1. Beranda
  2. /
  3. Iqra Anugrah
  4. /
  5. Page 5

Iqra Anugrah

Belajar Dari Yunani

Di tengah-tengah kondisi Yunani yang seperti ini, Syriza hadir sebagai representasi politik dengan tuntutan paling radikal sekaligus realistis bagi Yunani. Syriza sebagai koalisi dari berbagai partai, gerakan sosial dan elemen gerakan Kiri di Yunani, sesungguhnya memiliki sejarah yang tidak singkat. Dalam sebuah pidatonya, Sotiris Martalis (2013), anggota Internationalist Workers Left atau DEA, salah satu organisasi pendiri dan pendukung Syriza berhaluan Trotskyis, sejarah Syriza sendiri bermula dari tahun 2001 sebagai upaya dari berbagai organisasi Kiri dengan berbagai macam tendensinya dan Synapsismos, partai Kiri yang merupakan partai terbesar dari koalisi Syriza yang juga dipimpin oleh Alexis Tsipras, yang sekarang menjadi pemimpin dari Syriza. Dalam upayanya untuk bertahan dalam kontes politik elektoral di Yunani sekaligus menyuarakan aspirasi dari rakyat Pekerja, menurut Martalis, Syriza berhasil melakukan berbagai strategi yang rupanya cukup efektif. Pertama, Syriza berhasil menyatukan dan menjembatani berbagai organisasi dan elemen gerakan Kiri dengan berbagai tendensinya dalam satu wadah. Dengan kata lain, Syriza berhasil mengatasi persoalan fraksionalisasi gerakan yang seringkali terjadi di gerakan Kiri dan progresif. Kedua, Syriza berhasil menyambut momentum politik pasca krisis ekonomi di Yunani yang mendorong berbagai komponen gerakan rakyat, mulai dari petani, buruh, anak muda dan lain-lainnya untuk melakukan aksi-aksi massa dan protes yang juga bertepatan dengan gerakan Pendudukan (Occupy) global. Syriza dianggap sebagai wadah politik yang dapat menyalurkan aspirasi rakyat Yunani yang termarginalisasi oleh krisis ekonomi sekaligus kebijakan teknokratis di Yunani dan Eropa. Ketiga, di saat yang bersamaan, Syriza juga tetap berkomitmen terhadap penggunaan mata uang Euroa sekaligus keanggotan Yunani di Uni Eropa. Menurut Syriza, yang seharusnya menjadi fokus perjuangan adalah kebijakan ekonomi yang lebih demokratis pasca diberlakukannya kebijakan ekonomi pemangkasan yang teknokratis alih-alih keluar dari Uni Eropa atau Eurozone – suatu hal yang juga dikampanyekan oleh beberapa kelompok elit di Yunani demi kepentingan mereka sendiri.

Kembali Mengupas Sejarah Sosial Pemikiran Politik Barat

PEMIKIRAN politik Barat seringkali dipahami dan dipelajari secara parsial atau setengah-setengah. Baik dalam diskursus politik di tanah air maupun di kelas-kelas ilmu politik di negara industrialis maju, pemikiran politik Barat seringkali direduksi menjadi pengetahuan akan jargon-jargon belaka. Akibatnya, pemahaman kita menjadi jargonistik dan ahistoris, memakai istilah-istilah seperti ‘hak,’ ‘negara,’ ‘kedaulatan,’ ‘kebebasan’ dan ‘kapitalisme’ tanpa memahami konteks historis dari istilah-istilah tersebut.

Di tengah-tengah kondisi tersebut, Ellen Meiksins Wood berusaha memberikan analisanya tentang Pemikiran Politik Barat melalui perspektif sejarah sosial dari Abad Renaisans hingga Abad Pencerahan. Buku ini, yang merupakan lanjutan dari buku Wood sebelumnya, yaitu Citizens to Lords, membahas berbagai pemikiran filsuf politik Barat, dari Machiavelli hingga Spinoza, dari Montesquieu hingga Locke dengan meletakkannya pada konteks sosio-historis pembentukan negara, perkembangan awal kapitalisme dan kelas borjuis, perebutan klaim kedaulatan, hingga benturan dan dialektika antara faktor-faktor ideasional dan material.

Mengenang Chávez: Tentang Politik dan Pembebasan

Sebagai seorang politisi, Chávez bukanlah seorang yang dogmatis. Dalam obrolannya dengan Tariq Ali, intelektual Inggris keturunan Pakistan itu, Chávez menyebutkan bahwa mungkin ia tidak percaya akan kemungkinan munculnya sebuah revolusi proletariat di masa sekarang. Ia juga tidak membayangkan sebuah masyarakat tanpa kelas atau penghapusan terhadap kepemilikan pribadi. Sebaliknya, Chávez berkata, ‘pelan-pelan coba wujudkan ide-ide revolusioner kita, majulah sedikit namun pasti, meskipun hanya satu millimeter’ (Ali, 2013). Chávez juga menyadari bahwa inspirasi tentang perlawanan bisa datang dari mana saja – ia membaca ide-ide politik para pemikir politik dari benuanya seperti Simon Bolivar dan ide-ide perlawanan dari agama Kristen yang dianutnya. Terinspirasi dari ide-ide tersebut, ia mencoba merumuskan gagasan dan praktek perlawanan politik yang sesuai dengan kondisi negerinya.

Pengalaman Venezuela menunjukkan bahwa hanya massa yang dapat memperjuangkan pembebasannya. Venezuela juga menunjukkan bahwa solidaritas internasional adalah keniscayaan sejarah, yang bukan saja mungkin, namun juga perlu.

Mengupas Sejarah Sosial Pemikiran Politik Barat

USAHA untuk membahas dasar-dasar pemikiran politik Barat, merupakan hal yang jarang dilakukan. Di tanah air, terdapat kecenderungan untuk ‘melupakan’ kanon-kanon teori politik klasik, apalagi membahas konteks sejarah dari pemikiran tersebut. Cap ‘kuno’ atau ‘tidak relevan’ sering menjadi alasan mengapa tidak banyak dari kita – pengkaji ilmu sosial dan filsafat, serta aktivis gerakan sosial – mau menekuni kajian pemikiran politik klasik Barat secara serius.

Olof Palme, Sang Revolusioner Reformis

Foto: The Times ‘Kau yang telah membunuh Palme mungkin tahu kalau kau telah menembak mati seorang merpati perdamaian Tapi kau tak pernah tahu bahwa pelurumu

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.