Muhammad Al-Fayyadl

Dari Benturan ke Konsolidasi: Tentang NU dan ‘Buku Putih’ 1965

KENYATAAN pahit selama Orde Baru, idealnya menjadi pembelajaran bagi warga Nahdliyyin bahwa dalam kasus 1965, bukan saatnya mencari lagi siapa pihak yang paling dipersalahkan, NU atau PKI. Karena keduanya, pada dasarnya, merupakan korban dari proses penghancuran gerakan kerakyatan secara struktural yang berlangsung dalam transisi antara Orde Lama dan Orde Baru. Dalam hal ini, diskusi yang berkutat semata-mata pada siapakah yang paling berhak dianggap korban antara NU dan PKI, antara ‘kita’ dan ‘mereka,’ akan menjebak ke dalam konteks yang sempit dan parsial, karena memisahkan konteks yang lebih luas yang melatari konflik antara dua massa besar itu.

Marxisme dan Ateisme

Bila boleh diresume dalam beberapa paragraf saja–meskipun hal ini perlu diuji dengan referensi tekstual yang ketat atas konstelasi teks-teks Marx sendiri–visi kritik (atau lebih tepatnya, ‘metakritik’) dalam kritik agama Marx adalah eksteriorisasi dan depersonalisasi agama ini, yaitu dorongan untuk menunjukkan bahwa agama adalah suatu fenomena eksternal yang objektif, yang melampaui gambaran agama sebagaimana diyakini oleh individu-individu pemeluk agama itu sendiri. Bahwa agama, dengan kata lain, bukan sebagaimana yang ‘aku’ atau ‘engkau’ yakini, tetapi adalah yang ‘kita’ dan ‘mereka’ lakukan, sebagai suatu fenomena sosial yang objektif, yang dapat diamati, sebagai rangkaian praktik yang membentuk suatu ‘totalitas’ bernama agama. Agama sebagai fenomena eksternal yang objektif ini–terlepas dari framing akademis yang dilakukan sesudahnya oleh sosiologi agama–menerjemahkan visi Marx, yang merentang dari teks Pendahuluan Kontribusi bagi Kritik Filsafat Hak Hegel sampai Ideologi Jerman, tentang perlunya memperlihatkan, terutama bagi pemeluk agama, sifat keduniaan dari agama: bahwa agama, begitu menjadi fenomena sosial–terlepas dari asal-usul keilahian atau profetiknya, yang nyaris tidak pernah disinggung Marx–mesti diperlakukan sebagai suatu kenyataan sosial yang sama objektif dan dapat diamati sebagaimana fenomena-fenomena sosial yang lain.

Simptom Yunani: Sebuah Laporan*

DALAM upayanya menteorikan apa yang disebut ‘simptom,’ Lacan dikenal memiliki sedikitnya dua konsepsi besar tentang simptom: simptom sebagai penanda material yang memungkinkan analisis dan interpretasi

Materialisme, Krisis, dan Problem Makna

SETIAP materialisme yang konsekuen dan murni, yang hendak menegaskan suatu objektivitas secara absolut, selalu menghadapi apa yang dapat disebut ‘problem makna.’ Problem tersebut dapat dirumuskan

Memimpikan Bersatunya Pemikiran Kiri

KETIKA kapitalisme bekerja meruyak meresapi sendi-sendi kehidupan dengan begitu solidnya, kita, kaum kiri, masih dihadapkan pada peliknya menghadapi pertentangan-pertentangan internal, saling sikut dan konfrontasi pemikiran,

Santri dan Marxisme

SEORANG SANTRI  yang dibesarkan di pesantren, lalu beranjak hidup dalam realitas urban yang penuh dengan kontradiksi ekonomi dan sosial, dan berkenalan dengan Marxisme sebagai wacana

Bunuh Diri Kelas

BANYAK orang gundah, terutama mereka yang di luar, melihat dinamika gerakan mahasiswa di bawah rezim “Reformasi.” Sebagian gundah, melihat gerakan mahasiswa semakin sepi dari aktivis: daripada terjun ke dalam dunia gerakan yang menyita energi, mahasiswa lebih memilih hidup bersantai di kampus, atau mungkin berjualan dan berbisnis. (Bukankah itu lebih menguntungkan? Dan lebih menyejahterakan?) Sebagian gundah, melihat gerakan mahasiswa, yang dari segi kuantitas itu semakin sedikit (atau setidaknya stagnan), masih saja tercerai-berai oleh perseteruan “dalam negeri,” friksi antarteman, dan tentu saja perbedaan kepentingan. Sebagian lagi gundah, melihat gerakan mahasiswa yang semakin tidak jelas tujuannya. Lihat saja, berapa gerakan mahasiswa yang masih konsisten dengan misi awalnya memberdayakan kemampuan intelektual mahasiswa dan mengasah kepekaan mereka pada realitas sosial? Sebagai bandingan (yang tentu saja tidak sebanding), lihat juga, berapa gerakan mahasiswa yang semakin mendekat pada pusat-pusat kekuasaan, tempat-tempat modal dan kucuran dana mengalir dengan derasnya?

Menaja Kembali Pergerakan Kajian Islam

MESKI tiap tahun mengalir puluhan atau bahkan ratusan makalah atau paper seputar “kajian Islam”, yang dipresentasikan dalam forum-forum reguler dan “bergengsi” seperti Annual Conference on Islamic Studies (ACIS), keprihatinan akan terdeteksinya krisis dalam kajian keislaman di negeri ini tidak dapat kita sembunyikan. Suburnya riset-riset akademik, entah secara mandiri atau dalam rangka memenuhi tuntutan “proyek” tertentu, tidak menjamin bahwa kajian Islam benar-benar sedang hidup, dalam pengertiannya yang eksistensial.

Namun, bagaimana mungkin dikonstatasi bahwa terdapat suatu krisis, di tengah melimpahnya jumlah riset dan periset tentang “kajian Islam”, yang terus lahir dan mendapat dukungan struktural dari berbagai institusi kekuasaan yang berkepentingan dengan kelangsungannya? Bukankah hal ini menandai suatu fakta menggembirakan tentang kian besarnya daya tarik “kajian Islam” bagi para “pendatang baru” (newcomers), yang berharap mengukir prestasi tertentu di bidang ini? Di sini terletak persoalannya. Fakta tentang peningkatan kuantitas riset dan periset tentang materi-materi keislaman, tidak berhubungan secara otomatis dengan pendalaman dan perluasan substansial kajian Islam itu sendiri. Kita merasakan, terdapat alienasi dan kesenjangan antara kajian Islam dan pemikiran Islam: kajian keislaman yang berlangsung serentak dan massif di berbagai institusi keislaman di negeri ini, belum benar-benar melahirkan suatu gerakan pemikiran keislaman yang hidup dan berdenyut. Ada kekosongan yang ditinggalkan oleh kajian Islam, atau kesenjangan, yang menganga. Hal itu yang melahirkan krisis yang diam-diam dan barangkali tidak disadari.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.