Redaksi

Edisi LKIP04

Phytagoras pernah berujar dahulu sekali, “musik adalah penyembuh jiwa.” Tentu ada sesuatu yang lain dan pemikiran tertentu yang melatarbelakangi apa yang dikatakannya itu. Tetapi cukuplah untuk pengantar ini kita mengutip sepenggal kalimatnya tersebut dan membiarkan ide lain di baliknya diam dulu. Dengan demikian, kita tentu bisa dengan mudah setuju dengan hal itu. Hampir setiap kita di zaman ini punya lagu-lagu favorit, punya musisi kesayangan, dan juga mendengarkan musik dengan cara apa pun dan melalui media mana pun. Apalagi dengan teknologi informasi yang memudahkan begitu rupa, kita lantas bebas dan terbuka untuk memilih dan memiliki musik-musik seperti apa pun juga. Di sisi lain, teknologi rekaman dan produksi musik yang dibantu komputer yang semakin maju memungkinkan musik diciptakan bahkan dengan seorang diri di kamar; hanya bersenjatakan sebuah gitar dan program fruity loop.

Edisi LKIP03

Beginilah kira-kira wajah pemberitaan yang kita konsumsi sehari-hari. Perempuan dipolitisasi tubuhnya, diatur gerak-geriknya, dan dianggap wajar untuk diperkosa. Bahkan, anggapan ‘perempuan sebagai barang’ pun masih kentara di zaman ini. Terakhir, kasus korupsi seolah tidak menarik jika tidak dibumbui perempuan cantik. Duh, sungguh formula film laga kelas B Hollywood.
Maka, wajar jika kita harus terus mengulang kisah ini di setiap bulan Maret. Seabad silam, dalam sebuah Konferensi Internasional Pekerja Perempuan tahun 1910, Clara Zetkin, salah seorang pemimpin Partai Sosial Demokrat Jerman, mengusulkan ide Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day). Sejak tahun 1913, hari tersebut dirayakan setiap tanggal 8 Maret. Saat ini, di hampir 27 negara, termasuk Afganistan, Kamboja, China, Kuba, Laos, Madagaskar, Rusia, dan Vietnam, tanggal 8 Maret merupakan hari libur nasional. Namun, apa gunanya jika terus mengulang perayaan dan kenangan, sementara di saat yang sama, penindasan pada perempuan terus juga direproduksi; penindasan-penindasan yang sama namun dengan kemasan yang berbeda—bak Sisiphus yang selalu mendorong batu yang lantas menggelinding lagi ke bawah. Apakah kita sadar, kita adalah Sisiphus dalam kasus ini?

Edisi VII/2013

LENIN ketika meringkas sejarah pemikiran Karl Marx, mengatakan bahwa ada tiga sumber pemikiran Marx: filsafat Jerman, ekonomi politik Inggris, dan sosialisme Prancis. Dari ringkasan Lenin ini, tak terhitung gunungan buku yang mengulas bagaimana ketiga sumber pemikiran itu memberi basis bagi pemikiran Marx.

Di sini, kami ingin mengutip sepenggal pengaruh ekonom Inggris terkemuka David Ricardo kepada Marx. Ia bahkan meluangkan waktu lebih panjang untuk karya Ricardo ketimbang karya Adam Smith. Menurut Ricardo masyarakat kapitalis dalam perkembangan yang penuh terdiri atas tiga struktur kelas: pemilik tanah, kapitalis, dan buruh. Yang menarik, Ricardo melihat bahwa masyarakat kapitalis ini memiliki ciri-ciri: tingkat keuntungan yang cenderung menurun (the declining tendency of the rate of profit), antagonisme kelas (class antagonism), dan hubungan antara pengangguran dan teknologi (the relation between technology and unemployment). Tetapi pada saat yang sama, Ricardo juga percaya bahwa masyarakat kapitalis adalah sebuah masyarakat yang kekal, sehingga ketika ia melihat hukum kerja Malthusian, ia meratapi bahwa kelas buruh akan tetap miskin, walaupun mereka membanting tulang dengan sangat keras setiap harinya.

Edisi LKIP02

Daftar Isi Edisi Ini: Beberapa Catatan untuk PULANG Saduran Puisi-Puisi Marx Komodifikasi Cinta Marx-Engels: Tentang Produksi Artistik dan Realisme Tahun 1927, sutradara Rusia Sergei Eisenstein

Edisi VI/2013

TAHUN 1637, seorang matematikawan cum pengacara Perancis, Pierre de Fermat, mengajukan satu teorema tersulit dalam sejarah perkembangan teori angka. Teorema ini dikenal sebagai teorema terakhir Fermat (Fermat’slasttheorem). Teorema ini menyatakan bahwa tidak ada tiga integer positif a, b, dan c yang dapat memberikan solusi pada persamaan an+bn=cn bagi setiap nilai integer n yang lebih besar dari dua. Teorema ini sendiri merupakan perluasan dari teorema segitiga Phytagoras dengan derajat problematisasi yang lebih tinggi. Banyak matematikawan tersohor dunia seperti Carl Frederich Gauss, Leopold Kronecker, Sophie Germain, Georg Cantor, berupaya membuktikan teorema ini. Sayangnya, para matematikawan tersohor ini tidak mampu untuk memecahkan teorema terakhir Fermat. Bahkan seorang filsuf empirisis seperti Karl Popper, sempat berujar bahwa teorema ini lebih tepat dikatakan sebagai konjektur, suatu proposisi yang keliatan logis namun tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Walau begitu, situasi itu berubah ketika teorema ini berhasil dipecahkan pada tahun 1995 oleh Andrew Wiles, seorang matematikawan Inggris yang mengajar di Universitas Princeton, AS. Wiles membuktikan teorema terakhir Fermat dengan menggunakan perhitungan representasi Galois terhadap konjektur Taniyama-Shimura, yang kemudian memberikan ekuasi logis terhadap teorema Fermat itu sendiri.

Neoliberalisme, Krisis dan Perlawanan Rakyat

Jurnal Indoprogress III/ Januari 2013 Krisis ekonomi 1997 memberikan pemahaman kepada rakyat Indonesia bahwa rezim ekonomi politik otoriter Orde Baru Soeharto yang saat masih berkuasa,

Edisi V/2012

ADA SETIDAKNYA dua tendensi yang mencuat ke permukaan di kalangan aktivis kiri saat ini. Pertama, tendensi yang hanya menekankan ’tujuan akhir’ tanpa analisa yang matang terhadap situasi riil dan identifikasi ruang-ruang taktis yang bisa dimanfaatkan untuk menuju tujuan akhir tersebut. Gerakan mereka tidak berpijak pada dunia riil, tapi berangkat dari ideal-ideal yang ada di kepala. Mereka suka memaksakan ideal-ideal tersebut tanpa memperhitungkan prasyarat material yang diperlukan untuk memenuhi ideal-ideal itu. Walhasil, mereka gagal merumuskan suatu trajektori politik yang konkret dan terjebak dalam kesibukan mengutuki dan memaki-maki dunia riil dengan retorika moral mereka. Sialnya, dunia tidak bisa diubah hanya dengan dikutuki dan dimaki.

Edisi IV/2012

BERTOLT Brecht dalam In Praise of Communism, menyebut komunisme sebagai ‘it’s just the simple thing. That’s hard, so hard to do:’ suatu hal yang sangat sederhana, (namun) sangat, sangat sulit untuk dilakukan.

Pernyataan Brecht seakan relevan dalam pengalaman kekinian kita. Ketika kini universalisasi kapitalisme dalam rupa neoliberalnya menciptakan banyak kontradiksi sosial di mana-mana, seharusnya tercipta kemudahan bagi kita dalam mengorganisasikan perlawanan, lalu mengeliminasi sistem sosial kapitalis ini. Bahwa rakyat yang tertindas oleh kapitalisme akan mudah berjuang bersama-sama dalam rangka menciptakan masyarakat yang lebih baik. Kenyataannya, Brecht benar: ‘sangat, sangat sulit untuk dilakukan.’ Perjuangan menuju masyarakat yang adil di luar kapitalisme, kini justru menghadapi situasi paling rumit dan kompleks yang tidak pernah ada presedennya. Tidak heran, jika bagi beberapa kalangan, perjuangan untuk menghancurkan kapitalisme merupakan kemustahilan. There is no alternative.

Edisi III/2012

TIGA Oktober lalu, untuk pertama kalinya sejak penghancuran gerakan rakyat 1965/1966, kaum buruh Indonesia melakukan Mogok Nasional. Jutaan buruh tumpah-ruah ke jalan-jalan di berbagai daerah di Indonesia. Mogok Nasional ini merupakan bagian dari proyek Hostum (Hapus Outsourcing dan Tolak Upah Murah) yang digulirkan sejak Mei 2012. Dan sejak itu, mereka sudah melakukan aksi-aksi pengepungan pabrik untuk memaksa pengusaha mengubah status buruhnya yang outsourcing menjadi hubungan kerja langsung dengan perusahaannya. Dari wawancara Roni Febrianto, salah seorang pimpinan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), yang diterbitkan di situs Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), dilaporkan ada lebih dari 50.000 buruh outsourcing yang berhasil diubah statusnya menjadi hubungan kerja langsung dengan perusahaan. Adapun Mogok Nasional ini berdampak pada kerugian triliunan Rupiah di pihak kaum kapitalis.

Edisi II/2012

PENGETAHUAN bukanlah sesuatu yang ajeg. Dinamika serta perubahan atas realitas membuat pengetahuan harus selalu dinamis dan berubah pula. Adaptabilitas pengetahuan terhadap realitas menjadi penting agar pengetahuan menjadi fungsional bagi kebutuhan kemanusiaan itu sendiri. Tautan erat antara pengetahuan dengan realitas akan membantu kita terhindar dari cara pandang doktriner sekaligus dogmatis. Kritisisme, keraguan atau bahkan mempertanyakan pengetahuan selalu terbuka entah untuk ditolak atau diterima dengan catatan-catatan tertentu.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.