Menguras Pundi-pundi demi Komponen Cadangan
BEBERAPA waktu berselang, media massa di Indonesia ramai membincangkan soal wajib militer. Perbincangan itu mengemuka setelah pemerintah menyatakan akan mengajukan RUU Komponen Cadangan pada awal 2008, dimana salah satu isinya adalah mengharuskan warga negara Indonesia yang berusia 18 sampai 45 tahun untuk mengikuti program Wajib Militer.
Tak lama kemudian beragam tanggapan bermunculan. Salah satunya datang dari letnan jenderal purnawirawan TNI Mashudi, yang mengatakan, “Setidaknya melalui wajib militer akan ditanamkan rasa patriotisme dan nasionalisme, hingga terbentuk karakter rakyat yang disiplin.”
Jika Nasionalisme didorong sebagai landasan diajukannya program wajib militer ini, maka persoalannya pertama, atas dasar apa kita menuduh generasi muda atau rakyat Indonesia dewasa ini tidak nasionalis? Apa ukurannya? Kedua, tafsir tunggal atas defenisi nasionalisme sangat berbahaya di era demokrasi seperti sekarang ini. Oleh karena ukuran-ukuran yang absurd tentang nasionalisme tersebut, maka asumsi menjadikan nasionalisme sebagai dasar dicantumkannya wajib militer dalam RUU Komponen Cadangan merupakan asumsi yang sangat lemah.
Profesionalisme TNI Meragukan
Dalam panggung negara ini militer, dalam hal ini TNI, sudah menorehkan sejarah gelap yang menyisakan trauma bagi kebebasan masyarakat sipil. Reformasi Sektor Keamanan (SSR), yang sudah berjalan kurang lebih delapan tahun, terbukti belum mampu menjadikan militer sebagai alat negara yang bisa dikontrol oleh otoritas politik sipil. Dalam hal kontrol, disyaratkan sebuah kontrol demokratik terhadap alat kekerasan negara ini. Bentuk kontrol demokratik di negara-negara demokratis, menempatkan tentaranya dalam sebuah mekanisme kontrol politik atas anggaran, kebijakan penggunaan kekuatan, postur pertahanan yang efisien dan efektif serta, supermasi sipil atas institusi militer. Di negara totaliter yang menganut sistem satu partai, militer mutlak di bawah kontrol partai, sehingga militer benar-benar hanya sebagai alat bagi kebijakan otoritas pemerintahan sipil. Untuk kasus Indonesia, TNI sudah terlalu lama menjadi sebuah kekuatan yang memiliki posisi politik yang kuat sehingga, tidak bisa begitu saja disubordinasi di bawah otoritas pemerintahan sipil.
Berkaitan dengan program wajib militer yang mengemuka belakangan ini, sangat meragukan jika pelaksanaannya kemudian melibatkan pihak militer. Apalagi, dalam draft UU komponen cadangan yang baru, tidak diatur mengenai institusi mana yang punya otoritas untuk mengeksekusi program ini. Yang pasti, jika program ini dijalankan keterlibatan militer tidak lagi diragukan. Yang mengkhawatirkan pertama, ketika TNI dengan kapasitas seperti yang sekarang ini (tidak profesional dan tidak berada di bawah kontrol demokratik), kemudian diberi tanggungjawab untuk terlibat dalam proses pembangunan komponen cadangan maka, yang akan terjadi bukannya menciptakan komponen cadangan tapi, malah akan menciptakan komponen paramiliter yang wataknya adalah kombatan (bukan kompnen cadangan). Satuan-satuan paramiliter seperti ini, justru akan menjadi batu sandungan bagi proses integrasi sosial dan konsolidasi demokrasi. Kedua, tugas baru tersebut hanya akan menjauhkan TNI dari core competency-nya sebagai kekuatan pertahanan utama.
Kalau kita periksa, jumlah pasukan TNI yang siap untuk berperang (kombatan) tidak lebih dari 30 persen dari jumlah anggota TNI. Apologinya: justru karena itu kita butuh komponen cadangan. Bisa ya bisa tidak. Saya lebih condong menjawab Tidak. Pertimbangannya, selama ini anggota TNI justru terlalu banyak mengurusi sesuatu di luar core competency-nya, sehingga lupa akan tugas utamanya. TNI terlalu banyak mengurusi politik dan bisnis-bisnisnya, mengurus yayasan, mengurus sekolah, mengurus rumah sakit, mengurus perumahan, tanah dll. Inilah yang mestinya mendesak dibenahi: kembalikan TNI ke tugas pokoknya sebagai tentara.
Ancaman Dari Mana?
Dalam merumuskan sebuah kekuatan pertahanan negara, yang paling pertama harus dijawab adalah persoalan persepsi ancaman (definisi ancaman dan tingkat ancaman). Hal ini sejatinya selalu dituangkan dalam sebuah paper akademik berkala, yang di beberapa negara, dikenal dengan istilah Strategic Defense Review (SDR). Departemen Pertahanan RI pernah mengeluarkan buku putih pertahanan di tahun 2002, dan tahun ini merilis SDR baru yang jauh dari nilai-nilai akademis. Seluruh definisi ancaman dalam dua dokumen tersebut secara umum bersifat ancaman dari dalam, kecuali beberapa yang berkaitan dengan terorisme dan penyelundupan.
Pasca perang dingin, negara kita nyaris tidak mungkin menghadapi perang konvensional atau agresi dari negara lain. Kalaupun ada, bisa diminimalisir dengan diplomasi dan politik luar negeri yang berorientasi damai. Sehingga, sangatlah menggelikan memaksakan komponen cadangan, ketika definisi ancaman kita hanya berasal dari dalam negeri sendiri. Komponen cadangan hanya dibutuhkan untuk mengantisipasi perang konvensional yang membutuhkan mobilisasi angkatan perang yang besar. Memang, beberapa negara maju masih menerapkan program wajib militer di masa damai tapi, dalam kasus Indonesia, di tengah pilihan program pembangunan ekonomi dan demokrasi, tentu pilihan ini bukanlah prioritas.
Wajib Militer dan Beban Anggaran
Jika wajib militer di Indonesia dilakukan, seperti usulan dalam RUU komponen Cadangan, bahwa yang akan di ikutsertakan dalam wajib militer adalah mereka yang berusia 18 sampai 45 tahun, maka sesuai data BPS tentang jumlah penduduk Indonesia dalam rentang usia tersebut sebanyak 104.678.000 jiwa. Jika kita asumsikan sebanyak 10 persen tidak ikut dengan alasan kesehatan dan hamil, berarti jumlah yang akan ikut adalah 94.210.200 jiwa.
Jika menggunakan standard TNI, dalam sebuah latihan militer, biaya lauk pauk untuk pasukan TNI membutuhkan anggaran sebesar Rp. 25.000 per orang per hari. Tentu saja taksiran ini sangat jauh dari standard latihan personel yang layak. Selain itu, bukan hanya sekedar biaya lauk pauk yang dibutuhkan. Jika termasuk biaya akomodasi (tenda), peralatan tulis menulis dll. dalam sehari latihan, seorang prajurit TNI membutuhkan biaya sebesar Rp. 50.000 per hari.
Dengan menggunakan ukuran itu, berarti untuk tigapuluh hari wajib militer dibutuhkan biaya sebesar 141,5 trilyun rupiah. Biaya ini belum termasuk biaya logistik, peralatan, pelatih, materi, transportasi, adminitrasi dll yang tentu tidak kalah besarnya. Atau jika menggunakan perkiraan yang disebut oleh Prof. Budi Soesilo Supandji, Dirjen Pothan Dephan RI, yang menyebutkan perkiraan 30 juta rupiah per orang selama 30 hari maka, jumlah biaya yang harus dikeluarkan adalah sekitar Rp. 283 trilyun.
Mari kita bandingkan dengan biaya untuk melatih satu peleton pasukan elit Angkatan Darat dengan kemampuan lengkap. Menurut mantan KSAD Ryamizard Ryacud, dibutuhkan sekitar Rp 2 milyar per peleton (satu peleton sekitar 30 orang). Dengan Rp. 283 trilyun, kita bisa melatih pasukan elit kita dalam jumlah besar dengan tingkat keahlian tempur yang dahsyat. Atau bandingkan dengan harga satu jenis pesawat Sukhoi (Su-30) dengan persenjataan lengkap seharga 600 milyar rupiah, serta kapal selam Kilo Class buatan Rusia yang harganya sebesar 3 trilyun rupiah untuk satu kapal selam. Bisa dibayangkan kemampuan alutsista apa yang bisa kita miliki dengan biaya sebesar 283 trilyun rupiah.
Seluruh biaya tersebut juga jauh melebihi anggaran pertahanan negara dalam APBN 2007, yang hanya sebesar 32,6 trilyun rupiah. Belum lagi jika dihadapkan pada pilihan membelanjakan dana tersebut ke sektor pendidikan dan kesehatan.
Jika melihat angka-angka di atas, maka pilihan untuk memaksakan diadakannya wajib militer untuk kepentingan komponen cadangan, akan dihadapkan pada pilihan lain yakni, penguatan kemampuan tempur pasukan yang sudah ada dan modernisasi peralatan tempur TNI (komponen utama dan alutsista). Bukanlah merupakan pilihan yang bijak jika memberatkan anggaran negara dengan program wajib militer, dengan biaya yang seharusnya bisa digunakan untuk membangun kekuatan TNI yang jelas-jelas merupakan komponen utama dan terutama bagi peningkatan kesejahteraan prajurit TNI.
Wajib Militer dan Alternatif Sumber Daya
Perdebatan tentang postur pertahanan bukanlah hal yang baru. Komando teritorial TNI seperti yang sekarang, adalah postur yang bertumpu pada kakuatan di darat. Dengan struktur ini membuat AD, bukan hanya lebih besar secara kuantitas (terbesar di dunia), tapi lebih powerfull dibanding TNI AL dan AU. Bangunan postur pertahanan seperti ini sudah diakui banyak pihak, bahkan oleh TNI sendiri, sebagai tidaklah efektif.
Perang modern adalah perang yang bertumpu pada kekuatan teknologi untuk melakukan serang cepat dan mematikan, yang berarti bukan perang konvensional di darat. Kekuatan pertahanan Indonesia ke depan, harusnya dibangun berdasarkan perspektif ancaman dari luar dan bertumpu pada joint doctrine angkatan darat, laut dan udara dengan kapasitas tekonologi yang kompetitif.
Logika komponen cadangan adalah logika peperangan di darat (sementara jumlah AD kita sudah begitu besar). Maka jika memang wajib militer ini ingin di dorong sebagai kekuatan cadangan di darat, konsekuensinya adalah pengurangan jumlah pasukan AD dan perampingan struktur TNI. Dengan demikian menjadi jelas pilihan-pilihannya, sebab penulis yakin, APBN kita tidak akan mampu menanggung biaya yang begitu tinggi untuk membaiyai struktur komando yang gemuk. Ditambah lagi membiayai lebih dari 90 juta orang untuk program wajib militer.
Sebenarnya, pilihan wajib militer bukanlah prioritas, tidak perlu dicantumkan dalam UU Komponen Cadangan sebab, kewajiban bela negara sudah diatur dalam UUD 1945 pasal 30 ayat 1. Ada dua paket regulasi yang perlu dikedepankan sebelum memasukkan program wajib militer tersebut. Pertama, memperjelas mekanisme perbantuan antara TNI dan Polri. Jumlah personel kedua lembaga ini sudah cukup besar dalam kuantitas. Terlebih jika ditambah dengan jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) sekitar 5 juta orang, yang juga sudah dibekali kemampuan pendidikan bela negara.
Kedua, untuk mereduksi ancaman nasional baik dari luar maupun dari dalam, maka reformasi institusi perlu dilakukan. Selain TNI dan Polri tentunya, ada dua lembaga yang selama ini perlu diarahkan untuk meningkatkan performance nasional yakni, korps diplomatik dan lembaga Intelijen yang hingga saat ini undang-undangnya belum juga di bahas di DPR.
Pertimbangan-pertimbangan tersebut setidaknya menunjukkan bahwa program wajib militer di Indonesi belum merupakan prioritas. APBN yang minim, sumber daya manusia TNI, Polri dan PNS yang cukup besar, merupakan angkatan perang yang kuat. Pilihan-pilihan untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit serta alutsista, mengembalikan TNI kepada core competency-nya, merupakan program yang lebih penting dan mendesak untuk negeri ini.***
Saiful Haq, Mahasiswa Politik Justus Liebig Universitat of Giessen, Jerman.