Aksi Kamisan: 17 Tahun Berdiri Melihat Kemanusiaan Dikangkangi
Aksi Kamisan sudah berusia 17 tahun. Tak ada tanda positif, justru sebaliknya. Namun demikian, ia memang terus ada dan berlipat ganda. Ia menjadi hantu bagi para penguasa yang abai.
HomeArtikel
Aksi Kamisan sudah berusia 17 tahun. Tak ada tanda positif, justru sebaliknya. Namun demikian, ia memang terus ada dan berlipat ganda. Ia menjadi hantu bagi para penguasa yang abai.
Bunga rampai ini layak dibaca mereka yang ingin menyelam lebih jauh tentang seluk-beluk seorang intelektual hebat yang pernah dilahirkan oleh Indonesia: George Junus Aditjondro.
Heteroseksualitas kini merupakan norma di seluruh dunia, walau itu baru terjadi beberapa abad terakhir dan berasal dari Barat. Pada banyak budaya lain justru keragaman gender lebih biasa, seperti di Indonesia.
Jauh dari citra yang selama ini ada, pekerja di industri media dan kreatif masih menghadapi beragam persoalan yang membuat mereka rentan. Untuk itu kita dapat belajar dari apa yang baru-baru ini terjadi di AS.
Ada banyak penjelasan untuk mengkritik kebencian masyarakat Indonesia terhadap Rohingya. Namun, dokumen birokrasi yang sudah menjadi “fetish” adalah perihal yang jarang dibicarakan secara serius.
Bangka belitung kesulitan menanam makanan untuk warganya sendiri. Produksi turun, pun petaninya kian sedikit. Hal tersebut kian mengkhawatirkan sebab ada tren deforestasi demi apa yang disebut sebagai energi ramah lingkungan dengan bahan bakar biomassa.
Ada kapitalisme di balik penyingkiran dan eksklusi masyarakat adat Pubabu-Besipae. Juga narasi hegemonik dari penguasa yang mencoba menormalisasi atas nama “pembangunan”.
Mereka yang menjalani kehidupan agraris terus mengalami penyingkiran bahkan kekerasan. Kapital telah secara agresif memperluas wilayah geografisnya hingga perdesaan untuk mendapatkan sumber daya alam, tenaga kerja murah dan membuka pasar baru.
Persoalan parkir di Yogyakarta tak bisa dilepaskan dengan kepentingan ekonomi-politik yang kompleks. Maka perbincangannya harus melampaui aspek teknis belaka.
Hak-hak petani tidak datang dari langit. Kita melihat itu saat membaca sejarah Indonesia. Ia selalu diperjuangkan, dan sayangnya kini berada di titik kritis. Namun demikian, harapan tetap tidak boleh habis.
Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.