Ruang dan Waktu Dalam Pemikiran David Harvey

Print Friendly, PDF & Email

Judul buku: Imperialisme Baru, Genealogi dan Logika Kapitalisme Kontemporer
Penulis       : David Harvey
Penerbit     : Resist Book, Yogyakarta, 2010
Tebal           : v + 254 h.

 

PESAN utama buku ini hendak menjelaskan bagaimana cara kerja imperialisme kapitalis di era neoliberal. Harvey memulai penjelasannya dengan membahas ‘semua tentang minyak’ dan membandingkan ‘nasib’ Venezuela dengan Iraq dalam ‘Kisah Dari Dua Negara Produsen Minyak.’ Selanjutnya, ia berkisah mengenai keterlibatan Amerika Serikat (AS) dalam kapasitasnya sebagai negara neoliberal yang menginvasi negara lain dengan menggunakan logika kekuasaan teritorial (territorial logic of power) dan logika kekuasaan kapitalis (capitalist logic of power).

Pada Bab II, geografer kenamaan ini menjelaskan bagaimana kekuasaan AS tumbuh melalui pemaparan yang sangat detil – mengenai Logika Teritori dan Logika Kapital. Dari sana ia kemudian menjelaskan tentang Hegemoni dari rangkaian sejarah semenjak munculnya imperialisme borjuis 1870-1945; kemudian sejarah hegemoni Amerika pasca Perang Dunia II, 1945-1970; sampai hegemoni neoliberal, 1970-2000. Harvey menutup bab ini dengan pilihan-pilihan yang diambil serta ditentukan AS sebagai pemegang hegemoni regional dan tandingan yang muncul. Singkatnya, Bab I dan Bab II merupakan narasi sejarah yang berisi fakta-fakta yang cukup komprehensif, sehingga disebut sebagai genealogi (oleh penerjemahnya). Sedangkan pada Bab III, IV, dan V adalah penjelasan teoritik tentang bagaimana imperialisme kapitalis baru (ala neoliberalisme) yang disebut sebagai logika kapitalisme kontemporer (oleh penerjemahnya juga). Bab III berisikan penjelasan yang detil mengenai ikatan kapital, seperti bagaimana kekuasaan negara dan akumulasi kapital bersinergi dalam penciptaan ekonomi ruang (space cconomy). Meskipun sinergisitas itu seringkali juga menghadirkan kontradiksi dalam logika kekuasaan politik/teritorial vs  logika kekuasaan kapitalis, namun menurut Harvey, itulah yang dimaksud dengan dialektika antara keduanya (kontradiksi dialektis). Secara lebih detil, Harvey kemudian membeberkan sirkuit kapital, spatio-temporal fixes; kontradiksi-kontradiksi internal; kekuatan dari institusi-institusi mediasi, dan masuknya kembali negara ke pentas. Sedangkan pada Bab IV, Harvey menjelaskan tentang apa yang disebutnya sebagai akumulasi lewat penjarahan dalam logika kapitalisme kontemporer, yang diawali pertanyaan besar tentang konsumsi-kurang atau kelebihan-akumulasi. Ada kebungkaman Marx, yang menurut Harvey, selama ini tidak dipahami dan belum dijelaskan, padahal itu penting dalam memahami realitas imperialisme kapitalis yang terus berlanjut di era neoliberalisme ini.

Itulah arti penting pemaparan Harvey yang hadir dalam menjelaskan akumulasi lewat penjarahan dan kontingensi dari semua itu. Harvey kemudian menjelaskan tentang privatisasi (sebagai) tahap lebih lanjut dari akumulasi lewat penjarahan. Bahkan Harvey juga memaparkan dan menawarkan strategi-strategi perjuangan  melawan akumulasi lewat penjarahan, dengan dan dalam domain ganda perjuangan anti-kapitalis dan anti-imperialis, agar bisa memahami dan mengatasi imperialisme sebagai akumulasi lewat penjarahan. Pada bagian penutup atau Bab V, Harvey melanjutkan dengan membahas apa yang dilakukan oleh negara neoliberal, khususnya AS, dalam mensinergiskan logika kekuasaan teritorial dan logika kekuasaan kapital.

 

Imperialisme-kapitalis: ekspansi ke luar negara-negara neoliberal

David Harvey adalah Profesor Antropologi terkemuka pada  The Graduate Center, City University of New York (CUNY). Ia memiliki ketertarikan dan pengetahuan yang sangat luas tentang geografi dan teori sosial, pengetahuan-pengetahuan geografis, ekonomi politik urban dan urbanisasi di negara-negara kapitalis maju, arsitektur dan perencanaan kota, Marxisme dan teori sosial, geografi kultural dan perubahan kultural, filosofi lingkungan, lingkungan dan perubahan sosial, gerakan ekologis, keadilan sosial, geografi perbedaan, dan utopianisme. Singkatnya, Harvey dikenal sebagai Marxist geographer, Explanation in Geography, dan Critical geographer dengan bidang kajian Geography; social theory; dan political economy.

Dalam tinjauan ini, saya akan mengulas tentang bagaimana Harvey mendefinisikan cabang dari imperialisme, yaitu ‘imperialisme kapitalis’ (capitalist imperialism) sebagai suatu istilah analitik ketimbang istilah polemik, sebagai perpaduan kontradiktif antara ‘politik negara dan imperium’ dengan ‘proses molekuler dari akumulasi kapital dalam ruang dan waktu’ (the molecular processes of capital accumulation in space and time). Pada politik negara dan imperium ditekankan strategi-strategi politik, diplomatik dan militer yang digunakan negara (atau sekumpulan negara sebagai blok politik) ketika berjuang meneguhkan kepentingannya dan mencapai tujuannya di bagian dunia lain. Pada proses molekuler dari akumulasi kapital dalam ruang dan waktu, ia mencoba menjelaskan bagaimana cara-cara kekuasaan ekonomi mengalir di sepanjang dan melalui ruang yang kontinyu untuk menuju atau menjauhi entitas-entitas teritorial tertentu (seperti negara atau blok kekuatan regional), lewat kegiatan keseharian dalam bidang produksi, perdagangan, perniagaan, arus kapital, transfer uang, migrasi tenaga kerja, transfer teknologi, spekulasi mata uang, arus informasi, impuls kultural, dan semacamnya.

Untuk menjelaskan proposisinya itu, Harvey mengutip Arrighi (1994)[1] tentang logika kekuasaan ‘teritorial’ dan logika kekuasaan ‘kapitalis,’ motivasi dan kepentingan dari masing-masing agen yang memiliki logika berbeda, tapi senantiasa berkait satu dengan lainnya. Dalam kerangka logika kekuasaan kapitalis, sang kapitalis akan terus-menerus berusaha mengakumulasi kapital dimanapun dan kapanpun guna meraih profit yang semakin banyak tanpa terinterupsi. Sementara, sang politisi, yang bekerja dalam kerangka logika kekuasaan teritotial,  berusaha mengejar kelanggengan atau memperbesar kekuasaan. Sang kapitalis mengejar keuntungan individual dan hanya bertanggungjawab kepada lingkaran terdekat (meski biasanya dibatasi hukum), sementara sang politisi mengejar keuntungan kolektif dan dibatasi ruang serta konstitusi Negara dan bertanggungjawab kepada warga negara, lebih sering ke kelompok elit, kelas, struktur kekerabatan atau kelompok sosial lainnya. Sang kapitalis beroperasi dalam ruang dan waktu yang kontinyu, sang politisi beroperasi dalam ruang teritorial tertentu dan setidaknya di negara demokrasi, tunduk pada suatu siklus pemilu. Perusahaan atau korporasi kapitalis datang dan pergi, berpindah lokasi, merger, atau menutup usaha, sedangkan negara adalah entitas berusia panjang, tak bisa berpindah, kecuali dengan penaklukkan geografis dan dibatasi geografis tertentu.

Harvey menyatakan bahwa imperialisme kapitalis lahir dari suatu relasi dialektis antara logika kekuasaan teritorial dan logika kekuasaan kapitalistik. Dan seperti yang saya singgung di atas, cara kerja kedua logika ini sangat berbeda, tak bisa diredusir, namun berhubungan serta saling jalin-menjalin, atau berelasi internal satu sama lain. Kepustakaan mengenai imperialisme dan imperium sering kali mengandaikan adanya hubungan serasi di antara keduanya: proses ekonomi-politik dipandu strategi-strategi negara dan imperium, dan sebaliknya negara dan imperium selalu beroperasi berdasarkan motivasi kapitalistik. Dalam praktek, kedua logika tersebut seringkali saling bertabrakan bahkan ke titik antagonisme yang sangat tajam. Oleh karena itu, relasi kedua logika tersebut harus dilihat secara problematis dan kontradiktif (dengan kata lain dialektis), ketimbang sesuatu yang fungsional. Keluaran-keluaran dari dialektika di antara kedua logika itu bisa sangat berbeda. Setiap logika menciptakan kontradiksi-kontradiksi dalam diri logika yang lain. Relasi yang dialektis berarti terdapat interseksi yang jalin-menjalin,  sehingga tidak membuat kita terjerembab dalam modus argumentasi bercorak politik atau aspek yang didominasi ekonomi. Pada momen historis-geografis tertentu, salah satu dari dua logika itu ada yang mendominasi. Imperialisme tak bisa dipahami tanpa memahami teori mengenai negara kapitalis dalam semua keragamannya. Dan bagi Harvey, kita tidak mungkin bisa membangun suatu kerangka pemahaman yang solid terhadap imperialisme tanpa memahami dialektika ganda dari logika kekuasaan terotorial dan logika kapitalistik, dan dari relasi-relasi internal dan eksternal dari negara kapitalis.

Dalam latar pemikiran seperti itu, Harvey menilai bahwa hegemoni Gramsci[2] bersifat mendua,  memberi ruang bagi munculnya beragam interpretasi: kekuasaan politik dijalankan melalui kepemimpinan dan penerimaan atau dijalankan sebagai dominasi melalui koersi. Dalam kesempatan lain, kekuasaan politik merujuk pada percampuran antara koersi dan penerimaan yang mengiringi pelaksanaan suatu kekuasaan politik. Harvey mengikuti adaptasi Arrighi terhadap konsep hegemoni dalam kasus relasi antar negara: supremasi suatu negara terwujud dalam dua cara: ‘dominasi’ dan ‘kepemimpinan intelektual serta moral.’ Misalnya, jika hegemoni kapitalisme selama ini dipahami dengan istilah ‘globalisasi,’  Harvey lebih cenderung melihatnya sebagai upaya para hegemon dalam memainkan peran yang jauh lebih kuat dalam reorganisasi kapitalisme global. Untuk menjelaskannya, Harvey merujuk pada sejarah munculnya imperialisme borjuis pada era 1870-1945, kemudian sejarah hegemoni Amerika pasca perang 1945-1970, dan hegemoni neoliberal yang terjadi pada 1970-2000. Negara neoliberal biasanya berusaha untuk mengambilalih hak milik umum (to enclose the commons), melakukan privatisasi, serta membangun pasar komoditi dan kapital yang terbuka. Negara neoliberal, karena itu, harus menjaga disiplin tenaga kerja dan memajukan ‘suatu iklim bisnis yang baik.’ Jika gagal atau menolak melakukannya, maka akan diklasifikasikan sebagai ‘negara gagal’ (failed state) atau ‘negara berandal’ (rogue state).

Konsekuensi dari kebangkitan dan kemunculan negara-negara neoliberal, menurut Harvey, adalah praktek akumulasi lewat penjarahan (accumulation by dispossession) berlangsung kembali. Jika menjelang tahun 1970  negara berada di latar belakang logika kapitalis, kini negara menjadi fitur utama dalam bangunan logika itu. Dalam peran barunya ini, tugas utama dari negara  adalah (1) pelepasan aset-aset secara murah menjadi medan magnet yang sangat kuat dalam mengabsorbsi surplus kapital; dan (2) pelepasan aset-aset secara murah menjadikan biaya- devaluasi surplus-surplus kapital ditanggung oleh teritori-teritori dan penduduk-penduduk yang paling lemah dan paling rapuh. Ketika volatilitas, berlimpahnya kredit, dan krisis likuiditas menjadi fitur ekonomi global, maka imperialisme mengorganisir lewat institusi-institusi seperti IMF, Bank Dunia atau lembaga keuangan internasional lainnya agar pusat-pusat utama akumulasi kapital terlindung dari devaluasi. Itulah yang dilakukan oleh kompleks Wall Street-Departemen Keuangan AS-IMF, yang beraliansi dengan pemerintah-pemerintah Eropa dan Jepang selama lebih dari dua dekade. Peralihan ke arah finansialisasi membutuhkan banyak biaya dalam negeri AS: deindustrialisasi, fase-fase inflasi cepat yang diikuti dengan menyusutnya kredit, dan pengangguran struktural kronis. Pembukaan pasar-pasar global untuk komoditi-komoditi dan kapital, membuka kesempatan bagi negara-negara lain untuk masuk dalam ekonomi global, sebagai penyerap dan kemudian sebagai produsen surplus kapital. Sub-imperialisme pun muncul ketika masing-masing kawasan seperti Eropa, Asia Timur dan Asia Tenggara, mengembangkan pusat akumulasi kapitalnya guna membangun spatio-temporal fixes bagi surplus kapital masing-masing secara sistematis dengan memperkuat lingkungan pengaruh teritorialnya. Lingkungan pengaruh teritorial yang tumpang tindih, saling mempenetrasi, dan bukan saling mengeksklusi, mencerminkan betapa mudah dan fluidnya mobilitas kapital lintas ruang dan jaringan interdependensi spasial yang semakin melintasi batas negara.

Imperialisme neoliberal ke luar negeri, cenderung menghasilkan ketidaknyamanan yang kronis di dalam negeri, sehingga banyak elemen kelas menengah berusaha mendukung teritori, bangsa dan tradisi (termasuk rasisme dan nasionalisme) sebagai cara mempersenjatai diri melawan kapitalisme neoliberal yang predator. Gerakan anti globalisasi muncul dan menyerang kekuatan-kekuatan kapital keuangan dan institusi-institusi utamanya, berusaha merebut kembali hak-hak milik bersama (the commons), dan menuntut ruang bagi perbeaan-perbedaan lokal, nasional, serta regional agar bisa tumbuh berkembang. Karena negara berpihak pada pelaku bisnis keuangan dan menjadi agen primer politik akumulasi lewat penjarahan, gerakan mengarahkan perhatian kepada institusi-institusi civil society untuk mentransformasikan logika kekuasaan territorial dalam berbagai skala dari lokal sampai global. Sikap yang kelihatannya beradab dan melekat pada pasar yang berfungsi baik, kenyataannya tidak terbukti. Oleh kekuatan negara, gerakan-gerakan protes yang muncul itu sebagian besar dihancurkan dengan kejam.

 

Imperialisme baru dalam logika kapitalisme kontemporer: ikatan capital dan spatio-temporal fixes

Kapitalisme terbukti mampu bertahan hidup lama melewati berbagai krisis melalui kemampuannya mereorganisasi dirinya. Filsuf Prancis Henri Lefebvre (1976)[3] menyatakan, kapitalisme bisa bertahan hidup lewat penciptaan ruang-ruang produksi baru (production of space), namun dia gagal menjelaskan secara tepat bagaimana atau mengapa hal itu bisa demikian. Lenin[4] dan Luxemburg[5] memandang bahwa imperialisme merupakan suatu bentuk penciptaan dan pemanfaatan ruang global, hanya saja, menurut mereka, kedua solusi tersebut terbatas kemampuannya dan karenanya penuh dengan kontradiksi yang akan meruntuhkannya (its own terminal contradictions). Harvey mengusulkan suatu teori yang disebut ‘spatial fix,’ yang lebih tepatnya suatu ‘spatio-temporal fix,’ terhadap kontradiksi-kontradiksi internal yang rentan krisis dalam akumulasi kapital. Inti utama argumen ini terkait dengan tendensi kronis dalam kapitalisme –dan secara teoritis berangkat dari reformulasi teori Marx mengenai tendensi jatuhnya tingkat laba – untuk menciptakan krisis kelebihan produksi (over accumulation crisis). Krisis kelebihan produksi ini ditandai dengan terjadinya surplus kapital (dalam bentuk komoditi, uang dan kapasitas produksi), dan surplus kekuatan tenaga kerja yang mengiringinya, dibarengi ketiadaan cara untuk menggunakan surplus-surplus itu secara menguntungkan. Logika kapitalistik (berbeda dari logika teritorial) dari imperialisme, harus dilihat sebagai usaha menemukan ‘spatio-temporal fixes’ terhadap problem surplus kapital.

Istilah ‘fix’ dalam ‘spatio-temporal fixes,’ menurut Harvey, bermakna ganda . Pada satu sisi itu bermakna sejumlah porsi tertentu dari total kapital yang secara harfiah terfiksasi di dalam dan pada fisik tanah untuk periode waktu yang relatif lama (tergantung usia ekonomis dan fisiknya). Beberapa belanja sosial, semisal pendidikan publik dan sistem layanan kesehatan, menjadi terteritorialisasi dan menjadi tak mobile secara geografis karena adanya komitmen Negara. ‘Spatio-temporal fixes’ di sisi lain merupakan metafora bagi suatu solusi terhadap krisis-krisis kapitalisme lewat penangguhan secara temporer dan ekspansi geografis. Produksi ruang, organisasi dari pembagian tenaga kerja yang sepenuhnya baru secara territorial, pembukaan kompleks sumber daya baru dan lebih murah, pembukaan kawasan baru sebagai ruang akumulasi kapital yang dinamis, dan penetrasi formasi sosial yang telah ada oleh relasi-relasi sosial dan pengaturan-pengaturan kelembagaan kapitalis, sehingga menjadi cara penting untuk menyerap surplus kapital dan tenaga kerja. Namun, ekspansi, reorganisasi, dan rekonstruksi geografis semacam itu seringkali mengancam nilai-nilai yang telah terfiksasi dalam ruang (melekat pada tanah) hanya saja belum terealisir, sehingga kemudian menciptakan kontradiksi yang tak terhindarkan. Kontradiksi muncul ketika ruang-ruang dinamis yang baru dari akumulasi kapital kemudian menghasilkan surplus dan berusaha menemukan cara penyerapan lewat ekspansi-ekspansi geografis. Meski spatio-temporal fixes bisa dilihat dalam kerangka teritori, namun pada dasarnya merupakan relasi-relasi material dan sosial antar kawasan yang terbangun melalui proses molekuler dari akumulasi kapital dalam ruang dan waktu. Dua kemungkinan: pertama, spatio-temporal fixes yang baru akan terbuka berulangkali dan surplus kapital akan diserap secara episodik, Harvey menyebutnya ‘switching crises’ atau krisis yang berpindah-pindah, yang memiliki dampak mengarahkan kembali arus kapital dari satu ruang ke ruang yang lain; kedua,  semakin sengitnya kompetisi internasional ketika berbagai pusat akumulasi kapital yang dinamis saling bersaing di panggung dunia, di tengah-tengah arus overakumulasi yang kuat, karena pusat-pusat itu tak mungkin bisa berhasil sepanjang waktu, maka pihak terlemah akan kalah dan jatuh ke dalam krisis devaluasi lokal yang serius, atau terjadi pertarungan geopolitik antar kawasan. Hal yang terakhir bisa berubah via logika kekuasaan teritorial, menjadi konfrontasi antar negara dalam bentuk perang dagang dan perang mata uang, hingga dengan ancaman pecahnya konfrontasi militer, seperti dua perang dunia di antara kekuatan-kekuatan kapitalis pada abad keduapuluh.

Akumulasi kapital – lewat pertukaran pasar – akan berkembang paling baik ketika dipayungi oleh struktur kelembagaan hukum, hak milik pribadi, kontrak, dan keterjaminan nilai uang tertentu. Negara yang memiliki kekuatan polisional dan monopoli atas alat-alat kekerasan, bisa menjamin terciptanya kerangka institusional semacam itu dan mendukung keberadaan semua itu dengan tatanan konstitusional tertentu. Formasi negara dibarengi keberadaan konstitusi yang berwatak borjuis, merupakan fitur krusial dalam geografi historis panjang kapitalisme. Karena itu, himpunan negara atau blok politik negara-negara tak bisa diabaikan arti pentingnya, juga entitas-entitas sub-nasional. Kekuasaan politik, pemerintahan teritorial, dan adminstrasi pemerintahan terbangun dalam skala-skala geografis yang beragam dan membentuk susunan lingkungan politik hirarkis serta di dalamnya proses molekuler akumulasi kapital berlangsung. Arrighi mengajukan pertanyaan penting: bagaimana fiksitas (fixity) relatif dan logika khas kekuasaan teritorial cocok dengan dinamika ruang dan waktu yang cair dari akumulai kapital?

Teori penciptaan suatu ekonomi ruang, menurut Harvey, menjelaskan kemunculan proses akumulasi kapital. Pertukaran barang dan jasa, termasuk tenaga kerja, hampir selalu menimbulkan perubahan dalam lokasi yang menimbulkan serangkaian gerak spasial saling bertemu sehingga menciptakan suatu geografi interaksi manusia yang khas. Gerak spasial ini terhambat oleh adanya friksi jarak dan karena itu jejak yang ditinggalkan selalu merekam efek dari friksi tersebut, dan sering menyebabkan aktivitasnya terhimpun dalam ruang dengan cara meminimalisir friksi tersebut. Pengelompokkan tenaga kerja teritorial dan spasial muncul dari proses pertukaran yang terjadi di ruang ini. Aktivitas kapitalis menghasilkan pembangunan geografis yang tidak seragam, sehingga menjadi faktor bagi munculnya logika diferensiasi dan spesialisasi regional dan spasial. Akibat kompetisi, kapitalis individual mengejar keuntungan kompetitif dengan memanfaatkan struktur spasial ini dan cenderung tertarik atau terdorong bergerak ke lokasi di mana biayanya rendah atau labanya tinggi. Surplus kapital di satu tempat bisa menemukan pekerja di tempat lain, dimana peluang yang menguntungkan belum tergarap. Keuntungan lokasi memainkan peran sama bagi kapitalis individual, sebagaimana peran keuntungan teknologis, dan dalam situasi tertentu, keuntungan lokasi mensubstitusi keuntungan teknologi.

Perbedaan utama dengan teori lokasi klasik[6] (von Thinen,[7] Alfred Weber,[8] Losch,[9] disintesiskan Isard, 1956[10]) terletak dalam fakta bahwa karya-karya tersebut mengindentifikasi keseimbangan spasial yang tercipta dalam lanskap geografis dari aktivitas kapitalistik. Dalam kasus ini, kata Harvey, proses akumulasi kapital selalu berekspansi dan karenanya selalu bersifat mengganggu setiap tendensi ke arah terbentuknya keseimbangan. Teori lokasi klasik mengandaikan suatu rasionalitas ekonomi yang tak terlalu berhubungan dengan perilaku kapitalistik yang aktual, misalnya, mendefinisikan ‘radius spasial dari barang’ (the spatial range of good) dalam artian jarak radius dari suatu titik produksi dimana harga pasar (diukur sebagai biaya produksi plus biaya transportasi) membuat barang yang diproduksi berada di luar ketersediaan atau kemampuan konsumen untuk membayarnya. Tentu saja barang tidak berjalan sendiri ke pasar, para pedaganglah yang membawanya. Karena itu, kapitalis pedagang memiliki peran historis dalam mempersoalkan dan menembus secara konstan  hambatan spasial yang seringkali melampaui apa yang dianggap ‘rasional,’  dan membuka kesempatan gerak dan ruang perdagangan baru. Persis sebagaimana perilaku kompetitif memunculkan impuls perusak yang kuat dalam dalam diri dinamika teknologi terhadap ekonomi kapitalis, demikian pula perilaku kompetitif menciptakan keadaan pergerakan yang terus-menerus dan instabilitas kronis dalam distribusi spasial dari aktivitas kapitalistik ketika para kapitalis berebut mendapatkan lokasi yang kompetitif. Itu sebabnya, lanskap geografis dari produksi kapitalis, pertukaran, distribusi, dan konsumsi tak pernah berada dalam kondis keseimbangan.

Proses kompetisi dalam sistem keruangan, berlangsung persis sebagaimana diuraikan ahli-ahli teori tatanan spasial neoklasik (Chamberlain,[11] 1933; Hotelling[12] dan Losch,[13] 1954), sebagai suatu bagian dari kompetisi monopolistik. Kompetisi tercipta karena keistimewaan yang bersumber dari keunikan lokasi: tak ada seorangpun yang akan menempatkan pabriknya di mana pabrik saya berdiri, jika ada keuntungan khusus maka itu menjadi milik saya. Ini mendorong berlangsungnya pertarungan bebas dalam ekonomi ruang karena adanya kecenderungan kapital mengontrol monopoli ketimbang bersaing terbuka. Meski teori kapitalisme yang abstrak (termasuk varian neoliberalnya) terus menerus mengumandangkan ideal-ideal kompetisi, namun para kapitalis lebih mendambakan kekuasaan monopoli karena lebih menyukai keterjaminan, kalkulasi, dan eksistensi damai. Selain itu, produk akhir kompetisi ialah monopoli atau oligopoli dan semakin keras suatu kompetisi, semakin cepat sistem kompetisi berubah menjadi monopoli atau oligopoli. Para kapitalis bisa dan memang memanfaatkan strategi-strategi spasial untuk menciptakan dan melindungi kekuasaan monopoli di mana pun dan kapan pun mereka bisa. Dari pusat-pusat semacam inilah parktek-praktek imperialis dan dorongan imperial bersumber. Lenin dan Hilferding telah cukup tepat ketika menekankan pentingnya koneksi inheren antara monopolisasi dan imperialisme. Baran dan Sweezy[14] (1966) menyebut ‘kapitalisme monopoli’ ketika para kapitalis produksi mendapati dirinya harus berhadapan dengan tantangan serius dari para kapitalis produksi lainnya. Para kapitalis harus menemukan cara lain untuk membangun dan melanggengkan kekuasaan monopoli yang mereka impikan. Dua langkahnya adalah (1) sentralisasi kapital secara massif lewat kekuasaan finansial, skala ekonomi, dan posisi pasar; serta (2) perlindungan atas keuntungan teknologi lewat hak paten, hukum lisensi, dan hak milik intelektual. Sangat penting bagi para kapitalis untuk berkemampuan dalam menggerakkan komoditi, kapasitas produksi, orang-orang dan uang lintas ruang. Sepanjang sejarah kapitalis, inovasi teknologi telah mengubah secara dramatis kondisi spasialitas (friksi jarak) dan menciptakan semua bentuk instabilitas dalam ekonomi ruang kapitalisme. Harvey menjelaskan alasan-alasan mengapa terdapat tendensi ke arah apa yang Marx sebut sebagai ‘anihilasi ruang lewat waktu’ dalam Limits to Capital[15] dan The Condition of Postmodernity.[16] Secara teoritis dan cocok dengan rekam jejak geografis-historis kapitalisme, faktornya ialah dorongan tiada henti ke arah pereduksian, jika bukan pengeliminasian rintangan spasial, dibarengi dorongan akselerasi tiada henti dalam turn-over kapital. Reduksi biaya dan gerak waktu terbukti menjadi kebutuhan mendesak dari modus produksi kapitalis.

Proses molekuler dari akumulasi kapital yang beroperasi dalam ruang dan waktu ini kemudian menghasilkan revolusi-revolusi yang bersifat pasif dalam pola geografis dari akumulasi kapital. Ketegangan dan kontradiksi yang terjadi membuahkan konfigurasi geografis yang mengarah pada stabilitas, setidaknya untuk sementara waktu. Proses molekuler menyatu dan memproduksi ‘regionalitas’ (regionality) yang telah dikenal sejak Sydney Pollard[17] menyebut perkembangan regional dan perkembangan kawasan sebagai fitur fundamental dalam perkembangan ekonomi Inggris. Tradisi panjang teori ekonomi dari Alfred Marshall (distrik-distrik produksi industri/’Marshallian’[18]), Perroux[19] (kutub-kutub pertumbuhan) sampai dengan Paul Krugman[20] (ekonomi-ekonomi regional ‘yang mampu mengorganisir-diri’/self-organising) yang melihat produksi organisasi regional sebagai suatu konsekuensi tak terelakkan sekaligus sebagai suatu prasyarat dasar untuk memahami dinamika akumulasi kapital (Krugman, 1995). Mittelman[21] juga memberikan penekanan kepada posisi penting organisasi regional, baik pada level supra maupun sub-nasional, untuk memahami kompleks arus persilangan yang beroperasi dalam ekonomi global. Batas-batas kawasan semacam ini selalu kabur dan tidak tegas, namun arus-arus yang saling terkait di dalam teritori tersebut menciptakan koherensi struktur yang jelas, sehingga suatu area geografis tertentu menjadi terlihat berbeda jika dibandingkan dengan area-area lain yang ada dalam suatu ekonomi nasional atau lebih luas lagi. Kelas-kelas yang dominan dan aliansi-aliansi kelas yang hegemonik bisa terbentuk di dalam kawasan itu dan menciptakan suatu karakter yang khas dalam aktivitas politik maupun ekonomi kawasan tersebut. Dalam The Urban Experience, Harvey[22] menyatakan bahwa apa yang terjadi dalam dinamika internal dan relasi-relasi eksternal bergantung pada struktur kelas yang ada dan pada bentuk-bentuk aliansi kelas yang terbentuk di dalam dan di seputar penyelenggara pemerintahan (governance).

Harvey menyebut ‘sirkuit kapital’ untuk menganalisis dinamika spasio-temporal dengan menelaah secara dekat bagaimana proses produksi ruang terperangkap dalam proses terciptanya krisis dan dalam proses penyelesaiannya. Harvey menjelaskan sirkuit-sirkuit kapital sebagai berikut: (1) sirkuit primer adalah ranah produksi dan konsumsi langsung; (2) sirkuit sekunder sebagai ranah pembentukan kapital dan konsumsi tetap; dan (3) sirkuit tersier yaitu ranah belanja-belanja sosial dan riset serta pengembangan. Dalam sirkuit sekunder arus kapital terbagi menjadi kapital tetap untuk produksi (pabrik dan perlengkapan, kapasitas penghasil listrik, jaringan rel kereta api, pelabuhan, dsb.) dan penciptaan suatu dana konsumsi (misalnya, perumahan). Porsi tertentu dari kapital dalam sirkuit sekunder ditanamkan dalam bentuk tanah dan menjadi aset-aset bank yang menempati suatu tempat/lingkungan yang dibangun untuk produksi dan konsumsi (kawasan industri, pelabuhan, bandara, jaringan transportasi dan komunikasi untuk sistem pembuangan limbah dan air, perumahan, rumah sakit, sekolah). Investasi tersebut bisa menyerap sejumlah besar kapital dan tenaga kerja, terutama ketika terjadi ekspansi geografis. Arus menuju sirkuit tersier – investasi jangka panjang dalam infrastruktur sosial – terbagi dalam investasi untuk riset dan pengembangan atau pelatihan keterampilan yang secara langsung memberikan umpan balik kepada produksi, dan investasi yang berorientasi pada peningkatan kondisi sosial dari masyarakat (misal pendidikan dan pelayanan kesehatan).

Di negara-negara kapitalis maju, kategori terakhir ini, misalnya,,anggaran layanan kesehatan,  seringkali menyerap sejumlah besar kapital. Sejumlah porsi tertentu dari investasi ini bersifat tak bergerak secara geografis, seperti sistem pendidikan yang sulit berpindah begitu sistem itu telah terorganisir secara administratif dan finansial dalam suatu ruang tertentu. Investasi-investasi semacam ini menawarkan kelegaan, setidaknya untuk sementara waktu, terhadap problem overakumulasi. Namun overinvestasi dalam sirkuit sekunder dan tersier kapital juga bisa terjadi. Dalam kasus ini aset-aset akan didevaluasi dalam sirkuit sekunder dan tersier itu sendiri. Overakumulasi dalam sirkuit sekunder dan tersier seringkali berfungsi sebagai pemicu terjadinya krisis-krisis yang lebih umum (dan Brenner, menurut Harvey, mengabaikan hal ini). Semua itu bergantung pada peran mediasi yang krusial dari institusi finansial dan/atau negara dalam mengubah arus kapital di antara ketiga sirkuit kapital itu. Di sini insitusi-institusi negara dan keuangan memiliki kekuatan kunci untuk menghasilkan dan menawarkan kredit. Mereka sanggup menciptakan suatu kuantitas apa yang disebut sebagai ‘kapital fiktif’ (fictious capital), yaitu aset-aset kertas atau promissory notes yang tak memiliki penjamin material, namun bisa dipergunakan sebagai uang.

 

Penutup

Pendapat saya, isi buku ini sangat menarik, bahkan saya merekomendasikan buku ini agar menjadi bacaan wajib bagi para mahasiswa dan aktivis serta penggerak perlawanan terhadap imperialisme kapitalis di era neoliberalisme. Meskipun buku ini cukup berat bagi mereka yang sebelumnya tidak atau belum membaca, khususnya tentang kritik-kritik terhadap kapitalisme dan imperialisme dari para teoritisi sebelum Harvey.

Satu hal yang menarik dari Harvey adalah klaimnya bahwa apa yang coba dilakukannya adalah menjelaskan apa yang belum dijelaskan oleh orang lain dari pemikiran dan teori Karl Marx.  Meskipun terkesan arogan, namun saya harus mengakui bahwa saya menjadi lebih paham dan mengerti tentang apa yang terjadi di dunia saat ini setelah membaca karya-karya Harvey.***

Virtuous Setyaka, Dosen Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Andalas, Padang


[1] Giovanni Arrighi, The Long Twentieth Century: Money, Power and the Origins of Our Times, London: Verso, 1994. Dalam buku ini Arrighi memusatkan analisisnya pada upaya pemeriksaan siklus sistemik  akumulasi kapitalis: logika mereka yang imanen, interaksi antara kekuatan yang baru muncul dan yang sudah lama eksis (unsur kontinuitas dan diskontinuitas sistemik), dan faktor konsolidasi hegemonik. Arrighi menjalin analisis tentang dua bentuk utama ekstensi daya – ‘territorialism’ (perluasan wilayah sebagai pusat) dan kapitalisme (perluasan wilayah terutama sebagai instrumen yang mungkin bagi akumulasi modal). Negara-kota Italia adalah yang pertama kali digunakan Arrighi untuk menggambarkan logika kapitalis baru ini, mendasarkan kekuasaan mereka pada dominasi sirkuit perdagangan, atau, lebih khusus, monopoli mereka di Eropa atas pertukaran perdagangan dengan India dan Cina (dengan dunia Islam sebagai mediator). Belanda dengan United Provinces-nya berfokus pada memperkuat posisi perdagangan mereka daripada memperluas wilayah kolonial mereka, sebagai contoh yang jelas dari logika non-territorialis kapitalis (awal merkantilisme modern).

[2]Perhatian Gramsci adalah pada persoalan determinisme ekonomi Marxisme serta mengembangkan penjelasan yang lebih kuat terkait dengan keberadaan lembaga-lembaga suprastruktur. Gramsci mencoba lebih dialektik daripada deterministik dengan membangun sebuah teori yang mengakui otonomi, kemandirian dan pentingnya budaya serta ideologi. Perjuangan kelas menurut Gramsci harus selalu melibatkan gagasan dan ideologi, ide-ide yang akan membuat dan juga mencegah revolusi. Gramsci lebih menekankan peran yang harus dilakukan oleh seorang manusia dalam perubahan sejarah, krisis ekonomi saja menurutnya tidak akan menumbangkan kapitalisme. Menurut Gramsci, kekuatan borjuasi terletak pada dominasi ekonomi dan kapasitas intelektual serta moralitas kepemimpinan melalui konsen atau koersi.

[3] 4 Henri Lefebvre, The Survival of Capitalism: Reproduction of the Relations of Production, terj. Frank Bryant (New York: St Martin’s Press, 1976). Lefebvre mendedikasikan banyak tulisan-tulisan filosofisnya untuk memahami pentingnya (produksi) ruang dalam apa yang disebut reproduksi hubungan sosial produksi. Lefebvre secara luas diakui sebagai seorang pemikir Marxis yang bertanggung jawab untuk memperluas signifikansi ruang lingkup teori Marxis, mencakup kehidupan sehari-hari dan makna kontemporer serta implikasi dari perluasan jangkauan kehidupan perkotaan di Dunia Barat sepanjang abad 20.

[4] 5 VI Lenin, ‘Imperialism: the Highest Stage of Capitalism,’ dalam Selected Works, Vol. I (Moscow: Progress Publishers, 1963). Pada Bab VII. Imperialism as a Special Stage of Capitalism, Lenin memberikan definisi imperialisme yang mencakup lima fitur dasar: (1) konsentrasi produksi dan kapital yang dikembangkan dalam stadium tinggi (high stage) untuk menciptakan monopoli dan memainkan peran penting dalam kehidupan ekonomi, (2) penggabungan kapital bank dengan kapital industri, dan penciptaan – atas dasar “kapital finansial” – oligarki finansial, (3) ekspor kapital yang dibedakan dari ekspor komoditas menjadi sesuatu yang luar biasa penting, (4) pembentukan asosiasi kapitalis internasional yang memonopoli dan membagi dunia di antara dan untuk kepentingan mereka sendiri, dan (5) pembagian wilayah dari seluruh dunia oleh kekuatan-kekuatan kapitalis besar. Imperialisme adalah tahapan kapitalisme pada perkembangan di mana dominasi monopoli dan kapital finasial diselenggarakan; dimana ekspor kapital telah mengakuisisi hal-hal yang dianggap penting, di mana pembagian dunia di antara lembaga internasional telah dimulai, di mana pembagian semua wilayah dunia oleh kekuatan-kekuatan kapitalis besar telah selesai.

[5] 6 Rosa Luxemburg, The Accumulation of Capital, terj. A. Schwarzschild (New York: Monthly Review Press, 1968 edn). Luxemburg memaparkan masalah imperialisme dalam tiga bagian, yakni: (1) masalah reproduksi kapitalisme, (2) sejarah eksposisi permasalahan kapitalisme yang terdiri dari tiga episode, yaitu putaran pertama di dalamnya ada Sismondi – Malthus vs Say – Ricardo, MacCulloch; putaran kedua di dalamnya terjadi kontroversi antara Rodbertus dan von Kirchmann; dan putaran ketiga di dalamnya ada Struve-Bulgakov-Tugan Baranovski vs Vorontsov-Kikolayon, dan (3) sejarah kondisi (yang menentukan) akumulasi kapitalisme.

[6] Teori Lokasi (Ekonomi) berkaitan dengan lokasi geografis kegiatan ekonomi, dan menjadi bagian integral dari geografi ekonomi, ilmu wilayah, dan ekonomi spasial. Teori Lokasi membahas pertanyaan tentang apa, di mana dan mengapa kegiatan ekonomi berlokasi. Teori Lokasi sebagaimana teori mikroekonomi umumnya tegak pada asumsi bahwa agen bertindak sendiri demi kepentingan pribadi. Perusahaan atau korporasi dengan demikian memilih lokasi yang memaksimalkan keuntungan mereka dan individu memilih lokasi yang memaksimalkan utilitas mereka.

[7]Johann Heinrich von Thünen (24 Juni 1783 – 22 September 1850).

[8] Alfred Weber (30 Juli 1868 – 2 Mei 1958)

[9] 10 August Lösch (15 Oktober 1906 – 30 Mei 1945)

[10] Walter Isard, Location and Space-economy; a General Theory Relating to Industrial Location, Market Areas, Land Use, Trade, and Urban Structure, (Cambridge: the Technology Press of Massachusetts Institute of Technology and Wiley, 1956).

[11] Edward Hastings Chamberlin (18 Mei 1899 – 16 Juli 1967), The Theory of Monopolistic Competition: A Re-orientation of the Theory of Value, (Harvard: Harvard University Press, 1933).

[12] Charles Henry Hotelling (1896 – 1954)

[13] Agustus Losch (15 Oktober 1906 – 30 Mei 1945), Economics of Location, (Yale: Yale University Press, 1954).

[14] Baran and Sweezy, Monopoly Capital: An Essay on the American Economic and Social Order, (Monthly Review Press, 1966).

[15] Verso, London, Januari, 2007.

[16] Wiley-Blackwell, Oktober 1991.

[17] Sidney Pollard, Essays on the Industrial Revolution (Aldershot: AshgateVariorum, 2000).

[18] The Marshallian industrial district atau sentra/kawasan industri Marshallian adalah sebuah konsep berdasarkan pada pola pengorganisasian yang umum di akhir abad kesembilan belas di Inggris, di mana perusahaan berkonsentrasi pada pembuatan produk tertentu dan berkerumun secara geografis. Komentar yang dibuat oleh Marshall dalam Buku 4, Bab 10 Prinsip Ekonomi telah digunakan oleh para ekonom dan ahli geografi ekonomi untuk membahas fenomena ini. Dua karakteristik dominan dari distrik industri Marshallian yaitu spesialisasi vertikal dan horizontal dengan derajat yang tinggi dan ketergantungan akut pada mekanisme pasar untuk pertukaran. Perusahaan cenderung kecil dan fokus pada fungsi tunggal dalam rantai produksi. Perusahaan yang berlokasi di kawasan industri sangat kompetitif dalam arti neoklasik, dan dalam banyak kasus ada diferensiasi kecil pada produk. Keuntungan utama dari kawasan industri Marshallian timbul dari hubungan erat yang sederhana dari perusahaan-perusahaan untuk memudahkan perekrutan dan pertukaran tenaga kerja terampil, informasi komersial yang cepat diakses, dan hal-hal teknis lainnya melalui saluran informal. Hal tersebut menggambarkan kapitalisme kompetitif yang paling efisien, dengan praktik biaya transaksi yang berkurang dan menjadi minimal, akan tetapi hal tersebut hanya bisa terjadi dalam skala ekonomi yang terbatas. Principles of Economics by Alfred Marshall, 1890.

[19] Francois Perroux (1955), Growth Pole Theory, inti dari teori ini menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi di tiap daerah tidak terjadi di sembarang tempat melainkan di lokasi tertentu yang disebut kutub pertumbuhan. Untuk mencapai tingkat pendapatan tinggi harus dibangun beberapa tempat pusat kegiatan ekonomi yang disebut dengan growth pole (kutub pertumbuhan). Pandangan Perroux mengenai proses pertumbuhan adalah teori tata ruang ekonomi, dimana industri pendorong memiliki peranan awal dalam membangun sebuah pusat pertumbuhan.

[20] Paul Krugman, The Self Organizing Economy (Wiley-Blackwell, 1996) dan Development, Geography, and Economic Theory, Cambridge: The MIT Press, 1995.

[21] James H. Mittelman, The Globalization Syndrome, Princeton: Princeton University Press, 2000.

[22] David Harvey, The Urban Experience, The Johns Hopkins University Press, 1989.

 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.