Penggusuran Tamansari Bandung. Kredit foto: Kompas.com
BELAKANGAN ini, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) mewacanakan akan menghapus Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDaL) untuk mempermudah perizinan yang muaranya akan meningkatkan investasi di Indonesia.
Wacana tersebut bukannya tanpa pangkal. Ide tentang investasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi guna pembangunan suatu negara sangat kerap direproduksi secara repetitif oleh para birokrat dan intelektual pro-liberalisme. Jika dikaji secara historis, ide-ide liberalisasi ekonomi semacam ini diawali pada tahun 1961, dimana para ahli ilmu sosial melakukan suatu lokakarya tentang “The Implementation of Title IX of the Foreign Assistance Act of 1961”. Singkatnya, hasil dari pertemuan tersebut akan dikembangkan oleh para intelektual ilmu sosial menjadi seperangkat teori tentang modernisasi atau developmentalism.
Salah satu dari pemikir itu adalah Walt Whitman Rostow, seorang ekonom berkebangsaan Amerika Serikat. Bagi Rostow, modal begitu penting untuk negara menuju ke arah modernisasi. Inti dari gagasannya adalah menyarankan negara Dunia Ketiga apabila ingin menuju modernisasi, harus meniru dan dibantu oleh negara maju. Salah satu caranya adalah dengan menekankan investasi atau suntikan modal dari luar negeri untuk membangun industri guna meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi. Ide tentang modernisasi Rostow tersebut dituangkannya dalam buku yang berjudul “The Stage of Economic Growth”, dimana masyarakat akan berevolusi dari tahap tradisional menuju ke tahap modernisasi atau mengalami lima fase, yakni: tradisional; prakondisi lepas landas; lepas landas; bergerak kedewasaan; konsumsi tinggi.
Sayangnya, gagasan-gagasan tersebut hanya bagus di atas kertas. Faktanya, adanya IMB dan AMDaL saja tidak menjamin tidak adanya kasus-kasus penggusuran lahan. Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), telah terjadi ratusan konflik pembebasan lahan di rezim Joowi ini. Tahun 2014 tercatat ada 215 kasus, 2016 tercatat 450 kasus, 2017 tercatat 659, 2018 tercatat 410 kasus, dan di tahun 2019 masih banyak kasus-kasus penggusuran di berbagai tempat.
Lebih lanjut, kasus-kasus penggusuran tersebut biasanya untuk pembangunan infrastruktur yang menunjang suatu negara dapat dikatakan “modern”. Dengan kata lain, akan banyak kemunculan kota-kota baru di Indonesia, diiringi dengan logika bahwa pertumbuhan ekonomi berkorelasi dengan pertumbuhan Industri.
Urbanisasi: deindustrialisasi, gentrifikasi, dan imigrasi
Jika kita merujuk pada definisi konseptual dari urbanisasi, bukan hanya sekedar perpindahan dari penduduk desa ke kota, tetapi adanya perubahan dari desa menuju kota. Lantas apa itu kota?
Lewis Mumford (1961) dalam bukunya yang berjudul “The City in History” mencoba menjelaskan sejarah dari kota itu sendiri.
“The first germ of the city, then, is in the ceremonial meeting place that serves as the goal for pilgrimage: a site to which family or clan groups are drawn back, at seasonable intervals, because it concentrates, in addition to any natural advantages it may have, certain ‘spiritual’ or supernatural powers, powers of higher potency and greater duration, of wider cosmic significance, than the ordinary processes of life The first germ of the city, then, is in the ceremonial meeting place that serves as the goal for pilgrimage: a site to which family or clan groups are drawn back, at seasonable intervals, because it concentrates, in addition to any natural advantages it may have, certain ‘spiritual’ or supernatural powers, powers of higher potency and greater duration, of wider cosmic significance, than the ordinary processes of life” (1961:10)
Kemudian, pemaknaan tentang kota sebagai ruang spiritual itu bergeser dengan ditandai adanya sistem kapitalisme di tahun 1800-an. Lahan yang dulunya disakralkan oleh ningrat dan agama, sekarang dikapitalisasi. Terjadinya revolusi industri disinyalir menjadi penggerak terbesar urbanisasi dalam sejarah peradaban manusia. Sehingga dapat dikatakan bahwa sejarah urbanisasi adalah sejarah industrialisasi.
Kemunculan kota dianggap sebagai tempat yang menawarkan masa depan yang cerah, mungkin karena di kota banyak gemerlap lampu-lampu yang menyala. Namun di balik itu, ada gambaran tersembunyi yang kebanyakan tidak ditampilkan dalam wajah kota saat ini. Kapitalisme global menyebabkan banyak permasalahan di kota berkaitan dengan deindustrialisasi, gentrifikasi, dan imigrasi.
Oleh karena itu, dalam membahas permasalahan kota, ada beberapa titik tekan analisis dengan mengikuti tradisi Lefebvrian, yakni: Pertama, pengembangan industri permukiman (real estate). Dengan melimpahnya tenaga kerja di Indonesia akan mengundang kehadiran korporasi multinasional (MNC) untuk melakukan proses produksi dan keuntungannya akan dibawa kembali ke negara asalnya. Keberadaan MNC ini bagi kebanyakan orang dianggap akan menciptakan lapangan pekerjaan sehingga terjadilah perpindahan manusia besar-besaran mendekati sumber lapangan pekerjaan tersebut. Ledakan populasi yang terkonsentrasi di lokasi tersebut sekaligus akan menciptakan slums area. Mengapa demikian? Karena watak kapitalisme dengan akumulasi kapitalnya telah menerapkan Labor Market Flexibility, yang tidak akan memberi pilihan kepada tenaga kerja untuk tidak bekerja pada pemilik modal tersebut. Sifat dari tenaga kerja ini rentan dan cenderung sistem rotasi, karena tidak mungkin semua angkatan kerja yang terlokalisir dapat terserap ke lapangan pekerjaan yang disediakan MNC tersebut. Implikasinya adalah akan banyak pekerja yang terjerembab ke dalam jurang informal. Kemudian, satu-satunya hunian terjangkau yang dapat diakses bagi pekerja informal “rentan” ini adalah perkampungan kumuh. Sedangkan di satu sisi, dalam studi perkotaan akan banyak terjadi gentrifikasi. Dimana kota di sini bukan hanya terpusat namun multi-centered. Misalnya, di daerah pinggiran kota, bukan hanya kota besar telah menjadi tempat renovasi real estate yang diprakarsai oleh spekulan dan pengembang (Weinstein, 2014). Akibatnya adalah hanya kelas pekerja kerah putih saja yang dapat mengakses real estate. Logikanya, akan ada masyarakat yang tidak mempunyai tempat tinggal. Lantas, mau tinggal dimana?
Kedua, intervensi pemerintah dan kepentingan politik. Seperti yang telah diurai di atas, di tengah desakan kapitalisme global, negara hanya berperan sebagai watchdog untuk memuluskan agenda ekonomi-politik neoliberal. Seperti misalnya, wacana investasi tersebut atau melakukan deregulasi (penghapusan peraturan yang membatasi perputaran modal).
Ketiga, orientasi kultural warga kota. Mengikuti logika di atas, kota (urbanisasi) adalah sistem sosio-teknik-ekologis. Adanya degradasi ekologis akibat ahli fungsi lahan beriringan dengan masuknya teknologi baru akan mengakibatkan perubahan relasi sosial di antara masyarakatnya. Ambil contoh, suatu daerah pemukiman yang dulunya dihuni mayoritas petani, akibat adanya perusahaan manufaktur yang menggeser lahan pertanian tersebut, tentunya akan menyebabkan perubahan pola kerjanya. Dari yang awalnya di sektor pertanian menjual hasil tanamannya berubah menjadi hanya menjual jasa, berupa: tenaga kerja. Disinilah urbanisasi bukan hanya berkurangnya lahan hijau, namun dengan perilaku warganya yang menjual jasa itu sudah dikatakan sebagai sifat masyarakat urban atau mengalami fabrikasi kehidupan urban.
Keempat, tarikan global atas pengembangan kawasan metropolitan. Sebenarnya dalam titik tekan analisis ini menunjukkan keterkaitannya yang rumit dengan konstelasi di tingkat global terkait dengan arus neoliberal dari rezim pasar bebas yang dominan, yang mengemudi terus menerus untuk memaksakan tanah sebagai “komoditas”. Gottdiener dalam bukunya “New Urban Sociology” mengungkapkan bahwa urbanisasi melibatkan bisnis multinasional global, komodifikasi, konsumerisme, persaingan untuk turis, teknologi, atau arus informasi elektronik yang memproduksi kutub pertumbuhan baru seperti bandara, industri dan kepentingan real estate untuk menghasilkan laba. Kemudian pembangunan kota adalah penanda sejarah proses eksploitasi dari perusahaan dan bank global yang sering bermitra dengan investor lokal dan pemerintah untuk merombak ruang guna menghasilkan profit, terutama penciptaan sirkuit modal sebagaimana diartikulasikan oleh Lefebvre.
Dengan demikian terjadinya urbanisasi merupakan proses dari pertarungan memaknai ruang. Pasalnya, manusia mempunyai daya untuk menciptakan ruang.
Perspektif sosiospasial: Abstract Space >< Social Space
Ruang bukan hanya tempat untuk berinteraksi, namun juga akan membentuk jenis interaksi yang terjadi.“Space is real in the same sense that commodities are real since (social) space is a (social) product” (Lefebvre 2000:26).
Neoliberalisme telah menjadikan ruang sebagai komoditas dengan mengapitalisasinya dalam bentuk mengabstraksikannya menjadi abstract space. Ruang diartikan sebagai tempat atau lokasi yang dapat diidentifikasi dalam peta (entitas geospasial). Sehingga perampasan ruang diilhami hanya diukur dalam bentuk nominal yang sangat abstrak. Padahal ruang sendiri melibatkan aspek psikologis dari para penghuninya (entitas sosio-kultural), tidak serta merta digusur lantas dihitung dalam ukuran berapa kali berapa kemudian diganti dengan lembaran rupiah. Bagaimana apabila kasusnya seorang istri dalam satu keluarga harus bekerja menjadi TKW selama 4 tahun untuk bisa membeli rumah seharga ratusan juta, kemudian birokrat dan pengembang (berkepentingan di lahan tersebut) melakukan penggusuran dan mengganti rugi dengan sejumlah ukuran petak atau minimal seharga keluarga itu membeli rumah tersebut?
Apakah bisa nilai pertukarannya sama? Dan dimana harga entitas sosio-kultural atau historis perjuangan terbentuknya bangunan rumah itu?
Dalam artian ini, modus kerja kapitalisme tidak mempunyai nilai kemanusiaan dan sangat eksploitatif dalam hal mengakumulasi kapital.***
Nur Wahyu May Alfian, mahasiswa Sosiologi, Universitas Brawijaya, Malang
Kepustakaan:
Davis, M. 2006. Planet of Slums. Verso.
Elden, Stuart. 2013. The Birth of Teritory. University of Chicago Press.
Fakih, Mansour. 2002. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Insist Press.
Gottdiener, M. 1994. The New Urban Sociology. New York, NY: McGraw-Hill.
Habibi, Muhtar. 2016. Surplus Pekerja di Kapitalisme Pinggiran: Relasi Kelas, Akumulasi, dan Proletariat Informal di Indonesia sejak 1980an. Tangerang Selatan: Marjin Kiri
Indriani, Siane. 2019. Rekam Jejak Jokowi Bergelimang Penggusuran. Geotimes 15 November 2019 diakses dari https://geotimes.co.id/kolom/jokowi-bergelimang-penggusuran/
Lefebvre, Henri. 1991. The Production of Urban Space. Oxford: Blackwell.
Lefebvre, Henri. 2000. The Production of Space. Georgetown University Press: NY.
Mumford, Lewis. 1961. The City in History. Harcourt, Brace and World: US.
Weinstein, L. 2014. The Durable Slum. Minneapolis: University of Minnesota Press.