Obituari: Eduardo Galeano, Sang Pembuka Urat Nadi Imperialisme Amerika Latin

Print Friendly, PDF & Email

DALAM ucapan belasungkawanya yang dikirim lewat twitter, Presiden Ekuador Rafael Correa dengan pilu menulis, ‘Eduardo Galeano, penulis Uruguay dan seorang sahabat baik, urat nadi Latin Amerika dibuka atas namamu.’

Galeano adalah salah satu penulis terbesar benua Amerika Latin—selain Gabriel Garcia Marquez, Pablo Neruda dan Mario Vargas Llosa—nama yang terakhir kemudian banting stir dan menjadi pembela paling tangguh sistem politik ekonomi neoliberal. Galeano pergi kealam baka pada 13 April 2015 dalam usia 74 tahun. Eduardo Hughes Galeano, demikian nama panjangnya, lahir di Montevidio Uruguay pada 3 September 1940. Mengawali karirnya sebagai jurnalis dan editor pada harian terkemuka Marcha pada tahun 1960an.

Ketika kalangan militer melancarkan kudeta dan mengambil alih kekuasaan di Uruguay pada 1973, Galeano kemudian dipenjarakan dan dipaksa untuk meninggalkan negerinya. Karyanya Open Veins of Latin America dengan segera dilarang oleh pemerintahan militer dan pelarangan ini tidak hanya di Uruguay, tetapi juga berlangsung di Chile dan Argentina. Ketika mengungsi ke Argentina, ia mendirikan majalah budaya, Crisis. Pada 1976, dia menikah untuk yang ketiga kalinya dengan Helena Villagra; pada saat yang sama, jenderal Jorge Rafael Videla mengambil alih kekuasaan di Argentina melalui salah satu kudeta militer paling berdarah di benua itu. Nama Eduardo kemudian ditambahkan ke dalam daftar orang-orang yang dituduh dan dicari-cari oleh pasukan pembunuh. Tekanan ini memaksa Galeano mengungsi lagi, dimana kali ini dia menuju Espanyol, Spanyol. Di sana dia menulis karya trilogy termasyhurnya, Memoria del Fuelgo (Memories of Fire), Genesis dan Century of the Wind, dikenal sebagai karya sastra yang menentang dengan keras kolonialisme dan imperialisme di Amerika Latin.

Pada awal 1985, Galeano kembali ke Montevideo, Uruguay. Menyusul kemenangan Tabaré Vázquez dan Front Aliansi Besar pada pemilihan umum di Uruguay 2004 yang menandai kemenangan pemerintahan sayap kiri pertama dalam sejarah politik negara itu. Menyambut kemenangan itu, Galeano menulis sebuah artikel yang dimuat The Progressive dengan judul ‘Where the People Voted Against Fear,’ (Ketika rakyat memilih melawan ketakutan). Dalam artikel itu, Galeano menunjukkan dukungan kepada pemerintahan baru dan berkesimpulan bahwa rakyat Uruguay menggunakan ‘akal sehat’ dan ‘sudah lelah dengan kebohongan’ yang dipertontonkan oleh partai tradisional Colorado dan Blanco.

Setelah pendirian TeleSUR oleh mendiang presiden Venezuela Hugo Chavez, sebuah stasiun televisi pan-Latin Amerika yang berbasis di Caracas, Venezuela, pada 2005, Galeano bersama-sama dengan intelektual sayap kiri lainnya seperti Tariq Ali, bergabung di dalam 36 anggota komite penasehat.

Pada 10 Februari 2007, Galeano berhasil melalui operasi penyembuhan kanker paru-paru. Dalam salah satu wawancaranya dengan jurnalis Amerika Serikat Amy Goodman setelah terpilihnya Obama sebagai Presiden Amerika Serikat pada November 2008, Galeano mengatakan, “Gedung Putih akan menjadi tempat tinggal Obama untuk waktu-waktu mendatang, tapi Gedung Putih dibangun oleh para budak kulit hitam. Dan saya ingin, saya berharap, bahwa dia tidak pernah, tidak akan pernah melupakan ini.”

Pada 17 April 2009, pada saat sesi pembukaan Pertemuan ke-5 Negara-negara Benua Amerika yang diselenggarakan di Port of Spain, Trinidad and Tobago, Presiden Venezuela (Almarhum) Hugo Chavez, menyerahkan sebuah salinan dari buku Galeano Open Veins of Latin America kepada President Amerika Serikat Barack Obama, yang mengadakan kunjungan diplomatik pertama kali ke benua itu. Seminggu kemudian, buku Open Veins of Latin America terjual jutaan kopi. Sebulan setelahnya, dalam sebuah wawancara dia berbicara mengenai masa lalunya dan pekerjaanya saat ini, sebagian berkaitan dengan hubungan antara kebebasan dan perbudakan, demokrasi dan kediktatoran: “tidak hanya Amerika Serikat, juga sebagain Negara-negara Eropa, telah menyebarkan kediktatoran militer di seluruh dunia. Dan mereka merasa bahwa mereka bisa mengajarkan demokrasi.” Ia juga berbicara mengenai bagaimana dan mengapa ia telah mengubah gaya kepenulisannya, dan popularitasnya yang terus mencuat saat ini.

Pada bulan April 2014, Galeano melakukan wawancara di II Bienal Brasil do Livro e da Leitura, dimana ia menyesali beberapa aspek dari penulisan dalam karyanya Open Veins of Latin America. Katanya, “Waktu telah berlalu, saya telah memulai sesuatu yang baru, yang membawa saya lebih dekat terhadap realitas kemanusiaan secara umum dan politik ekonomi secara spesifik.’ ‘ Open Veins’ berusaha menjadi sebuah karya politik ekonomi, tapi saya tidak memiliki pendidikan yang memadai. Saya tidak menyesal telah menulis buku itu, tetapi ini adalah langkah yang telah saya ambil sejak saat itu.”

Para pengritik karya Galeano menggunakan pernyataannya ini untuk memperkuat kritisisme mereka. Walaupun, dalam sebuah wawancara yang lain dengan penulis Uruguay Jorge Majfud, Galeano lebih lanjut menegaskan “Buku itu, ditulis beberapa tahun yang lalu, masih hidup dan terus bergema. Saya hanya mencoba sejujur mungkin untuk mengakui bahwa di ujung hidup saya saat ini gaya penulisan yang lama kelihatan tidak menarik, dan hal itu sulit bagi saya untuk jujur pada diri saya sendiri dalam hal ini. Sejak saat ini saya berusaha lebih singkat dan membiarkan suara-suara yang telah muncul melawan saya dan melawan Open Veins of Latin America benar-benar penuh dengan ketidaktulusan.”

Open Veins of Latin America dianggap sebagai karya puncak dari Galeano. Dalam karyanya ini ia membahas pencaplokan kekayaan alam di Negara-negara Amerika Latin oleh bangsa-bangsa asing. Rentang sejarah mencakup lima abad. Pada awalnya buku ini ditulis untuk mengeksplorasi peristiwa dan sejarah Latin Amerika dari 1970 sampai 1978, tapi kemudian Galeano berubah pikiran dan menuliskan sebuah babak sejarah yang detail mengenai sejarah pencaplokan Amerika Latin yang telah mengakibatkan krisis berkepanjangan sampai saat ini.

Kronologi sejarah dimulai dengan penemuan Latin Amerika oleh Christopher Columbus pada 1492. Columbus dibiayai oleh Ratu Spanyol Isabella untuk berlayar ke arah Barat India dan menemukan kekayaan alam Negara itu. Penemuan terhadap daratan raksasa antara—Amerika—merupakan sebuah kejutan dan di luar dugaan Columbus dan anak buah kapalnya. Para penduduk asli disebut ‘India’ karena Columbus berpikir bahwa dia telah mencapai India.

Tidak lama kemudian, kerajaan Spanyol menyadari hadiah dari penemuan mereka. Menyusul penemuan itu, para penjelajah Spanyol yang lain dan penakluk mereka kembali ke tanah yang sangat kaya dengan kekayaan alam. Pencaplokan pertama adalah terhadap kandungan bijih besi dan emas yang ditemukan di hutan belantara tanpa pemilik. Hernan Cortez menginvasi peradaban Aztec yang mana merupakan peradaban yang sangat maju ketika itu dan penuh dengan emas dan perak.

Pemimpin suku Aztec Montezuma sangat ketakutan terhadap para penyerang berkulit putih dan berambut pirang. Pemimpin Aztec berkesimpulan bahwa para penyerang adalah Tuhan yang telah kembali dan karenanya mereka kemudian mempersembahkan hadiah emas kepada Cortes. Tetapi hadiah saja tidaklah cukup, para penakluk menginginkan semuanya. Meskipun suku Aztec unggul dalam hal jumlah, Cortez dengan mudah menaklukan ‘orang-orang naïf dan tidak berdaya ini.’

Portugis kemudian menyusul menginvasi dan mencaplok Brazil dan mencuri semua kekayaan alam mereka. Wilayah yang saat ini dikenal sebagai Minas Gerais, menyimpan kandungan emas terbesar dalam sejarah sampai saat ini. Meskipun wilayah ini sangat luas, Portugis dalam waktu yang sangat singkat berhasil menyedot semua emas di wilayah itu. Selain emas dan tembaga, kaum penakluk juga mengeksploitasi tanaman tebu. Tebu bukanlah tanaman asli Amerika Latin, tetapi tanaman ini diperkenalkan oleh Columbus saat pertama kali menginjakan kakinya di benua itu. Tetapi nilai tebu dianggap setara dengan emas atau perak di pasar dunia.

Perkebunan tebu menyebar di Brazil, Veracruz, di kepulauan Karibia dan pantai Peru. Layaknya emas dan perak sebelum itu, kekayaan alam yang melimpah dicaplok oleh kepentingan asing dengan kaum pekerja yang hanya bertahan dengan upah yang sangat kecil atau makanan yang mereka peroleh sebagai upah atas kerja mereka. Pisang, kopi, cokelat, karet, minyak bumi adalah sebagian kecil kekayaan alam yang dicaplok oleh kepentingan asing. Kekuatan asing mengambil semua kekayaan dan meninggalkan kemiskinan, negara yang sangat tergantung secara ekonomi, tanah yang tandus dan pekerja miskin yang tidak mempunyai harapan untuk sebuah kehidupan yang lebih baik.

Sejarah ketergantungan Latin Amerika saat ini—yang seringkali dilukiskan oleh para ahli teoriti ketergantungan (dependency theory) seperti Andre Gunder Frank—ada kaitannya dengan proses akumulasi kapital dan ketimpangan dalam hal perdagangan dan pertukaran (unequal exchange) yang telah berlangsung ratusan tahun lamanya. Sejarah akumulasi kapital ini telah menempatkan negara-negara koloni di Amerika Latin sebagai negara-negara pinggiran (periphery) dan pusat (center) yang dikuasai oleh negara-negara Eropa.

Penduduk Amerika Latin yang berbasiskan pada sistem monokultur tidak mampu mengatasi ketergantungan pada satu produk dan tidak pernah cukup menciptakan sumber alternatif lain untuk membangun sarana industri demi menyediakan produk jadi ketimbang sekedar penyedia kekayaan alam. Berabad-abad, kekuatan luar mengendalikan perdagangan budak, membawa berjuta-juta orang Afrika ke Amerika Latin untuk dipekerjakan secara paksa di ladang-ladang tebu. Para budak dan pekerja asli menghadapi kondisi yang sama—persoalan kesehatan, kekerasan, kelaparan yang berakibat pada kematian.

Kepergian kolonialisme dan berlalunya waktu, ternyata tidak serta-merta menghasilkan perubahan ke arah yang lebih baik di kolong langit Amerika Latin. Para diktator benua itu membuat kesepakatan baru dengan pemilik modal asing. Sangat sedikit kemajuan yang dicapai oleh para diktator ini untuk rakyat mereka—mereka lebih peduli pada akumulasi keuntungan dan posisi untuk diri mereka sendiri. Dalam berbagai cara, para diktator ini melakukan penindasan yang tidak kalah kejamnya dengan para bekas kolonial mereka. Dalam berbagai cara, rezim-rezim diktator ini membantu pihak asing untuk mencaplok kekayaan alam negerinya, menyediakan tanah-tanah rakyat kepada perusahaan asing dan membiarkan eksploitasi kaum pekerja di industri-industri besar. Kekerasan dan pengingkaran hak-hak rakyat di Latin Amerika terus berlanjut bahkan setelah memasuki zaman modern.

Berbasiskan pada runutan sejarah di atas, Galeano mengungkapkan analisisnya yang menarik. Dalam Open Veins of Latin America, Galeano memandang Amerika Serikat sebagai penjajah dan penakluk baru (conquistador). Amerika Serikat seoalah melanjutkan tradisi ‘sepupu’ Eropa mereka baik melalui invasi militer terbuka maupun operasi intelijen maupun perjanjian-perjanjian dan tekanan ekonomi kepada negara-negara Amerika Latin melalui pengadaan tarif, pajak dan keuntungan bagi mereka.

Walaupun berbagai kemajuan telah dicapai di beberapa Negara yang dipimpin oleh rezim sosialis/populis (Venezuela, Bolivia, Paraguai, Ekuador), masih banyak yang perlu dilakukan oleh para pemimpin dan intelektual Amerika Latin pasca kepergian Galeano. Kekerasan yang mereka alami selama lebih dari lima abad sangat memilukan dan telah menjadi bagian dari kebudayaan mereka. Bukanlah sebuah tugas yang mudah bagi sebuah negeri untuk pulih dari kebencian dan hilangnya rasa hormat yang diciptakan oleh para penakluk asing sepanjang sejarah perlawanan rakyat dibenua itu.

 

 

obitu

 

Eduardo Galeano dan Kita

Eduardo Galeano memperkenalkan sejarah penindasan di benua Amerika kepada dunia dengan caranya yang unik. Gaya penulisannya dalam menghadirkan setiap kejadian sejarah penaklukan dan penindasan di Amerika Latin, sukses menghipnotis para pembaca agar terlibat secara langsung dalam setiap denyut nadi pembebasan rakyat dan menjadi bagian dari sebuah proyek kolektif. Data-data sejarah dilukiskannya dalam bentuk cerpen dengan bahasa yang mudah dipahami dan jauh dari kesan membosankan.

Galeano merupakan seorang penulis humanis-populis yang melihat persoalan eksploitasi ekonomi tidak hanya berlangsung di Latin Amerika, tetapi juga di bagian dunia yang lain. Dalam karya monumentalnya Open Veins of Latin America, Galeano melukiskan betapa kaum aborigin di Australia menjadi korban keganasan dari penyakit smallpox (cacar) yang dibawa oleh para penjajah kulit putih.

Karya-karya Galeano mengajak kita untuk bercermin kembali terhadap kondisi yang dialami oleh negara-negara pasca-kolonial. Sejarah menunjukkan bahwa meraih kemerdekaan politik saja ternyata tidaklah mencukupi untuk menghadirkan kesejahteraan bagi masa rakyat. Oleh karena itu, gerakan pembebasan sudah harus merumuskan konsep politik ekonomi seperti apa yang akan diterapkan pasca kepergian rezim kolonial dan bentuk hubungan luar negeri yang akan dibangun—termasuk dalam hal ini dengan bekas penjajahnya. Ketidakjelasan konsep akan melemahkan posisi politik dan ekonomi negeri bekas jajahan dan realita ini menciptakan ketergantungan yang terus berlanjut terhadap Negara pusat (center).

Selain berhadapan dengan negara-negara kapitalis maju dengan berbagai macam kepentingan politik ekonominya, Negara-negara pasca-kolonial juga harus menyisakan energi dalam menghadapi para local comprador yang menjelma menjadi kaki tangan neo-kolonialisme. Para local comprador ini membentuk aliansi yang kuat dengan para pebisnis rezim kolonial yang mereka lawan sebelumnya. Dari relasi seperti ini, maka terbentuklah the unholy trinity alias tritunggal yang tidak maha kudus antara para local comprador, pebisnis dari negara bekas penjajah dan pemerintahan lokal yang baru terbentuk pasca kolonial.

Pengalaman Timor-Leste pasca kemerdekaan menunjukkan bahwa relasi semacam ini bisa terbentuk dengan mudah lewat para pentolan organisasi bawah tanah (clandestine) yang kemudian berkolaborasi dengan para veteran perang untuk memperoleh proyek-proyek raksasa dari pemerintah dan ditransfer ke pengusaha-pengusaha Indonesia. Pada akhirnya, para veteran perang dan bekas anggota gerakan bawah tanah hanya memeroleh remah-remah dari proyek pemerintah dan bukan pelaku aktif dalam menunjang pertumbuhan perekonomian Negara.

Sistem kroni kapitalisme yang bersandarkan pada latifundismo di Amerika Latin, menjadi corak di negara berkembang lainnya. Dalam hal ini, relevansi dari karya-karya Galeano menjadi sebuah keharusan untuk dipelajari. Khususnya dalam memahami sejarah penjajahan dan penindasan di Amerika Latin, ketergantungan yang diciptakan oleh Negara pusat, penjajahan model baru melalui lembaga-lembaga keuangan internasional (IMF dan World Bank) dan relevansinya dengan belahan dunia lainnya, maka Open Veins of Latin America adalah kitab yang tepat dalam usaha untuk memahami kompleksitas dunia saat ini.

Karya Galeano terus bergema di seantro dunia. Dalam salah satu karyanya Book of Embraces Eduardo membayangkan seorang penulis itu layaknya seorang pencuri, seperti kutipan agak panjang berikut ini:

Ada seorang tua dan kesepian yang menghabiskan seluruh waktunya di tempat tidur. Ada rumor bahwa dia memiliki harta karung tersembunyi di dalam rumahnya. Suatu hari beberapa orang perampok masuk ke dalam rumah itu, mereka mencari di setiap sudut dan menemukan sebuah kotak di ruang bawah tanah. Mereka pun kabur membawa serta kotak itu dan ketika mereka membukanya mereka menemukan bahwa kotak itu berisi surat-surat. Semuanya merupakan surat cinta yang diterima oleh orang tua itu sepanjang hidupnya. Para perampok berencana untuk membakar surat-surat itu, tetapi mereka bersepakat dan akhirnya memutuskan untuk mengembalikanya. Satu demi satu. Sekali seminggu. Sejak saat itu, setiap Senin petang, orang tua itu akan menanti kemunculan si tukang pos. Seketika dia melihatnya, orang tua itu langsung berlari dan si tukang post, yang telah mengetahui segalanya, menyerahkan surat itu kepadanya. Dan bahkan Santo Petrus pun bisa mendengar detakan jantungnya, penuh kegembiraan layaknya mendapatkan surat dari seorang wanita.

Menurut Galeano, seorang penulis layaknya para perampok yang ia gambarkan dalam karyanya. Mereka mengambil sesuatu yang nyata, layaknya surat-surat itu, dan dengan sentuhan ajaib mereka mengubahnya menjadi sesuatu yang sepenuhnya segar. Dalam cerita Galeano, surat-surat itu eksis dan menjadi milik si orang tua itu, tetapi tidak terbaca dalam ruang yang gelap, surat-surat itu mati. Lewat sentuhan yang sederhana dengan mengirim kembali satu demi satu, para perampok yang baik itu memberikan nyawa baru terhadap surat-surat itu dan ilusi yang baru kepada si orang tua.

Karya-karya Eduardo Galeano memiliki kekuatan dan imajinasinya sendiri yang bersentuhan dengan realitas politika dan ekonomi di Amerika Latin. Seperti diutarakanya sendiri dalam Memories of Fire, ‘Saya membayangkan bahwa benua Amerika adalah seorang wanita dan dia membisikkan semua rahasianya di telinga saya, setiap kejadian cinta dan kekerasan yang telah menciptakanya.’

Walaupun mengalami sendiri berbagai siksaan dan pembuangan oleh rezim militer, Eduardo Galeano kelihatan seperti tidak memendam rasa benci. ‘Saya tidak mengeluh. Dengan begitu banyak orang yang telah kehilangan, menangis atas segala sesuatu sama saja kita kehilangan rasa hormat terhadap rasa sakit,’ kata Galeano dalam karyanya Days and Nights of Love and War.

Selamat jalan maestro, karya-karyamu akan terus menjadi ‘pembuka urat nadi’ bagi generasi selanjutnya.***

 

Penulis adalah peneliti sejarah tinggal di Dili, Timor-Leste

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.