SALAH satu topik paling penting didiskusikan adalah topik “ekonomi alternatif.” Di kalangan gerakan, topik ini diam-diam bergerak liar, ketika semangat anti kapitalisme-neoliberalisme semakin memuncak. Ada semacam kesadaran yang terus berkembang, gerakan tidak hanya berhenti pada tuntutan. Kini saatnya kita bicara alternatif.
Kini tak cukup lagi berteriak anti neoliberalisme. Lebih penting lagi “adakah alternatif di luar mekanisme pasar bebas?” Apa alternatif pembiayaan pembangunan pengganti utang luar negeri? Apa alternatif penyehatan perbankan di luar pembentukan bank sentral yang independen? Apa alternatif bagi penyehatan BUMN tanpa harus melakukan privatisasi? Ekonomi rakyat itu seperti apa sih? Apakah yang berbentuk koperasi ataukah ekonomi komunitas model masyarakat adat?
Pertanyaan-pertanyaan ini sungguh menantang secara intelektual, lebih-lebih untuk kebutuhan praksis gerakan. Berdasarkan rekaman sejarah, terdapat sejumlah alternatif pembangunan ekonomi di luar sistem kapitalisme-neoliberal. Pertama, adalah sistem sosialisme dimana ide dasarnya adalah menempatkan proses produksi dan pemasaran di bawah kontrol kelas pekerja. Dengan demikian, kelas pekerja tidak hanya menjual tenaga kerjanya tapi juga, menguasai dan mengontrol hasil kerjanya. Saat ini, sistem ekonomi sosialis beroperasi secara teorganisir di Kuba. Tetapi secara umum, pasca keruntuhan model Uni Sovyet, sistem ekonomi sosialis telah dianggap sebagai masa lalu yang masih harus membuktikan keunggulannya di hadapan ekonomi pasar bebas.
Kedua, sistem ekonomi yang berwatak nasionalistik. Sistem ini memang tidak menolak secara tegas sistem kapitalisme tapi, juga tidak membuka diri lebar-lebar pada penetrasi kapitalisme internasional. Sekelompok akademisi menyebut sistem ini sebagai kapitalisme negara (state capitalism). Dalam sistem ini, pembangunan ekonomi nasional dibimbing, dikawal dan difasilitasi oleh negara agar tidak terempas oleh gelombang persaingan bebas. Korea Selatan di masa kediktatoran militer, Taiwan di masa kediktatoran Chiang Khai Shek, dan Iran di bawah rejim mullah adalah prototipe pembangunan ekonomi yang berwatak nasionalistik. Dalam batasan yang lebih ketat, ekonomi Uni Soyet dan Cina saat ini bisa dimasukkan dalam kategori ini.
Tetapi, lagi-lagi di bawah terpaan angin puyuh kapitalisme-neoliberal, sistem ini dipandang sebagai batu penghalang kemajuan ekonomi nasional. Rigiditas ekonomi yang merupakan konsekeunsi dari nasionalisme ekonomi ini, dianggap sebagai penyebab utama krisis ekonomi yang melanda perekonomian Asia Timur dan Tenggara. Intervensi aktif negara dalam sektor ekonomi menjadi penyebab utama munculnya korupsi atau perilaku moral-hazard lainnya. Tak aneh, dalam usaha pemulihan ekonomi paska krisis, seluruh batu penghalang neoliberalisme ekonomi ditendang jauh-jauh. There is no alternatives, jika ingin selamat.
Ketiga, sistem ekonomi yang berwatak populis. Dalam sistem ini, pemerintah yang berkuasa memberikan prioritas kepada sektor usaha kecil dan menengah di dalam negeri. Tetapi, berbeda dengan ekonomi yang berwatak nasional, sistem ekonomi populistik ini juga memberikan tempat yang relatif luas bagi serikat pekerja dan serikat tani untuk terlibat dalam pengelolaan ekonomi. Argentina di masa Peronisme adalah prototipe sistem ini. Sebagian pakar menilai, sistem ekonomi yang tengah dikembangkan di Venezuela di bawah Hugo Chavez, lebih mirip model populisme ketimbang sosialisme.
Pertanyaannya, bagaimana dengan Indonesia? Sistem apakah yang bisa menjadi alternatif di luar kapitalisme-neoliberal? Saya teringat pada konsep Marhaenisme yang dikumandangkan Bung Karno, yang disebutnya juga sebagai “sosialisme yang diterapkan di Indonesia.” Secara empirik, Marhanenisme muncul dalam slogan Berdikari (berdiri di atas kaki sendiri). Menurut saya, Marhaenisme ini lebih menjurus populisme. Selain ide Marhaenisme, Bung Hatta muncul dengan ide koperasi yang dianggapnya sesuai dengan ciri asli masyarakat Indonesia. Ide ini pun sebenarnya lebih dekat kepada populisme ketimbang pada sosialisme apalagi nasionalisme ekonomi.
Kita sama tahu, kedua ide pembangunan ekonomi ini menemui kegagalan. Ide Marhaenisme dilibas oleh gemuruh kapitalisme Orde Baru. Sementara ide koperasi diadopsi dan kemudian dimitoskan oleh rejim Orba. Bentuk ekonomi koperasi ditaruh di sangkar emas kekuasaan, tapi dibonsai di lapangan praktek.
Di luar kedua ide ini, belum muncul gagasan ekonomi alternatif di kalangan gerakan sosial. Ataukah memang tak ada yang baru di bawah matahari?
Coen Husain Pontoh