Sebagai tongggak kemenangan kaum buruh dalam merebut 8 jam kerja, May Day, sangat terasa geloranya dalam dua tahun terakhir. Penyebabnya adalah semangat perlawanan terhadap kebijakan negara yang pro pemodal, yang dilakukan oleh banyak elemen buruh. Mereka yang turun ke jalan, bukan saja yang terbiasa dengan aksi massa tetapi, juga organisasi yang sebelumnya tidak terbiasa dengan aksi massa.
Karena itu, pada hakikatnya momentum May Day, sebagai hari buruh internasional, tidak melulu sebagai pesta “peringatan” yang bersifat seremonial. Lebih dari itu, May Day, seharusnya menjadi ajang konsolidasi kekuatan buruh dan sarana perjuangan kaum buruh di Indonesia.
Hal serupa juga terjadi di beberapa negara. Aksi-aksi di seputar bulan Mei, oleh serikat buruh atau aliansinya, telah menjadi alat untuk menyuarakan dan memperjuangkan kondisi kerja, kepastian kerja, dan kesejahteraan kaum buruh.
Koinsidensi ini terjadi, karena kebijakan yang dilawan oleh kaum buruh sedunia kini, relatif sama yakni, melawan kebijakan kapitalisme internasional yang memberlakukan sistem kerja yang fleksibel melalui metode sistem kerja kontrak dan outsourcing. Dengan cara itu, kapitalis dengan semena-mena membayar upah murah dan dengan mudah melakukan pemutusan hubungan kerja kepada buruh. Hasilnya, pengusaha meraup keuntungan yang berlipat-lipat, karena biaya yang dikeluarkan sangat rendah.
Fred dan Harry Magdoff dari Monthly Review, sebuah jurnal sosialis terkemuka di Amerika Serikat, menulis di bulan April 2004, bahwa konsep LMF (Labour Market Flexibility/Pasar Tenaga Kerja yang Fleksibel) merupakan jawaban kapitalisme atas kondisi yang menimpanya mulai akhir 1970-an yang ditandai oleh: (1) Lambatnya pertumbuhan ekonomi; (2) Menumpuknya uang di bank-bank (terutama bank kredit); dan (3) Timbunan hutang dan kredit macet. Selain itu kapitalisme sudah pada titik jenuh, yang ditandai dengan tidak adanya teknologi yang benar-benar baru.
Untuk penerapan LMF di Indonesia, pemerintah melalui Bappenas, mengeluarkan argumen bahwa LMF yang diterapkan melalui sistem kerja kontrak dan oursourcing, memungkinkan terciptanya lapangan kerja yang lebih besar. Namun, argumen ini tidak melihat dampak buruknya yaitu, jumlah penghancuran lapangan kerja yang juga sama besarnya. Dan untuk soal ini, pemerintah diam seribu basa.
Hubungan Industrial Yang Menindas
Praktek dalam keseharian menunjukkan, sistem kerja kontrak dan outsourcing terjadi pada semua jenis industri dengan waktu yang tidak tentu. Bahkan, di wilayah padat industri (seperti Surabaya dan Tangerang), hampir 60 persen buruh dipekerjakan dengan sistem kontrak dan outsourcing (hasil penelitian sistem kerja oleh FPBN tahun 2004, di wilayah Tangerang dan Surabaya).
Ini menunjukkan, aturan yang pada dasarnya buruk, karena memberikan ruang untuk melakukan sistem kerja kontrak dan outsourscing, dalam prakteknya lebih buruk lagi. Selain outsourcing pada buruh melalui yayasan atau penyalur tenaga kerja, di lapangan juga ditemukan banyak sekali outsourcing/sub-kontrak produksi dari perusahaan-perusahaan ke rumah-rumah (Jurnal Akatiga, 2005, informalisasi hubungan industrial).
Selain itu, cara-cara pemaksaan sistem kontrak dan outsourcing di Indonesia juga sangat beragam. Walaupun alasan yang muncul dari pengusaha dan pemerintah sama: agar tercipta lapangan pekerjaan bagi pengangguran. Modus operandi yang dipakai, bisa dilihat dari beberapa kasus yang merupakan hasil survey dan dimuat dalam Jurnal Perburuhan FPBN Mei-Oktober 2004: (1) Perusahaan menutup perusahaan dengan alasan bangkrut, namun membuka perusahaan baru dengan sistem kerja kontrak dan outsourcing; (2) Perusahaan memberikan iming-iming agar buruh mengundurkan diri dengan pesangon tidak sesuai selanjutnya, sistem kerja diubah menjadi kontrak; (3) Membuat program pensiun dini; (4) Melakukan “pemutihan”/pembaruan masa kerja.
Dengan diterapkannya sistem kontrak dan outsourcing ini, buruh mengalami hal-hal berikut: pertama, tidak adanya kepastian jaminan kerja bagi kaum buruh. Dengan taktik sistim kerja kontrak dan outsourcing untuk mendapatkan upah buruh yang murah, pengusaha melakukan penutupan perusahaan dengan berbagai dalih; kedua, tingkat kesejahteraan buruh menurun drastis sehingga tidak mampu menjawab kebutuhan sehari-hari. Ini dibuktikan oleh Survey Sosial Ekonomi Nasional, Maret 2006 oleh Biro Pusat Statistik (BPS), dimana pendapatan per kapita di daerah perkotaan adalah Rp. 150.799,-/bulan. Artinya buruh di daerah industri mengalami penurunan tingkat pendapatan yang berimbas pada pemenuhan kebutuhan hidup; ketiga, melemahnya kekuatan serikat buruh. Ini dikarenakan berkurangnya anggota akibat di PHK dan buruh yang dikontrak tidak berani berserikat disebabkan ancaman PHK; keempat, daya tawar buruh/pekerja menjadi lemah. Hal ini disebabkan oleh perjanjian kerja yang individual dan lebih banyak hanya dalam bentuk lisan.
Gagalnya LMF
Diadopsinya kebijakan LMF oleh pemerintah, menunjukkan kegagalannya dalam mengatasi pengangguran. Terbukti dari data yang dikeluarkan pemerintah sendiri melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2004-2009 dalam BAB 23 tentang Ketenagakerjaan, Bagian IV.16 – 4, sebagai berikut: “Kondisi ketenagakerjaan pada tahun 2003 menunjukkan belum adanya perbaikan, bahkan berdasarkan perkembangan angka pengangguran terbuka selama 5 tahun terakhir menunjukkan jumlah yang terus meningkat. Pengangguran terbuka yang berjumlah se kitar 5,0 juta orang atau 4,7 persen dari jumlah angkatan kerja pada tahun 1997 meningkat menjadi sekitar 6 juta orang atau 6,4 persen di tahun 1999, dan sekitar 9,5 juta orang atau 9,5 persen pada tahun 2003. Tingkat pengangguran terbuka pada tahun 2003 berdasarkan jenis kelamin, sebanyak 13 persen perempuan dan laki-laki 7,6 persen. Berdasarkan tingkat pendidikan dan kelompok usia, pengangguran terbuka sebagian besar untuk kelompok Sekolah Menengah Umum yaitu 16,9 persen, dan perguruan tinggi 9,1 persen, sedangkan untuk kelompok usia didominasi oleh usia muda (15-19 tahun) yaitu sebesar 36,7 persen.”
Penelitian Cesar Alonso-Borrego (Universitas Carlos III de madrid), Jesus Fernandez-Villaverde (Universitas of Pennsylvania) dan Jose E. Galdon-Sanchez (Universidad Publica de Navarra) pada 2004, juga menunjukkan bahwa LMF justru menciptakan tingkat pengangguran yang lebih besar.
Politik Kelas Pekerja
Kondisi obyektif di Indonesia sekarang, adalah kurangnya kondisi subyektif dalam usaha sendiri dari kelas buruh untuk menahan gempuran kapitalisme. Misalnya, ketiadaan pemimpin potensial kaum buruh dengan program ideologi buruh yang jelas.
Akibatnya, gerakan buruh mengalami kemunduran yang sangat parah. Meskipun UU PPHI sempat ditunda selama satu tahun atau penundaan revisi UUK 13/2003, para pemimpin kaum buruh (serikat pekerja konservatif) nampaknya menyetujui upaya itu tanpa usaha membatalkannya dan membuat format baru yang lebih adil untuk kepentingan kaum buruh. Mereka tampaknya lebih percaya dengan forum tripartit (pemerintah, pengusaha dan wakil serikat yang pro pemerintah/pengusaha).
Cara ini sebenarnya, hanyalah metode lain dari para kapitalis dalam mengimplementasikan program mereka. Apalagi dengan adanya persetujuan dari para pemimpin kaum buruh, membuat metode ini seolah-olah efektif. Para pemimpin kaum buruh itu, kemudian akan mencoba meyakinkan serikatnya masing-masing, untuk menerima keputusan yang ada. Lebih celaka lagi, para pemimpin buruh tersebut sungguh-sungguh setuju dengan argumentasi dari
kaum kapitalis/pemilik modal.
Untuk melawan pengaruh program kapitalis terhadap para pemimpin kaum buruh, serikat buruh dan pemimpin serikat buruh haruslah berupaya mengemukakan program alternatif. Alasan penolakan belaka, tidak akan pernah meningkatkan kesadaran kelas buruh. Apa yang diperlukan adalah program yang berawal dari realitas nyata untuk merumuskan alternatif yang diinginkan dan yang dapat meletakkan kelas buruh di jalan yang menuju masyarakat yang adil.
Memang, setiap hasil yang didapat dalam pembuatan undang-undang perburuhan, merupakan keuntungan bagi kelas buruh. Namun, kita tidak hendak melakukan pendekatan melalui undang-undang perburuhan sebagai tujuan dari pendekatan itu sendiri. Upaya perjuangan bagi hukum perburuhan yang baik, merupakan pelengkap dalam pembangunan oganisasi kelas buruh dengan tujuan seperti masyarakat lainnya yakni, demokrasi yang adil. Dan pada jaman Indonesia sekarang ini, hukum merupakan sudut pandang awal yang baik dalam memulai, jika kita tetap berpijak pada pendekatan perundangan dari sudut pandang yang luas dari perubahan sosial. Kenyataannya, kaum buruh sekarang ini, walaupun mereka dapat tumbuh secara radikal, mereka masih banyak terindokrinisasi oleh ideologi gerakan anti-komunis dari rezim Orde Baru. Akibatnya, mayoritas atau sebagian besar tidak mempunyai arahan ketika berbicara mengenai teori-teori besar ideologi buruh.
Padahal, dengan melihat hukum perburuhan di masa Orde Lama, jembatan yang akan menghubungkan dengan ide-ide ideologi buruh akan mudah terbentuk. Pertanyaannya, mengapa di masa lalu undang-undang perburuhan jauh lebih baik? Saya menduga, saat itu kesadaran kaum buruh tentang sejarah kelas mereka telah terbentuk. Lebih jelasnya, gerakan buruh menjadi kuat dikarenakan adanya ideologi buruh yang sebenar-benarnya!
Ini mengandung konsekuensi, kaum buruh tidak boleh membatasi perjuangannya hanya untuk mencapai perundang-undangan yang baik. Kenyataan menunjukkan, di bawah kekuasaan kaum pengusaha/pemilik modal, perundang-undangan tersebut tidak pernah akan terlaksana. Inilah dialektika gerakan, dimana kaum buruh dalam perjuangan untuk menegakkan hak- haknya, senantiasa akan berhadapan dengan kepentingan majikan. Dan jelas sudah, majikan akan menentang kepentingan kaum buruh.
Situasi ini menuntut kaum buruh agar mulai mencari bentuk gerakan alternatif yang lain. Selanjutnya, didorong pada persoalan tentang pentingnya ideologi kelas pekerja. Kinilah saatnya, semua individu yang mengakui ideologi kelas pekerja dengan serikat-serikat buruh, untuk memanfaatkan setiap kesempatan dalam upaya mempercepat proses penyadaran ideologi agar lebih progresif. Kesabaran untuk menjelaskan potensi tersebut bisa dipastikan akan menjadi kenyataan.
Menyatukan ideologi kelas buruh tentunya tidak cukup dalam serikat buruh. Dalam melawan kapitalisme, kaum buruh harus pula menempuh jalan politik di samping jalan ekonomi. Dengan demikian, kaum buruh harus sadar dan mulai membangun kekuatan partai politik kelas pekerjanya sendiri. Partai politik merupakan jawaban tak terhindarkan. Kelas pemilik modal/borjuis, juga memakai partai borjuis untuk memaksakan kepentingan ekonominya, selain alat-alat lainnya yang dipakai.
Tentu saja, cara-cara lain yang bisa mengurangi dan merongrong kekuatan kapitalisme, tidak diabaikan. Hingga pada satu titik, kapitalisme bisa dihancurkan secara bersama-sama. Di atas reruntuhan puing kapitalisme itu, kekuasaan kelas pekerja ditegakkan. Sebuah kekuasaan untuk mengatur kehidupan tanpa penghisapan manusia terhadap manusia lainnya.***
Beno Widodo, adalah Sekjend Pengurus Pusat Konggres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.
Dengan versi yang sedikit berbeda, artikel ini telah dimuat di Buletin Elektronik www.Prakarsa-Rakyat.org SADAR Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi, Edisi: 39 Tahun III – 2007.