Tanggapan Untuk Fahmi Panimbang dan Muslimin Abdilla
ARTIKEL saya (lihat di sini), yang merupakan tanggapan terhadap artikel Indrasari Tjandraningsih, telah memperoleh respon berbobot dari Fahmi Panimbang (lihat di
sini).
Dalam artikelnya itu, Panimbang mengatakan ada masalah yang mendasar dalam cara pandang gerakan sosial terhadap negara. Negara di lihat sebagai entitas di luar kita, sesuatu yang berjarak begitu jauh. Akibatnya, demikian Panimbang, negara yang demikian besar peranannya dalam masa kapitalisme-neoliberal ini, pada akhirnya dikuasai oleh para pebisnis untuk melayani kepentingannya.
Seharusnya, lanjut Panimbang, yang juga diperkuat oleh Abdilla dalam contoh yang lebih konkret (lihat di sini), negara mesti dilihat sebagai bagian dari kita. “Negara adalah Kita,” demikian kredo yang digaungkan Panimbang dan Abdilla.
Dengan kredo seperti ini, gerakan sosial harus bertarung memperebutkan arena negara, untuk kemudian menguasainya dan memanfaatkannya demi sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Hanya dengan cara demikian, penerapan kebijakan neoliberal yang menjelma, antara lain dalam wujud pasar kerja fleksibel, bisa diblok atau bahkan dibatalkan.
Gagasan tentang negara adalah kita ini, tentu saja telah menghela lebih maju perdebatan di kalangan gerakan sosial di Indonesia. Dengan gagasan ini, debat klasik nan mubazir mengenai apakah gerakan sosial itu berwatak developmentalis atau advokasi, partisan atau non-partisan, moral atau politik, tidak lagi relevan.
Kredo ini bukan tanpa “kaki.” Perkembangan terkini gerakan progresif di beberapa bagian lain di dunia, menunjukkan adanya sintesa baru dalam tubuh gerakan progresif. Secara historis tumbuh kesadaran bahwa penghadap-hadapan antara gerakan berwatak partisan atau non-partisan, misalnya, merupakan sesuatu yang secara sengaja didesain oleh pendukung neoliberalisme. Dengan kategorisasi yang antagonistik seperti itu, gerakan anti neoliberal diserang tepat pada cara berpikirnya.
Padahal, kedua kategorisasi gerakan itu tidak mesti dihadap-hadapkan secara diametral. Gerakan progresif memang harus berwatak developmentalis dan advokasi sekaligus, harus merupakan gerakan moral dan juga gerakan politik. Kita mesti berpolitik sembari tetap mengusung nilai-nilai moral. Atau sebaliknya, kita tak bisa terus-menerus berkhotbah tentang kebajikan tapi takut tangannya berlumur lumpur. Seperti dikatakan Joao Pedro Stedile, pemimpin gerakan buruh-tani tak bertanah terbesar di Brazil bahkan di dunia, the Movement of Landless Workers (MST), “setelah kami mengambilalih dan menduduki lahan, kami butuh jaminan hukum atas tanah tersebut tetapi, jaminan hukum itu tak mungkin diberikan oleh pemerintah yang pro-neoliberalisme. Untuk itu, kami harus berpolitik.” Dan seperti yang kita tahu, MST adalah salah satu pendukung terkuat dari pemerintahan Ignacio “Lulu” da Silva, saat ini.
Kembali pada kredo “Negara adalah Kita.” Walaupun gagasan ini sangat positif tapi, secara teoritik kredo ini tak bebas kritik. Saya mau meminjam analisa James Petras, Morris Morley, dan Richard Robison dkk, untuk melakukan kritik terhadap kredo “Negara adalah Kita.”
Menurut ketiganya, kita mesti membedakan antara negara dan rejim. Petras dan Morley, mengatakan, negara adalah lembaga-lembaga politik permanen dalam masyarakat seperti, militer, pengadilan, birokrasi sipil, dan pejabat-pejabat tinggi bank sentral. Menurut mereka, lembaga-lembaga politik permanen ini menyatu dengan sistem kelas yang berkuasa dan secara bersama-sama mereka membentuk “the state.” Dengan pengertian seperti ini, maka formasi negara sebagai produk perkembangan sejarah berakar pada konflik dan bertumbuh dalam formasi sosial tertentu. Dan kata Robison dkk, karena bentuknya mengada dalam konteks hubungan sosial, maka adalah keliru jika kita memandang negara atau aparatus negara sebagai lembaga yang netral.
Sementara itu, rejim adalah elemen-elemen pejabat non-permanen yang menduduki cabamg eksekutif dan legislatif. Mereka ini, biasanya, dalam merancang kebijakan berada dalam koridor negara dan kepentingan kelas dominan. Ketika rejim berbeda secara substansial dari negara, krisis muncul ke permukaan – yang biasanya berakhir dengan pergantian rejim melalui kudeta oleh negara. Robison dkk, menambahkan, rejim, adalah tipe-tipe tertentu dari organisasi negara yang mewujud dalam beragam bentuk seperti, demokrasi liberal, demokrasi korporatis, demokrasi oligarki, kediktatoran, fasisme, otoritarianisme korporatis, totalitarianisme, dsb. Sementara, pemerintah adalah legislatif dan cabang-cabang eksekutif dari aparatus negara dan para pejabatnya, partai-partai atau individu-individu yang mengontrolnya.
Indonesia pasca kemerdekaan punya contoh menarik soal ini. Sebagai negara kapitalis, Indonesia pernah dipimpin oleh rejim nasionalis-populis Soekarno. Antara rejim Soekarno dan negara berbeda kepentingan dan karena itu, rejim Soekarno harus ditumbangkan. Pasca itu, rejim Orde Baru (Orba), bergandeng mesra dengan negara, yang oleh Robison, dikatakan, “negara Orba menjadi bagian integral dari perkembangan kapitalisme dan kelas kapitalis Indonesia.” Rejim ini hanya tumbang oleh gerakan rakyat yang masif.
Tetapi, kita lihat, walaupun rejim Orba telah tumbang dan muncul rejim baru hasil pemilu (electoral regime), negara Indonesia tetaplah Negara Kapitalis. Status ini tidak berubah, walaupun rejim elektoral datang silih berganti.
Dengan posisi teoritik seperti ini, konsekuensinya: pertama, kredo “Negara adalah Kita” tidaklah tepat. “Negara” sesungguhnya “Bukanlah Kita,” karena negara teralienasi dari kita. Para pejabat negara tidaklah dipilih melalui hak pilih universal, ia duduk di sana berdasar hak-hak istimewa yang dimilikinya. Kredo ini mempunyai implikasi lebih lanjut namun, bukan kapasitas artikel ini untuk membahasnya.
Kedua, ketika gerakan progresif mencapai sintesa baru, ketika ia memutuskan bertarung untuk memperebutkan arena negara, maka gerakan progresif mengangkat dirinya ke level rejim atau pemerintah. Misalnya, menjadi rejim populis radikal a la Evo Morales di negara Bolivia yang kapitalis, atau bahkan menjadi rejim sosialis-bolivarian a la Hugo Chavez di negara Venezuela yang kapitalis.
Konsekuensi ketiga dari sis teoritik, kita tidak bisa lagi memandang negara sebagai sesuatu yang monolitik. Bahwa seluruh pejabat negara atau juga rejim berkuasa pastilah tukang gebuk pemodal. Ada banyak kepentingan yang bertarung di sana, bergantung pada keseimbangan kekuatan politik. ***
Coen Husain Pontoh
Kepustakaan:
James Petras and Morris Morley, “Latin America In The Time of Cholera Electoral Politics, Market Economics, And Permanent Crisis,” Routledge, NY, 1992.
Richard Robison, et.al, “Southeast Asia in The 1990s Authoritarianism Democracy & Capitalism,” Allen & Unwin, Australia, 1993.