Pengantar: Beberapa waktu lalu, Rusman Nurjaman dari majalah Intisari, mewawancarai Coen Husain Pontoh secara elektronik berkaitan dengan topik ‘Menciptakan Kota dan Lingkungan Ramah Warga.’ Setelah majalah itu terbit, karena tidak keseluruhan hasil wawancara tersebut dimuat, kami pikir tidak ada salahnya jika wawancara itu dimuat ulang selengkapnya di sini. Berikut petikannya:
Rusman Nurjaman (RN): Apa arti penting keterlibatan warga dalam mewujudkan kenyamanan kota yang dihuninya? Seberapa efektif?
Coen Husain Pontoh (CHP): Mungkin bisa dimulai dari sini untuk menjawab pertanyaan Anda ini. Dalam 50 tahun terakhir ini, pertumbuhan kota dan jumlah populasi yang mendiaminya di seluruh dunia terjadi berkali-kali lipat. Ahli perkotaan Mike Davis, dalam bukunya Planet of Slums (2006), menulis bahwa pada tahun 1950 jumlah kota di seluruh dunia baru mencapai 56 dengan jumlah populasi saat itu lebih dari satu juta penduduk. Kini, jumlah kota telah mencapai 400, dan pada 2015, jumlahnya diperkirakan mencapai sekitar 550, dengan total jumlah populasi yang hidup di perkotaan mencapai 3,2 milyar orang. Untuk Jakarta sendiri, jika pada tahun 1950 jumlah penduduknya baru 1,5 juta jiwa, maka pada tahun 2004 angkanya melesat menjadi 16.0 juta jiwa.
Ini artinya, walaupun jumlah kota bertambah pesat, tetapi pertumbuhan jumlah penduduk yang mendiaminya bergerak lebih cepat lagi. Akibatnya, kapasitas ruang sangat terbatas untuk menampung jumlah penghuninya. Terlebih lagi, dalam 30 tahun terakhir, kota-kota di negara-negara berkembang, termasuk Jakarta, dibangun dengan meniru kota-kota modern di Barat: gedung-gedung pencakar langit, jalan-jalan tol yang melintang tinggi, mall-mall, dsb, yang pada dasarnya hanya melayani kebutuhan segelintir penduduk menengah ke atas. Akibatnya, sarana dan prasarana fisik yang megah itu tidak nyambung dengan kebutuhan mayoritas penduduk kota yang miskin, sehingga lahirlah daerah-daerah kumuh, perumahan tak layak tinggal, sarana air bersih yang sangat terbatas, tingkat kriminalitas yang tinggi, pengangguran, pengemis, anak jalanan yang membludak, kesehatan yang buruk, pendidikan yang tidak berkualitas, dsb.
Inilah problem kota yang sesungguhnya, perencanaan dan pembangunan kota yang tidak melayani (bahasa halusnya) tidak ramah pada mayoritas rakyat miskin. Sehingga itu, untuk mengubah wajah kota secara mendasar, maka mutlak diperlukan keterlibatan warga kota, yang selama ini disingkirkan dari proses perencanaan dan pembangunan perkotaan. Tanpa pelibatan masyarakat secara luas, maka sebaik apapun pemerintahan kota terpilih, maka ia akan terjebak pada pola pembangunan kota sebelumnya, yang hanya melibatkan para teknokrat yang memiliki keahlian khusus.
Seberapa efektifkah keterlibatan warga kota tersebut? Sangat tergantung pada dua hal yang tak terpisahkan satu-sama lain: pertama, adanya kebijakan dari pemerintah kota untuk membuka ruang bagi keterlibatan warga kota dalam pengambilan kebijakan dan kontrol atas kebijakan yang telah diputuskan tersebut; kedua, adanya organisasi masyarakat sipil yang kuat dan terorganisir. Tanpa organisasi yang kuat, maka program-program pemerintah daerah yang pro-rakyat tadi tidak akan berjalan efektif, karena pada akhirnya pemerintah kembali terperangkap pada jebakan teknokrasi. Rakyat sipil yang terorganisir ini, bisa dibentuk pada tingkat RT/RW, desa/kelurahan, hingga tingkat kota, yang terdiri dari elemen rukun warga, LSM, indvidu, maupun partai. Di dalam organisasi ini mereka berdiskusi secara terbuka untuk merumuskan program-program apa yang merupakan kebutuhan mereka, bagaimana merencanakan program itu secara detail, untuk kemudian ditawarkan kepada pemerintah daerah yang pro-rakyat itu.
RN: Hal apa sajakah yang dapat dilakukan untuk mendorong partisipasi warga dalam pembangunan kota yang ideal? Apa saja yang harus diperhatikan?
CHP: Hal pertama yang harus dilakukan pemerintah daerah adalah mengajak rakyat untuk terlibat dalam perumusan kebijakan publik. Tanpa inisiatif dari pemerintah, maka akan sulit bagi rakyat miskin perkotaan untuk terlibat dalam proses politik yang partisipatif, karena sebab-sebab material yang saya sebutkan di atas dan juga untuk waktu yang sangat lama mereka telah disingkirkan dalam proses partisipatif itu. Kemudian mengaktifkan dan mendinamisir forum-forum semacam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) mulai dari tingkat desa hingga ke tingkat propinsi. Karena itu, saya mengapresiasi kebijakan pemerintah DKI Jakarta di bawah duet Jokowi-Basuki, yang mengundang partisipasi rakyat dalam hal pembangunan MRT beberapa waktu lalu. Tetapi kemudian, saya melihat kecenderungan dari Jokowi-Basuki untuk kembali pada model-model teknokratis, walaupun ia tetap mempertahankan metode blusukannya itu. Mungkin juga karena keduanya dituntut untuk segera merealisasikan janji-janjinya pada masa kampanye.
RN: Apakah pengalaman Porto Alegre (Brasil) yang sering disebut-sebut sebagai kota yang dikelola secara partisipatif bisa kita tiru dan diterapkan di Indonesia? Sejauh mana hal itu mungkin, mengingat Porto Alegre mempunyai konteks dan latar belakang yang berbeda dengan kota-kota di Indonesia? Bila perlu dilakukan kontekstualisasi atas pengalaman Porto Alegre hal apa saja yang harus diperhatikan? Atau adakah kota lain yang bisa dicontoh selain Porto Alegre? Mengapa demikian?
CHP: Mesti diketahui bahwa ada dua alasan utama mengapa Porto Alegre bisa sukses: pertama, kebijakan Anggaran Partisipatif (AP) itu mereka luncurkan sebagai alternatif dari penolakan mereka atas kebijakan neoliberalisme yang diterapkan oleh pemerintahan nasional Brazil; kedua, program AP itu dicanangkan langsung oleh Partai Buruh Brazil, artinya itu merupakan kebijakan partai yang mesti dilaksanakan oleh seluruh kader partai. Di kota Porto Alegre, Partai Buruh memenangkan pemilu melalui koalisinya dengan partai-partai lain, dan itu berarti partai-partai tersebut juga mendukung kebijakan AP itu.
Jadi pertama-tama, ada sebuah pembalikkan ideologi pembangunan, dari yang sebelumnya berorientasi neoliberalisme ke ideologi yang pro-rakyat. Kedua, seluruh kader Partai Buruh, anggota rukun warga, bersama-sama dengan LSM, individu, dan pakar-pakar dari universitas, dan komunitas gereja basis, kemudian menginiasi pertemuan-pertemuan warga di tingkat komunitas untuk membicarakan program-program mendesak, membangun struktur organisasi sipil yang mandiri, mengelola proses pengambilan keputusan yang demokratis di dalam organisasi tersebut, dan selanjutnya bersama-sama dengan pemerintah memutuskan program-program pembangunan dalam setiap tahun anggaran berjalan. Jadi mesin partai ini bekerja dan hadir setiap hari di tengah-tengah masyarakat, bukan hanya setiap menjelang masa kampanye pemilu. Kini, model Porto Alegre ini sudah dilaksanakan di lebih dari 131 kota di Brazil, dan kemudian dicontoh oleh kota-kota lainnya di Argentina dan Uruguay.
Jadi, kalau kita mau meniru model Porto Alegre, maka dua syarat itu mesti dipenuhi. Konkretnya, misalnya, jika ingin membebaskan Jakarta dari kemacetan dan polusi suara dan udara, maka pemerintah harus membuka dialog dengan rakyat secara luas untuk mengetahui moda transportasi massal semacam apa yang mereka butuhkan; dan kedua, pemerintah harus berani mengambil keputusan untuk membatasi secara radikal penjualan kendaraan bermotor di Jakarta, yang artinya, pemerintah akan berhadapan dengan kepentingan industri otomotif dunia dan partnernya di Indonesia, pihak-pihak yang diuntungkan dengan keberadaan industri otomotif itu, serta resiko kehilangan pajak yang cukup besar bagi pemasukan kas daerah. Selama ini kan wacana yang luas berkembang dalam hal mengatasi macet ini lebih bersifat teknis: penambahan ruas jalan, pembangunan jalan tol, penambahan moda transportasi umum, pembangunan deep tunnel, dsb. Tapi, selama volume kendaraan bermotor tidak dihentikan pertumbuhannya, tetap saja macet tidak akan teratasi. Sebab, semua logika itu mengikuti logika kepentingan industri otomotif.
RN: Selain dari sisi partisipasi, kota mana lagi di manca negara sepanjang yang Anda tahu (atau New York City, mungkin) yang dalam banyak segi (tata ruang, sosial-budaya, ekonomi-politik) layak “diteladani” untuk mendorong terciptanya kota yang layak huni? Apa saja alasannya?
CHP: Kalau kita ingin meneladani kemegahan kotanya (gedung pencakar langit, jembatan-jembatan super panjang, terowongan bawah tanah yang bersih, tranportasi massal yang layak, jalan tol yang melintang tinggi, maka New York City, misalnya, bisa dijadikan acuan. Di kota ini, juga terdapat taman-taman kota yang luas, museum-museum yang kaya, gedung-gedung theater yang baik, universitas-universitas yang megah, dan seterusnya.
Tetapi, kota ini juga adalah kota yang sangat boros secara ekonomi, sosial, dan energi. Kesenjangan kaya-miskin sangat lebar, orang-orang miskin di New York City makin tersisih di pinggiran kota, akibat tingkat sewa rumah yang sangat mahal. Tingkat pendidikan warganya juga makin memprihatinkan, akibat tingginya biaya pendidikan. Majalah Times pernah melaporkan bahwa AS kini mengalami krisis pendidikan, karena mayoritas siswanya hanyalah lulusan SMA. Selain itu, konsumsi energi, terutama listrik, bukan main besarnya untuk menjaga agar kemewahan dan gemerlap kota ini terus terjaga siang dan malam. Untuk itu semua, dibutuhkan semakin banyak uang, baik melalui investasi dalam negeri maupun investasi luar negeri. Kota semacam NYC atau Amerika Serikat secara keseluruhan, karena itu disebut sebagai imperium atau kekaisaran yang jangkauan kekuasaannya melintasi batas negara nasional, ketimbang sebagai sebuah negara nasional, guna menjamin agar model pembangunan ini tetap berjalan.
Sehingga, menurut saya, hal paling penting adalah bukan mencontoh kota mana yang sukses, karena beragam latar belakangnya yang berbeda, tapi bagaimana kita melibatkan partisipasi rakyat yang luas dalam pembangunan kota. Apa yang kita butuhkan, sesungguhnya adalah hak warga negara atas kota, yang bukan saja ditandai oleh akses mereka yang luas pada kota dan sumberdayanya, tapi juga agar mereka bisa mengubah kota sehingga sesuai dengan kepentingannya. Dalam soal ini, harus diakui, tidak banyak kota yang bisa dijadikan contoh.***