Refleksi tentang Pembantaian 1965 di Indonesia dan Warisan Sejarahnya
PEMBUNUHAN massal dalam skala besar biasanya selalu dilakukan oleh negara, baik melalui tangan para serdadunya, polisi, para preman, dan/atau lewat mobilisasi ideologis kelompok-kelompok sipil yang menjadi sekutu negara tersebut. Kasus-kasus (pembantaian massal) terburuk paska-Perang Dunia II – Guatemala, Srilangka, Kamboja, Sudan, Bosnia, Rwanda, Liberia, Cina, Pakistan Timur, Timor Timur, dan Indonesia – memperlihatkan kesamaan dalam hal manipulasi yang berdarah. Menariknya, rejim-rejim pembunuh itu tidak pernah mengumumkan kepada publik berapa jumlah korbannya, jarang sekali membanggakan diri atas pembunuhan itu, apalagi penyiksaan-penyiksaan yang umumnya menyertainya. Mereka senang sekali menciptakan pasemon publik (public euphemism), yang disebarkan terus menerus lewat media-media massa yang dikuasai negara. Di jaman Perserikatan Bangsa-bangsa ini, dimana hampir semua negara menjadi anggotanya, juga di jaman Amnesty Internasional dan semua LSM yang menjadi anak cucunya, di jaman globalisasi dan internet, selalu ada ketakutan alamiah akan kehilangan ‘muka,’ akan intervensi, embargo, pengasingan, dan investigasi oleh PBB. Yang tak kalah pentingnya adalah pertimbangan-pertimbangan (keadaan) di dalam negeri. Militer nasional seharusnya secara gagah berani mempertahankan bangsa dari serangan bangsa luar, bukannya malah menjagal saudara sebangsanya. Polisi seharusnya menegakkan hukum. Di atas segalanya, ada kebutuhan akan ‘stabilitas’ politik, sehingga operasi pembantaian selalu berlangsung dengan terkendali, dan para pembantai amatir yang berasal dari kalangan sipil harus diam-diam diberikan jaminan bahwa semuanya ‘sudah beres,’ bahwa tidak satupun dari yang terlibat akan dihukum.
Namun, setiap norma selalu ada kekecualiannya. Dalam lanjutan artikel ini, para pembaca akan diundang untuk merenungkan dua buah film yang dibuat oleh Joshua Oppenheimer tentang preman terorganisir di sekitar kota Medan (di Sumatera Utara) yang memainkan peranan kunci, walau hanya di tingkat lokal, dalam pembantaian Komunis besar-besaran di Indonesia pada akhir tahun 1965. Hampir 50 tahun kemudian, mereka (para preman itu), dengan sukacita membual tentang pembunuhan-pembunuhan yang mereka lakukan, dengan kerincian yang paling mengerikan, dan rasa bangga bahwa mereka bebas dari hukuman. Mereka juga gembira bisa bekerja sama dengan Oppenheimer, memberikan sumbangan untuk film-filmnya, dan anehnya, mau melakukan peragaan ulang tentang (pembantaian) 1965, serta tidak ada rasa segan sama sekali untuk berperan sebagai komunis (baik pria maupun wanita). Masalahnya kemudian adalah menjelaskan bagaimana kota Medan menjadi sebuah tempat yang unik, dalam kerangka besar politik Indonesia dari periode akhir jaman kolonial hingga saat ini.
Ironi terakhir, film yang di produksi Joshua (dan para premannya) itu dilarang diputar di Indonesia – sebut saja, oleh Jakarta.[1]
Perlulah disebut pula di sini bahwa pada masa-masa awal setelah Suharto jatuh dari kekuasaannya tahun 1998 (dikenang sebagai periode Reformasi), sensor atas segala macam publikasi sudah hampir tidak ada lagi. Karya-karya orang-orang komunis yang sudah meninggal yang sebelumnya dilarang – bahkan hingga tahun 1920an – tiba-tiba dibangkitkan kembali. Cerita dari orang-orang komunis yang selamat dari Gulag-nya Suharto, diedarkan kembali tanpa larangan apapun. Banjir analisis yang saling bertentangan satu sama lain tentang ‘apa yang sesungguhnya terjadi pada tahun 1965’ laku terjual, khususnya bila cerita-cerita itu mengklaim bahwa dalang daripada Gerakan 30 September itu adalah Suharto, CIA atau MI-5.
Agaknya para penguasa paska-Suharto mengasumsikan bahwa masa itu bukanlah golongan yang suka membaca, dan secara pasar, distribusi buku-buku tersebut tergantung dari sifat para pembaca di setiap daerah (tinggi di Jawa, sangat sedikit di Medan). TV dan film adalah soal lain, karena dua media ini menarik perhatian luas dari publik yang bukan pembaca. Film-film yang kontroversial akan membangkitkan kebencian lama dan baru dan (pada akhirnya) akan membahayakan stabilitas. Misalnya, film yang terkenal menyesatkan tentang G30S di jaman Suharto, yang selama bertahun-tahun dipertontonkan secara paksa kepada anak-anak sekolahan, secara diam-diam ditarik dari peredaran.
***
Ada adegan menyentak dari film antropologis bikinan Jean Rouch, Moi, Un Noir, tentang sekelompok anak muda ganteng dari wilayah kekuasaan kolonial Perancis bernama Niger. Mereka merantau mencari kerja di wilayah yang lebih makmur, tapi masih di bawah kekuasaan kolonial Perancis, Côte d’Ivoire (Pantai Gading). Kita memang berulang kali menyaksikan mereka sedang bekerja, tetapi kebanyakan film memperlihatkan mereka sedang bersantai, minum, bercanda, atau menggandeng cewek-cewek, sehingga suasananya tampak riang dan gembira. Namun menjelang akhir, kita mendapati peran utamanya, yang menamakan dirinya Edward G. Robinson (setara dengan kawan yang menamakan dirinya Lenny Caution), berjalan ditanggul sungai dengan seorang sobatnya beserta Rouch yang tidak tampak di kamera. Sekonyong-konyong dia mulai beraksi di depan kamera, melakukan peragaan kembali beberapa adegan dari masa lalunya yang kelam, baik yang nyata atau hanya khayalan belaka. Dia adalah salah seorang dari banyak orang Afrika jajahan Perancis, yang dikirim sebagai serdadu umpan meriam untuk memerangi Viet Minh pimpinan Ho Chi Minh – sebelum jatuhnya Dien Bien Phu. Ia tampak menikmati adegan ulang pembunuhan berdarah-darah terhadap orang Vietnam yang tertangkap. Konconya tidak ambil pusing, yang membikin kita sadar bahwa dia sudah melihat tingkahnya ini berulangkali. Dengan demikian, adegan singkat ini sesungguhnya ditujukan untuk Rouch dan untuk kita semua. Ketika adegan ini selesai, dan nada riang gembira mulai lagi, para pemirsa tiba-tiba diserang oleh beragam keraguan dan pertanyaan. Mengapa sutradara Rouch memasukkan adegan pendek ini ke dalam film yang penuh nuansa persahabatan ini? Apakah Oumarou Ganda, yang juga dikenal dengan nama Edward G. Robinson itu, yang merupakan rekan kerjasama utama Rouch, yang menghendakinya? Mengapa orang Afrika ini bertingkah demikian, dengan sekonyong-konyong? Apakah dia benar-benar telah melakukan apa yang dia peragakan kembali itu? Mengapa tiba-tiba berbelok dari bercanda-lucu ke hal-hal mengerikan, dan kemudian balik bercanda lagi? Apakah Rouch melakukan ini untuk menunjukkan pada anak-anak Niger generasi ini bahwa imperium Perancis sedang menurun dan jatuh? Adakah Ganda sedang melepaskan rasa frustasi terhadap hidup sendirinya, dan ketidakpuasannya terhadap Perancis, dan mungkin juga terhadap pelindung dan temannya sendiri, yakni Rouch yang terkenal itu?
Ketika saya menonton film ini beberapa tahun yang lampau, yang langsung muncul pada saya adalah persoalan motif, yang tak lain dari kekebalan terhadap hukum (impunity). Seperti halnya siapa saja yang terlibat dalam petualangan militer ancur-ancuran untuk mengembalikan kekuasaan Perancis di Indocina antara tahun 1946 hingga 1964, serdadu muda dari Afrika ini tidak bisa dihukum karena ‘tindakannya dalam peperangan,’ tidak peduli betapa sadisnya tindakan itu dan pelanggarannya terhadap Konvensi Jenewa. Ia selalu menjadi seorang pahlawan kecil karena kekebalan dari hukum ini. Pada saat yang bersamaan, kekebalan dari hukum ini tidak bermakna apa-apa tanpa peragaan kembali dan pembualan berulang-ulang kepada pemirsa yang berbeda. Keluyuran, miskin, tidak punya kerjaan tetap, Ganda memperlihatkan pesona yang menggertak, ‘Jangan macam-macam ame gue, keparat!’ sama seperti Edward G. Robinson, seorang aktor Hollywood pada jaman itu yang sangat jago memerankan peran preman (gangster) – yang selalu mati di akhir film, tetapi akan kembali hidup dengan dinginnya pada film yang lain. Akan tetapi film Moi, Un Noir ini berlanjut dengan memperlihatkan kekosongan keadaan kebal hukum itu. Di Côte d’Ivoire jajahan Perancis itu, penguasa kolonial kemudian menjebloskan salah seorang dari kawan Ganda ke dalam penjara, dan jelas-jelas memperlihatkan ketidakseganan mereka untuk menangkap pahlawan perang Vietnam tersebut jika mereka melanggar hukum. Pada akhirnya, ia dikeroyok hingga babak belur oleh pelaut-pelaut Portugis dalam sebuah pertengkaran memperebutkan seorang pelacur.
Selalu saja, episode inilah yang muncul dalam pikiran saya, dan menawarkan sebuah cara berpikir untuk memahami film-film yang dibikin oleh salah seorang penggemar Rouch, yakni Joshua Oppenheimer. Dia membikin film-film yang luarbiasa bagusnya tentang pembantaian kaum Komunis di Indonesia tahun 1965-66, dan peragaan-ulang yang lakukan oleh (para pelakunya) pada abad berikutnya di depan kamera. Salah satu dari film ini adalah ‘Sungai Ular,’ yang memperlihatkan (untuk saya, paling tidak) sebuah hubungan antara situasi-situasi (yang ada) pada Rouch dan Joshua, dan berbagai perbedaan mendalam di antara keduanya. Peragaan ulang yang mengerikan dalam hal penyiksaan dan pembantaian orang-orang komunis di pinggir sungai ini, setengah abad setelah ia terjadi, adalah juga tentang kekebalan hukum dan pembualan. Dua bintang tua yang biadab dalm film itu, memandang Joshua sebagai orang muda Amerika Serikat anti-komunis yang sealiran dengan mereka, sama seperti Edward G. Robinson melihat Rouch sebagai orang Perancis yang simpati dengan anti-kolonialisme. Tapi mereka juga memperlihatkan sikap ‘jangan macem-macem ame gue, keparat!’ yang senantiasa mereka terapkan pada orang-orang lokal di sekitar mereka. Mereka sama sekali tidak curiga pada motifnya Joshua, dan Joshua mendapatkan kekebalannya dari sikap naifnya itu dan juga karena ia mengundang mereka beserta para jagal lainnya untuk membikin film, tidak hanya sebagai aktor tetapi bahkan juga sebagai pembuat film. Kaitan lain antara kedua film ini adalah, seperti yang akan kita lihat nanti, kekaguman orang-orang yang ada di dalam film ini terhadap Hollywood. Namun, yang muncul saat ini bukan Edward G. Robinson, si pelanggar hukum, tetapi Rambo dan Duke, sang patriot.
Namun, para jagal yang berperan dalam filmnya Joshua ini tidak punya padanan yang tepat – sejauh yang saya ketahui – di daerah-daerah lain di Indonesia, seperti misalnya di Jawa Timur dan Tengah, maupun di Bali, propinsi-propinsi dimana pembantaian dan penyiksaan biadab ini jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan di Sumatra Utara, tempat dimana sungai (Ular) yang berkelok-kelok itu terletak. Pertanyaanya kemudian: mengapa? Dalam bagian berikut ini saya akan berusaha menawarkan penjelasan sejarah yang akan membahas versi resmi sejarah 1965 di tingkat nasional dan segala macam peringatan sesudahnya, dan pada saat yang bersamaan mengkontraskan antara Sumatera Utara dengan Jawa Timur, yang sesungguhnya merupakan kebalikan dalam banyak hal.
1 Oktober, 1965
Saat itu, pagi-pagi buta di Jakarta, enam orang Jendral terkemuka dibunuh oleh serdadu-serdadu pasukan pengawal Presiden Sukarno, Resimen Tjakrabirawa. Jam 7 pagi, kelompok militer yang menamakan diri mereka Gerakan 30 September, mengumumkan di radio nasional bahwa mereka mengambil tindakan untuk menggagalkan kudeta yang akan menggulingkan Sukarno pada hari ulang tahun TNI yang akan berlangsung empat hari kemudian. Kematian para jendral itu tidak diberitakan. Beberapa jam kemudian, keluar dua pengumuman penting. Salah satunya mengumumkan bahwa kabinet yang ada sekarang akan digantikan oleh Dewan Revolusi, yang mengambilalih kekuasaan demi melindungi presiden. Keanggotaan Dewan Revolusi ini merupakan campuran yang aneh, antara orang sipil dan militer dari golongan Kiri dan Kanan, dan juga memasukkan para pemimpin Gerakan 30 September: satu jendral, satu kolonel, satu letnan kolonel, dan dua atau tiga lagi yang pangkatnya di bawah itu. Pengumuman kedua bahkan lebih aneh lagi. Gerakan ini menyatakan bahwa para prajurit bawahan sudah muak dengan korupsi dan pesta pora dari para perwira tinggi, mereka yang mengabaikan hidup para prajurit yang miskin. Dengan demikian, semua jenjang kepangkatan di atas letnan kolonel dihapuskan, dan semua prajurit pendukung gerakan pangkatnya dinaikkan dua tingkat. Sebuah pemberontakan yang spektakuler – namun juga bodoh – yang sebagai akibatnya hanya menghasilkan krisis solidaritas di kalangan para jenderal dan kolonel yang sejak awal memang sudah terbagi dalam banyak klik itu. Gerakan ini tidak berumur panjang. Setelah jam 3 sore, ia menghilang dari udara, dan pada pukul 7 malam digantikan oleh pengumuman atas nama Jenderal Suharto, komandan pasukan elit Angkatan Darat, Kostrad, yang anehnya tidak menjadi sasaran dari gerakan pemberontakan itu. Pada tengah malam, pemberontakan itu sudah dapat dipadamkan, para pemimpinnya tercerai berai melarikan diri. Pada pagi berikutnya, koran-koran ibukota ditutup, kecuali yang dikuasai oleh militer; stasiun TV dan radio nasional jatuh ke tangan Suharto.
Orang-orang Komunis
Partai Komunis Indonesia (PKI), partai komunis tertua di Asia, membikin keputusan yang menentukan persis pada saat Kemerdekaan Indonesia diakui oleh kolonial Belanda dan dunia (pada akhir tahun 1949). Partai ini memutuskan untuk menempuh jalan parlementer ke kekuasaan dan membubarkan kelompok-kelompok gerilya sisa dari Revolusi 1945-49. Dalam pemilihan umum nasional pertama (1955), PKI berhasil masuk empat besar partai politik yang menguasai Parlemen. Ketika pemilihan umum tingkat propinsi diadakan dua tahun berikutnya di wilayah pulau Jawa yang padat penduduk namun miskin itu, PKI meraih suara terbanyak, namun masih tetap kurang dari 25%. Setelah itu, pemilihan umum tidak diadakan lagi. Alasan utamanya, karena pada tahun 1957 pemerintah memutuskan untuk mengumumkan keadaan darurat secara nasional guna mengatasi warlordisme (dominasi panglima-panglima perang lokal), ketidakpuasan regional, dan meningkatnya sentimen anti-komunis di luar Jawa, terutama di Sumatra dan Sulawesi. Situasinya makin memburuk, hingga pada suatu titik di bulan Pebruari 1958, perang saudara pecah antara pemerintahan yang didominasi militer di Jakarta dengan saingannya di Sumatra yang bernama PRRI atau Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia, yang dipimpin oleh kalangan Muslim ‘modernis’ tingkat nasional, penguasa perang di daerah-daerah (regional warlords), dan penduduk lokal. Kembaran gerakan pemberontakan ini juga muncul di Sulawesi. Pemberontakan ini, sekalipun didukung CIA, dengan cepat dipadamkan oleh pasukan-pasukan dari Jawa yang sepenuhnya setia pada Komando Tertinggi, yang ironisnya dibantu baik oleh Pentagon dan Moskow. Pada saat Presiden Sukarno menghapuskan UU Darurat tahun 1963, TNI Angkatan Darat sudah mengukuhkan dirinya sebagai sebuah kekuatan tingkat nasional dan menentang diadakannya pemilihan umum tingkat nasional dengan alasan ‘keamanan nasional.’ Akan tetapi, dengan dilindungi oleh Sukarno untuk mengimbangi sikap anti-komunis dari pimpinan TNI-AD, PKI dengan cepat mengembangkan dukungan rakyat dengan lebih mencurahkan energinya pada (pembangunan) organisasi-organisasi massa ketimbang menempuh jalan parlemen. Pada awal tahun 1965, PKI menjadi partai komunis terbesar di dunia di luar Blok Komunis, dengan lebih dari 3 juta anggota, dan kira-kira 18 juta pengikut organisasi-organisasi massanya: perempuan, mahasiswa, intelektual, petani, pekerja perkebunan, buruh, nelayan, pemuda, seniman, dan lain sebagainya. (Organisasi-organisasi ini jauh lebih terorganisir dan berdisiplin dibandingkan dengan organisasi-organisasi sejenis milik partai-partai saingannya). Peralihan ini memiliki beberapa konsekuensi penting. Pemilihan umum ditiadakan untuk periode ini tapi akan diadakan pada periode berikutnya; namun organisasi-organisasi massa ini sudah terlanjur berada dalam ketegangan politik tanpa henti karena tidak ada kepastian kapan pemilihan umum berikutnya akan dilangsungkan
Pada awal tahun 1960an, Indonesia menjadi semakin terbelah antara golongan kanan dan kiri. Faktor utamanya adalah kemunduran ekonomi dan inflasi yang pada akhirnya tidak terkontrol. Orang dengan gaji tetap dan pensiunan, seperti kebanyakan pegawai negeri, berusaha menjaga standar hidup mereka dengan korupsi, penggelapan uang, atau berinvestasi di tanah pertanian. Yang terakhir tidak saja menambah tekanan terhadap petani kecil yang kekurangan tanah, penyakap, buruh tani, tetapi juga berlawanan dengan usaha-usaha PKI untuk menerapkan sebuah reformasi agraria (land reform), yang walaupun lemah tapi ditentang keras oleh petani bertanah, baik yang lama maupun yang baru.
Bila petani bertanah itu adalah ulama yang terpandang atau seorang haji yang kaya, penentangan terhadap land reform itu seringkali berujung pada pertentangan antara agama dengan ateisme. Banyak dari petani bertanah ini mewakafkan kelebihan tanah-tanah milik mereka ke mesjid-mesjid, dimana mereka sendiri duduk sebagai dewan pengurus yang mengurusi wakaf ini. Tanah tersebut kemudian menjadi bagian dari organisasi agama, dan bukan lagi milik pribadi, sehingga sulit bagi PKI untuk menyerangnya. Para petani Muslim yang miskin dan tanpa tanah juga akan dengan militan mempertahankan mesjid mereka. Selain itu, jatuhnya nilai mata uang telah membantu menciptakan suasana takut, ketidakpastian, dan kemarahan. Keadaan ini menjelaskan mengapa pembantaian terbesar dan paling buruk terjadi di desa-desa dimana ada perebutan atas tanah dan organisasi massa dari partai-partai besar bergerak paling aktif.
Kesalahan paling fatal dari PKI adalah karena membikin keputusan untuk mengambil jalan parlemen. Namun ini bukannya keputusan yang tidak rasional. Keputusan ini diambil karena keadaan luasnya wilayah kepulaun Indonesia dan begitu beragamnya etnik dan agama didalamnya. PKI juga berkomitmen untuk setia pada ‘integritas nasional’ karena adanya ancaman armada dan kekuatan udara Amerika yang letaknya tidak terlalu jauh dari Indonesia. Akan tetapi itu juga berarti bahwa Partai harus berdiri jauh diawang-awang. [Untuk bisa dipilih] anggota-anggotanya harus dikenal baik secara nasional dan lokal. Dan PKI sama sekali tidak punya kekuatan bersenjata sendiri. PKI berusaha menutupi kelemahan ini dengan mengeraskan retorika politiknya, yang sebenarnya tidak memperbesar kekuasaannya namun hanya menebarkan ketakutan di kalangan musuh-musuhnya. Sementara itu, para pimpinan militer yang anti-komunis semakin meningkatkan dukungannya, baik secara terbuka maupun diam-diam, kepada organisasi-organisasi sosial, politik, keagamaan, dan intelektual sayap kanan. Komunisme merupakan hal yang terlarang di dalam tubuh militer.
Hakekat Pembantaian
Para pemimpin Angkatan Darat, yang dibantu dengan nasehat dan dukungan diam-diam dari Pentagon dan CIA – yang saat itu dalam keadaan tergulung karena pembalikkan keadaan di Vietnam – telah lama mencari-cari alasan untuk menghancurkan partai ini secara massal. Gerakan 30 September dan pembunuhan enam jendral ini memberikan kesempatan yang sudah mereka nanti-nantikan. Dengan segera, media-media yang dikontrol Angkatan Darat memulai kampanye besar-besaran dan sangat berhasil meyakinkan publik bahwa Gerakan ini hanyalah semata-mata alat, yang dimanipulasi di balik layar oleh Partai. Padahal, sesungguhnya ini tidak lain adalah pemberontakan internal dalam Angkatan Darat. Dikatakan bahwa orang-orang Komunis sudah mempersiapkan pembunuhan besar-besaran terhadap rakyat di seluruh negeri. Kampanye Angkatan Darat ini di mulai tanggal 3 Oktober, ketika jenasah 3 orang jendral diangkat dari sebuah sumur kering di sebuah wilayah yang menjadi pangkalan Angkatan Udara di Jakarta. (Mereka tidak dibunuh dirumahnya, tetapi diculik dan dibawa ke daerah ini dan kemudian ditembak mati). Media-media tersebut, dengan menggunakan foto-foto yang agak kabur dan sudah direkayasa, mengklaim bahwa para korban telah dicungkil matanya, dan kemaluannya sudah dipotong oleh perempuan-perempuan komunis yang gila seks. (Beberapa tahun kemudian, karena kecerobohan militer, laporan kematian yang ditulis tanggal 3 Oktober oleh dokter-dokter ahli forensik, dan dilaporkan secara pribadi kepada Suharto pada hari yang sama, kemudian bisa diungkap kembali. Tidak ada bola mata yang hilang, tidak ada juga alat kelamin yang terpotong, yang ada hanyalah luka mematikan akibat tembakan oleh senjata militer). Dengan langkah yang pasti akan membikin Goebels sangat senang, nama lengkap Gerakan dihapus dan digantikan dengan Gestapu (GErakan September TigA PUluh). Tidak ada yang memperhatikan bahwa urutan kata-kata ini tidak ada dalam bahasa Indonesia, tetapi secara sintaksis sesuai dengan bahasa Inggris. Sangat sedikit dari jendral-jendral Indonesia pada saat itu bisa berbahasa Inggris dengan sempurna. Propaganda menyebarkan Kebohongan Besar ini mencapai efek yang diinginkan: sebuah histeria anti-komunis besar-besaran.
Suharto dan antek-anteknya sudah memiliki rencana yang matang untuk menghancurkan Partai dan organisasinya secara fisik, yang juga mempertimbangkan jumlah anggota dan pendukung partai sangat besar itu. Untuk mencapai tujuan ini sesegera mungkin, mengandalkan personil Angkatan Darat saja jelas tidak mencukupi; orang-orang sipil perlu dilibatkan dalam jumlah besar. TNI Angkatan Darat secara diam-diam memberikan arahan, dukungan dana, intelijen, transportasi, dan bahkan suplai persenjataan. Sebagai sebuah badan yang seharusnya dipakai untuk pertahanan menghadapi musuh-musuh asing, Angkatan Darat hampir tidak pernah membanggakan pembantaian massal ini (lihat bagaimana militer Jepang menyebarkan cerita sesat tentang Perkosaan di Nanking atau pembunuhan massal orang Armenia oleh tentara Turki). Skandal internasional mampu dihindari sebisa mungkin. Tentara nasional memang tidak semestinya membantai saudara sebangsanya, khususnya, dalam kasus PKI, jika mereka tidak bersenjata dan tidak melakukan perlawanan.
Siapa yang menjadi kaki tangan utamanya? Dua propinsi dengan jumlah korban terbesar, yakni Jawa Timur yang Muslim dan ‘Pulau Dewata’ Bali yang Hindu itu bisa menjadi contohnya. Kedua propinsi ini padat penduduknya, memiliki komposisi etnik yang relatif homogen, dengan kepemimpinan yang cukup kuat, konservatif dan tradisionalis. Satu hal kunci yang harus dipertimbangkan jika kita ingin membandingkannya dengan Sumatera Utara adalah bahwa daerah-daerah ini merupakan basis kekuatan dua partai politik nasional yang legal, selain PKI, yang juga memiliki organisasi dan pendukung yang kuat. Di Jawa Timur, partai tersebut adalah partai dengan aliran Muslim tradisional Nahdlatul Ulama dengan sayap pemudanya, Ansor. Di Bali, partai itu adalah PNI (Partai Nasional Indonesia) yang di tingkat lokal dipimpin oleh petani tuan tanah, pendeta Hindu, anggota-anggota dua kasta paling atas, Satria dan Brahmana. Partai-partai kecil yang minoritas seperti Katolik dan Protestan, juga dipakai di wilayah-wilayah dimana partai minoritas ini punya pengaruh. (Partai ‘modernis’ Muslim yang besar, Masyumi, sekalipun sangat anti-komunis, secara organisasional tidak ada karena sudah dibekukan dan dilarang pada tahun 1959 karena perannya dalam perang saudara 1958-59, kita akan lihat hal ini kemudian).
Orang-orang sipil ini jelas bukan orang profesional. Ketika pembantaian itu berakhir, mereka kembali ke ‘kehidupan mereka sehari-hari,’ sementara militer melanjutkan pembunuhan sejumlah besar orang di Timor Timur, Atjeh, dan Papua selama dua dekade terakhir kekuasaan Suharto. Banyak dari orang-orang sipil ini, bertindak dibawah pengaruh histeria yang diciptakan oleh media, secara jujur percaya bahwa ‘mereka (PKI) akan bunuh kita kalau kita tidak bunuh mereka duluan.’ Tidak perlu disebutkan bahwa militer sama sekali tidak tertarik untuk menghukum mereka yang terlibat, akan tetapi juga kekebalan hukum mereka dijamin oleh lembaga-lembaga nasional dimana orang-orang ini menjadi anggotanya.
Akhirnya? Selama masa kepresidennya yang sangat singkat itu (Oktober 1999-Juli 2001), Abdurrahman Wahid, pemimpin Nahdlatul Ulama yang karismatik, ‘progresif’ dan sangat licin dalam berpolitik, memutuskan untuk meminta maaf kepada orang-orang komunis yang masih hidup. Akan tetapi, Abdurrahman melakukan itu tidak untuk pembunuh orang perorangan tetapi secara khusus untuk Ansor dan untuk Nahdlatul Ulama pada umumnya. (Tidak ada satupun politisi nasional yang mengikuti langkahnya). Yang lebih mengesankan adalah kenyataan bahwa selama satu dekade belakangan ini banyak anggota muda Ansor, yang lahir sesudah 1965, secara sistematis mulai menolong orang-orang komunis yang selamat dari pembantaian dan bertahun-tahun mengalami pemenjaraan yang brutal. Belakangan ini, ada sebuah pertemuan rekonsiliasi diadakan di Yogyakarta antara NU dan perempuan-perempuan bekas komunis. Semuanya berjalan lancar sampai pada saat ketika seorang perempuan tua komunis menceritakan secara mendetail bagaimana ia disiksa dan diperkosa oleh anggota-anggota Ansor. Ketika dia bicara, seorang gadis muda Muslim berdiri, mukanya pucat, lalu pingsan. Itu terjadi karena ayah si gadis itu sendiri adalah salah seseorang yang ikut menyiksa dan memperkosa. Menarik juga untuk dicatat bahwa pada masa-masa sebelumnya, banyak cerita beredar bahwa para pembunuh ‘amatir’ ini mengalami gangguan mental, menjadi gila, atau dihantui oleh mimpi buruk, dan merasa takut akan mendapat pembalasan karma. Lain dari pada itu, diam. Tidak ada yang patut dibanggakan dan dibualkan di depan publik, atau di dalam siaran TV.
Medan dan Sumatra Utara: Sejarah Lokal
Medan/Sumatera Utara-nya Joshua sangatlah berbeda. Nama tempat yang aneh dan garing ini, sesungguhnya langsung bercerita tentang suatu hal. Gamblangnya, Medan berarti ‘lapang’ atau ‘ruang terbuka.’ Medan merupakan kota besar terakhir yang dilahirkan oleh kolonialisme Belanda – mulai muncul pada tahun 1870an dan 1880an, ketika penguasa kolonial menyadari bahwa tanah datar kosong yang mengelilinginya sangat cocok untuk pengembangan perkebunan-perkebunan besar seperti tembakau, karet, sawit, dan kopi. Salah satu ladang minyak pertama di daerah koloni juga ditemukan di sana, persis bersamaan dengan revolusi otomobil. Wilayah ini didiami oleh sejumlah kecil penduduk Melayu, yang masih ada hubungan dengan Melayu yang hidup di seberang selat Malaka, yang kini menjadi Malaysia. Jika pun ada penguasa di sana, maka kekuasaannya sangat kecil dengan kekuatan senjata yang juga sangat minim, sekali pun beberapa di antara penguasa ini menyebut diri mereka sebagai ‘sultan.’ Karena kepentingannya, Belanda melindungi penguasa-penguasa kecil ini dan mengijinkan mereka mendapat bagian keuntungan dari ekonomi yang tengah berkembang tersebut; tetapi para ‘Sultan’ ini harus melakukan apa yang disuruh oleh Belanda.
Kota Medan diciptakan di jaman rezim kolonial Belanda meninggalkan merkantilisme monopolistiknya dan mengadopsi sistem ekonomi liberalisme dan pasar terbuka yang diterapkan Inggris. Akibatnya, serombongan investor – Belanda, Inggris, Jerman, Austria, Amerika, dan akhirnya Cina dan Jepang – masuk. Dari awalnya sudah ada masalah dengan kekurangan tenaga kerja. Orang-orang lokal Melayu jumlahnya terlalu sedikit dan sebagian besar tidak tertarik untuk bekerja di perkebunan. Sementara itu, pemuda-pemuda Cina yang diimpor dari daerah tenggara Cina dan dari Malaysia-Singapura, terbukti tidak terlalu tahan dan mudah dipindah-pindahkan dalam jangka waktu lama. Hingga kemudian muncullah penyelesaian untuk merekrut kuli-kuli kontrak dari daerah-daerah miskin, padat penduduk di Jawa. Ini adalah perbudakan modern. Para buruh ini tidak saja diperas tanpa ampun, tetapi juga harus menandatangani kontrak yang mencegah mereka untuk berhenti dan memastikan bahwa ‘hutang-hutang’ mereka kepada perusahaan-perusahaan yang membuat mereka dipindahkan ke Sumatra tidak pernah bisa terbayarkan – karena jasa daripada toko-toko yang dimiliki perusahan-perusahan tersebut. Dengan demikian, paling tidak hingga masa awal Depressi Besar, Medan seperti kota para pendulang emas (Gold Rush town). Orang bisa melihat ini dari membandingkan dua sensus yang pernah dibikin oleh pemerintah kolonial. Tahun 1920: penduduk pribumi berjumlah 23,823 orang; yang disebut ‘Timur Asing’ (Cina, Arab, India) berjumlah 18,247 orang; orang Eropa termasuk Jepang berjumlah 3,128 orang, dengan jumlah penduduk seluruhnya 45,248 orang. Pada tahun 1930: penduduk pribumi berjumlah 41,270 orang, orang Timur Asing , 31,021 orang, dan orang-orang ‘Eropa’ berjumlah 4,293 orang, dengan jumlah keseluruhan 76, 544 orang. Ini adalah satu-satunya kota di Hindia yang penduduk pribuminya hanya menjadi mayoritas tipis 53%. (Jumlah penduduk tahun 1930 hanya sedikit lebih kecil dari jumlah penduduk di ibukota Kepulauan Salomon; dan sementara itu pada saat ini Medan sudah tumbuh menjadi kota yang berpenduduk 2 juta jiwa).
Dari Minangkabau Sumatera Barat, Atjeh, dan Batak Tapanuli datanglah pedagang, penerbit majalah dan suratkabar, wartawan, ulama, pengusaha kecil Protestan, guru sekolah, penginjil, dan pegawai-pegawai rendahan. Juga berdatangan kuli-kuli non-kontrak dari Jawa, yang menjadi pedagang kecil dan menengah, pengacara, pengusaha suratkabar, guru, tukang jaga, akuntan, aktivis pergerakan nasionalis, dan pegawai negeri. Medan jelaslah punya lebih banyak ragam manusia dibandingkan dengan kota-kota lainnya di Indonesia, termasuk mungkin ibukota Batavia (sekarang Jakarta): orang-orang Eropa dari segala jenis, Cina, Amerika, India, Jepang, Arab, Minangkabau, Batak dengan segala macamnya, orang Atjeh, Jawa, dan lain sebagainya. Tidak ada yang menjadi mayoritas dominan. Sebagai konsekuensinya, agama pun beragam pula: Inggris, Belanda, Amerika, Jerman, dan Batak Toba yang Protestan; orang Belanda dan Austria yang Katolik; China yang Budha dan Konghucu, India yang Hindu dan Muslim, serta Muslim-muslim taat seperti Minangkabau, Aceh, serta Muslim sinkretis seperti orang Jawa. Tetapi, tentu saja, seperti biasanya, ada hirarki rasial yang stabil, dengan orang Kulit Putih dan orang ‘kulit putih kehormatan’ yakni orang Jepang di tingkat paling atas; Cina, Arab, dan India di tingkat menengah; dan orang-orang pribumi sebagian besar ada di tingkat paling bawah. Medan juga terkenal dengan kehidupan sosialnya yang bergaya Wild West itu – judi dan pelacuran menyebar luas, yang dikelola pada umumnya oleh tauke-tauke Cina dan preman-preman peranakan campuran berbagai ras. (Untuk mendapatkan gambaran tentang keadaan kota Medan pada saat itu, orang bisa membacanya dari bab terakhir buku Tuanku Rao, sebuah masterpiece yang ditulis oleh Mangaradja Onggang Parlindungan). Sementara candu adalah monopoli negara.
Pada awal tahun 1942, setelah menendang Inggris dari Malaysia dan Singapura, militer Jepang mengambilalih Hindia Belanda hanya dalam waktu beberapa minggu.
Minyak dari Sumatra dan Kalimantan adalah kepentingan utama dari militer (Jepang), tetapi perkebunan-perkebunan juga jatuh ke tangan mereka. Akan tetapi, pemboman-pemboman yang secara efektif dilakukan oleh Sekutu terhadap kapal-kapal Jepang, membikin ekspor dari ekonomi agribisnis ini runtuh, menyisakannya hanya untuk pemenuhan kebutuhan domestik dan militer lokal. Di Sumatera Utara, sistem kuli kontrak hancur berantakan, dan sebagai akibatnya meningkatkan peranan ekonomi produsen-produsen kecil penghasil bahan makanan seperti beras, sayur mayur, teh, kopi, dan bahkan minyak jarak. Untuk membuat ekonomi masa perang ini berjalan dengan baik, penguasa Jepang membuka pintu bagi mereka yang ingin menduduki tanah-tanah perkebunan secara ‘illegal,’ termasuk secara besar-besaran oleh orang-orang Batak Toba yang beragama Protestan dari pedalaman.
Setelah Amerika menjatuhkan bom atom atas Hiroshima dan Nagasaki, Jepang menyerah tanpa syarat. Akan tetapi beberapa bulan sebelum Inggris dan Belanda membawa kekuasaan militernya kembali ke Hindia Belanda, dan dalam masa jeda ini, lahirlah Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Pada tahun pertama Revolusi (1945-46) yang menggairahkan namun penuh kekacauan itu, ada beberapa daerah di Sumatra dan Jawa yang melancarkan serangan revolusioner terhadap ‘kaki tangan’ Jepang dan Belanda, khususnya serangan terhadap ningrat-ningrat (aristokrat) lokal yang setengah feudal, pegawai negeri yang sering menyalahgunakan wewenangnya, dan lain sebagainya. Daerah yang paling kacau dan paling berdarah-darah dalam revolusi ini – tidak mengejutkan – adalah Sumatra Utara. Kesultanan-kesultanan kecil diruntuhkan dengan mudah; banyak ningrat Melayu dibunuh dan kekayaan mereka entah dicolong atau disita. Penyair besar Indonesia, Amir Hamzah, adalah salah satu korbannya. Orang Batak Toba, Aceh, Simalungun, dan Jawa merampas senjata-senjata Jepang dan Belanda, dan mereka saling bertempur satu sama lain memperebutkan barang jarahan tanpa ada satupun yang berhasil menciptakan ketertiban politik yang kuat. Pemerintahan Republik yang didominasi kaum Sosialis terkaget-kaget dengan semua hal ini, karena mereka tahu bahwa ini akan mencemarkan nama baik bangsa di luar negeri, membikin marah para investor jaman kolonial yang ingin kekayaannya dikembalikan, dan mengasingkan para sekutu diplomatik di luar negeri. Secara perlahan-lahan, dengan pertolongan militer, ketertiban bisa dipulihkan, terutama setelah Belanda berhasil menguasai kembali perkebunan-perkebunan di sekeliling Medan. Tapi itu tidak berlangsung lama.
Bulan Desember 1949, setelah empat tahun menjalani peperangan dan perundingan, Belanda menyerahkan kedaulatan atas bekas koloni lamanya kepada ‘Republik Indonesia Serikat,’ yang salah satu bagiannya adalah Sumatra Utara (yang saat itu masih dikenal dengan nama Sumatra Timur), yang dipimpin oleh ningrat lokal yang tersisa. Akan tetapi hanya dalam waktu setahun, federalisme dihapuskan, para aristokrat tersebut disingkirkan, dan Repulik Kesatuan seperti yang kita kenal sekarang ini didirikan. Satu syarat terpenting dari penyerahan kedaulatan ini, yang diminta oleh orang-orang Amerika yang rakus, adalah bahwa semua kekayaan milik Belanda (juga Inggris dan Amerika) harus dikembalikan kepada pemiliknya di masa sebelum perang. Ini menimbulkan kegawatan di sekitar Medan. Bahkan dalam dua dekade terakhir masa pemerintahan Belanda, wilayah-wilayah ini sebenarnya telah menjadi persemaian nasionalisme anti-kolonial. Kecenderungan ini meningkat tajam pada tahun-tahun terakhir kekuasaan Jepang dan setelah Proklamasi Kemerdekaan. Bahasa radikal ‘Revolusi’ memunculkan kesan yang kuat pula, dalam pengertian yang baik. Tetapi ‘Revolusi’ juga memungkinkan unsur-unsur kriminal beroperasi di bawah naungannya, kadang-kadang dengan komitmen revolusioner yang tidak murni.
Sumatra Utara adalah wilayah alamaiah untuk pencarian kader oleh PKI yang baru dilahirkan kembali itu. Sebelumnya, partai ini ditindas oleh Belanda sesudah kegagalan pemberontakan tahun 1926-27 dan kemudian juga oleh Jepang. Satu organisasi yang paling militan pada tahun 1950an adalah Sarekat Buruh Perkebunan Indonesia atau Sarbupri, sebuah serikat buruh yang basis massa kebanyakan adalah orang-orang Jawa bekas kuli kontrak. Kepemimpinannya sebagian besar dipegang oleh aktivis-aktivis terdidik Jawa dan orang-orang Batak Protestan. Penting untuk dicatat bahwa Politbiro PKI, yang sejak tahun 1951 ke atas dipegang oleh D.N. Aidit, menghadapi kesulitan besar bila berhadapan dengan militansi Sarbupri. Karena telah memilih untuk bergabung dengan sistem parlementer (baik di tingkat nasional maupun lokal), partai kuatir bahwa kegiatan revolusioner lokal yang tidak resmi ini akan menghancurkan strategi politik partai yang hati-hati tersebut. Sejumlah pimpinan Sarbupri diturunkan, didepak keluar, atau didisiplinkan. Sarbupri juga mendapat dukungan politik dari petani-petani kecil yang datang pada jaman Jepang, yakni mereka-mereka yang ingin didepak atau ditundukkan oleh tuan-tuan kebun orang kulit putih. Pemogokan di Tanjung Morawa, wilayah sabuk perkebunan yang jaraknya hanya 14 kilometer dari Medan, bahkan sempat menjatuhkan satu kabinet di awal-awal jaman demokrasi konstitusional.
Medan adalah sebuah kota yang susah ditangani dari Jakarta, karena di situ tidak ada tatanan sosial ‘tradisional’ yang bisa diajak bekerja sama, tidak ada kelompok etnik, partai politik, atau kelompok agama yang dominan. Di sana juga bermukim penduduk ‘Asia asing’ yang secara proporsional jumlahnya tertinggi (dibandingkan dengan kota-kota lain di Indonesia). Karena kedekatannya dengan Singapura, kota ini juga terkenal dengan para penyelundupnya yang sangat lihai. Militer lokal yang terpecah-pecah juga menjadi masalah tambahan.
Ketika Revolusi 1945 pecah, tentara nasional dibentuk dengan cara-cara yang tidak biasa. Inti dari pemimpin di lapisan atas dan menengah adalah para sersan dan prajurit-prajurit rendahan dari kesatuan bantuan yang diciptakan oleh tentara kerajaan Jepang, untuk bergerilya menghadapi Sekutu bila mereka mendarat. Karena Jawa dan Sumatra dikuasai oleh kesatuan tentara Jepang yang berbeda dan keduanya tidak membawahi satu dengan yang lain, maka Peta di Jawa dan Giyugun yang jauh lebih kecil di Sumatra, tidak memiliki kaitan satu sama lain. Hampir semua prajurit yang direkrut ke dalam dinas ketentaraan yang baru dibentuk berusia sekitar 20an tahun, tidak peduli jabatan apa yang mereka pegang. Adalah hal yang umum bahwa para komandan tentara dipilih di antara mereka sendiri, ketimbang diangkat oleh atasan yang lebih tinggi. Pada tahun 1950an, para Markas Besar pusat di Jakarta mengalami kesulitan untuk mengontrol bawahan mereka di daerah, yang sering menolak perintah dari atas dan bertindak lebih sebagai penguasa perang (warlords). Dalam hal ini, Medan adalah sebuah kasus yang menarik. Seorang Toba Batak Protestan bernama Kolonel Simbolon yang menjadi komandan di sana selama tujuh tahun dari tahun 1950 hingga 1957. Dialah yang menguasai jaringan penyelundupan lewat pelabuhan Medan. Ia menolak untuk pindah ketika diperintahkan. Tetapi ketika dia memutuskan untuk bergabung dengan koalisi anti-Jakarta, yang pada bulan Pebruari 1958 memulai pemberontakan PRRI, dia dengan segera dijatuhkan oleh koalisi Markas Besar yang terdiri dari para perwira berhaluan kiri yang lebih junior. Para perwira ini merupakan klik dari Letnan Kolonel Djamin Ginting, seorang Karo yang mengaku mewakili orang-orang Karo yang merasa sudah lama ditindas oleh sepupu jauhnya orang-orang Toba. Ketika diangkat, Ginting bergantung pada bantuan perwira-perwira Jawa yang berhaluan kiri ini. Banyak organisasi Islam, yang juga mendukung PRRI menjadi lumpuh karena kekalahan PRRI dan partai Islam modernis Masjumi menjadi partai terlarang karena terlibat dalam pemberontakan ini.
Perkembangan penting terjadi karena kekacauan yang diciptakan oleh Presiden Sukarno yang pada tahun 1957 secara tegesa-gesa memutuskan untuk menasionalisasi semua perusahaan Belanda sebagai balasan dari tindakan Hague, yang secara terus-menerus menolak penyelesaian secara diplomatik masalah Papua Barat, yang seharusnya sudah selesai pada awal tahun 1950. Pengambilalihan perusahaan-perusahaan tersebut dilakukan oleh serikat-serikat buruh milik PNI yang menjadi lawan PKI. Akan tetapi kaum komunis dengan cepat juga turut ambil bagian. Namun ini tidak berlangsung lama. Markas Besar tentara mempergunakan kekuasaaan daruratnya untuk mengambilalih kontrol atas semua perusahaan yang dinasionalisasikan tersebut, dengan mengklaim bahwa perusahan-perusahan tersebut adalah aset-aset penting bangsa. Untuk pertama kali dalam sejarahnya, tentara memiliki sumber daya ekonomi dan finansial, terutama perkebunan, tambang, perusahaan dagang, pabrik-pabrik, bank-bank, dan lain sebagainya. Tidak perlu disebutkan bahwa pemogokan kemudian dilarang di semua sektor (ekonomi) ini. Karena sektor-sektor ekonomi ini sebelumnya dikuasai asing, dan dimana serikat-serikat buruh nasionalis paling bebas bergerak, maka militer harus mengembangkan kekuatan penangkis korporatis yang efektif. Untuk mengimbangi serikat buruh PKI yang bernama SOBSI, sebuah federasi tingkat nasional dari serikat-serikat buruh kiri, maka tentara menciptakan SOKSI. Nama ini mengacu pada penciptanya. K adalah kepanjangan dari karyawan, sebuah kata baru korporatis yang berarti ‘fungsionaris,’ dan yang anggota-anggotanya berasal dari jajaran manajemen, staff-staff di perkantoran, pekerja kerah putih, dan juga ada buruh. Orang mungkin berpikir bahwa SOKSI adalah sebuah serikat buruh milik ‘perusahan.’ Dengan demikian B di dalam SOBSI, yang adalah kepanjangan dari Buruh, hendak dihilangkan sama sekali.
Di wilayah sekitar Medan, untuk menghadapi kehadiran SOBSI yang sudah mapan di sana, militer memerlukan banyak tenaga di luar prajurit-prajuritnya untuk menjalankan kebijakannya di wilayah sabuk perkebunan yang teramat luas itu. Secara kebetulan, tentara juga sudah punya alatnya. Pada tahun 1952, Kepala Staf Angkatan Darat, seorang Batak Mandailing, A.H. Nasution, diberhentikan karena peranannya dalam kudeta mini yang gagal di Jakarta. Karena masih muda dan penuh ambisi, Nasution kemudian memutuskan untuk membikin organisasi untuk kepentingan pemilihan umum, yang ia namai IPKI, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia. Naution menyebut IPKI sebagai gerakan untuk menentang partai-partai besar, khususnya PKI. Pada pemilihan umum 1955, partai ini hanya memenangkan empat kursi, akan tetapi sangat jelas bahwa basis paling kuat dari partai ini ada di Medan. Pada tahun yang sama, Nasution diangkat kembali sebagai Kepala Staff Angkatan Darat (KASAD) oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, seorang keturunan marga Batak Selatan (Angkola) yang masih ada hubungan dengan marganya Nasution. Sekalipun menjadi KASAD, Nasution tetap mengendalikan IPKI. Setelah memadamkan pemberontakan PRRI, dan dengan UU Keadaan Darurat masih diberlakukan dengan ketat, IPKI mengembangkan ‘sayap pemuda’-nya, sama halnya seperti partai-partai yang sah lainnya. Organisasi pemuda ini diberi nama Pemuda Pantjasila, yang anggotanya kebanyakan berasal dari pensiunan tentara dan orang-orang sipil veteran dari Revolusi. Tokoh kunci dalam Pemuda Pantjasila ini adalah seorang Batak Mandailing bernama Effendy Nasution, yang juga adalah tokoh preman dan mantan petinju.[2] Para preman ini juga sering terlibat perkelahian dengan organisasi pemuda PKI, Pemuda Rakjat, karena rebutan ‘lahan’ dan pertentangan ideologis karena para preman ini sangat anti PKI. Akan tetapi sebagai anggota dari ‘organisasi nasional’ yang disponsori oleh petinggi Angkatan Darat, mereka tentu memiliki perlindungan yang kokoh, termasuk perlindungan untuk memalak (protection rackets). Selama enam tahun dari 1959 hingga 1965, kerjasama antara militer dengan preman-preman Medan berlangsung semakin erat. PP secara signifikan membantu SOKSI untuk mengontrol wilayah perkebunan dari perlawanan tangguh oleh SOBSI/Sarbupri. Sehingga, ketika Suharto memutuskan untuk memulai pembantaian kaum komunis, para preman Medan, dengan memakai baju Pemuda Pantjasila, siap ‘membantu’ dan terbiasa melaksanakan arahan-arahan ‘rahasia’ dari Angkatan Darat.
Perbedaan antara Jawa dengan daerah sabuk perkebunan ini sangat besar. Kita telah melihat bagaimana Angkatan Darat mengandalkan organisasi-organisasi Nahdlatul Ulama yang besar itu, dan kekuasaan birokrasi sipil Jawa, yang umumnya dikuasai oleh orang-orang PNI untuk melakukan pembantaian. Di Medan, kehadiran NU sangat kecil, PNI terpecah-belah, dan Masjumi, partai Islam modernis yang dulunya kuat itu telah menjadi partai terlarang sejak tahun 1959. Tidak ada birokrasi sipil yang bersatu di daerah yang memiliki percampuran etnis yang kompleks ini. Ini juga menjelaskan mengapa, ketika pembantaian ini hampir usai, anggota-anggota NU dan Ansor di Jawa pada umumnya kembali pada kehidupan keagamaan yang ‘normal’ (dan segera bertentangan dengan militer), sementara di Medan para preman kembali ke ‘kehidupan normal’ yang lain, yaitu dengan pemalakan, pemerasan, memberi ‘perlindungan,’ mengelola rumah-rumah judi, kompleks pelacuran, dan lain sebagainya, sementara tetap dekat dengan kalangan militer. Akan tetapi dengan tuan yang baru, karena jaman sudah berubah. Jendral Nasution, yang sudah pensiun, secara perlahan menghilang. Pada akhirnya, pada tahun 1980, kepemimpinan PP beralih ke tangan Yapto Soerjosoemarno, seorang Indo — keturunan jendral ningrat dari Surakarta dan beribu Yahudi-Belanda. Yapto, seorang pembunuh berdarah dingin dan pemburu binatang buas, telah lama menjalin hubungan dengan preman-preman Medan. Dia juga masih ada hubungan keluarga dengan Ny. Tien Suharto. Secara resmi, PP adalah organisasi yang mandiri, tetapi ia selalu mendukung Suharto dan kebijakan-kebijakannya, dan selalu membantu kemenangan mutlak Golkar dalam pemilihan umum. Golkar adalah sebuah partai milik rejim yang bukan-partai politik. PP tetap setia kepada pelindungnya itu hingga Suharto mati. (Sejak saat itu, PP tidak punya pelindung yang tetap, dan kekuatannya serta persatuannya ke dalam juga semakin melemah). Sementara itu, NU, sebuah partai nasional, berusaha keras bersaing dengan Golkar di setiap pemilihan umum, dan pada suatu waktu pernah menjadi komponen yang paling signifikan dari kalangan oposisi yang lemah itu.
Petrus
Penting juga untuk dicatat tentang apa yang terjadi pada tahun 1983, ketika Suharto memutuskan untuk menumpas sejumlah besar preman-preman kecil. (Di media massa, para pembunuh ini pada awalnya dinamakan penembak-penembak misterius, akan tetapi kemudian dengan cepat diberi singkatan Petrus, karena dalang operasi ini adalah seorang Indo Katolik, Letnan Jendral Benny Murdani). Di Jawa, beberapa ribu orang dibunuh secara brutal di tengah kegelapan malam oleh pasukan-pasukan komando yang berpakaian sipil. Akan tetapi di Medan, sejumlah besar preman-preman ini tidak disentuh sama sekali. Alasan mengapa terjadi perbedaan di kedua daerah ini sangat jelas. Pada tahun 1980, Jawa Tengah sekonyong-konyong diguncang oleh prahara anti-Cina, dimana preman-preman kecil ini jelas memainkan peranan. Banyak dari preman-preman ini telah bekerja untuk kepala intelnya Suharto, Mayor Jendral Ali Murtopo, yang juga mengepalai Opsus (aparat intelijen politik pribadinya Suharto). Mereka berfungsi sebagai alat pemenangan Pemilu. Bagi tiran yang selalu waspada dan curiga, (kekerasan anti-Cina) itu dilihat oleh Suharto sebagai upaya Ali Murtopo –yang pernah jadi orang kepercayaannya — dalam memamerkan otot politiknya. Murtopo ingin memperlihatkan apa yang bisa dibikin oleh kaki-tangannya yang tidak kelihatan itu selama dan setelah pemilihan umum. Kerusuhan dan kekerasan anti-Cina sangat mengganggu Suharto. Kekerasan anti-Cina di Jawa pada abad ke-20 memang punya sejarah yang panjang. Kekerasan ini mampu bergerak cepat dari satu kota ke kota lain jika kondisinya memungkinkan. Terlebih lagi, kesuksesan ‘pembangunan’ ekonomi Suharto sangat tergantung pada energi orang-orang bangsa Cina ini, yang keamanan dan kemakmurannya dipandang sebagai tanda-tanda adanya stabilitas di negeri ini. Dengan demikian, penumpasan jaringan premannya Ali Murtopo bisa diartikan baik sebagai penjaminan kembali keamanan orang-orang Cina dan pelemahan Murtopo yang hendak mengukuhkan dirinya sebagai kekuatan politik independen. Tidak lama kemudian, Ali Murtopo diasingkan menjadi Duta Besar di Kuala Lumpur, dimana dia jatuh sakit kena serangan jantung.
Hal-hal seperti ini tidak terjadi di Medan karena para preman adalah sekutu paling dekat militer, dan bukan sebagai kaki tangan dari orang berpengaruh di lingkaran kekuasaannya Suharto. Jika kerusuhan terhadap orang-orang Cina sesekali terjadi (di Medan), maka motif utamanya bukanlah anti-Cina (Sinophobia) melainkan menaikkan jumlah uang setoran yang harus diberikan kepada preman-preman tersebut.[3] Perlu juga dicatat sambil lalu bahwa di dalam buku biografinya yang aneh dan penuh teka teki itu, Otobiografi: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, Suharto berani membual tentang pembantaian ekstra-yudisial tersebut. Dan itu diungkapkannya dengan cara yang tidak jujur seperti berikut ini: ‘Masalah yang sebenarnya adalah bahwa kejadian itu [Petrus] didahului oleh ketakutan yang dirasakan oleh rakyat. Ancaman-ancaman yang datang dari orang-orang jahat, perampok, pembunuh, dan sebagainya terjadi. Ketentraman terganggu. Seolah-olah ketentraman di negeri ini sudah tidak ada. Yang ada seolah-olah hanya rasa takut saja. Orang-orang jahat itu sudah bertindak melebihi batas perikemanusiaan. Mereka tidak hanya melanggar hukum, tetapi sudah bertindak melebihi batas perikemanusiaan. Umpamanya saja, orang tua sudah dirampas pelbagai miliknya, kemudian masih dibunuh. Itu ‘kan sudah di luar kemanusiaan. Kalau mengambil, ya mengambillah, tetapi jangan lantas membunuh. Kemudian ada perempuan yang diambil kekayaannya dan si istri orang lain itu masih juga diperkosa oleh orang jahat itu, di depan suaminya lagi. Itu sudah keterlaluan! Apa hal itu mau didiamkan saja? Dengan sendirinya kita harus mengadakan treatment, tindakan yang tegas. Tindakan tegas bagaimana? Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan, dor! dor! begitu saja. Bukan! Tetapi yang melawan, ya, mau tidak mau harus ditembak. Karena melawan, maka mereka ditembak. … Lalu ada yang mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy, terapi goncangan. Supaya, orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya.’ Akan tetapi diktator ini tidak pernah membual tentang perannya menjadi dalang dalam pembantaian 1965.
Dengan latar belakang perbandingan ini, menjadi lebih mudahlah kita mengerti perasaan kebal hukum yang dipertontonkan oleh orang-orang yang bekerja sama dengan Joshua. Mereka sudah menjadi kirminal yang profesional dalam sepanjang hidup mereka. Jika beberapa pemimpinnya punya ambisi politik maka biasanya terbatas hanya pada tingkat lokal dan propinsi saja. Tidak lebih dari ambisi untuk menjadi gubernur Sumatra Utara, jauh dari Jakarta. Ketika berkuasa, mereka mengejar kepentingan para preman juga: uang, rasa hormat (ditakuti), kekebalan dari hukum, dan beberapa kepentingan politik lainnya. Mereka tidak terkait dengan organisasi-organisasi politik dan keagamaan tingkat nasional di luar organisasi Golkar-nya Suharto, yang mereka ikuti dengan penuh ketaatan. Mereka telah bekerja untuk militer jauh sebelum pembantain terjadi, dan menjagal orang-orang komunis dengan kebuasan yang sangat efisien. Mereka tidak mengorganisasi gerakan anti-Cina yang serius setelah tahun 1966, juga mereka tidak memeras investor-investor lokal. Anehnya, orang mungkin bisa bilang bahwa para preman ini memandang diri mereka sebagai tangan kiri tersembunyi dari Leviathan-nya Orde Baru: yakni abdi yang tidak beradab (uncivil servant).[4] Lebih dari itu, ketika Suharto memberantas para preman di Jawa, ‘anak-anak buah’ ini sama sekali tidak disentuh. Ini sama sekali tidak mengherankan. Tidak ada orang yang bertanya tentang soal ini. Juga tidak ada permohonan maaf dari Abdurrahman Wahid.
Meski demikian, bisa diduga bahwa mereka merasa kecewa juga. Salah satunya mungkin adalah karena kurangnya pengakuan resmi di tingkat lokal dan nasional atas peranan mereka dalam pembantaian, satu-satunya peran di dalam hidup kriminal mereka dimana meraka bisa membayangkan diri sebagai penyelamat negara. Masalahnya terletak di ‘Jakarta’ terutama dalam sikap yang diambil oleh Suharto dan antek-anteknya terhadap pembantaian itu. Yang menarik, setiap tahun para penguasa ini mengadakan acara-acara peringatan tahun 1965 dengan memusatkan perhatian pada korban-korban awal pada 1 Oktober – para pahlawan nasional. Jalan-jalan di setiap kota diberi nama dengan nama jendral-jendral ini dan sebuah museum didirikan di Jakarta untuk menghormati kepahlawanan mereka. Sebuah film juga dibuat oleh negara – dimana setiap tahun anak-anak sekolahan diwajibkan untuk menonton – yang isinya melulu kisah pilu para jendral dan kejahatan-kejahatan PKI. Tetapi di Medan, tidak ada seorang jendral atau bahkan seorang perwira militer pun yang dibunuh.
Tambahan pula, cerita resmi tentang tiga bulan terakhir tahun 1965 tergantung pada retorika kemarahan atas kejahatan-kejahatan PKI. Para ahli propaganda militer yang menciptakan cerita ini menggambarkan peranan TNI-AD dalam mencegah dan menenangkan gelombang kemarahan rakyat yang ‘spontan’ itu. (Kenyataannya, banyak sekali bukti bahwa pembantaian di Jawa Tengah berawal dari kedatangan pasukan komando baret merah pada pertengahan bulan Oktober, dan sebulan kemudian di Jawa Timur ketika para pembunuh profesional ini bergerak ke arah timur).
Dengan demikian, tidak ada pahlawan jagal yang dihormati rezim Suharto. Para perwira baret merah yang paling kejam pun tidak pernah bisa mencapai posisi puncak di dalam militer. Pada akhirnya, bahasa rezim yang eufemistik itu yang menghalangi munculnya heroisme. Orang-orang komunis ditahan oleh militer, kemudian dieksekusi atau dipenjarakan bertahun-tahun tanpa diadili, dan ini disebut sebagai ‘diamankan’ untuk kepentingan ‘keamanan umum.’ Bertahun-tahun kemudian, ketika para jendral berani menulis memoar, mereka memakai eufemisme yang sama. Mereka ‘mengamankan’ orang-orang komunis dan ‘melindungi’ mereka dari ‘kemarahan rakyat.’ Rezim Suharto tidak pernah membangga-banggakan pembantaian itu dan tidak pernah mengumumkan berapa banyak orang yang telah terbunuh. Seluruh strategi propaganda ini, yang juga ditujukan untuk orang-orang asing, tidak menyisakan sedikit pun tempat untuk ‘para pahlawan pembunuh’ yang ada pada imajinasi orang-orang Medan ini. Tapi, bukankah para preman ini yang menyelamatkan negara? Jadi, mau tak mau, mereka mendirikan monumen mereka sendiri, yakni sebuah monumen krom setinggi 10 meter yang disebut ‘66’ dan terletak di dekat stasiun kereta api. Kalau orang tidak tahu, logo 66 itu mungkin dikira sebuah restoran cepat saji baru saingannya McDonald.
Lagi pula, apakah orang-orang tua ini telah diberi ganjaran yang setimpal dalam pengertian praktis? Jika kita perhatikan dua orang yang digambarkan dalam film Sungai Ular, kita bisa melihat bahwa mereka itu sesungguhnya bukan siapa-siapa. Orang tua, dengan otot yang sudah mengendor, dengan pakaian dan rumah ala borjuis kecil, yang tidak menunjukkan gengsi sama sekali, tidak ada tanda penghargaan, yang ada hanya orang-orang sekitar yang takut pada mereka. Tentu saja gembong-gembong preman ini punya rumah-rumah gedung, mobil mewah, perhiasan dan jam tangan yang mahal-mahal, dan beberapa posisi politik penting di tingkat lokal. Akan tetapi, semua kekayaan ini bukanlah ganjaran langsung dari tindakan ‘kepahlawanan’ yang pernah mereka lakukan, yang tetap saja tidak mau diungkapkan secara terang-terangan. Kekayaan itu didapat secara perlahan-lahan di bawah perlindungan kediktatoran Suharto dan tindakan kriminal. Dalam negara yang sangat menghargai sejarah nasional, dan dimana ada banyak sekali pahlawan nasional, mereka justru tidak berada di situ.
Keadaan ini membantu kita untuk memahami beberapa karakter unik yang ada pada film-film ini. Kamera dalam film ini menawarkan kepada tokoh-tokoh tersebut semacam kenangan masa lalu, yang mengatasi waktu, kerutinan, dan kematian. Ketika dua jagal yang sangat kejam dalam film Sungai Ular muncul di rumahnya dengan istri dan keluarganya, ia menceritakan ulang penyiksaan-penyiksaan dan pembantaian yang pernah ia lakukan. Keluarganya rupanya sudah terbiasa dengan peragaan yang diulang-ulang ini. Istrinya yang gendut itu cekikikan hanya untuk membuatnya senang, tetapi anak-anaknya tidak sama sekali tidak peduli. Ia membual tentang kekuatan sihirnya, dengan mengatakan bahwa para janda orang-orang komunis datang padanya untuk minta disembuhkan. Benar? Mungkin, tapi kedatangan mereka ke rumahnya mungkin juga menjadi pertanda bahwa setelah empat puluh tahun para janda itu masih menyimpan ketakutan terhadapnya. Penebaran rasa takut inilah yang menjadi tanda penghargaan tersembunyi untuknya. Semacam hirarki juga tampak jelas, terutama ketika kedua veteran jagal ini harus menentukan siapa yang harus berperan sebagai komunis dan siapa yang menjadi jagalnya.
Mereka punya kenangan tersendiri, yang sesungguhnya adalah film-film Hollywood yang sangat mereka gandrungi sejak mereka remaja. Lone Ranger, Batman, Patten, Shane, Samson, MacArthur, Rambo, dan lain-lainnya – baik sebagai orang beneran atau hasil imajinasi – adalah tokoh-tokoh yang tidak bisa mati untuk para jagal ini. Mereka adalah patriot yang heroik dan bukannya preman besar. Tidak berarti bahwa mereka tidak hidup dalam kebudayaan lokal – supernaturalisme, komik horor Gothic, dan melodrama populer. Joshua datang kepada mereka sebagai anugerah sekutu ‘Hollywood.’ Mereka mungkin akan mati sebentar lagi, tapi mungkin Joshua akan membuat mereka abadi.
Tapi mereka tidak bisa kemana-mana juga. Mereka sama sekali tidak punya sesuatu yang bisa mewakili orang-orang komunis. Ketika Suharto masih menjadi diktator, rejim pemerintahannya bisa mewajibkan orang untuk menonton kejahatan PKI dan berduka untuk para jendral yang terbunuh. Tapi film-film seperti ini sudah tidak diputar lagi sejak dia jatuh dari kekuasaan 12 tahun yang lampau. ‘Anak-anak Medan’ ini tidak punya sesuatu yang mirip seperti ini, dan sejarah lokal tentang apa yang terjadi 45 tahun yang lampau secara perlahan dilupakan atau menjadi mitos. Dengan demikian, sebagian dari mereka harus berperan sebagai komunis, kadang-kadang juga dengan paksaan. Sebagai preman nasionalis, mereka tidak punya tempat dalam sejarah nasional. Tidak seperti TNI Angkatan Darat yang bisa masuk sebagai sebuah lembaga yang punya prestasi patriotik. Kepremanan mereka hanya bisa difilmkan terbatas pada kostum, gerak tubuh, dan bayangan kesuksesan yang murahan. (Tingkah laku ini menyerupai cara pandang para mafia Cosa Nostra di Amerika yang, menurut laporan jurnalis, suka sekali menonton film-fil mafia dan mengindentifikasikan diri mereka dengan FBI!)
Pada saat yang bersamaan, orang-orang tua ini menyadari bahwa mereka juga berada dalam pasar fantasi industrial, sebuah akses yang datang lewat orang Amerika, yang lebih pantas menjadi anak-anak mereka. Ini adalah pasar, yang selama bertahun-tahun akhirnya mengaburkan batas-batas perfilman yang sebelumnya sudah memiliki kemapanan genre seperti film perang yang heroik, film-film tentang preman, film horor, dengan kerugian di pihak pertama dan keuntungan di pihak yang kedua. (Shinning Shane membuka jalan untuk si kanibal Hannibal Lecter. Kondisi ini membuat peralihan dari Apocalypse No ke Batman mungkin untuk dibayangkan). Tetapi ia juga mengijinkan hidupnya fantasi yang tidak tersedia pada tahun 1965. Kita bisa ambil contoh Anwar Kongo, misalnya. Dia dengan bangga memerankan dirinya sebagai pembunuh sadis, tapi … toh dia terhantui oleh arwah para korbannya, paling tidak demikianlah dia berakting; kemudian dia menyelamati dirinya sendiri karena sudah mengirim mangsa-mangsanya langsung ke surga, seolah-olah pembalikkan dalam ‘misa hitam’ dari teologi jihad. Dia memperlihatkan kekuasaannya yang aneh dengan memaksa Herman, tukang pukulnya yang besar, gendut, dan sok preman itu, untuk berpakaian sebagai perempuan Komunis. Herman muncul dengan pakaian gemerlap yang dipakai oleh seorang perempuan bencong paruh baya dalam sebuah kompetisi di televisi. Sesuatu yang tidak akan pernah dilakukan oleh seorang perempuan Komunis beneran yang sudah janda, kurus, layu dan berusia sekitar 70an tahun. Sesungguhnya di sana tidak ada batas (lihat apa yang bisa kita bikin!) kecuali bahwa Congo dan orang-orangnya bisa muncul di dalam film. Ada semacam keputusasaan di sana.
Keputusasaan inilah yang digerakkan oleh Joshua. Para preman ini memerankan ulang apa saja yang mereka maui dan mampu bayangkan, tetapi mereka tidak dapat mengontrol kayak apa ‘film mereka’ itu pada akhirnya. Joshua adalah teka-teki. Dia ada di sana, seperti Rouch, masih dalam jangkauan kamera, sebagai interogator yang tidak kelihatan, yang juga sebagai seorang kawan, saksi, anak-anak, hakim, dan bangsat/bajingan. Mereka tidak punya sesuatu pun untuk mengontrol Joshua, karena mereka adalah aktor-aktornya, dan tidak ada naskah akhir yang harus mereka kuasai. Joshua bukan bagian dari film mereka, tetapi mereka adalah bagian dari filmnya Joshua. Tidak ada film-film Hollywood dengan karakter-karakter yang tidak kelihatan yang menginterogasi kepunyaan Joshua di dalam mereka itu. Inilah sumber kebingungan itu. (Joshua pernah menulis pada saya bahwa sementara banyak dari orang-orang ini percaya sepenuhnya kepada dirinya, sebagian lagi curiga bahwa dia mungkin akan mengkhianatinya).
Tanggapan balik yang tak terelakkan adalah campur aduk yang aneh dari berbagai motivasi. Ekses pertama: ‘Kalahkan ini, keparat! Aku kirim mereka semua ke Surga dan mereka harusnya berterimakasih padaku.’ Kedua: mengambil jalan filmis yang supernatural. ‘Si bangsat Ramli itu begitu saktinya sehingga lama sekali kami tak bisa membunuhnya, maka kami terlebih dahulu harus memotong kontolnya.’ Ketiga: harga diri. Hari ini, empat puluh lima tahun sesudah 1965, ‘mereka masih saja takut sama kita.’ Keempat: harapan. ‘Kita akan terkenal di seluruh dunia, bahkan kalau kita sudah mati, tidak soal jika kaum muda Indonesia tidak peduli dengan kita, dan pemerintah tidak pernah membikin monumen yang sepatutnya menjadi hak kita.’ Kelima: kepercayaan. ‘Tidak ada itu rasa amuk, dan kami taat melaksanakan perintah dari tentara.’ Terakhir: nyamannya menjadi kebal hukum. ‘Nak, kita bisa memerankan kembali apa saja dan siapapun tidak bisa menghalangi kita, termasuk kalian!’ Namun, pada akhirnya, semua orang itu sama, termasuk mereka ini, bahwa kita semua sudah dijatuhi hukuman mati sejak saat kita dilahirkan. Mereka tahu bahwa sebentar lagi mereka akan mati, dan tidak ada orang yang peduli. Namun, tidak ada seorang pun yang langsung mengirim mereka ke Surga.***
Artikel ini adalah adaptasi dengan beberapa tambahan dari sebuah bab yang termuat dalam buku Killer Images: Documentary Film, Memory and the Performance of Violence, yang diedit oleh Joram Ten Brink and Joshua Oppenheimer. Copyright © 2013 Joram Ten Brink and Joshua Oppenheimer. Dimuat disini dengan ijin dari Columbia University Press. The Asia-Pacific Journal Vol. 11, Issue 15, No. 4, April 15, 2013.
Penerjemah: Made Supriatma
[1] PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) diumumkan setelah Jakarta menolak ultimatum yang mengharuskan Sukarno kembali menjadi kepala negara simbolik saja, pembentukan kabinet anti-komunis di luar kontrol parlemen, dan lain sebagainya. Gerakan ini sebagian dibantu secara finansial dan militer oleh CIA. Pusatnya ada di Sumatra dan inti kepemimpinannya berasal dari perwira-perwira ‘putra daerah,’ meskipun beberapa pimpinan terkemuka partai-partai politik (terutama Masjumi) juga ikut serta untuk membuat PRRI bisa diterima secara internasional. Tidak lama kemudian, gerakan sejenis muncul di Sulawesi, yang menyekutukan dirinya pada PRRI. Perlu ditambahkan bahwa ketidakpuasan terhadap berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh Jakarta dan bertambahnya pembangkangan dari luar Jawa telah memaksa pemerintah pusat mengumumkan keadaan darurat militer untuk seluruh negeri pada bulan Maret 1957. Bisa dikatakan bahwa deklarasi ini menandai awal dari dominasi militer atas negeri ini yang kemudian berlangsung sampai 40 tahun.
[2] Di kalangan Batak murni, marga Nasution seringkali dicurigai berasal dari campuran berbagai darah, yakni Batak, Minangkabau, India, Aceh, dan Arab. Ini mungkin bisa menjelaskan mengapa di jalanan Effendi dikenal dengan nama Effendi Keling. Mungkin juga dia bukan bermarga Nasution, tetapi dia sendiri mengambil marga itu.
[3] Di akhir jaman kolonial, preman-preman perkotaan yang paling ditakuti di Hindia Belanda adalah preman Indo dan Cina, yakni kelompok sosial pinggiran. Selama masa Revolusi, orang Indo memihak Belanda, sementara preman Cina direkrut ke dalam Po An Tui, kekuatan pro-Belanda yang berusaha melindungi orang Cina dari kekerasan anti-Cina. Pada tahun 1950an, sekitar 200 ribu orang-orang Indo lari ke Belanda, baik dengan kehendak sendiri atau bukan. Akan tetapi, tetap saja, seperti yang sudah kita saksikan di atas, dua orang pembunuh yang paling ditakuti pada masa Suharto, yakni Murdani dan Yapto, keduanya adalah orang Indo. Preman Cina masih tetap hidup. Namun Baperki sebagai sebuah organisasi paling dominan untuk orang-orang Cina dengan sadar memilih untuk tidak memiliki elemen preman. Organisasi ini berada di bawah kepemimpinan handal dari Sjauw Giok Tjhan yang teramat sadar akan reputasi buruk Po An Tui. Setelah 1 Oktober 1965, banyak anggota Baperki dibunuh, disiksa, dipenjarakan dan organisasi ini dilarang karena dicap ‘komunis.’ Dengan demikian, ‘di jalanan,’ orang-orang Cina tidak punya perlindungan yang berasal dari kelompok mereka sendiri. Keadaan ini, khususnya di Medan, membuka jalan bagi saingan bisnis mereka, sesama orang ‘Timur Asing’ yakni orang-orang India dan Arab, untuk mengambilalih (bisnis preman) ini. Jika kita perhatikan daftar nama-nama pemimpin PP dari Joshua serta para dalangnya, kita akan mendapati bahwa beberapa di antara mereka adalah, baik masih asli atau keturunan Punjab, Afghan, atau Arab. Semuanya, tentu saja, Muslim.
[4] Pertengahan tahun 1980an, saya dihubungi oleh seorang pengacara perempuan dari Jerman. Dia meminta saya untuk memberikan kesaksian sebagai seorang profesional untuk seorang anak muda Indonesia yang sedang mencari suaka. Dalam korespondensi tertulis itu, si anak ini mengatakan bahwa dia melarikan diri ke Jerman karena nasehat dan bantuan ayahnya, yang adalah seorang perwira menengah Polisi Militer. Dia dulunya adalah anggota geng yang anggotanya anak-anak tentara, yang mencari makan dengan ‘menjaga’ bar-bar, disco, dan klab-klab malam. Geng ini sangat mendukung pemerintahan Suharto dan membantu ‘menyukseskan’ setiap Pemilu. Namun sekonyong-konyong muncullah Petrus dan dia harus menyelamatkan dirinya sendiri. Saya katakan pada dia bahwa Petrus itu ditujukan hanya kepada preman dan ini sudah umum diketahui. Maka satu-satunya jalan untuk membuat pengadilan negeri Jerman percaya dan memberinya suaka adalah kalau dia mau mengakui bahwa dirinya adalah seorang preman. Anehnya, dia sendiri tidak bisa mengakui bahwa dia preman, dan bersikeras bahwa dia itu selalu setia kepada pemerintah dan kalau diperlukan selalu siap menjalankan program dan kebijakan pemerintah. Ini adalah contoh sempurna dari kesadaran birokratik tangan kiri. Kenapa, saya?
Benedict R. Anderson, pengarang buku Imagined Communities. Reflections on the Origins and Spread of Nationalism dan seorang pengamat politik dan kebudayaan Indonesia yang mumpuni. Ia adalah professor emeritus dari Department of Government, Cornell University dan editor jurnal New Left Review.