MESKI tiap tahun mengalir puluhan atau bahkan ratusan makalah atau paper seputar “kajian Islam”, yang dipresentasikan dalam forum-forum reguler dan “bergengsi” seperti Annual Conference on Islamic Studies (ACIS), keprihatinan akan terdeteksinya krisis dalam kajian keislaman di negeri ini tidak dapat kita sembunyikan. Suburnya riset-riset akademik, entah secara mandiri atau dalam rangka memenuhi tuntutan “proyek” tertentu, tidak menjamin bahwa kajian Islam benar-benar sedang hidup, dalam pengertiannya yang eksistensial.
Namun, bagaimana mungkin dikonstatasi bahwa terdapat suatu krisis, di tengah melimpahnya jumlah riset dan periset tentang “kajian Islam”, yang terus lahir dan mendapat dukungan struktural dari berbagai institusi kekuasaan yang berkepentingan dengan kelangsungannya? Bukankah hal ini menandai suatu fakta menggembirakan tentang kian besarnya daya tarik “kajian Islam” bagi para “pendatang baru” (newcomers), yang berharap mengukir prestasi tertentu di bidang ini? Di sini terletak persoalannya. Fakta tentang peningkatan kuantitas riset dan periset tentang materi-materi keislaman, tidak berhubungan secara otomatis dengan pendalaman dan perluasan substansial kajian Islam itu sendiri. Kita merasakan, terdapat alienasi dan kesenjangan antara kajian Islam dan pemikiran Islam: kajian keislaman yang berlangsung serentak dan massif di berbagai institusi keislaman di negeri ini, belum benar-benar melahirkan suatu gerakan pemikiran keislaman yang hidup dan berdenyut. Ada kekosongan yang ditinggalkan oleh kajian Islam, atau kesenjangan, yang menganga. Hal itu yang melahirkan krisis yang diam-diam dan barangkali tidak disadari.