Quo Vadis Jaminan Kesehatan Nasional?

Print Friendly, PDF & Email

WALAU Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah berjalan 1 tahun lebih, berbagai macam masalah masih tetap mengiringi program ini. Munculnya kasus-kasus seperti birokratisasi yang memperumit pelayanan kesehatan bagi pasien, adanya praktek sogok menyogok untuk mendapatkan pelayanan rumah sakit sampai dengan maraknya penolakan pasien BPJS oleh rumah sakit, seakan lumrah untuk memenuhi arus informasi publik kita. Hal ini tentu saja menciptakan banyak pertanyaan terhadap program jaminan kesehatan ‘universal’ yang digadang-gadang sebagai yang terbesar di planet ini.

Pertanyaan ini memang tak terhindarkan mengingat memang sempat ada harapan mengenai ‘politik redistributif’ dengan kemunculan jaminan sosial seperti JKN. Secara politik kebijakan semacam JKN ini memiliki agenda untuk pemerataan serta kesejahteraan rakyat. Jika selama ini proses politik Indonesia selalu dipahami sebagai didominasi oleh kekuatan politik oligarki yang tidak memiliki kepentingan apapun terhadap agenda kesejateraan rakyat secara luas, maka kemunculan JKN seakan hendak menantang pembacaan umum mengenai dominasi elit ini. Di sini, JKN seakan menjadi penanda bagi adanya kemungkinan baru dalam praktik politik selama ini.

Aspinall (2014) berargumen bahwa kondisi ini dimungkinkan karena kemunculan kesempatan politik yang baru dalam era demokratisasi pasca reformasi. Dalam pandangan Aspinall, demokratisasi memfasilitasi kekuatan politik yang selama ini dimarjinalisasi oleh dominasi elite oligraki, seperti LSM dan Serikat Buruh. Kekuatan politik ini yang kemudian mewarnai dinamika politik yang ada dan memengaruhi lahirnya kebijakan seperti JKN. Argumen Aspinall terdengar persuasif karena jika diperhatikan pada masa-masa selama proses pembentukan kebijakan JKN, memang cukup besar keterlibatan secara sadar beberapa elemen gerakan rakyat. Sulit untuk mengatakan bahwa mobilisasi yang dilakukan adalah semata manipulasi elite oligarki.

Tapi pandangan seperti Aspinall hanyalah sebagian dari keseluruhan proses yang memungkinkan lahirnya JKN. Yang kurang diperhatikan dari kehadiran JKN adalah ia juga difasilitasi oleh agenda institusi finansial internasional, seperti Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank, ADB). Intervensi ADB untuk mendorong kebijakan jaminan sosial semacam JKN juga bukanlah suatu upaya sekedarnya, namun adalah intervensi yang sifatnya strategis yang dimulai dari keterlibatan panjang mereka pada saat Indonesia tengah dirudung krisis ekonomi 1997 (lihat dokumen ADB 1998).

Secara jelas, kepentingan utama ADB dalam merancang kebijakan sistem jaminan sosial bukanlah pertama-tama perihal pemerataan dan kesejahteraan, akan tetapi mengenai reformasi tata kelola sektor finansial. Terbukanya kemungkinan bagi munculnya krisis ekonomi dimasa depan membuat reformasi ini menjadi mendesak. Mereka juga melihat bahwa reformasi sektor finansial harus mampu untuk mengantisipasi efek sosial dari krisis. Disinilah muncul kebutuhan untuk mengintegrasikan reformasi sektor finansial dengan jaminan sosial (lihat dokumen ADB 2002).

Integrasi inilah yang kemudian menjadi masalah mendasar dari JKN. Karena ia tidak secara langsung dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan rakyat Indonesia perihal kesejahtaraan yang berkeadilan. Secara retoris, JKN dirasionalisasi sebagai bagian dari amanat konstitusi. Namun dalam Peta Jalan (Road Map) JKN 2012-2019, disebutkan bahwa cara yang digunakan untuk merealisasikan amanat ini didasarkan pada mekanisme pasar. Hal ini setidaknya dapat dilihat pada tetap dipertahankannya konservatisme fiskal pemerintah Indonesia sendiri. Belanja negara pada sektor kesehatan di Indonesia dapat dianggap rendah. Pada tahun 2013, Indonesia hanya mengalokasikan 3,7 persen dari APBN untuk sektor kesehatan. Angka ini lebih rendah dari beberapa negara berpenghasilan rendah seperti Rwanda, Tanzania dan Liberia yang mampu mengalokasikan 11 persen dari anggaran nasional mereka untuk sektor kesehatan. Negara yang memiliki pendapatan yang mirip dengan Indonesia, seperti Chile bahkan mampu mengalokasikan 16 persen dari anggaran nasional untuk perawatan kesehatan (Eko 2013). Tren belanja rendah pada kesehatan bahkan terus menururn untuk anggaran nasional 2015 itu. Dari Rp. 2,019.9 triliun, pemerintah hanya mengalokasikan Rp. 71 triliun untuk sektor kesehatan (Direktorat Anggaran 2015). Walau jumlahnya telah meningkat dari Rp. 67 triliun pada tahun 2014, namun rasionya adalah menurun menjadi 3,5 persen dalam alokasi sektor kesehatan .

Tidak ada yang baru dari argumen ini. Beberapa beberapa elemen radikal dalam gerakan rakyat juga sempat mengajukan problem yang sama perihal JKN sebagai agenda neoliberal. Namun, kita perlu merefleksikan secara lebih mendalam mengenai agenda ADB dan neoliberalismenya dalam kaitannya dengan masalah dalam JKN ini. Hanya sekadar berteriak untuk menolak JKN karena ia adalah bagian dari agenda ADB dan neoliberalisme akan membuat kita luput terhadap titik krusialnya. Keputusan ADB untuk ’mendesak’ Indonesia agar segera merealisasikan jaminan sosial universal adalah suatu pertanyaan yang harus diliat secara lebih objektif; bahwa terdapat rasa mendesak di kalangan kelas berkuasa perihal pentingnya memberikan jawaban atas nyatanya ancaman krisis dan ketimpangan sosial di masyarakat.

Hal inilah yang menyebabkan mengapa JKN tetap memikat kesadaran rakyat pekerja Indonesia. Kualitas kesejahteraan yang terus-menerus tergerus membuat program seperti JKN mampu untuk memenuhi masalah kesehatan mayoritas rakyat. Kita bisa berpendapat bahwa JKN bersifat ilusi, namun ketiadaan alternatif agenda politik kesehatan dari gerakan rakyat itu sendiri membuat tidak ada pilihan yang dapat dilakukan kecuali ikut serta dalam program yang tersedia.

Situasinya semakin diperumit ketika dalam ruang ideologis neoliberalisme itu sendiri, evaluasi atas JKN dimungkinkan namun tentu saja untuk pendalaman agenda neoliberal itu sendiri. Dalam evaluasi Unit Intelijen majalah pro-pasar bebas seperti The Economist (2015) misalnya, buruknya pelayanan JKN justru menjadi insentif bagi investasi swasta karena akan memicu munculnya permintaan dari kelas menengah yang memiliki aspirasi bagi pelayanan kesehatan yang berkualitas. Mereka juga mengakui adanya masalah terkait rendahnya anggaran kesehatan dalam JKN, yang justru dianggap sebagai peluang bagi pembiayaan swasta. Belum lagi pernyataan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegorok, yang belakangan ini sepakat akan memperluas peranan swasta dalam pelayanan kesehatan publik di Indonesia.

Apa yang ditemukan di sini adalah betapa halusnnya penetrasi ideologi neoliberal sehingga mengerangkeng imajinasi serta kesadaran kita sekarang. Ketiadaaan agenda politik alternatif hanya akan menjadi narasi awal bagi penetrasi lebih dalam agenda neoliberal dalam JKN. Di sini kita dihadapi pada sebuah pilihan yang sama sekali bukan pilihan: entah kita akan larut dalam proses pendalaman neoliberalisme melalui perbaikan atas JKN atau menawarkan program politik kesehatan yang berposisi diametral terhadap JKN itu sendiri. Tidak ada preskripsi cepat atas dilema ini, namun satu yang pasti, ia selalu harus dimulai dengan pengorganisasian program politik gerakan rakyat itu sendiri.***

 

Penulis adalah mahasiswa pasca sarjana di Murdoch University, Australia. Anggota Partai Rakyat Pekerja (PRP)

 

Kepustakaan:

Aspinall, E. (2014). ‘Health care and democratization in Indonesia.’ Democratization, 21(5), 803-823

The Economist Intelligent Unit. (2015). Universal health care coverage in Indonesia: One year on. Diambil dari http://www.jointlearningnetwork.org/uploads/files/resources/Universal_healthcare_coverage_in_Indonesia%E2%80%94One_year_on_WEB.pdf

Direktorat Jenderal Anggaran. (2015). Seputar APBN: Anggaran Kesehatan, 2010-2015. Kementerian Kuangan RI. Diambil dari http://www.anggaran.depkeu.go.id/dja/edef-seputar-list.asp?apbn=sehat

Eko, C. (2013). Alokasi anggaran untuk kesehatan RI kalah dari negara miskin. Metro TV News. Diambil dari http://showbiz.metrotvnews.com/read/2013/10/10/187359/Alokasi-Anggaran-untuk-Kesehatan-RI-Kalah-dari-Negara-Miskin

Asian Development Bank. (1998). Report and Recommendation of the President to the Board of Directors on Proposed Loan and Technical Assistance Grants to the Republic of Indonesia for the Social Protection Sector Development Program. Retrieved from http://www.adb.org/projects/documents/social-protection-sector-development-program-rrp

Asian Development Bank. (2002). Report and Recommendation of the President to the Board of Directors on Proposed Cluster, First Loan and Technical Assistance Grants to the Republic of Indonesia for the Financial Governance and Social Security Reform Program. Diambil dari http://www.adb.org/projects/documents/financial-governance-and-social-security-reform-program-indonesia-rrp

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.