PERGULATANNYA dalam memperjuangkan demokrasi selama tiga dekade, membuat DR Arief Budiman cukup akrab dengan dinamika yang terjadi di dalam gerakan buruh Indonesia, yang merupakan salah satu aktor penting dalam gerakan demokrasi di Indonesia. Dia memang tidak pernah terlibat langsung dalam gerakan buruh atau bukan bagian dari gerakan buruh manapun di sini. Tetapi pemikirannya tentang gerakan buruh patut disimak. Berikut ini petikan wawancara Arief Ruba’i, seorang pekerja sosial di Semarang, dengan DR. Arief Budiman, pengajar di Universitas Melbourne, Australia.
Arief Ruba’i (AR): Banyak yang mengatakan posisi politis buruh sangat lemah, hingga serikat cenderung melakukan perlawanan ke arah kebijakan dan negara dari pada konfrontasi dengan pengusaha?
Arief Budiman (AB): Kekuatan riil politik gerakan buruh sangat lemah. Pertama, kondisi ekonomi kita lemah, kita sangat tergantung pada investor asing. Kedua, pengangguran tinggi, jadi posisi tawar majikan kuat sekali. Kita lebih butuh mereka dari pada mereka butuh kita. Kalau upah buruh naik atau sering terjadi pemogokan, mereka akan pindah. Apalagi potensi alternatifnya banyak, Vietnam, RRC, India dan lain-lain. Kenyataannya kita harus bertolak dari posisi buruh yang lemah. Ini jadi masalah buat buruh ketika mereka mau melakukan perlawanan menghadapi siapapun. Apakah dia menghadapi majikan atau negara. Padahal negara dari dulu selalu tersandera oleh kondisi ekonomi yang lemah. Sehingga negara lebih butuh investor dari pada membela buruh. Dan mengorbankan buruh resikonya lebih kecil dari pada mengorbankan modal. Inilah akar persoalan buruh, mereka bisa saja mogok, bisa macam-macam tapi penyelesaiannya selalu kalah.
AR: Dalam kondisi seperti ini, kemana strategi perlawanan atau titik serang lebih tepat diarahkan?
AB: Saya tidak mengerti. Posisinya yang sangat lemah ini yang sulit. Orang lemah mau menyerang orang kuat, jadi sulit mencari titik serang. Tapi yang bisa dilakukan sekarang adalah mempersiapkan perjuangan masa depan ketika kondisi ekonomi lebih baik, dimana modal punya kebutuhan pada Indonesia. Yang perlu dilakukan saat ini pertama, memperkuat organisasi buruh, termasuk membangun solidaritas dan melakukan pendidikan. Kedua, membangun solidaritas internasional. Jadi, tekanan terhadap perusahaan, terutama perusahaan asing dilakukan di negara asal perusahaan tersebut, itu biasanya lebih efektif. Kedua hal itu merupakan investasi di masa depan saat kondisi ekonomi membaik.
Kalau pun pemerintah berpihak pada buruh, dia tidak mampu melawan pengusaha. Karena sekarang pemerintah lagi ‘nyembah-nyembah’ pengusaha supaya modal yang diparkir di LN balik ke dalam. Tentu pengusaha akan bilang, “OK, tapi buruh diberesin dulu”. Apalagi nasib buruh terkait dengan berkembangnya dunia usaha di Indonesia karena kita menganut sistem ekonomi kapitalis. Nampaknya semua jalan yang ada saat ini sulit. Mungkin buruh harus mengalah dulu, tapi melakukan investasi untuk masa depan.
AR: Riilnya seperti apa?
AB: Nuntut boleh saja tapi yang realistis. Kita dalam kondisi angin badai, artinya kalau kapal ini bisa selamat saja sudah lumayan, jangan berharap ada peningkatan.
AR: Dalam hal pendidikan dan penguatan organisasi buruh, kira-kira isu apa yang perlu diprioritaskan untuk persiapan ke depan?
AB: Isu utama adalah ketidakadilan, bahwa perusahaan dapat banyak keuntungan dibanding upah buruh yang sangat buruk. Itu yang menjadi bahan pendidikan dan titik serang, buruh disadarkan bahwa mereka dieksploitasi, sehingga timbul gairah perlawanan. Tapi hendaknya jangan terlalu diberi harapan macam-macam, karena keadilan ini sulit dicapai dalam kondisi seperti ini. Paling muncul kader-kader gerakan buruh lokal.
AR: Sekarang banyak serikat buruh, tapi mereka memiliki concern yang berbeda. Ada yang tertarik isu-isu lokal pabrik, ada juga yang mengangkat isu-isu di luar pabrik seperti kebijakan dan anti privatisasi. Menurut anda apa yang membuat isu serikat buruh terpolarisasi?
AB: Sebenarnya dua-duanya perlu. Tapi pada tingkat basis, isu ketidakadilan yang harus dikembangkan. Ketidakadilan upah itulah yang penting, dan itu yang paling dimengerti oleh buruh. Kalau isu-isu ‘besar’ sulit dimengerti kecuali oleh kader-kader buruh. Isu-isu ‘besar’ penting bagi kader buruh untuk mengerti posisi mereka dan kekuatan posisi tawar mereka. Untuk memimpin gerakan buruh di tingkat grass root, isu yang kongret adalah: upah, jaminan sosial, cuti dan lain-lain. Dalam pendidikan basis perlu juga menyinggung soal isu-isu besar, tapi dalam gerakannya mesti terbatas, supaya dapat dukungan buruh yang lebih kuat.
Gerakan komunis dan sosialis di Chile masuk ke pabrik dengan isu upah. Buruh mudah diajak bergerak untuk isu upah. Itu memang dikritik Lenin karena buruh hanya tahu soal upah saja. Tapi isu-isu ‘besar’ bisa disosialisasiakan pada tingkat kader. Yang perlu dimengerti adalah latar belakang teori politiknya. Prakteknya, tergantung pada tingkat mana buruh diorganisir dengan melihat kapasitas buruh.
Tentang pemogokan buruh, saya kritik PRD sejak dulu (red- FNPBI), sesekali buruh mogok dengan isu pabrik seperti upah dan THR, tapi seringkali mereka mengusung spanduk besar-besar: “Turunkan Soeharto”, “Hancurkan Orde Baru” dan lain-lain. Setiap kali aksi buruh selalu berhadapan dengan militer, karena dianggap sudah politis. Buruhnya nggak dapat apa-apa, kalau begitu terus mereka akan kehilangan dukungan buruh. Mungkin buat PRD aksi ini dianggap berhasil, tapi tidak buat buruh.
Jadi jangan mengangkat isu yang terlalu tinggi apalagi sudah dikaitkan dengan politik. Buruh tentu saja akan langsung dituduh mau menggulingkan pemerintahan. Padahal Seandainya mengangkat isu sederhana, mungkin negosiasi buruh dengan pengusaha bisa berhasil tanpa mereka harus berhadapan dengan militer. Tuduhan terhadap PRD telah mempolitisir buruh ada benarnya, karena dalam memobilisasi buruh, PRD punya agenda yang lebih jauh, bukan salah ya, membentuk pemerintahan sosialis.
Sistem ekonomi kapitalis sebetulnya memainkan ‘tarik-tambang’. Artinya, kalau dia merasa lemah tambang akan dia ulur tapi pertandingan tarik-tambang tak akan pernah selesai. Kecuali dengan mengubah sistem. Sasaran PRD terlalu jauh. Kalau setiap aksi buruh selalu mengalami kegagalan bahkan sampai ditahan, PRD tidak akan populer. Membangun Gerakan Buruh harus proporsional. Saya bukan mengatakan diskusi tentang globalisasi, privatisasi dan kapitalisme tidak penting, tapi hendaknya itu tidak selalu dibawa dalam perjuangan gerakan buruh.
Satu lagi Bahwa gerakan buruh sudah waktunya dikaitkan dengan partai politik, disamping adanya gerakan buruh independen. Sayangnya partai politik masih kacau. Tapi kalau buruh berhubungan dengan parpol, dengan begitu Gerakan buruh bisa berjuang di tingkat parlemen. Pada jaman Soekarno tidak ada gerakan buruh yang independen, misalnya PKI punya SOBSI, PNI punya Buruh Marhain. Barangkali sekarang akan kembali pada partai. Parpol harusnya memiliki interest pada buruh dalam rangka memobilisasi suara, tapi sekaligus buruh punya kaitan ke parlemen, dan punya daya tekan yang lebih kuat. Saya kira di masa depan, kalau partai menyadari bahwa buruh punya potensi, mereka akan terdorong untuk mendirikan serikat buruh. Sekarang partainya masih bego. Mereka nggak sadar pentingnya itu.
AR: Belajar dari pengalaman, kepentingan partai/politik lebih dominan ketimbang kepentingan buruh?
AB: Mestinya, kalau bisa, organisasi buruh membuat partai buruh, yang memperjuangkan kepentingan buruh. Buruh bisa bersatu dan hanya memilih partai yang berpihak pada buruh. Toh partai butuh dukungan suara. Buruh sebenarnya punya potensi besar, terutama di kota, itu merupakan madu buat partai. Buruh hanya bilang, “OK saya bisa memberikan manis madu kepada partai yang membela kepantingan buruh”, nanti partai berlomba-lomba bikin program untuk buruh. Di Indonesia jumlah buruh, termasuk buruh tani saya kira besar.
AR: Apa syarat membangun relasi yang sehat antara buruh dan partai?
AB: Buruh harus membangun posisi tawar, kalau terpecah-pecah akan mudah dimanfaatkan partai. Mereka harus sadar bahwa mereka buruh, bukan marhaenisme yang membela soekarnoisme atau membela Golkar atau partai manapun. Itu yang bisa digalang sekarang, bahwa mereka sebagai kelas buruh, kesadaran kelas harus diutamakan dari kepentingan ideolog lain.
Buruh bisa direkrut sebagai anggota dengan dalih setia pada Islam atau yang lain padahal partainya partai majikan. Kesadaran kelas harus dikembangkan meskipun bisa dituduh sebagai komunis. PKI mengira petani/buruh sudah punya kesadaran kelas. Petani yang dirampas tanahnya bisa saja membela kepentingan tuan tanah kalau tuan tanahnya haji, karena mereka bilang kuwalat melawan haji. Padahal haji itu merampas, kalau menurut bahasa marxisnya kesadaran kelasnya kurang.
Tapi pernahkah ada dalam sejarah, bahwa gerakan didasari kesadaran kelas yang tinggi. PKI mencoba untuk itu, tapi tidak berhasil, karena ada faktor kultur aliran. Kebanyakan orang tidak berani konfrontasi dengan tuan tanah yang kiai/santri, selain itu ada hubungan patrimonial. Ini menarik. Yang disebut tuan tanah di Amerika latin atau di Eropa dulu, adalah yang punya tanah luas dan tidak punya hubungan dengan petani. Tapi di sini beda, tuan tanah hanya menguasai sebidang kecil tanah dan hubungan mereka dengan buruh/petani sangat patrimornial.
AR: Tapi ada tidak yang mencoba melakukan kritik soal ini, terutama hambatan kultural dalam proses penanaman kesadaran kelas dan mengabstraksikan sebuah teori yang ‘applicable’?
AB: Ada. Salah satunya di Australia, Rex Mortimer. Faktor sosial budaya sangat kuat menghambat munculnya kesadaran kelas. PKI kan mengklaim massanya banyak, tapi saat aksi sepihak tahun 61-62 mereka mengalami kesulian memobilisir orang yang berani melawan tuan tanah. Yang radikal sedikit dan itu yang ditumpas tahun 65. Di sini ada orang Lekra, Kusni Sulam, dia asli orang Dayak yang ganti nama menjadi JJ Kusni. Dia menulis tentang BTI.
AR: Dalam kondisi seperti ini, bagaimana mempersiapkan munculnya gerakan buruh?
AB: Saya kira penguatan organisasi dan pembangunan jaringan yang tadi itu. Sekarang serikat sudah mulai terbuka, jadi penting untuk melakukan pembenahan internal. Sekarang ada SBSI, FNPBI dan lain-lain. Mochtar Pakpahan kapasitas organisasionalnya lemah, di SBSI dia sendiri yang muncul. SBSI itu selalu identik dengan Mochtar Pakpahan. Kalau Islam bisa menggalang buruh, mungkin akan lebih kuat. Kesadaran kelas pada kotak agama bisa lebih kuat, orang mengidentifikasi dirinya melalui agama dan kepentingan kelas. Kalau ada reinterpretasi Islam baru, missalnya Teologi Perburuhan, bisa lebih efektif dengan konteks Indonesia. Bukan memanipulasi agama, tapi membela buruh adalah inti dari agama karena problem keadilan itu.
AR: Negara mana yang dapat dijadikan referensi untuk gerakan buruh Indonesia?
AB: Saya tidak tahu banyak. Saya belajar tentang Chile, tapi kondisi konteks sosial budayanya berbeda. Harusnya ada negara Amerika Latin lain yang pas. Afrika, sama sekali saya tidak tahu. Argentina mungkin menarik, dia punya tokoh seperti Soekarno, dihormati sekali, Sokarnonya Eva Peron tapi, lalu beralih ke Junta Militer. Tapi gerakan nasionalismenya masih kuat. Saya nggak tahu, di sana ada katolik, ada nasionalisme, ada militer, ada buruh juga. Taraf industrinya tidak sehebat Korsel, negaranya besar, terbesar di Amerika Latin. Saya nggak bilang itu contoh tapi paralelnya tinggi dengan Indonesia.
AR: Ada kecurigaan aksi buruh sering ditunggangi kepentingan politis, seperti perebutan kursi di elit kekuasaan. Bagaimana menilai gerakan buruh ditunggangi atau tidak?
AB: Politik itu permainan pragmatis. Seperti ketika Yacob Nuwawea mau menjadi menteri, dia mainkan buruh, ya biar saja, terima aja. Yang penting kepentingan buruh terpenuhi. Contoh lain, saat penggusuran di Jakarta. Untuk permainan politik, silahkan siapa yang mau membela. Mereka akan mendapatkan jasa dan nama baik, ambil saja. Kalau ada yang lain seperti Yacob, partai atau apapun, biar saja. Undang mereka, “Kalau membela buruh, kita akan dukung anda”. Buat transaksi, “Saya garuk punggung anda, anda juga garuk punggung saya”. Jangan terlalu alergi politik. Politik memang begitu, yang penting kita tidak pada pihak dirugikan. Ini politik modern, transaksi bukan idealis-idealis. Mau membela buruh tapi tak dapat apa-apa.
AR: Apa yang harus disiapkan untuk membangaun persatuan gerakan buruh yang kuat?
AB: Saat ini ada banyak serikat, tapi yang penting adalah mereka harus memilih pemimpin yang mengerti kepentingan kelas buruh. Mereka bisa beda, tapi ketika kepentingan kelas buruh terancam mereka bersatu. Itulah kenapa jaringan dalam dan LN itu penting. Buruh muncul beragam tidak bisa dicegah, tapi selalu ada koordinasi, kalau bisa ada seorang tokoh buruh, ‘Soekarno’nya buruh. Meski banyak kelompok, dia yang paling dihormati karena kita percaya dia tidak punya interest pribadi selain kepentingan buruh.
AR: Kenapa kepemimpinan gerakan buruh selalu dipimpin oleh kelas menengah?
AB: Itu perdebatan lama. Gerakan komunis dan gerakan buruh selalu dipimpin oleh kaum intelektual. Saya kira itu tidak bisa dihindari karena yang mampu mengartikulasikan kepentingan buruh biasanya kaum intelektual. Yang penting bahwa orang yang mimpin gerakan buruh itu adalah orang yang selalu berhubungan dengan buruh dan memperjuangkan kepentingan buruh. Saya kira kita lebih baik mempersoalkan pemimpin ini layak atau tidak ketimbang elit atau tidak elit. Fauzi Abdullah, misalnya, juga elit, tapi diakan dekat dengan buruh. Dia memenuhi syarat. Sebenarnya sulit mengatakan dia elit, tapi latar belakangnya mahasiswa UI. Padahal penampilan dan semangatnya buruh. Kalau pemimpin buruh itu harus benar-benar dari buruh atau sekolahnya harus sekolah menengah misalnya, itu agak naif, bahkan malah bisa melumpuhkan gerakan buruh. Tapi Kalau muncul pemimpin dari bawah ya bagus. Elit atau bukan, yang penting mau mendengar buruh, membela kepentingan buruh. Marx seorang akademisi, tidak memimpin buruh, setiap hari di perpustakaan, tapi dia dianggap pemimpin buruh dunia karena pemikirannya menginspirasikan kekuatan buruh.
AR: Organisasi buruh paska 80-90an lahir dari gerakan NGO, bagaimana menghindari relasi buruh-NGO yang kooptatif?
AB: Peran LSM paska reformasi tidak akan besar. Dulu LSM kuat karena partai tidak berfungsi. Sekarang fungsi fasilitasi buruh bisa diambil partai. Partai bisa masuk wilayah kerja LSM, tapi LSM tidak semuanya mampu menjadi partai. Kalau kondisi partai sudah normal, LSM jadi partai saja. Hubungan LSM dengan organisasi buruh, tani, nelayan memang masih mungkin, tapi lebih bagus kalau partai yang melakukannya untuk lebih efektif melakukan pemberdayaan rakyat. Fungsi konfrontasi dengan negara lebih efektif bila dilakukan oleh partai.
AR: Menurut anda peran dan posisi gerakan buruh ke depan bagaimana?
AB: Saya kira tergantung pemulihan ekonominya, saya kira sampai tahun 2004 masih sulit, buruh masih kocar-kacir. Jadi saya kira masih kelabu.
AR: Apakah ada strategi atau kebijakan yang mampu mengendalikan larinya modal?
AB: Ini sistem ekonomi pasar, sistem kapitalis, permainan untung-rugi saja. Kalau modal diinstruksi untuk masuk atau keluar, tidak akan jalan. Tapi kalau dibilang disini lebih untung, mereka akan datang. Caranya menciptakan iklim usaha yang baik, lalu menekan buruh. Ini kapitalisme yang jelas-jelas menguntungkan pengusaha.
AR: Kalau berharap pada peran negara?
AB: Negara tidak mampu melawan pasar. Kecuali negara sosialis yang kuat, yang menjalankan untuk kesejahteraan rakyat. Tapi bahayanya ketika negara jadi otoriter, yang di atas korup. Memang tidak ada sistem yang ideal, tapi dalam kapitalisme, kita harus sadar bahwa pasar itu kuat, pengusaha itu kuat.
AR: Apa tidak ada cara lain?
AB: Bagimana? Saya tidak melihat ada cara lain. Negara seperti Chile, ketika mencoba mengendalikan modal, hanya ‘BUMN’nya yang mampu. Ketika mereka melakukan nasionalisasi, AS langsung membekukan uang pemerintah Chile, bank Dunia tidak memberi pinjaman lagi, ekspornya diembargo. Mereka lari ke Soviet, tapi Soviet tak cocok dengan Chile. Negara kacau balau, banyak kerusakan, pemerintah krisis legitimasi, dan rakyat marah.***
Wawancara ini sebelumnya telah dimuat di Sedane Jurnal Kajian Perburuhan vol 1 no 1 Dec 2002.