahan drastis yang sedang terjadi dalam lingkungan sosial dan ekonomi. Dalam ketiadaan gerakan Kiri – demikian pula alternatif sosial demokrasi ataupun liberal karena represi negara yang meluas – apa yang kemudian ditawarkan pada mereka adalah Islam. Satu-satunya saingan adalah nasionalisme sekular Soekarno, yang dilestarikan dalam bentuk yang lebih lunak oleh organisasi-organisasi penerus PNI zaman Soekarno (Partai Nasional Indonesia) —-yaitu PDI dan kemudian PDI-P. Meskipun demikian, para penerus ini gagal mengisi kekosongan yang ditinggalkan pasca kehancuran PKI, yang kemudian menjadi lebih besar lagi saat masyarakat Indonesia dan struktur kelasnya ditransformasikan di bawah pemerintahan Soeharto.
Karena itulah Sidel mengatakan, industrialisasi yang begitu deras di bawah Orde Baru, menciptakan sebuah ‘kelas bawah pinggiran dan perkotaan’ yang siap untuk dimobilisasi – tidak sebagai kelas proletar yang berkesadaran – namun sebagai anggota atau pengikut umat Islam ( 2006: 52). Mobilisasi ini tak diragukan lagi, difasilitasi oleh ekspansi besar-besaran di bidang kesejahteraan sosial dan kegiatan pendidikan yang sudah berlangsung sebelumnya, yang dilakukan oleh berbagai organisasi Islam melalui jaringan masjid dan asrama sekolah yang luas.
Islam, Orde Baru Lanjut, dan Reformasi.
Ketegangan antara Islam politik dan negara kemudian hanya terhapus sebagian dengan dibentuknya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) pada tahun 1990. Dipimpin oleh salah satu pembantu kunci Soeharto, sang teknokrat- insinyur, BJ Habibie, kendaraan ini menyediakan tempat dalam birokrasi untuk para pengikut kelas menengah Muslim baru, yang diproduksi oleh proses modernisasi yang menyebabkan meningkatnya ambisi-ambisi mereka. Yang terpenting, ICMI juga mengakomodasi banyak aktivis Muslim yang dulunya bersikap kritis (Robison and Hadiz, 2004: 115).
Sebagian militer pun akhirnya terasosiasi dengan ICMI – termasuk menantu Soeharto yang keji, Prabowo Subianto. Keberadaan para jendral Orde Baru di dalam jaringan ICMI, menawarkan fase baru dalam sejarah persinggungan antara kepentingan militer dan Islam politik. Lasykar Jihad, sebagai contoh, menyediakan sukarelawan untuk berjuang selama konflik Maluku berlangsung, sementara pemimpinnya Jafar Umar Thalib – yang berperang melawan Uni Soviet di Afghanistan – diketahui memiliki hubungan yang sangat dekat dengan figur-figur militer yang berpengaruh (Van Bruinessen, 2002: 145; lihat juga Noorhaidi Hasan, 2006).
Sidel (2006) dengan tegas mengemukakan bahwa kemunculan patron ICMI BJ Habibie, sebagai Presiden menyusul mundurnya Soeharto, memberi petunjuk pada sebagian besar agen-agen sosial Islam politik bahwa mereka telah mengambil alih kendali atas kekuasaan negara. Masalahnya kemudian, meskipun telah disatukan melalui ICMI dan jaringannya, mereka tetap terpecah dalam persaingan organisasi dan partai-partai politik.
Namun Sidel nampaknya luput melihat fakta bahwa anggota-anggota terkemuka yang kini dikenal sebagai perwakilan Islam radikal, adalah mereka yang bersikap diam dalam waktu yang cukup lama dan pada dasarnya, mereka cuma menjadi penonton pada momen terpenting dalam sejarah Indonesia – kejatuhan Soeharto.4 Tak terserap oleh jaringan ICMI, mereka juga tidak memainkan peran utama dalam oposisi politik aktif. Hal ini terlihat di Solo, yang selain Jakarta, merupakan merupakan salah satu titik utama aksi-aksi protes anti Soeharto di tahun 1998. Salah seorang figur NGO di sana menggambarkan, mereka yang terlibat dalam milisi Islam sebagai “sedang tiarap atau tidak bergerak” selama perjuangan anti Soeharto berlangsung.5 Mantan politisi PPP, Moedrick Sangidoe, bertanya dengan nada menggugat, kemana para anggota milisi tersebut berada ‘ketika kita berjuang melawan Firaun Jawa?’ – sebuah ungkapan kasar terhadap Soeharto.6 Di Yogyakarta, Majelis Mujahidin Indonesia, salah satu pembela paling vokal atas negara Islam, baru dibentuk dua tahun setelah kejatuhan Soeharto, meskipun mereka menyokong aktivis-aktivis anti Orde Baru sejak tahun 1980.7
Bahwa banyak kini yang terasosiasi dengan Islam radikal yang “terabaikan” sampai dengan hari-hari terakhir Soeharto, tidak berarti bahwa mereka diabaikan karena mereka adalah perwakilan politik Islam yang paling radikal. Para pemimpin organisasi dengan ideologinya yang keras bernama KISDI (Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam) – sebagai contoh – berada dalam garis terdepan dalam usaha mobillisasi untuk menyelamatkan kepresidenan Habibie, yang dianggap kaum oposisi pada waktu itu sebagai kelanjutan dari Orde baru. Perbedaan besarnya adalah KISDI memiliki hubungan yang dengan anggota keluarga Soeharto, meskipun beberapa anggota kuncinya sebelumnya merupakan kritikus Orde Baru.
Namun, sebuah perkembangan yang sangat penting terjadi di masa pemerintahan Habibie, berkaitan dengan pertumbuhan pesat kelompok milisi Islam di Indonesia. Pada November 1998, ketika MPR bersidang dalam sebuah sesi luar biasa, Van Bruinessen (2002: 140-141) mencatat bahwa militer merekrut lebih dari 100.000 sipil, banyak di antaranya memiliki koneksi dengan kelompok-kelompok Islam, untuk menjadi petugas satuan pengamanan. Ia juga mencatat, perekrutan ini melibatkan orang-orang yang tak ikut dalam organisasi Islam sebelumnya, dan hanya direkrut berdasarkan pengalaman keras dalam kehidupan jalanan. Meskipun milisi ini akhirnya gagal mengamankan Kepresidenan Habibie – ia dipaksa mundur pada 1999 – mereka telah mencatat preseden untuk peran yang lebih “sah” dalam demokrasi Indonesia. Dalam konteks pengangguran tingkat tinggi dan ketiadaan kerja yang sesuai dengan latar belakang pendidikan, menyusul krisis Asia, termasuk di antaranya banyaknya kekecewaan generasi muda, sebuah sumber tenaga siap pakai selalu tersedia bagi milisi-milisi tersebut.
Beberapa Pengamatan Perbandingan
Padai titik ini, menjadi berguna untuk menunjukkan bahwa pengalaman Islam politik radikal di Indonesia, memiliki kesamaan dengan apa yang terjadi di Timur Tengah dan Afrika Utara, di mana perhatian internasional juga sudah difokuskan dalam kaitannya dengan isu kekerasan politik. Di negara-negara tersebut, di awal abad ke 20, Islam juga dipolitisir dalam konteks anti-kolonialisme. Dan seperti di Indonesia, gerakan berbasis kelas dan redistribusi sosial, kemudian ditekan di bawah rejim otoritarian pasca-kolonial pada masa Perang Dingin. Barangkali, bahkan lebih terbuka daripada di Indonesia, Islam politik diposisikan tidak hanya untuk menyerang gerakan Kiri, namun juga sosial demokrasi dan agen-agen reformasi liberal (Halperin, 2005). Konsekuensinya, ketika kontradiksi yang berhubungan dengan modernisasi yang pesat mulai tampak, Islam menjadi sumber utama ideologi dan budaya yang mengekspresikan ketidakpuasan pada ketidakadilan sosial dan kerakusan kaum elit.
Dalam sebuah artikel yang mencerahkan, Colas (2004) membahas Islam politik di Maghreb, sebagai sebuah tanggapan khusus pada fase globalisasi ekonomi neoliberal, menyusul berakhirnya booming minyak, termasuk penyesuaian struktural dan kebijakan privatisasi yang secara luas dialami sebagai kebijakan yang tak ramah terutama bagi kaum tak berpunya. Dia mencatat, tahun-tahun dari liberalisasi ekonomi pemerintahan Chedli Benjedid (1979-1992) di Aljazair, terkait erat dengan berkembangnya apa yang disebut sebagai “mafia politik finansial” dan “sebuah kapitalis baru nomenklatura” yang terdiri atas pejabat-pejabat negara. Hal ini menciptakan perlawanan yang luas di kalangan rakyat, yang standar hidupnya berkurang secara drastis sebagai akibat tumbuhnya pengangguran. Colas berpendapat, keadaan ini menyebabkan ‘generasi Aljazair yang sangat terasing yang teringkas dalam figur hittiste’ – atau ‘pemuda perkotaan yang bersandar pada tembok’ sementara ‘ menyaksikan hidup yang lewat di depan mata dengan hati yang gelisah’ (pp. 237-238). Bagi Colas, tidaklah mungkin menjelaskan kemunculan Islam radikal di Aljazair, tanpa melihat perkembangan-perkembangan tersebut.
Para pengamat seharusnya bersandar pada fenomena semacam ini untuk memahami basis sosial kemunculan politik Islam radikal di Indonesia, dan di tempat-tempat lainnya di dunia kontemporer. Tidaklah banyak gunanya untuk semata-mata memusatkan perhatian pada patologi individu atas fanatisme agama, sebuah pendekatan yang membuat analisa ilmu sosial menjadi mubazir. Yang lebih penting adalah memahami proses sosial yang kompleks, dalam kaitannya dengan kontradiksi-kontradiksi pembangunan kapitalis, sebagaimana secara historis dan konkrit terjadi dalam sebuah masyarakat yang mayoritasnya Muslim, sejalan dengan luapan ekspresi ketidakpuasan terhadap ketidakadilan sosial, korupsi, dan kekuasaan yang sewenang-wenang.***
Catatan kaki:
1Wawancara dengan Ustad Taufik Usman, ketua Yayasan Pondok Pesantren Al –Mukmin, Ngruki, Solo, 18 Juli 2007.
2Wawancara dengan Sudirman Marsudi,Sekretaris Pertama, Dewan Dakwah Islamiyah di Jawa Tengah, Solo, 19 Juli 2007; and Ustad Taufik Usman, Ngruki, Solo, 18 Juli 2007.
3Wawancara dengan Ustad Wahyudin, Ngruki, Solo, 16 Juli 2007.
4Wawancara dengan Kalono, pendiri FKAM, 16 Juli 2007; Warsito Adnan, pemimpin FPIS, 18 Juli 2007; Yanni Rusmanto, ketua Korps Hizbullah, 18 Juli 2007.
5Wawancara dengan Hari Mulyadi, Solo, 17 Juli 2007.
6Wawancara dengan Moedrick Sangidoe, Solo, 20 Juli 2007.
7Sebagai contoh, sekretaris jenderal, Sobarin Syakir, menghabiskan 71/2 tahun hidup di penjara pada tahun 1980-an. Wawancara, 17 Juli 2007.
Kepustakaan:
Abuza, Zachary (2003) “Funding Terrorism in Southeast Asia: The Financial Network of Al Qaeda and Jemaah Islamiyah”, NBR Analysis, 14, 5, pp.1-68.
Colas, Alejandro (2004) “The Reinvention of Populism: Islamist Responses to Capitalist Development in the Contemporary Maghreb”, Historical Materialism, 12, 4, pp.231-26
Gunaratna, Rohan, Arabinda Acharya, and Sabrina Chua (2005) “Conflict and Terrorism in Southern Thailand,” Singapore: Marshall Cavendish Academic.
Hadiz, Vedi R. (1997) “Workers and the State in New Order Indonesia,” London: Routledge.
Halperin, Sandra (2005) “The Post-Cold War Political Topography of the Middle East: Prospects for Democracy”, Third World Quarterly, 26, 7, pp.1135-1156.
Huntington, Samuel (1993) ‘The Clash of Civilizations”, Foreign Affairs, Summer: 22 – 49
Lubeck, Paul M. (1998) “Islamist Responses to Globalization: Cultural Conflict in Egypt, Algeria, and Malaysia.” In The Myth of “Ethnic Conflict”: Politics, Economics, and “Cultural” Violence, edited by Beverly Crawford and Ronnie D. Lipschutz. University of California Press/University of California International and Area Studies Digital Collection, Edited Volume #98, pp. 293-319
International Crisis Group (ICG) (2002) “Al-Qaeda in Southeast Asia: The Case of the ‘Ngruki Network’ in Indonesia”, Jakarta/Brussels, 8 August.
Mamdani, Mahmood (2002) “Good Muslim, Bad Muslim: A Political Perspective on Culture and Terrorism”, American Anthropologist, New Series, Vol. 104, No. 3, September, pp. 766-775.
Moertopo, Ali (1973) The Acceleration and Modernization of 25 Years Development, Jakarta: Yayasan Proklamasi and Center for Strategic and International Studies.
McVey, Ruth (2006). “The Rise of Indonesian Communism,” Ithaca: Cornell University Press.
Mortimer, Rex (1974) Indonesian Communism Under Sukarno: Ideology and Politics 1959-1965, Ithaca, Cornell University Press.
Noorhaidi Hasan (2006), “Laskar Jihad: Islam, Militancy, and the Quest for Identity in Post-New Order Indonesia,” Ithaca: Southeast Asia Program Publications, Cornell University.
Raillon, Francois (1994 “The New Order and Islam, or the Imbroglio of Faith and Politics”, Indonesia, 57, pp.197-217.
Robison, Richard and Vedi R. Hadiz (2004), “Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets,” London: Routledge.
Sidel, John T. (2006), “Riots, Pogroms and Jihad: Religious Violence in Indonesia,” Ithaca: Cornell University Press.
Tan Malaka (1922) ‘Communism and Pan-Islamism’, http://www.marxists.org/archive/malaka/1922-Panislamism.htm.
Van Bruinessen (2002) “Genealogies of Islamic Radicalism in post-Suharto Indonesia” South East Asia Research, 10, 2, 2002, pp. 117-154.
Vedi R. Hadiz, adalah associate professor departemen sosiologi, Universitas Nasional Singapura.
Artikel ini diterjemahkan oleh Coen Husain Pontoh dan Fitri Mohan dari judul asli “Toward a Sociological Understanding of Islamic Radicalism in Indonesia” dan diperiksa kembali oleh Vedi R. Hadiz.”