PADA tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) secara terbuka mengatakan bahwa dirinya prihatin dengan pembunuhan terhadap orang-orang yang dinyatakan komunis. Dalam kapasitasnya sebagai seorang presiden, ia mengucapkan permintaan maaf. Banyak pihak menanggapi dengan respon beragam. Di satu sisi, pihak yang setuju menyambut baik tindakan Gus Dur, yang menawarkan kemungkinan diadakannya peradilan secara terbuka untuk menentukan pihak mana yang terlibat dan bersalah. Dengan tindakan seperti itu, diharapkan dapat terjadi sebuah rekonsiliasi dan pelurusan sejarah 1965. Adapun pihak yang berseberangan menanggapi dingin pernyataan Gus Dur dengan alasan perbedaan prinsip. Tahun 2002, Gus Dur kembali mengucapkan pernyataan maaf. Kali ini mewakili Nahdlatul Ulama (NU) yang diakuinya turut terlibat dalam peristiwa-peristiwa 1965 dan setelahnya, kendati di bawah setting penguasa Suharto pada masa itu.