
Apa ada Bahaya Fasisme di Indonesia?
PADA pemilu 2014 ini, dengung bahaya fasisme dan militerisme – kedua istilah ini sering dipertukarkan, digunakan berbarengan, atau disandingkan dengan frase-frase menakutkan lainnya (fasisme-religius, semisalnya)

PADA pemilu 2014 ini, dengung bahaya fasisme dan militerisme – kedua istilah ini sering dipertukarkan, digunakan berbarengan, atau disandingkan dengan frase-frase menakutkan lainnya (fasisme-religius, semisalnya)

PEMILU legislatif dan presidensial mendatang telah menjadi lebih menarik dengan resminya keikutsertaan Jokowi sebagai salah satu kandidat presiden. Selama berbulan-bulan rumor dan gosip telah simpang
PERLAMBATAN ekonomi Indonesia – dan krisis ekonomi dunia yang tak tampak ujung akhirnya – sudah menunjukkan kejenuhan historis kapitalisme sebagai sebuah sistem ekonomi. Karena posisi ekonominya, yakni sebagai pencipta kekayaan yang sesungguhnya menggerakkan modal, dan posisi politiknya, yakni sebagai satu kekuatan politik yang terorganisir dan sadar, buruh adalah satu-satunya kelas yang bisa menuntun masyarakat ini keluar dari jalan buntu kapitalisme.
PADA situasi krisis di dalam masyarakat, ketika perjuangan kelas menajam, dimana kelas borjuasi tidak mampu lagi mengembalikan kestabilan sementara kelas pekerja walaupun bergejolak tetapi tidak mampu merebut kekuasaan, maka Negara dapat meraih kemandirian tertentu untuk bertindak guna menyelamatkan situasi. Sebuah masyarakat tidak bisa terus menerus ada di dalam tungku panas perjuangan kelas. Negara, dalam hal ini militer, mengintervensi. Di babak pertama revolusi Mesir, dengan menendang keluar Mubarak ketika ia dan partainya NDP tidak dapat lagi mengendalikan situasi dan menjadi liability; di babak kedua, dengan menendang keluar Morsi dan IM, juga untuk alasan yang sama. Inilah fenomena yang disebut Bonapartisme, yakni dimana, seperti yang dipaparkan oleh Ted Grant, ‘antagonisme di dalam masyarakat sudah menjadi begitu luar biasa sehingga mesin Negara, yang “meregulasi” dan “menertibkan” antagonisme ini, sementara masih tetap merupakan instrumen dari kelas yang berpunya, meraih kemandirian tertentu dari semua kelas.
Pada hari Selasa 2 Juli 2013, Pemerintah dan DPR RI resmi mengesahkan UU Organisasi Masyarakat (ORMAS). 311 Anggota DPR menyatakan setuju dan 50 anggota lainnya menolak. Dengan telah disahkannya UU Ormas ini, bagaimana dampaknya bagi kehidupan demokrasi, yang saat ini hanya mengambil bentuk procedural? Berikut ini perbincangan Coen Husain Pontoh dari IndoPROGRESS dengan Indri D. Saptaningrum, Direktur Eksekutif Institute for Policy Research and Advocacy; Ted Spraque, Editor Militan Indonesia; dan Justinus Prastowo, research associate Perkumpulan Prakarsa. Berikut petikannya:
Rakyat Mesir dalam jutaan bergerak dengan sendirinya dan bukan atas komando militer sama sekali. Bukanlah militer yang mengumpulkan 22 juta tanda tangandari rakyat yang menuntut diturunkannya Morsi, dan bukanlah militer yang mengorganisir tanggal demonstrasi. Militer hanya mengintervensi ketika situasi sudahlah sangat gawat dan dapat meledak menjadi revolusi rakyat sepenuhnya di luar kendali siapapun. Rakyat sudah mengelilingi gedung-gedung pemerintah dan istana presiden, dan siap merangsek dan membakarnya. Morsi sebenarnya sudah kehilangan kekuasaan, tetapi dia tetap keras kepala. Bahkan para menterinya sudah turun dan meminta dia untuk turun juga karena rakyat sudah begitu geram. Sebagian kelas penguasa paham bahwa mereka harus mengorbankan Morsi dan Ikhwanul Muslimin demi menjaga keberlangsungan seluruh sistem politik ini.
Jawaban Terhadap Ragil Nugroho SUDAH terlalu sering kita temui mereka-mereka yang mencolek Marxisme dan Leninisme untuk menambal pemikiran mereka yang bolong-bolong, dengan harapan kalau-kalau
Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.