Masih Soal Kelas Ya?

Print Friendly, PDF & Email

untuk dosennya Aal

DUA MINGGU lalu di kolom ini tampil tulisan soal kelas. Kelas tampaknya istilah yang sepertinya tak cuma sudah identik tetapi juga telah menjadi batas bawah identitas kemarxisan seseorang. Apakah yang dipaparkan kemarin itu sudah seratus persen benar dan tuntas mencakup seluruh konsepsi Marx tentang kelas sosial? Apa mau dikata, tentu tidak. Kolom Logika mah apa atuh, cuma kolom dengan 1000 kata lebih sedikit yang ditulis di sela-sela berbagai kerja penulisan lain oleh penulis yang bukan aktivis serikat buruh pula. Kalau begitu, perlu ada tambahan cerita minggu ini soal kelas dong? Ya, mau bagaimana lagi. Setidaknya untuk menghindari tuduhan sebagai “babi idealis macam apa yang menjelaskan soal kelas mulai dari kategori bukannya dari realitas materiil” yang memilukan hati setiap materialis yang sedang berusaha kaffah.

Baiklah, apa yang diceritakan di tulisan sebelumnya masihlah batas bawah apa yang Marx maksud dengan kelas. Di sana hanya dipaparkan kelas sebagai realitas objektif-struktural atau, dalam istilahnya Marx, kelas-dalam-dirinya. Seperti sudah disinggung, seperti halnya nilai komoditi yang untuk mengada dalam kehidupan sosial manusia-manusia hidup mesti berinkarnasi ke dalam nilai-tukar dan untuk bisa dipertukarkan nilai komoditi mesti menubuh ke dalam benda-benda material yang bisa dikunyah, dikenakan, atau dijalankan, begitu pula dengan kelas. Untuk aktualnya kategori dan relasi kelas dalam kehidupan sosial mereka mesti menubuh ke tubuh-tubuh orang-orang hidup dan tetek bengek benda materiil. Karena orang-orang hidup ini bukan cuma daging tanpa perasaan, tanpa kesadaran diri, dan tanpa kepentingan pribadi, dan kesemuanya ini belum tentu selalu selaras dengan kepentingan struktural dari kategori yang disandangnya, maka segi lain dari kelas ialah keberadaannya sebagai realitas subjektif atau, dalam istilahnya Marx, kelas-pada-dirinya. Yang dimaksud kelas-pada-dirinya tak lain dari aktualisasi kategori sosial yang disadari oleh orang-orang yang terkategori ke dalam kategori tersebut. Dengan kata lain, bicara kelas mestilah juga bicara soal ‘kesadaran kelas’.

Mahluk macam apa itu? Apa bedanya dengan kesadaran diri? Kata dosen psikologi, kesadaran diri itu kesadaran seseorang akan dirinya sendiri. Sementara kesadaran kelas itu pertama-tama ialah kesadaran seseorang sebagai bagian dari suatu kelas sosial; kesadaran akan kedudukannya sebagai anggota kategori dan relasi kelas di dalam struktur sosial. Kalau ‘pertama-tama’ berarti ada yang lain? Ya. Kesadaran kelas itu mestilah sosial. Artinya ia mesti dibagi bersama-sama dengan orang-orang lain. Ia mesti menjadi semacam imajinasi kolektif yang memungkinkan ‘aku’ menjadi ‘kita’ dan ‘kami’ dalam posisi berhadap-hadapan dengan ‘mereka’ yang beda kepentingan strukturalnya. Entah kesadaran ini mengarah ke tindakan bersama atau tidak, itu urusan lain yang mesti dibongkar dengan konsep yang lain pula. Pokoknya, seperti halnya kesadaran diri yang tidak niscaya muncul di diri setiap orang sejak dari rahim bundanya tapi melalui pengalaman berinteraksi dengan orang-orang di dunia sekitarnya, begitu pula kesadaran kelas hanya muncul ketika orang-orang yang secara objektif menyandang kategori kelas tertentu menyadari pertentangan (atau buat yang merasa Marxis tulen satu-satunya di dunia: kontradiksi) kepentingannya sebagai suatu kolektif melalui pengalaman aktual interaksinya dengan orang-orang di dunia sekitar.

Tapi, karena dunia sekitar yang tertangkap oleh mata berkacamata bukanlah realitas bugil tanpa tabir yang bisa dikenali langsung hanya dengan memelototinya, tapi dunia yang senantiasa berselubung kabut-kabut ideologis (yang bukan Marxis tulen biasa menyebutnya ‘kebudayaan’), untuk menjangkaunya diperlukan daya-upaya yang tak gampang. Itulah mengapa Marx sudi melakukan penelitian berpuluh-puluh tahun hanya untuk menemukan bentuk ‘kapitalisme’ beserta ‘tangan-tangan’ eksploitatifnya. Kenapa musti berselubung? Selagi kita hidup di dalam masyarakat yang di dalamnya segolongan kecil orang hidup dari menghisap nilai yang dihasilkan kerja orang lain yang jumlahnya lebih banyak, selama itu pula dunia atau kehidupan sosial mesti dibikin terlihat tanpa penghisapan, wajar, alamiah atau malah ilahiah. Sejenis imajinasi kolektif mesti ada bahwa dunia sedang baik-baik saja. Selubung ini tercipta oleh atau efek samping dari struktur sosial eksploitatif yang perlu reproduksi diri, bukan ciptaan orang per orang. Meski, tentu saja, untuk maujudnya selubung-selubung ini harus ada orang-orang yang tercurah badan dan pikirannya terlibat dalam memproduksi dan mereproduksinya baik sengaja ataupun tidak. Nah, menembus selubung yang seringkali berlapis-lapis ini dan bersentuhan langsung dengan realitas yang sebenarnya, bukan perkara mudah. Kenapa?

Marx pernah bilang—kalau tak keliru di Tesis Feuerbach—pada dasarnya kehidupan sosial itu praktis, tidak kontemplatif. Artinya setiap tindakan, gerak tubuh, serta gagasan orang-orang atasnya tidak selalu dipikirkan dahulu mengapa begini-begitu dan mesti bagaimananya. Karena itulah tidak setiap detik orang-orang bisa menyadari kategori kelasnya. Lagi pula, dalam kehidupan praktis, tampakan aktual-empiris kategori sosial lebih kentara ketimbang kategori sosialnya sendiri yang merupakan jantung tempat tampakan itu dipompa ke luar. Nah, karena kategori kelas hanya mengemuka dalam relasi produksi, dan karena relasi produksi hanya mengemuka ke kesadaran orang per orang dalam rupa—misalnya—kontrak kerja, aktivitas kerja dari jam sekian sampai sekian, transferan sejumlah uang sebagai upah bulanan, bonus lembur, mutasi, pemotongan tunjangan atau PHK yang bertalian dengan dunia pabrik atau kantor, maka tumbuhnya kesadaran kelas pada sekumpulan orang yang berkategori kelas sama tidaklah otomatis. Tidak niscaya semua orang yang hidupnya dari kerja-upahan menyadari kesamaan kategorinya sebagai proletariat dengan semua orang lain yang hidupnya dari kerja-upahan. Bisa jadi karena bekerja di kantor ber-AC dan bergaji belasan juta per bulan sehingga bisa bergaya hidup layaknya majikan mereka, seseorang bisa mengidentifikasi dirinya (dan dengan demikian kesadaran kelasnya) bukan-pekerja meski secara objektif dia termasuk proletariat atau pekerja-upahan.

Tambah lagi, selain kelas ada banyak sekali kategori sosial yang disandang dan dihidupi orang per orang dalam kehidupan sehari-harinya. Di dalam konteks kekerabatan kita punya paman-keponakan, adik-kakak, anak-orangtua, sepupu, ipar, dan sebagainya. Di dalam konteks ekonomi kita punya kategori dan relasi penjual-pembeli, produsen-konsumen, bankir-nasabah, debitur-kreditor, majikan-pekerja, kaya-melarat, dan sebagainya. Kalau dibikin daftar pasti seorang saja bisa menyandang ribuan kategori sosial dalam kehidupan hariannya. Jangankan kesadaran akan kelasnya, kesadaran sebagai anak saja biasanya hanya muncul dalam pengalaman aktual tertentu dalam rentang waktu tertentu pula seperti ditelpon emak yang lagi kangen, melayat bapak sakit, mudik Lebaran, butuh duit buat beli buku, atau pas ijab kobul. Tidak setiap detik kategori anak dan relasi filial itu aktual meski ia melekat semenjak kita diperanakan. Kelas sosial itu cuma salah satu di antara sekian ribu kategori yang ada di dalam masyarakat. Saking banyaknya, tak mungkinlah setiap orang terus-menerus menyadari identitas kelasnya dari bangun tidur hingga tidur lagi. Capek deh.

Pokoknya, kedudukan struktural kelas sekelompok orang tidak otomatis menumbuhkan kesadaran kelasnya dan dengan demikian pula tidak niscaya sekelompok orang itu akan bertindak menurut kepentingan kelasnya. Kalau ada kaitan otomatis antara kedudukan struktural dalam relasi kelas dengan kesadaran kelasnya, tentu tak perlu yang namanya pengorganisasian dalam perjuangan kelas. Justru karena kedudukan, kesadaran, serta tindakan kelas orang-orang tidak niscaya selaraslah politik diperlukan.

Kalau begitu, supaya antara kedudukan objektif sebagai kelas dan kesadarannya ada keselarasan, setidaknya ada dua tingkatan realitas yang mesti ditembus? Yoi. Pertama, tingkatan struktural yang menjelaskan relasi kelas antar kategori sosial ‘kapitalis dan proletariat’. Struktur kelas itu bekerja objektif. Maksudnya ia ada di luar dan tak bergantung pada kesadaran orang-orang atasnya. Belum tentu semua orang yang terkategori sebagai kapitalis dan proletariat menyadari keberadaannya. Paling banter kesadaran atasnya serba intuitif sebab struktur itu tak kasat mata dan tak selalu maujud ke dalam pengalaman aktual. Karena sekadar dengan memelototi transaksi jual-beli barang kebutuhan sehari-hari, proses teken kontrak kerja tiap tahun, atau surat keputusan PHK yang telah kita robek, struktur kapitalisme tak langsung menampak, ia memerlukan mata lain untuk melihatnya. Di sinilah ilmu dan teori diperlukan. Nah, satu-satunya ilmu yang punya mata untuk memelototi struktur dan kontradiksi kelas sebagai tulang punggung masyarakat kapitalisme ialah Marxisme.

Kedua, tingkatan pengalaman empiris-aktual yang mempertemukan dua kategori kelas di dalam interaksi keseharian. Normalnya dua kali seseorang mengalami kedudukan kelasnya sebagai pekerja-upahan. Pertama sewaktu melamar pekerjaan dan dipaksa mengikuti kehendak majikan dalam soal upah, serta kedua ketika dipecat. Ya, sesekali pengalaman kelas juga muncul sewaktu ada kondisi genting yang memaksa majikan memilih antara melanjutkan bisnis atau memecat pegawainya. Atau ketika beban persaingan bisnis memaksa majikan mengurangi porsi nilai-lebih untuk tunjangan pegawai. Selagi kondisi ekonomi lancar jaya, ketika gaji bulanan begitu menyamankan hidup sehari-hari, apalagi sampai bisa bergaya hidup selayaknya anak majikan, pengalaman kelas seperti lenyap dari muka bumi. Yang sebenarnya terjadi cuma lenyapnya pengalaman kelas dari kesadaran orang itu saja. Jadi boleh dibilang bahwa kesadaran kelas hanya muncul ketika kontradiksi (kepentingan) kelas meruncing dan maujud dalam bentuk tegangan-tegangan kepentingan yang menyodet kulit kehidupan orang per orang. Tapi untuk menjadi kesadaran kelas sama sekali, pengalaman konflik kepentingan di tingkat orang per orang yang berdarah-darah ini mestilah menjadi pengalaman kolektif. Pengalaman dan kepentingan kelas sehari-hari yang diorganisasi sedemikian rupa ini pun tak bisa lepas dari kodratnya sebagai bagian dari upaya menjelaskan kedudukan struktur kelas dalam kapitalisme yang hanya bisa diterangi oleh ilmu. Amal tanpa ilmu adalah buta. Ilmu tanpa amal itu buntung. Karena itu, dalam upaya membangkitkan kesadaran kelas pekerja melawan penindasan kapitalisme, Marxisme tak cukup berperan sebagai ilmu. Marxisme mesti menjadi amal kecuali kita puas hanya dengan gerutu dan uring-uringan di kolom Logika atau di warung kopi samping kampus.***

 

Jatinangor, 28 September 2015

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.