Guantanamera, Foco, Che
DARI tiga kata pada judul tulisan ini, kata ketigalah, tebakan saya, yang paling cepat mendapat rujukkan di kepala Anda. Sosok bertopi baret, mata menerawang jauh
HomeBerto Tukan
DARI tiga kata pada judul tulisan ini, kata ketigalah, tebakan saya, yang paling cepat mendapat rujukkan di kepala Anda. Sosok bertopi baret, mata menerawang jauh
TULISAN ini akan saya awali dengan sebuah fantasi. Bayangkanlah sebuah kondisi masyarakat Indonesia yang terkutuk untuk selalu mengingat. Tak ada hal apa pun dalam sejarah
SAYA pertama kali mengenal Gabriel Garcia Marquez dari Seratus Tahun Kesunyian. Novel ini memang dianggap sebagai salah satu karya terbaik Gabo, demikian ia biasa disapa.
RIUH rendah kampanye ada di sekitar kita. Berbagai diskusi, pendapat, imajinasi masa depan tak terkira terbang berhamburan di sekitar kita. Menghadapi keadaan seperti itu, terkadang
SEORANG Caleg menghamili seorang gadis SMP. Beberapa kejap saya tertegun dan selanjutnya memaki diri. Betapa tidak? Dengan tertegun saya seolah-olah tidak tahu kejadian-kejadian yang sering
Melalui uraian berikut, kami mengajukan empat tesis tentang kemerdekaan berdiskusi di Indonesia sebagai respon terhadap pelarangan diskusi buku kiri yang belakangan ini marak terjadi. Tesis
TIM dan DKJ adalah salah satu bukti paling jelas bahwa humanisme universal telah menjadi semangat seni arus utama. Dengan memberi tempat pada humanisme universal, sesungguhnya Orde Baru melakukan sensor secara halus dan tanpa biaya tinggi. Untuk apa menyensor seni yang apolitis—seni yang peduli setan dengan politik?
Orang berseliweran. Bergegas. Mengejar jalanan, menghindari aksi diam bumi; membiarkan macet terjadi di mana-mana. Bergegas menjemput payung di rumah agar bisa kehujanan uang di hujan kali ini. Bergegas mengejar kereta petang, semoga bisa bebas dari berjejal-jejal tubuh penuh keringat. Bergegas menyilih macet, bergegas mengejar kopi panas, bergegas mengejar…. Begitu banyak orang bergegas-gegasan di trotoar, di seperempat badan jalan. Angin setubuhi awan, jatuhlah hujan. Berlomba-lomba mereka lari ke bumi menciumi aspal. Orang-orang mulai berlari, payung-payung mengembang, jalanan mulai penuh, halte pun sumpek.
Mungkin banyak dari kita yang belum pernah mendengar nama Saut Sitompul, membaca puisi-puisi karyanya, dan atau mendengarkannya mendeklamasikan puisi. Namun tentu banyak dari kita pernah bersua pengamen yang mendeklamasikan puisi entah di bus kota, entah di taman kota yang semakin hilang ke-hips-annya itu, entah di warung tenda pinggir jalan. Terkadang beberapa di antaranya begitu perlu untuk disimak, terkadang memang sekadar menjual bising kemiskinan dan pemberontakan.
DI NUSANTARA, tentu saja waktu, sebagaimana yang kita kenal sekarang, datang bersama kolonialisme. Jika mengikuti waktu tradisional yang bergantung pada alam maka penjarahan yang dilakukan kompeni tidak berjalan maksimal. Pengaturan waktu a la modern pun diperkenalkan. Tentu tidak tanpa perlawanan. Sisa-sisa perlawanan atasnya masih bisa kita endusi dalam frase ‘waktu karet’ alias ngaret. Demikian pula penanggalan yang kita kenal sekarang. Untuk kerja, liburan, hari-hari raya, kita berpegang pada penanggalan Romawi, sedangkan penanggalan tradisional tinggal sebagai ramalan-ramalan nasib hidup. Tentu saya tidak bermaksud bernostalgia dan mengajak kita untuk kembali pada penanggalan tradisional itu.
Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.