‘MILITER Mesir Menumbangkan Morsi’ begitu tajuk utama BBC ketika Morsi jatuh. ‘Presiden Mersi Ditumbangkan di dalam sebuah Kudeta,’ lapor CBC. The Guardian menulis, ‘Militer Mesir Menyingkirkan Presiden Mohamed Morsi.’ Dengan berita bertubi-tubi dari berbagai media ini, tiba-tiba sejumlah Kiri menjadi khawatir dan ikut-ikutan latah: ‘Bahaya kudeta militer, bahaya kudeta militer!’ Tetapi benarkah ada kudeta militer di Mesir?
Setelah disahkannya UU Ormas, dan juga karena trauma kediktatoran militer Orde Baru di Indonesia, memang kawan-kawan kita di Indonesia agak terlalu paranoid terhadap apapun yang berhubungan dengan militer. Tetapi bukan hanya di Indonesia, di negeri-negeri lain juga urat saraf Kiri-kiri kita juga begitu sensitif dan mudah latah.
Militer Mesir mengintervensi dan melengserkan Morsi karena tekanan yang begitu besar dari jutaan rakyat Mesir, yang membanjiri jalan-jalan dan alun-alun di semua kota di Mesir. Menurut laporan dari Menteri Interiornya Morsi sendiri, 17 juta rakyat Mesir turun ke jalan. Laporan lain mengatakan 20 juta, dan bahkan sampai 30 juta rakyat. Ini adalah demonstrasi terbesar di dalam sejarah umat manusia, yang jauh lebih besar dibandingkan revolusi dua tahun yang lalu ketika Mubarak tumbang. Pada revolusi babak kedua ini, seluruh lapisan rakyat – bukan hanya yang paling maju saja, tetapi juga yang paling terbelakang – terlempar ke dalam arena politik dan meletup-letup.[1] Bahkan orang-orang yang setahun yang lalu memberikan suara mereka kepada Ikhwanul Muslimin, juga turun ke jalan menuntut lengsernya Morsi. Mereka tidak lagi punya ilusi pada demokrasi borjuasi, tidak lagi menunggu sampai masa jabatan orang yang mereka pilih habis. Mereka membawa demokrasi langsung ke jalan-jalan. Inilah demokrasi sesungguhnya, dan bukan setiap lima tahun sekali mengikuti pemilu.
Rakyat Mesir dalam jutaan bergerak dengan sendirinya dan bukan atas komando militer sama sekali. Bukanlah militer yang mengumpulkan 22 juta tanda tangandari rakyat yang menuntut diturunkannya Morsi, dan bukanlah militer yang mengorganisir tanggal demonstrasi. Militer hanya mengintervensi ketika situasi sudahlah sangat gawat dan dapat meledak menjadi revolusi rakyat sepenuhnya di luar kendali siapapun. Rakyat sudah mengelilingi gedung-gedung pemerintah dan istana presiden, dan siap merangsek dan membakarnya. Morsi sebenarnya sudah kehilangan kekuasaan, tetapi dia tetap keras kepala. Bahkan para menterinya sudah turun dan meminta dia untuk turun juga karena rakyat sudah begitu geram. Sebagian kelas penguasa paham bahwa mereka harus mengorbankan Morsi dan Ikhwanul Muslimin demi menjaga keberlangsungan seluruh sistem politik ini.
Kalau militer tidak campur tangan, dengan berbicara di atas nama rakyat, tidak diragukan kalau revolusi ini akan menjadi di luar kendali siapapun. Rakyat akan mengambil kekuasaan di tangannya sendiri dan bahkan mempersenjatai diri mereka sendiri. Kelas penguasa Mesir, dari yang berjenggot sampai yang berdasi rapi, dan juga para petinggi Miiter, akan kehilangan seluruh kekuasaan mereka di Mesir. Yang kita saksikan di sini bukanlah kudeta militer, tetapi manuver kelas penguasa untuk menyelamatkan situasi.
Dua tahun yang lalu ketika Mubarak ditumbangkan oleh rakyat, skenario yang serupa juga terjadi. Militer campur tangan karena sang presiden terlalu keras kepala. Dewan Agung Militer, setelah demonstrasi rakyat menjadi tambah radikal dan tidak menampakkan tanda-tanda akan surut, lalu menyatakan ‘dukungannya terhadap tuntutan-tuntutan sah rakyat,’ dan dengan ini secara resmi mencampakkan dukungannya terhadap Mubarak. Militer lalu membentuk pemerintahan interim yang ada di tangan Dewan Agung Militer. Tetapi pada saat itu tidak ada satupun pemerintahan di dunia yang mengutuk ini sebagai sebuah kudeta militer terhadap Mubarak, padahal salah satu perintah pertama dari militer setelah Mubarak jatuh adalah mengosongkan lapangan Tahrir dan melarang demonstrasi. Kelas penguasa dunia justru menghela napas panjang bahwa Militer Mesir telah menyelamatkan situasi ini dan mengambil kendali, dan mereka segera menyatakan bahwa era demokrasi telah dimulai di Mesir. Militer Mesir lalu melakukan berbagai manuver dengan Ikhwanul Muslimin dan kelompok oposisi borjuasi lainnya, yang mereka lihat sebagai sekutu-sekutu yang dapat diandalkan untuk menghentikan laju revolusi.
Ketika Ikhwanul Muslimin, yang merupakan seksi borjuasi yang berjenggot, terpilih dalam pemilu tahun lalu, Militan (International Marxist Tendency) mengatakan dengan jelas bahwa rejim ini tidak akan dapat bertahan lama, karena ia tidak akan bisa menyelesaikan krisis di dalam masyarakat Mesir hanya dengan ayat-ayat suci. Masalah fundamental di Mesir adalah masalah roti. Seperti yang dikatakan salah seorang demonstran muda di Alexandria beberapa hari lalu: ‘Tidak ada yang berubah sama sekali; gaji saya tidak naik. Istri saya hamil, bagaimana saya dapat memberi makan bayi saya?’ Selama sistem ekonomi di Mesir adalah sistem kapitalisme, tidak peduli dibungkus dengan ekonomi syariah atau ekonomi keagamaan apapun, maka rakyat miskin tidak akan bisa keluar dari jurang kemiskinan mereka. Ini bukanlah protes menentang Islam, karena jelas terlihat banyak perempuan berkerudung yang tumpah ruah di jalan. Ini adalah protes menentang sistem ekonomi yang tidak adil dan tidak dapat mensejahterakan rakyat, sebuah sistem yang diwakili oleh Mubarak dan sekarang oleh Morsi. Jutaan rakyat Mesir mungkin belum sampai ke kesadaran bahwa mereka sedang berjuang melawan sistem kapitalisme, tetapi mereka dengan cepat sedang bergerak ke arah kesadaran ini. Inilah yang mengkhawatirkan para penguasa. Satu hari saja Morsi – ataupun Mubarak dua tahun yang lalu – terus memaksa bertahan, maka kesadaran rakyat akan melompat bahkan lebih jauh, dan inilah alasan mengapa sebagian seksi kelas penguasa – tidak hanya para petinggi militer – mendorong agar mereka turun.
Selain itu, para petinggi Militer ini takut kalau revolusi yang semakin meluas ini akan berpengaruh pada tentara bawahan mereka. Pada revolusi pertama dua tahun yang lalu, jelas para tentara bawahan mulai bersimpati pada rakyat dan revolusi. Angkatan bersenjata, di bawah hantaman revolusi, mulai retak. Al Jazeera melaporkan bagaimana sejumlah tentara meletakkan senjata mereka dan ikut turun berdemonstrasi dengan rakyat. Oleh karenanya para petinggi Militer saat itu tidak bisa menggunakan tentara untuk menumpas revolusi sama sekali. Kalau mereka mencoba melakukan ini, jelas moncong senjata akan berbalik ke para petinggi militer ini. Bertolt Brecht, seorang penyair Jerman, menulis sebuah puisi yang dengan gamblang menggambarkan ini:
Jenderal, Tankmu adalah Kendaraan Hebat
Bisa meratakan hutan dan menggilas ratusan orang
Namun ia punya satu kelemahan:
Ia butuh pengemudi
Jenderal, Pesawat Pengebommu sangatlah kuat
Bisa terbang lebih cepat dari badai dan mengangkut barang lebih besar dari gajah
Namun ia punya satu kelemahan:
Ia butuh mekanik
Jenderal, manusia sangatlah bermanfaat
Dia bisa terbang dan bisa membunuh
Namun ia punya satu kelemahan:
Ia bisa berpikir
Hal yang sama terjadi, dalam skala yang lebih luas dan dalam, pada revolusi babak kedua ini. Kalau dua tahun lalu demonstrasi hanya dalam jumlah jutaan, kali ini dalam jumlah puluhan juta. Setiap tentara pasti punya ayah atau ibu, anak atau keponakan, paman atau bibi, saudara sepupu atau kawan, yang terlibat di dalam demonstrasi ini. Para tentara bawahan ini tidak buta dan tidak tuli. Mereka adalah manusia yang bisa berpikir, dan para petinggi Militer Mesir paham ini. Mereka tahu mereka tidak bisa serta-merta memerintahkan bawahan mereka untuk menumpas revolusi. Militer ada dalam posisi yang lemah, dan bukan dalam posisi yang kuat sama sekali. Inilah kenyataan yang sesungguhnya. Inilah alasan mengapa kali ini pemerintahan interim yang dicanangkan oleh militer bukanlah di tangan Dewan Agung Militer seperti dua tahun yang lalu, tetapi diberikan kepada Kepala Hakim Pengadilan Konstitusi, Adly Mahmud Mansour. Ini adalah indikator jelas dari lemahnya intervensi Militer kali ini. Dua tahun yang lalu ketika pemerintahan interim dipegang oleh Dewan Agung Militer, mereka sangatlah dibenci oleh rakyat dan berkali-kali terjadi baku hantam dengan demonstran yang sampai mengakibatkan korban jiwa. Petinggi Militer kali ini tidak berani mengulang hal yang sama, apalagi dengan puluhan juta rakyat yang telah tumpah ruah.
Pada akhirnya, kita harus memahami karakter dari Negara. Negara, pada analisa terakhir, setelah dilucuti dari semua pernak-perniknya, adalah badan orang-orang bersenjata yang merupakan alat penindas satu kelas terhadap kelas yang lainnya. Ia adalah, seperti kata Engels, komite eksekutif untuk mengurus masalah-masalah kelas penguasa. Tetapi ini barulah ABC dari Marxisme, setelah ABC ada abjad-abjad lainnya, dan lalu ada suku-suku kata, dan kalimat-kalimat. Negara, dalam situasi tertentu, dapat menjadi independen dari kelas yang dia layani. Engels menulis:
Akan tetapi, ada pengecualian, pada saat periode dimana kelas-kelas yang berbenturan memiliki kekuatan yang seimbang sehingga kekuasaan Negara sebagai penengah memperoleh, untuk sementara, kemandirian pada tingkatan tertentu dari keduanya … ‘
Pada momen-momen kritis dimana tidak ada satu kelaspun yang bisa menang, maka Negara, terutama badan bersenjatanya, akan memperoleh kemandirian tertentu untuk mengintervensi di luar kehendak kelas penguasa. Bahkan kadang-kadang Negara akan melakukan hal-hal yang tidak disetujui sepenuhnya oleh kelas penguasa, tetapi sebenarnya untuk melayani kepentingan kelas penguasa secara keseluruhan. Jadi hubungan antara kelas penguasa dan Negara bukanlah bersifat satu arah dan formalistik, tetapi bersifat dialektis. Namun secara umum Negara borjuasi akan tetapi melayani kepentingan kelas borjuasi. Dalam konteks Mesir, Militer campur tangan dan menumbangkan rejim Morsi (dan Mubarak) demi menyelamatkan kapitalisme secara keseluruhan. Tetapi mereka melakukan ini dari posisi yang sangat lemah dan dengan tangan yang terikat, yakni karena tekanan puluhan juta rakyat Mesir.
Contoh ekstrim, dengan situasi yang berbeda, adalah Indonesia pada tahun 1965, Negara (badan orang-orang bersenjata atau militer) juga melakukan intervensi, tetapi dari posisi yang sangat kuat. Pada 1960an, kita saksikan sebuah pertempuran kelas yang sangatlah tajam, tetapi tidak ada satu kelaspun yang bisa menang dan merebut kekuasaan. Kelas buruh, yang sebenarnya mampu merebut kekuasaan, disuruh oleh PKI dan Soekarno untuk tidak merebut kekuasaan dan tidak bergerak ke sosialisme, dengan dalih bahwa revolusi ini adalah revolusi nasional. Sementara kelas borjuasi nasional Indonesia terlalu lemah untuk mengalahkan kelas buruh. Situasi yang menggantung ini harus diselesaikan, dan Militer akhirnya melakukan intervensi dalam bentuk kudeta yang berdarah-darah. Tidak hanya kelas buruh yang dihancurkan, bahkan sejumlah lapisan kaum borjuasi hak-haknya dirampas dan seluruh ekonomi diserahkan kepada militer. Namun pada akhirnya ini dilakukan demi keberlangsungan kapitalisme dan kelas borjuasi secara keseluruhan. Inilah fenomena yang disebut Bonapartisme, yang dalam sejarah perjuangan kelas – tidak hanya dalam kapitalisme – telah kita saksikan berulang kali, yakni dimana Negara memperoleh kemandirian tertentu dari kelas yang dia layani.
Media kapitalis dan penguasa seluruh dunia hari ini punya kepentingan mereka sendiri untuk menggambarkan bahwa jatuhnya Morsi adalah karena kudeta militer. Mereka mencoba mengaburkan kenyataan bahwa ada 30 juta rakyat Mesir yang turun ke jalan. Mereka ingin mengecilkan peran rakyat, dan juga menyebarkan prasangka rasis kalau rakyat Arab adalah barbar yang membenci demokrasi dan hanya menyukai kudeta militer. Kelas penguasa dunia takut kalau-kalau revolusi Mesir ini ditiru oleh rakyat pekerja dunia. Dalam satu bulan ini saja sudah ada empat pemberontakan besar, di Turki, Brazil, Portugal, dan Mesir. Kita cukup ingat apa yang terjadi dua tahun yang lalu dimana revolusi di Tunisia menyebar dengan cepat, dan bahkan menginspirasi sejumlah perjuangan di Amerika Serikat. Oleh karenanya, kalau kita tidak memahami situasi politik yang sesungguhnya di Mesir dan ikut-ikutan latah ‘kudeta militer,’ kita akan menemukan diri kita menjadi pelayan media kapitalis untuk mengecilkan peran rakyat dan mencegah menyebarkan revolusi ini. Disinilah kita lihat bahwa pemahaman Marxisme secara mendalam adalah krusial dalam gerakan. Tanpa Marxisme sebagai pegangan, kita akan jadi bulan-bulanan dari opini publik borjuasi dan segala prasangka yang disebarkannya. Tidak cukup hanya memahami ABC Marxisme mengenai Negara dan merasa puas. Justru yang paling berbahaya adalah pemahaman Marxisme yang setengah-setengah, dan tidak sedikit revolusi yang gagal dengan pahit karena pemahaman yang setengah-setengah ini.
Rakyat Mesir telah menumbangkan Morsi dan Ikhwanul Muslimin. Ini adalah pukulan besar terhadap Islam Politik, yang adalah Islamnya kaum borjuasi. Di Turki, Erdogan dan partai Islamisnya telah tergoncang. Di tanah air, PKS sudah terbukti bobrok dan tidak lebih dari kumpulan pencoleng. Dengan menyedihkan, para petinggi PKS mencoba membela Erdogan dan Morsi. Inilah solidaritas kelas antara PKS, Ikhwanul Muslimin dan AKP, yakni solidaritas kelas kaum borjuasi yang kebetulan beragama sama. Rakyat Mesir dalam jutaan telah menunjukkan bahwa ini bukanlah masalah agama, bukan masalah Islam versus sekularisme. Perjuangan ini adalah perjuangan untuk melawan penderitaan kemiskinan di bawah sistem kapitalisme. Hari ini rakyat Mesir telah meraih satu kemenangan, tetapi perjuangan belumlah selesai. Tidak adanya sebuah partai revolusioner telah memungkinkan militer untuk melakukan manuver dan menyelamatkan situasi dengan menaruh Tuan Mansour sebagai kepala negara sementara. Inilah kelemahan dari gerakan Mesir hari ini, dan tidak ada jalan pintas selain terus membangun kekuatan sosialis revolusioner di dalam gerakan ini. Selama kapitalisme masih berkuasa di Mesir, maka tidak akan ada jalan keluar bagi rakyat Mesir. Hanya ada satu jalan keluar: rakyat pekerja Mesir menyita hak milik orang-orang kaya yang mengendalikan ekonomi bangsa ini, yang kebanyakan dari mereka punya hubungan dengan rejim Mubarak yang lama, dengan para petinggi Militer, dan dengan para borjuasi berjubah putih. Dengan merebut kekuatan ekonomi dari para penguasa, maka rakyat akan sungguh-sungguh berkuasa dan dapat, untuk pertama kalinya, mengambil nasib mereka ke tangan mereka sendiri.***
Ted Sprague, aktivis-cum pengelola majalah online Militan
[1] Untuk laporan lebih detil mengenai keterlibatan massa dan situasi di dalam demonstrasi ini, baca ‘Jutaan Massa Membanjiri Jalan Menandai Akhir dari Rezim Morsi.’